NovelToon NovelToon

Titik Akhir Ke Titik Awal Seorang Istri

Titik Akhir

"Sayang, aku udah siapin sarapan. Ayo duduk dulu, kita sarapan bareng."

Pria yang disapa hanya menautkan alisnya lalu menatap makanan yang tersaji diatas meja. Well, aromanya memang enak tapi itu tidak menggugah seleranya atau lebih tepatnya ia malas memakannya karena harus duduk berdua dengan wanita didepannya ini.

"Not thanks," balas pria itu dingin seraya sibuk membetulkan kancing jasnya. Setelah itu ia lalu berjalan kearah pintu keluar.

"Jazlan, stop. Bisa nggak sekali aja kamu ngehargain aku. Kita udah nikah 5 tahun lebih tapi nggak ada perubahan sama sekali. Hubungan kita kek jalan ditempat. Kamu selalu menghindari aku," ucap sang wanita frustasi.

Jazlan menghentikan langkahnya lalu berbalik menatap istrinya, Heavenhell. Matanya memancarkan aura dingin dan terasa ingin meremukkan tulang belulang Heavenhell. Perlahan tapi pasti Jazlan melangkahkan kakinya kearah wanita yang sudah ia nikahi selama 5 tahun lebih ini.

"Nggak ada yang nyuruh lo buat bertahan di hubungan toxic ini, Ave. Nggak ada. Gue udah sering ngajuin gugatan cerai tapi elo yang keras kepala untuk tetap ngelanjutin hubungan ini dengan ngancem bakal bunuh diri. Jadi diam, lakukan, dan terima," kata Jazlan dingin sambil menatap tajam Heavenhell.

Rasa sakit sontak meremas relung hati Heavenhell dengan dahsyat. Memang bukan pertama kalinya Jazlan melemparkan perkataan kasar padanya tapi rasanya selalu sama dan menyakitkan. Sesakit inikah cinta sendirian?

"Lan, apa nggak sedikitpun kamu cinta sama aku. Aku udah ngorbanin semuanya untuk kamu. Selama ini aku berjuang demi kita."

Jazlan terkekeh sinis. "Ada yang suruh lo berjuang? Nggak ada. Lo sendiri yang nyusahin diri lo dan sekarang lo mau menyalahkan gue atas segala kemalangan yang lo dapat."

Pria itu mencondongkan kepalanya kearah Heavenhell. "Listen this, Heavenhell Athanasia Caventry. Lo adalah penyebab gue nggak bisa menjadi CEO di perusahaan bokap gue. Karena lo dan semua drama lo itu menyebabkan gue harus ditendang dari posisi garis pewaris."

Tes!

Setitik airmata Heavenhell terjatuh dan membuat aliran sungai airmata di kedua pipinya. "Lan, aku nggak maksud buat kamu harus menderita. Saat itu aku emang hamil beneran dan itu anak kamu."

Jazlan memutar bola matanya kesal. Mengingat kejadian bertahun-tahun lalu itu selalu membuatnya sangat kesal dan marah. Dirinya yang seharusnya menduduki posisi tertinggi di perusahaan keluarganya harus rela dicopot karena kelakuan Heavenhell. Bahkan pria itu tidak bisa mengecap indahnya bangku kuliah karena Ayahnya mencopot semua fasilitasnya dan menyuruhnya untuk bekerja dari O.

Tidak sampai itu saja, ia harus rela menahan cacian dan hinaan saat harus bekerja sebagai OB di perusahaan keluarganya. Dan semua itu karena tingkah Heavenhell yang memberikan obat perangsang padanya dan berakhir mereka melakukan hubungan yang tidak sepatutnya.

"Lo sadar nggak sih kalau lo itu cewek ter egois di dunia ini. Gara-gara lo dan semua pikiran aneh lo itu, nyokap gue hampir meninggal karena sakit jantung. Citra keluarga gue tercemar karena pewaris utamanya menghamili cewek di bawah umur. Dan nggak itu aja, lo pada akhirnya gugurin anak itu pas kita udah nikah. Dan siapa yang salah? Gue. Gue dicap sebagai suami yang nggak bisa diandelin, calon ayah yang payah, pewaris utama yang gagal. Apa lagi Ave? Apa?" teriak Jazlan yang sukses menyentak Heavenhell.

