NovelToon NovelToon

KISAH CINTA YASMIN DAN ZIYAD

Bab 1

Bab 1

Langit senja sore itu di Desa Tembung menggantung berat. Awan kelabu menutup biru, menyisakan cahaya kekuningan samar yang meresap ke hamparan sawah. Angin membawa aroma tanah kering yang sebentar lagi akan tersentuh hujan. Dari kejauhan, terdengar kokok ayam yang terlambat, bercampur riuh suara anak-anak berlarian di jalan kampung meski langit mulai muram.

Yasmin menarik napas panjang. Ia merapatkan selendang, berusaha menghalau dingin yang menyusup. Langkahnya cepat menapak jalan tanah yang membelah sawah, pulang dari rumah sahabat lamanya. Sudah hampir sebulan ia tinggal di rumah neneknya setelah pindah dari Medan. Meski semasa kecil pernah beberapa kali berlibur, suasana desa tetap terasa asing, sepi, sekaligus berbeda.

Di kota, lampu jalan akan segera menyala, kendaraan bersahut klakson. Di sini, hanya bunyi dedaunan pisang bergesekan dengan angin. Saat senja tiba, kampung perlahan menutup diri dalam kesunyian.

“Ya Allah, semoga sempat sampai rumah sebelum hujan…” bisiknya resah.

Namun harapan itu runtuh. Tetes pertama jatuh, lalu dua, lalu rapat mengguyur. Suara hujan memukul atap seng pondok kosong di pinggir jalan. Yasmin menoleh cepat, lalu berlari kecil ke arah pondok itu. Tanah becek menodai kakinya, tapi ia tak peduli.

Begitu sampai, ia berdiri di bawah atap kayu sederhana, menepuk selendang dan lengan bajunya yang basah. Pandangannya menembus tirai hujan di depan sawah. Kabut tipis mulai naik dari tanah. Indah, tapi menyisakan rasa sepi.

Ternyata, ia tidak sendirian.

Seseorang sudah berdiri di sana, memegang payung hitam yang masih terlipat. Sosok itu tinggi, tegap, dengan wajah serius. Yasmin hampir terlonjak—ia tak menyadari keberadaannya sejak tadi.

Mata mereka bertemu. Yasmin mengenalnya. Hampir semua orang di kampung mengenal lelaki itu—Ziyad.

Dokter muda yang pulang dari kota untuk merawat ibunya yang sakit. Ia sering terlihat di jalan, menyapa sekadarnya, lalu pergi. Dingin, nyaris tak tersentuh. Ada jarak tak kasat mata yang membuat orang segan, meski diam-diam penasaran.

“Sendiri?” suara Ziyad berat dan tenang, tapi tegas.

Yasmin menegakkan tubuh, sedikit gugup. Ia tak menyangka pria itu akan menyapanya lebih dulu.

“Iya… hujannya datang tiba-tiba,” sahutnya pelan, disertai senyum ragu.

Ziyad mengangguk singkat. Pandangannya sebentar ke arah sawah, lalu kembali ke hujan. “Pulang ke mana?” tanyanya datar.

“Rumah Nek Wan… dekat pohon rambutan besar itu,” jawab Yasmin, sedikit hati-hati.

Ziyad tampak berpikir sejenak, lalu kembali mengangguk. “Searah. Jalan ini licin kalau hujan deras. Aku antar,” ucapnya pendek.

Kata-katanya sederhana, tanpa basa-basi, tapi terasa tulus. Yasmin mematung sebentar. Ia bisa saja menolak. Namun ada sesuatu dalam tatapan mata Ziyad—tenang tapi dalam—yang membuatnya tak bisa berkata tidak.

“Baiklah…” bisiknya lirih.

Ziyad membuka payung hitam. Gerakannya sederhana, mantap. Ia berjalan mendekat, menunggu Yasmin bergeser ke sisinya. Dengan hati-hati, Yasmin melangkah masuk ke bawah naungan payung itu.

Jarak mereka menyusut drastis.

Langkah pertama terasa kaku. Yasmin menangkap aroma hujan yang menempel di baju Ziyad—dingin bercampur hangat. Bahunya hampir menyentuh lengan pria itu. Napasnya teratur, berlawanan dengan jantung Yasmin yang berdegup cepat.