Suara pria itu bahkan menggema diseluruh penjuru rumah yang dibelinya dari hasil menjadi sales bertahun-tahun. Keluarganya sudah tutup telinga terhadap dirinya.

"Maaf, Lan. Aku terlalu cinta sama kamu makanya aku nggak mau kamu jatuh ke tangan orang lain. Saat itu aku panik banget pas tau kamu udah jadian sama Aretha. Aku marah, aku kesel, kenapa dia yang harus jadi pacar kamu," kata Heavenhell berlinang airmata.

Ia bahkan sampai bersujud didepan Jazlan.

Dosanya pada suaminya itu tidak terampuni dan tidak akan pernah. Ia sudah merenggut kebahagiaan dan masa depan Jazlan dengan sangat kejam demi ambisinya.

"Cih, andai aja kata maaf itu bisa merubah semuanya. Gue dengan senang hati bakal maafin lo. Tapi semuanya percuma, Ave. Percuma," kata Jazlan berdecih sinis. Ia bahkan dengan teganya melepaskan belitan tangan Heavenhell di kakinya dengan kasar membuat istrinya itu tersungkur dengan menyedihkan di lantai.

Tapi Jazlan sama sekali tidak merasakan kasihan atau apapun. Hanya rasa puas yang ia rasakan melihat pemandangan tersebut. Heavenhell ingin menghabiskan hidup dengannya kan? Maka dengan senang hati Jazlan mengabulkannya dengan memberikan neraka yang sesungguhnya.

"Hiks.... Lan.. Maaf.. Kita bisa mulai dari awal lagi." Heavenhell berusaha bangkit dan merangkak kearah Jazlan. Kepalanya terasa sakit karena membentur lantai dengan keras akibat tendangan Jazlan. Belum lagi kedua sikunya yang lecet. Namun ia tidak peduli, rasa cintanya pada Jazlan sudah tahap gila. Teman masa kecilnya yang dulunya mengatakan akan menikahinya saat mereka dewasa dan mereka sudah berjanji. Jadi Heavenhell hanya mau menjaga janji itu meski harus membayar mahal.

"Dari awal, heh?" tanya Jazlan sinis. Sekali lagi kakinya menendang tubuh Heavenhell hingga menubruk lantai. Ia ikut berjongkok di samping wanita itu lalu tangannya dengan santai menjambak rambut Heavenhell dengan kasar membuat tubuh malang itu terangkat.

"Ave, I did love you. Kalo aja saat itu lo mau nunggu dan nggak langsung berburuk sangka terhadap gue sama Aretha. Now, we're gonna fine. But, hell no. Lo tau gimana sakitnya gue saat gue harus merelakan masa depan gue yang cerah demi ambisi gila lo. Apa lo tau sakitnya hati gue saat lo dengan santainya gugurin anak kita pas kita udah nikah demi lo bisa jadi model dan menggapai mimpi lo. Disaat itu lo bilang kalau bayi itu cuman ngancurin mimpi lo trus gimana dengan gue? Kedua orangtua gue? Keluarga gue? Apa pernah lo pernah mikirin dari sisi gue."

"Semua orang menaruh simpati ama lo sebagai korban sedangkan gue dianggap penjahat kelamin. Semua kesalahan yang lo lakuin diludahin didepan muka gue, Ave. Dulu setiap harinya gue harus nahan malu karena harus jadi OB dikantor bokap gue sendiri. You never know that, karena yang lo pikirin cuman kebahagiaan lo. Hanya lo, lo, lo, dan lo," jelas Jazlan mengeluarkan semua unek-uneknya.

Dirinya tidak akan berbohong jika ia pernah mencintai Heavenhell, cinta pertamanya. Seseorang menyebarkan hoax mengenai dirinya berpacaran dengan Aretha, adik angkat Heavenhell membuat wanita di depannya ini menggila dan melakukan hal nekat.

"Maaf.. Hiks... Maaf..Lan... Maaf," raung Heavenhell kesakitan ketika melihat sorot mata terluka dari Jazlan. Ya Tuhan, apa yang sudah ia lakukan pada pria didepannya ini. Pria yang seharusnya sekarang sedang menikmati masa mudanya dengan indah malah harus berakhir dengan tragis.

Tubuh Heavenhell gemetar ketika mengingat semua kejahatan yang sudah ia lakukan pada Jazlan. Tidak heran kenapa suaminya ini membencinya karena ia sudah memberikan penderitaan luar biasa padanya.

"Sorry means nothing, now," kata Jazlan dingin sambil melepaskan jambakan rambut Heavenhell dan membuatnya sekali lagi tersungkur.

Jazlan tidak repot-repot untuk merasa kasian padanya. Pria itu memilih merapikan bajunya yang kusut, berkat usahanya ia berhasil menjadi manager di sebuah perusahaan kecil. Dengan gen pengusaha hebat yang diwariskan Ayahnya, ia bisa mencapai posisi ini, tidak seperti beberapa tahun lalu ia harus berpuas diri hanya menjadi OB dan sales atau terkadang menjadi pelayan di sebuah restoran. Yang dimana ia harus menebalkan wajahnya ketika bertemu dengan rekan bisnis keluarganya yang mengenalnya.

Heavenhell masih terisak dengan hebat diatas lantai, tidak menghiraukan kepalanya yang berdenyut kesakitan. Jazlan meliriknya sejenak lalu mengambil tas kerjanya di sofa. Langkahnya terhenti ketika matanya bersinggungan dengan sebuah foto diruang tamu. Foto USG bayi mereka yang berusia 3 bulan yang malangnya harus meregang nyawa karena keputusan bodoh Heavenhell.

Hanya foto ini satu-satunya yang ia punya untuk mengenangnya. Walaupun dia hadir dengan cara yang salah namun ia tetap suci, yang salah adalah dirinya dan Heavenhell. Jazlan mengusap foto itu dengan jarinya dan pandangannya melembut, mungkin jika berhasil lahir maka sekarang ia sudah masuk taman kanak-kanak.

Tapi takdir berkata lain, mungkin bayi itu tidak mau terlahir sebagai anak haram yang dicemooh makanya memilih untuk kembali kepada Tuhan. Hal yang entah harus disyukuri atau tidak oleh Jazlan.

Drrrt...

Drttt....

Dering ponsel Jazlan di sakunya. Pria itu mengerjapkan matanya sejenak lalu menghela nafas agar mengurangi rasa sakit yang menyiksa relung hatinya. Kemudian ia meraih ponselnya dan mengangkat telfon tersebut dengan raut wajah sumringah.

"Halo, sayang," sapa Jazlan hangat.

"Iya, Papa sekarang kesana. Tunggu yah," balas Jazlan sambil berjalan keluar rumah dan membanting pintu.

Kesunyian menemani Heavenhell yang masih terisak diatas lantai. Ia tidak perlu bertanya siapa yang menelfon suaminya karena pasti itu Melody, anak Aretha atau keponakannya. Aborsi di usia muda membuatnya kesulitan memiliki anak ditambah Jazlan tidak pernah menyentuhnya.

Melody kehilangan ayahnya karena kecelakaan pesawat sehingga Jazlan yang masih berduka karena kehilangan anak mereka menjadi prihatin dan memutuskan untuk menjadi figur Ayah bagi anak malang itu.

"Maaf.. Lan.. Maaf," bisik Heavenhell. Ia akan menghabiskan hidupnya untuk mengatakan hal tersebut walau itu tidak akan menghapus rasa sakit di hati Jazlan.

Dengan tertatih, Heavenhell merangkak kearah nakas tempat bingkai foto anak mereka berada. Tangannya yang gemetar meraih foto tersebut dan mendekapnya. Ini salahnya, Jazlan benar. Semuanya salahnya. Ia satu-satunya yang bersalah disini. Dan ia pantas untuk semua ini.