Hanya suara hujan yang mengisi keheningan. Sesekali sepatu mereka terperosok ke lumpur, menimbulkan cipratan kecil. Ziyad mencondongkan payung sedikit ke arah Yasmin, memastikan ia tak kehujanan. Gerakan kecil itu justru membuat dada Yasmin hangat.

Ia menoleh sekilas, menatap wajah samping Ziyad. Rahang tegas, mata lurus menatap jalan. Dingin, tapi seakan menyimpan sesuatu yang rapuh.

“Terima kasih… sudah repot-repot,” ucap Yasmin pelan, mencoba memecah hening.

Ziyad menoleh sebentar. “Bukan repot. Hujan bisa bikin sakit,” balasnya singkat.

Yasmin tersenyum samar. Kata-katanya jujur, tanpa manis-manis berlebih.

Mereka melangkah lagi di jalan kampung yang becek. Motor sesekali melintas, pengendara menunduk agar tak terlalu basah. Anak-anak yang tadi berlarian sudah menghilang.

“Kenapa pulang jalan kaki? Jauh dari rumah sahabatmu?” tanya Ziyad tiba-tiba.

Yasmin terkejut, tapi juga lega. “Tidak terlalu jauh. Lagipula aku suka jalan kaki. Bisa lihat sawah, dengar suara angin. Rasanya… lebih tenang daripada di kota,” jawabnya jujur.

Ziyad terdiam sejenak. Ada kilatan tipis di matanya, seperti mengerti. “Tenang, ya…” gumamnya rendah, lebih kepada dirinya sendiri.

Yasmin menunduk, tersenyum tanpa sadar. Percakapan singkat itu justru membuka pintu kecil ke dalam diri Ziyad.

Tak lama, mereka sampai di depan rumah kayu sederhana dengan halaman luas dan pohon rambutan tua menjulang di sampingnya. Lampu minyak di teras sudah menyala, temaram menembus hujan.

“Sudah sampai. Terima kasih, Ziyad,” tutur Yasmin lembut.

Ziyad menutup payungnya, menatap rumah itu sejenak. “Hati-hati. Kalau hujan masih turun besok, jangan jalan jauh sendiri,” pesannya tegas.

Yasmin tersenyum, kali ini lebih tulus. “Baik, dokter,” balasnya ringan.

Sejenak mata mereka beradu. Suara hujan lenyap di telinga Yasmin, menyisakan keheningan penuh arti.

Ziyad akhirnya menoleh, lalu melangkah pergi. Payung hitam kembali terbuka, menjauh di bawah tirai hujan. Yasmin menatap punggungnya yang makin samar. Jantungnya masih berdegup cepat. Pertemuan singkat itu meninggalkan jejak yang tak mudah dihapus.

Tiba-tiba suara neneknya memanggil dari teras.

“Min… cepat masuk. Jangan lama di luar. Orang itu… lebih baik jangan terlalu dekat dengannya.”

Yasmin menoleh, kaget. “Kenapa, Nek?” tanyanya ingin tahu.

Nek Wan hanya menggeleng, wajahnya muram. “Sebenarnya Ziyad anak baik, tapi dia menyimpan rahasia besar. Bisa menyeret siapa pun ke dalam masalah. Ingat pesan Nenek.” Ujar Nek Wan singkat penuh tanya.

Yasmin tertegun di depan pintu, memandang jalan yang kosong. Payung hitam itu sudah hilang dalam gelap.

Dadanya sesak. Kata-kata Nek Wan bergema di kepalanya.

Rahasia besar? Masalah apa?

Dan dalam hatinya, tumbuh rasa ingin tahu yang tak terbendung—tentang Ziyad, tentang hujan, tentang sesuatu yang baru saja dimulai.

Bersambung…

Bab 2

Bab 2

Pagi itu Desa Tembung terbangun dalam sisa hujan semalam. Jalan tanah masih basah, memantulkan cahaya lembut matahari yang baru naik dari balik bukit. Aroma tanah liat yang lembap bercampur wangi dedaunan basah memenuhi udara. Burung-burung kecil beterbangan rendah, seakan menikmati kesejukan yang jarang bertahan lama di desa ini.

Yasmin duduk di beranda rumah neneknya, menatap embun yang menempel di rerumputan halaman. Secangkir teh panas mengepul di tangannya, menghangatkan pagi yang agak dingin. Matanya menatap kosong ke arah jalan kampung, seakan menunggu sesuatu. Atau seseorang.

Semalaman ia sulit tidur. Peringatan Nek Wan terus bergema di kepalanya.

Ziyad… anak baik, tapi dia menyimpan rahasia besar. Bisa menyeret siapa pun ke dalam masalah.

Rahasia besar. Kata-kata itu membentuk bayangan tak jelas, tapi cukup kuat untuk membuat dadanya berdebar. Apa sebenarnya yang disembunyikan Ziyad? Mengapa neneknya sampai memberi peringatan seolah itu bahaya yang nyata?

“Min, kau melamun lagi?” tanya Nek Wan parau, pandangannya menelisik.

Yasmin menoleh. Neneknya duduk di kursi bambu tua, menenun tikar pandan. Wajahnya tampak teduh, tapi ada gurat muram yang tak bisa sepenuhnya disembunyikan.

“Tidak, Nek. Cuma… memikirkan hujan semalam,” jawab Yasmin sambil tersenyum ragu.

Nek Wan berhenti menenun, menatap cucunya dengan mata yang dalam. “Hujan semalam atau orang yang meneduhkanmu dari hujan itu?” sindirnya pelan.

Pipi Yasmin memanas. Ia menunduk cepat, menyesap teh agar tak perlu langsung menjawab. Namun diamnya justru membuat neneknya menghela napas panjang.

“Min… Nek tidak melarang kau berkenalan dengan siapa pun. Tapi ada hal-hal yang harus kau waspadai. Orang itu, Ziyad, dia bukan orang sembarangan. Ada masa lalu yang berat, yang tidak semua orang bisa pahami,” tutur Nek Wan sendu.

Yasmin menatap neneknya penasaran. “Apa maksud Nek? Masa lalu apa?” tanyanya hati-hati.

Nek Wan terdiam lama. Tangannya kembali sibuk dengan tikar, seakan sengaja menghindari tatapan cucunya. “Sudahlah. Jangan terlalu dalam mencari tahu. Kadang, tahu terlalu banyak justru membawa celaka,” ucapnya datar.

Yasmin menggigit bibirnya. Jawaban neneknya bukannya meredakan rasa ingin tahu, justru menambahnya. Semakin larangan diucapkan, semakin besar keinginan hatinya untuk mengungkap.

---

Siang menjelang, Yasmin memutuskan pergi ke warung kecil di ujung kampung untuk membeli beberapa kebutuhan. Jalanan mulai ramai dengan aktivitas warga: ibu-ibu membawa bakul sayur, anak-anak menenteng layangan basah yang gagal terbang kemarin sore, dan lelaki desa sibuk memperbaiki motor di depan rumah.

Saat ia hendak membayar belanjaannya, obrolan dua ibu-ibu di dekat pintu warung menarik perhatiannya.

“Kasihan betul ibunya si Ziyad itu, sudah lama sakit-sakitan. Anak itu rajin menjaganya, tapi mukanya selalu kelihatan muram,” bisik seorang ibu dengan nada prihatin.

“Memang… tapi orang bilang, sakitnya ibunya ada hubungannya dengan kejadian lama. Ah, entahlah. Orang kampung ini suka membesar-besarkan cerita,” sambung ibu lainnya lirih.

Yasmin pura-pura sibuk menghitung uang kembalian, tapi telinganya menangkap jelas. Kejadian lama? Apa maksudnya?

Saat ia melangkah keluar, matanya tanpa sengaja menangkap sosok Ziyad. Ia baru keluar dari apotek kecil di samping warung, membawa kantong plastik berisi obat-obatan. Wajahnya tetap dingin, namun ada gurat lelah yang nyata di matanya.

Yasmin ragu, tapi entah dorongan apa yang membuat kakinya melangkah mendekat.

“Dokter…” panggilnya hati-hati.