"Maaf... Maaf," isak Heavenhell ditengah keheningan rumah mereka yang sepi.

......................

Suara jangkrik terdengar merdu dimalam hari, menemani Heavenhell yang tengah menatap Jazlan tertidur di sampingnya. Matanya merekam dengan sempurna siluet wajah tenang Jazlan ketika tertidur. Hanya di saat seperti ini saja, Heavenhell bisa menatap suaminya dengan sepuasnya. Setiap hari Jazlan jarang pulang atau hanya pulang jika ia sedang mood melihat wajahnya.

Mata Heavenhell bergerak menatap jari manis Jazlan yang disana terdapat cincin perak yang melingkarinya dengan indah. Bukan, itu bukan cincin pernikahan mereka. Namun cincin pernikahan Jazlan dengan Aretha. Satu bulan lalu entah apa yang terjadi dengan Melody yang tiba-tiba meminta adik kepada Jazlan. Alasannya karena ia iri dengan teman-temannya yang memiliki saudara sementara dirinya tidak.

Gadis kecil itu bahkan sampai demam karena permintaannya tak kunjung dikabulkan membuat Jazlan tidak tega. Sehingga dengan impulsifnya ia melamar Aretha agar bisa memenuhi keinginan Melody. Jadilah Jazlan menikahi kakak beradik itu.

"Lan, aku cinta kamu. Selalu dan selamanya,"

bisik Heavenhell dengan sepelan mungkin agar tidak mengganggu tidur Jazlan.

Pasti Aretha yang menyuruh Jazlan pulang kesini karena sudah lama suaminya ini tidak pulang atau lebih tepatnya ia pergi berlibur dengan keluarga barunya. Heavenhell melihat potret kebersamaan mereka bertiga di sosmed, senyum Jazlan membuat Heavenhell seperti melihat sosok Jazlan dulunya yang masih sangat menikmati hidupnya sebagai anak konglomerat yang tampan nan keren.

......................

Garis dua.

Heavenhell membekap mulutnya tidak percaya saat ia melihat garis pada testpack tersebut. Hal ini sangat diluar ekspektasinya. Tangannya bahkan gemetar ketika memegang benda itu. Keisengannya yang berakhir dengan berita mengejutkan ini.

Awalnya Heavenhell merasa tidak enak badan belakangan ini. Ia pikir hanya kelelahan karena harus menyelesaikan novelnya yang akan dirilis beberapa bulan kedepan. Namun saat ia melihat testpack dikamar mandi, ia akhirnya iseng menggunakannya.

Setelah hampir 6 tahun, Heavenhell akhirnya bisa hamil lagi pasca ia melakukan aborsi saat kehamilan pertamanya dulu. Dokter memvonisnya susah hamil karena aborsi di usia muda membuat Jazlan sangat marah dan kecewa padanya.

Brak...

Tubuh Heavenhell terlonjak kaget ketika mendengar suara pintu kamar yang dibanting. Wanita itu menyimpan testpack tadi didalam kantongnya dan berjalan keluar untuk mengecek keadaan. Terlihat Jazlan tengah memasukkan beberapa pakaian kedalam koper dengan terburu-buru.

"Lan, kamu mau kemana?" tanya Heavenhell hati-hati. Wajah Jazlan terlihat tidak bersahabat walau memang hanya ekpresi itu yang selalu ditampilkannya.

Kegiatan pria itu terhenti sejenak lalu dengan perlahan ia membalikkan tubuhnya kearah Heavenhell. "Aretha lagi di rumah sakit," jawabnya sambil berjalan kearah Heavenhell.

"Oh, aku harap dia cepat sembuh," balas Heavenhell tegar. Hatinya terasa sesak ketika mengingat beberapa bulan lalu Aretha berhasil melahirkan anak pertamanya dengan Jazlan. Bayi laki-laki yang sangat mirip Jazlan. Hal itu meluluhkan hati keluarga Jazlan dan membuat pria itu diterima kembali karena telah memberikan mereka pewaris yang sesungguhnya. Bahkan posisi Jazlan dikembalikan seperti semula. Sesuatu yang sudah Heavenhell renggut.