Ziyad menoleh, sedikit terkejut melihatnya. Tatapannya hanya sebentar, lalu kembali datar. “Belanja?” tanyanya singkat.

Yasmin mengangguk. “Iya. Dan dokter… belanja obat, ya?” sahutnya pelan, meski jelas terlihat dari kantong yang dibawa.

“Untuk Ibu,” jawab Ziyad singkat, suaranya berat.

Keheningan jatuh sejenak. Yasmin ingin bertanya lebih banyak, tapi lidahnya kelu. Akhirnya ia hanya berkata pelan, “Semoga cepat sembuh, ya, dok. Semoga Allah beri kesehatan,” ucapnya tulus.

Ziyad menoleh sekilas. Ada sesuatu di matanya, seolah rasa terima kasih yang tak bisa diucapkan panjang. “Aamiin,” sahutnya lembut.

Yasmin tersenyum kecil. Ada kehangatan samar di balik dinginnya lelaki itu. Namun sebelum ia bisa melanjutkan percakapan, Ziyad sudah melangkah pergi, meninggalkan jejak tanya di hatinya.

---

Sore hari, Yasmin berjalan sendirian di pematang sawah. Udara masih lembap, langit berlapis awan tipis yang dibiaskan cahaya jingga. Sesekali suara jangkrik dan katak dari persawahan mengisi udara.

Ia menoleh ke arah rumah besar bercat putih yang berdiri agak terpisah di ujung kampung. Itu rumah keluarga Ziyad. Dari kejauhan, jendela-jendelanya tertutup rapat, dan suasana di sekitarnya lebih sunyi dibanding rumah lain. Seakan menyimpan sesuatu.

Yasmin menggenggam selendangnya. Kata-kata Nek Wan, bisikan ibu-ibu di warung, dan tatapan letih Ziyad siang tadi berputar di benaknya.

Saat ia masih menatap, tiba-tiba pagar rumah itu terbuka. Ziyad keluar sambil membawa baskom berisi kain basah, mungkin cucian ibunya. Ia berjalan ke sumur di samping rumah. Gerakannya tenang, tapi ada kesungguhan yang membuat Yasmin terpaku.

Tanpa sadar, langkahnya semakin mendekat.

Namun sebelum ia bisa menyapa, terdengar suara seruan lirih dari dalam rumah. Suara perempuan tua, penuh rintihan. Yasmin berhenti seketika.

Ziyad menoleh cepat, tatapannya tajam. “Kenapa kau di sini?” tanyanya tegas.

Yasmin terperanjat. “A-aku hanya lewat… maaf kalau mengganggu,” balasnya gugup.

Sorot mata Ziyad melembut seketika, menyadari keterkejutannya sendiri. Ia menunduk sebentar, lalu menghela napas. “Jangan berdiri lama-lama di sini. Angin sore lembap, bisa buat sakit,” ujarnya lebih tenang.

Yasmin mengangguk, meski hatinya masih berdebar. Ada getaran aneh di balik ketegasan itu—antara rasa takut, penasaran, sekaligus kagum.

Ia melangkah pergi perlahan. Namun telinganya masih menangkap samar suara dari dalam rumah: lirih, penuh kesakitan… atau mungkin kesedihan.

---

Malamnya, Yasmin kembali duduk di beranda, ditemani lampu minyak yang temaram. Suara jangkrik bersahutan dari sawah, angin malam membawa aroma tanah basah yang masih tersisa.

Ia menatap langit gelap, pikirannya kacau. Tentang Ziyad. Tentang ibunya. Tentang rahasia yang semakin terasa nyata.

Nek Wan datang membawa segelas air hangat. Duduk di sampingnya, ia menatap cucunya dengan tatapan penuh arti. “Kau sudah mulai dekat dengan anak itu, ya?” tanyanya pelan.

Yasmin menelan ludah. “Aku hanya… penasaran, Nek. Dia terlihat berbeda dari yang orang-orang bicarakan. Dia baik, meski pendiam. Dan… ada sesuatu di matanya. Seperti dia menyimpan beban berat,” ucapnya ragu.

Nek Wan memejamkan mata sejenak, lalu membuka dengan pandangan muram. “Kau benar, Min. Dia menyimpan beban. Beban yang bukan miliknya seorang. Beban yang bisa menimpa siapa pun yang terlalu dekat,” tutur neneknya sendu.

“Kenapa, Nek? Apa yang sebenarnya terjadi?” desak Yasmin penasaran.

Nenek menoleh, tatapannya tajam menusuk hati Yasmin. “Rahasia keluarga itu… tidak untukmu. Jangan mencari tahu. Kalau kau sayang pada dirimu, jauhilah Ziyad,” ucapnya tegas.

Yasmin terdiam, dadanya sesak. Semakin neneknya melarang, semakin besar keinginannya untuk mengungkap.

Di kejauhan, suara gonggongan anjing terdengar samar. Malam semakin pekat, seakan ikut menyimpan rahasia yang enggan diungkap. Yasmin menggenggam erat selendangnya, hatinya bergejolak.

Dalam diam, ia tahu satu hal: ia tidak bisa berhenti di sini. Ia harus tahu. Tentang Ziyad. Tentang ibunya. Tentang rahasia besar yang membuat semua orang bicara dengan bisikan.

Namun ia juga tahu, jalan itu akan membawa dirinya lebih dekat pada lelaki yang mulai membuat jantungnya berdetak tak terkendali.

“Min…” suara Nek Wan lirih, hampir seperti doa. “Jangan biarkan hatimu terseret terlalu jauh. Karena sekali kau masuk ke dunia Ziyad, sulit untuk keluar lagi,” pesannya sendu.

Yasmin menunduk. Senyum tipis muncul di bibirnya, meski hatinya bergetar. “Mungkin aku sudah terlanjur melangkah, Nek,” bisiknya lirih.

Dan malam itu, di bawah langit gelap Desa Tembung, Yasmin sadar—perjalanannya baru saja dimulai.

Bersambung…

Bab 3

Bab 3

Mentari pagi menyinari Desa Tembung dengan cahaya keemasan yang menembus sela dedaunan pisang. Embun masih menempel di rumput, dan udara segar menusuk paru-paru Yasmin yang baru saja selesai menimba air di sumur. Suara ayam berkokok bersahutan dari berbagai penjuru, sementara suara kayu dipotong terdengar dari rumah tetangga.

Namun pikiran Yasmin masih tersisa di sore kemarin—tatapan tajam Ziyad ketika ia berdiri terlalu dekat dengan rumahnya, lalu melembut saat menyuruhnya menjauh. Ada sesuatu di sorot mata itu: dingin di permukaan, tapi hangat tersembunyi di dasar.

“Min, airnya jangan terlalu penuh. Berat nanti,” kata Nek Wan pelan sambil menata sayur di dapur.

“Iya, Nek,” jawab Yasmin ringan.

Meski suaranya terdengar tenang, hatinya bergemuruh. Yasmin ingin tahu lebih jauh tentang Ziyad. Tentang rahasia yang membuat semua orang berbisik, dan yang membuat Nek Wan begitu waspada.

 **

Siang itu, Yasmin pergi ke mushola kecil di tengah kampung. Ada pengajian ibu-ibu, dan ia membantu menyiapkan air minum. Saat ia menuangkan teh panas ke dalam gelas, langkah berat seseorang terdengar mendekat.

Ziyad masuk, membawa tas kecil berisi obat-obatan. Beberapa warga segera menghampirinya, meminta tolong.

“Dokter, anak saya batuk dari semalam,” keluh seorang ibu cemas.

“Bisa saya lihat sebentar?” jawab Ziyad tenang.

Ia memeriksa anak kecil itu, kemudian mengeluarkan obat sirup dari tasnya. “Minum ini sesuai aturan, insyaAllah reda. Jangan lupa kasih air hangat lebih sering,” jelasnya sabar.

“Terima kasih banyak, dok,” ujar si ibu penuh syukur.

Ziyad hanya mengangguk kecil. Wajahnya tetap dingin, tapi gerakannya penuh ketelitian. Yasmin yang memperhatikan dari jauh merasa kagum—lelaki itu tampak berbeda saat menolong orang. Ada kelembutan yang tidak ia tunjukkan dalam kata, tapi nyata dalam tindakan.