"Keadaannya kritis, dia harus dapet pendonor ginjal secepatnya."

Heavenhell tidak bisa menahan rasa terkejutnya, tidak menyangka kondisi Aretha bisa se kronis itu pasca melahirkan. "Boleh aku jenguk dia?" tanya Heavenhell yang sudah siap jika Jazlan menolak.

"Boleh."

Mata Heavenhell membulat ketika mendengarkan jawaban Jazlan. Sedikit tidak menyangka kata itu meluncur dengan indah dari bibir Jazlan. Secercah senyum terbit diwajah Heavenhell. Ia berencana setelah menjenguk Aretha, dia akan melakukan pemeriksaan terhadap kehamilannya. Ia ingin mengecek apakah testpack tadi benar atau tidak.

"Makasih, sebentar aku siap-siap dulu." Heavenhell bergegas kearah lemarinya dan mengambil pakaian yang akan ia kenakan untuk menjenguk Aretha.

Walaupun wanita itu adalah madunya tapi ia tetap berterimakasih kepadanya karena telah memulihkan hidup Jazlan dan memberikan warna baru dihidupnya.

"Maaf," batin Jazlan ketika melihat Heavenhell yang antusias masuk kedalam kamar mandi untuk berganti pakaian.

Langkah kaki Jazlan dan Heavenhell menggema di koridor lantai teratas rumah sakit ini. Untuk pertama kalinya Jazlan mau berjalan bersamanya setelah sekian lama apalagi sekarang Heavenhell sedang mengandung anak mereka. Kebahagiaannya menjadi bertubi-tubi meskipun Jazlan belum mengetahuinya.

"Lan, kondisi Aretha kritis," kata seorang wanita paruh baya yang masih sangat cantik di usianya.

Heavenhell yang tadinya sibuk menatap fitur wajah Jazlan dari samping beralih menatap wajah wanita paruh baya itu yang notabene adalah ibu kandungnya alias Loreynzza Inara Xavellyn.

"Kritis? Tapi kata dokter tadi keadaan Aretha baik-baik aja," balas Jazlan tidak kalah khawatir. Koper yang dipegangnya tadi ia letakkan begitu saja diatas kursi tunggu didepan ruang rawat VVIP rumah sakit ini.

"Keadaan Aretha tiba-tiba collapse, apalagi dia lagi dalam masa nifas. Jadi kondisinya belum aman, kita harus cari pendonor secepatnya," ucap Loreynzza khawatir.

Heavenhell hanya diam menyaksikan percakapan mereka. Dalam hati ia merasa cemburu karena Aretha mendapatkan apa yang dia inginkan. Keluarga, Jazlan, dan anak. Semua hal yang menjadikannya wanita utuh seutuhnya.

"Aku lagi usahain, Ma. Ini aja anak buah aku lagi nyari ke segala penjuru negeri ini. Aku bakal ngomong sama dokter tentang hal ini," balas Jazlan mulai frustasi.

Ya Tuhan, putranya masih sangat kecil jika ia harus kehilangan ibu kandungnya.

"Mama, udah cek seluruh riwayat kesehatan keluarganya Aretha dan keluarga Mama. Hanya dua orang yang golongan darahnya cocok yakni Kakek Aretha atau Ayahnya Mama dan.." Loreynzza menggantungkan ucapannya.

"Dan siapa ma?" tanya Jazlan tidak sabaran.

Mata Loreynzza melirik kearah samping Jazlan tepat kearah Heavenhell. Kaki wanita paruh baya itupun melangkah ke arah Heavenhell.

"Ave, tolong donorkan ginjal kamu ke Aretha. Golongan darah kalian sama dan berpeluang berhasil. Kakek udah nggak ada. Kamu satu-satunya harapan kami," kata Loreynzza memegang kedua bahu Heavenhell.

"Ma, apa yang kamu katakan. Kamu udah gila?" seru seorang pria paruh baya dari arah belakang Loreynzza.

"Mas, ini yang terbaik. Aku nggak mau kehilangan Aretha," balas Loreynzza pada suaminya, Valdrin Alagar.