Tak sengaja, Ziyad menoleh dan mendapati Yasmin sedang memperhatikannya. Yasmin buru-buru menunduk, pura-pura sibuk merapikan gelas. Namun hatinya berdebar.

“Sedang bantu di sini?” tanya Ziyad datar.

“Iya, cuma menuang teh,” jawab Yasmin gugup.

“Bagus. Orang kampung butuh banyak yang peduli,” ujar Ziyad tenang.

Yasmin menelan ludah, lalu memberanikan diri. “Dokter sendiri… selalu sibuk menolong. Padahal… pasti lelah juga, kan?” tanyanya hati-hati.

Ziyad diam sejenak, matanya menerawang. “Lelah itu biasa. Yang penting orang lain tertolong,” balasnya lirih.

Jawaban itu membuat dada Yasmin hangat, tapi juga menambah rasa penasaran. Ada kelelahan lain di balik suaranya—bukan sekadar fisik, melainkan batin.

 **

Sore menjelang, Yasmin membantu Nek Wan merapikan gudang kecil di samping rumah. Gudang itu penuh barang lama: karung goni, anyaman bambu, hingga peti kayu berdebu. Saat membersihkan sudut ruangan, Yasmin menemukan sebuah kotak besi kecil terkunci rapat.

“Min, jangan asal buka-buka. Itu barang lama,” ujar Nek Wan tegas.

“Tapi… ini milik siapa, Nek?” tanya Yasmin penasaran.

Nek Wan menunduk, wajahnya berubah. “Milik keluarganya Ziyad. Dulu dititipkan di rumah ini. Nek sudah lupa, jangan diutak-atik,” jawabnya cepat.

Yasmin terdiam, tapi matanya tetap terpaku pada kotak itu. Ada rasa ingin tahu yang menggerogoti dadanya. Kenapa benda itu ada di rumah neneknya? Kenapa harus disembunyikan?

**

Malam datang, dengan suara jangkrik yang meramaikan pekarangan. Yasmin duduk di beranda, menatap langit yang dipenuhi bintang. Angin malam bertiup lembut, tapi pikirannya resah.

Ia teringat kotak besi di gudang, teringat bisik-bisik warga, teringat tatapan Ziyad yang penuh beban. Semuanya seperti potongan puzzle yang menunggu untuk dirangkai.

Tiba-tiba suara langkah mendekat. Dari kejauhan, terlihat sosok tinggi dengan payung hitam. Ziyad.

“Masih terjaga?” tanyanya datar.

“Eh, iya… belum mengantuk,” jawab Yasmin gugup.

Ziyad menatapnya lama, seolah ingin mengatakan sesuatu, lalu mengalihkan pandangan ke halaman. “Angin malam kurang baik untukmu. Jangan terlalu sering di luar,” ucapnya pelan.

Yasmin mengangguk, jantungnya berdebar. Ia ingin bertanya tentang keluarganya, tentang ibunya, tentang masa lalu. Tapi lidahnya kelu.

“Dokter…” panggilnya akhirnya.

Ziyad menoleh. “Ya?” sahutnya tenang.

“Kalau… seseorang menyimpan rahasia, apakah selalu buruk?” tanya Yasmin ragu.

Ziyad terdiam lama. Sorot matanya tiba-tiba dalam, seperti menembus hatinya sendiri. “Kadang, rahasia itu bukan untuk disembunyikan… tapi untuk melindungi orang lain,” jawabnya lirih.

Yasmin tercekat. Kata-kata itu menusuk batinnya, membuat rasa penasarannya semakin kuat.

Namun sebelum ia bisa melanjutkan pertanyaan, Ziyad melangkah mundur. “Selamat malam, Yasmin,” ucapnya datar.

“Selamat malam, dokter,” balas Yasmin pelan.

Ia menatap punggung Ziyad yang perlahan menghilang di jalan desa yang remang. Dalam hati, Yasmin tahu satu hal: rahasia itu nyata, dan ia semakin ingin mengungkapnya.

Di gudang, kotak besi berdebu menunggu, seakan menyimpan kunci menuju bayangan masa lalu keluarga Ziyad.

Bersambung…

Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!

Download Novel PDF
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!