"Dengan mengorbankan anak kandung kamu, hah? Sebenarnya apa yang dipikiran kamu. Heavenhell anak kandung kamu, hidup dengan satu ginjal itu nggak mudah," balas Valdrin yang tidak habis pikir dengan jalan pikiran Loreynzza. Ia saja yang hanya Ayah tiri Heavenhell tidak akan tega melakukan itu.

"Aku tau tapi bayi Aretha, Melody, dan Jazlan butuh Aretha. Kamu nggak bisa tutup mata akan fakta itu dong."

"Jazlan kan udah bilang kalau dia bakal usaha cari ginjal buat Aretha. Jadi yaudah tunggu dan ikhtiar. Tidak seperti ini. Ingat Aretha cuman keponakan kamu yang kamu angkat jadi anak. Jadi jangan berlebihan."

"Maka dari itu aku nggak mau kehilangan dia, aku udah cukup kehilangan adik aku, Mas," teriak Loreynzza.

Tes!

Airmata jatuh dari kedua mata Heavenhell dan membentuk sebuah anak sungai kecil dikedua pipinya. Perkataan-perkataan Loreynzza sukses merobek-robek hatinya. Apakah setidak berharganya ia dimata Mamanya itu sehingga ia rela mengorbankan anak kandungnya demi Aretha? Apakah tidak sedikitpun Loreynzza memikirkan dirinya? Apakah Loreynzza akan menangis jika ia yang berada disana?

"Kamu mau kan, Ave?" tanya Loreynzza melemparkan tatapan mengancam kearah Heavenhell.

Tangan Heavenhell meremas erat ujung bajunya, merasa bimbang untuk menjawab. Sorot mata tajam Ibunya sudah memberikan clue padanya untuk menyetujuinya.

Tapi ia kemungkinan sedang hamil sekarang, hasil dari kecelakaan yang terjadi satu bulan lalu ketika Jazlan yang mungkin sedang bergairah namun tidak bisa melampiaskannya pada Aretha sehingga memilih dirinya. Walaupun setelah itu ia ditinggalkan bak pelacur habis pakai.

"Maaf, ma. Aku nggak bisa," jawab Heavenhell pelan membuat Loreynzza melemparkan tatapan tajam kearahnya.

"Denger kan, Ma. Heavenhell aja nggak mau, jadi stop bertingkah berlebihan seperti ini," celetuk Valdrin.

"Cih, itu nggak penting. Jazlan udah tandatangan surat persetujuan transplantasi dan Heavenhell juga."

Heavenhell sontak menatap Jazlan dengan pandangan nanar. Jadi karena ini suaminya itu baik padanya hari ini sebab dia berhasil menandatangani sebuah dokumen yang ia kira hanyalah dokumen biasa. Harusnya ia curiga dengan tingkah tidak biasa Jazlan padanya hari ini, tapi ketulusan cintanya menampik perasaan itu.

"Lan," panggil Heavenhell pelan pada Jazlan yang memalingkan wajahnya.

"Apa itu semua benar, Lan?" tanya Valdrin.

Jazlan menutup matanya sejenak sebelum mengangguk. "Aku sama anak-anak butuh Aretha, Pa. Dan ini jalan terakhir yang bakal aku tempuh demi kebahagiaan kami."

Deg!

Jantung Heavenhell seperti terjun bebas ketika mendengarkan kalimat Jazlan. Nyawanya serasa direnggut paksa saat mengetahui Jazlan lebih memilih menyelamatkan Aretha dengan mengorbankan dirinya.

Apa ini harga yang harus ia bayar demi menebus kesalahannya pada Jazlan? Tapi bagaimana dengan bayi mereka yang kemungkinan masih sebesar stroberi di rahimnya.

"Denger kan? Sekarang kamu harus ikut sama Mama. Kamu harus menjalani serangkaian medical checkup untuk proses transplantasi ginjal. Waktu Aretha nggak banyak." Loreynzza berusaha menggapai lengan tangan Heavenhell namun wanita itu menolak dengan mundur kebelakang.

"Aku nggak mau," balas Heavenhell sebelum berlari meninggalkan mereka. Ia harus menyelamatkan dirinya dan bayinya. Sekali ini saja ia akan bertingkah egois lagi bukan demi Jazlan tapi demi dirinya sendiri dan kebahagiaannya.

"Heavenhell mau kemana kamu hah? Jazlan tangkap dia. Jangan diam doang," seru Loreynzza.

Jazlan memberikan kode kepada anak buahnya untuk mengejar Heavenhell. Beberapa dari mereka termasuk Jazlan dan Loreynzza mengikuti langkah Heavenhell yang sangat cepat di depannya.

Titik Akhir 2

Langkah kaki Heavenhell terhenti didepan pintu lift yang tertutup. Ia sudah menekan tombol untuk membuka namun pintu lift tidak kunjung terbuka.

"Heavenhell Solene berhenti sekarang," teriak Loreynzza membuat Heavenhell semakin panik. Dengan cepat ia berjalan kearah sebuah pintu yang ternyata mengarahkannya ke sebuah rooftop rumah sakit.

Heavenhell ingin mundur namun langkah kaki anak buah Jazlan semakin dekat sehingga tidak ada pilihan lain. Heavenhell menutup pintu tersebut lalu menguncinya dari luar.

Angin berhembus dengan kencang menerbangkan rambut Heavenhell. Wanita itu memilih bersembunyi dibelakang toren air besar yang berada tidak jauh dari tempatnya berdiri.

"Kita akan selamat, nak. Mama janji kita bakal bahagia. Ada atau tidaknya papa kamu, kamu bakal tetap disayang. Jadi baik-baik yah, walaupun Mama nggak tau kamu beneran tumbuh di rahim Mama atau tidak."

Heavenhell mengusap perut ratanya dengan sayang. Airmatanya jatuh tanpa bisa ia cegah. Hari ini memang penuh kejutan kan? Garis dua testpack dan transplantasi ginjal.

Heavenhell memilih duduk menyandarkan dirinya pada dinding Rooftop rumah sakit yang sudah berlumut. Ia menghela nafas lalu menghembuskannya untuk mengurangi rasa sesak didadanya. Kalimat-kalimat Mamanya dan Jazlan berseliweran dikepalanya membuat rasa sesak didadanya semakin menggerogoti relung hatinya yang mengirimkan perasaan sakit hati yang luar biasa.

Apa yang ia dapatkan jika ia memberikan ginjalnya pada Aretha? Kesengsaraan berkepanjangan? Jika ia melakukannya maka kemungkinan terbesarnya janinnya akan di aborsi lagi lalu semakin kecil ia memiliki anak miliknya sendiri. Lalu setelah itu Aretha akan tetap hidup sehat dan bahagia bersama Jazlan dan anak-anak mereka.

Sementara dirinya hanya akan dibuang bak sampah tak berguna dan tak diharapkan. Tidak akan bohong, jika ia masih menyimpan perasaan iri terhadap kebahagiaan Aretha. Walaupun ia berusaha menekannya tapi perasaan itu selalu muncul dengan sendirinya. Tidak ada wanita yang mau dimadu kan?

"Disini kamu, Heavenhell."

Tubuh sang pemilik nama tersentak kaget.

Perlahan ia membuka mata hazelnya dan mendapati Jazlan berdiri menjulang di depannya. Raut wajah suaminya itu dingin seperti biasa dengan tangannya yang bersedekap dada.

"Ale, tolong. Aku nggak mau," mohon Heavenhell.

Jazlan membuang muka lalu menghela nafas sejenak. "Ave, gue minta kerjasamanya. Gue cuman butuh salah satu ginjal lo buat Aretha. Itu aja, banyak kok orang yang bisa hidup dengan satu ginjal."

Heavenhell menggelengkan kepalanya. "Aku nggak mau, Lan."

"Kenapa? Kenapa lo nggak mau? Aretha itu sepupu lo atau adek angkat lo. Dia sekarang lagi sekarat, bahkan dia rela nahan rasa sakit saat dia ngandung anak gue. Sesuatu yang nggak akan pernah bisa lo kasih ke gue atau lebih tepatnya lo rampas dari gue."

Deg!

Tatapan dingin Jazlan serasa menghunus jantungnya dan meruntuhkan kepercayaan dirinya. Apakah ini akhirnya? Tidak peduli seberapa banyak Heavenhell bersujud kepada Tuhan atau meminta maaf, Jazlan tetap akan memilih untuk mencari kebahagiaan dan tidak ada dirinya di dalamnya.

"Lan, do you love me?" cicit Heavenhell dengan penuh harap. Tidak! Heavenhell tidak menanyakan itu untuk dirinya namun untuk janin yang kemungkinan sedang tumbuh dirahimnya.

"Nope."

Pupus sudah harapan Heavenhell, keyakinan dan harapannya sudah hancur lebur. Rasa sakit yang ditimbulkan serasa merobek paru-parunya sehingga ia merasa sesak. Cengkeraman Heavenhell pada perutnya mengerat ketika perutnya terasa kram. Dan sesuatu mengalir dari pahanya.

"Disini kamu Heavenhell. Dasar anak tidak tau untung, Mama cuman minta satu ginjal kamu aja. Itu nggak sebanding sama apa yang udah dilakuin sama Aretha untuk suami kamu," seloroh Loreynzza dengan tatapan tajam kepada Heavenhell yang sedang duduk bersandar pada tembok berlumut rooftop rumah sakit.

"Mama," cicit Heavenhell ketakutan tatkala melihat Loreynzza berjalan kearahnya dengan marah namun ditahan oleh Valdrin.

"Loreynzza, jangan gila kamu. Dia anak kamu, anak kandung kamu. Darah daging kamu, kamu nggak bisa ngorbanin dia seolah dia itu sapi ternak yang nggak berharga dan bisa disembelih kapanpun kamu mau. Kalau dia nggak mau yaudah, itu tubuh dia jadi dia berhak nentuin keputusan dia," bentak Valdrin mencekal tangan Loreynzza.

Demi tuhan, ia sangat kasihan dengan putri tirinya tersebut. Walaupun mereka tidak terikat darah namun itu tidaklah penting. Baginya Heavenhell bak anak kandungnya sendiri. Ikatan kekeluargaan tidaklah harus karena terikat darah namun cinta.

Heavenhell akan selalu menjadi seorang gadis kecil yang bersedia membagi cinta ibunya untuknya.

"Nggak usah belain dia, dia cuman anak tiri kamu."

Plak!!

Tamparan keras menghantam wajah Loreynzza.

Valdrin melemparkan tatapan tajam ke arah sang istri yang sudah kelewatan. Kata-kata yang sangat tidak ia sukai.

"Diem kamu, Loreynzza."

Wanita paruh baya itu memegang pipinya yang memar karena ditampar oleh suaminya sendiri. Selama mereka menikah baru kali ini Valdrin menamparnya. Biasanya mentok-mentok hanya memarahinya saja.

Jazlan dan Heavenhell juga tak kalah terkejut dengan apa yang terjadi. Valdrin yang terkenal dengan sikap tenang dan bijaksananya baru saja menampar istri tercintanya. Loreynzza terlihat terkejut sejenak lalu senyum sinis terbit dibibirnya.

"Oh, oke." Tanpa banyak bicara, Loreynzza berjalan kearah Heavenhell dan menyeretnya untuk segera berdiri. Tidak memperdulikan pemberontakan dari Heavenhell.

"Mama, aku nggak mau Ma. Tolong, sekali ini aja. Aku anak Mama kan?" seru Heavenhell memberontak dalam genggaman tangan Loreynzza. Hari ini mentalnya sangat disiksa habis-habisan membuat ia seperti tak memiliki kekuatan.

"Ya, kamu anak Mama. Tapi letak kebahagiaan Mama ada sama Aretha. Begitupun Lan dan semua orang. Ayah tiri kamu mungkin membela kamu tapi dia akan mengerti saat ngeliat Aretha dan Jazlan berbahagia. Bukankah kamu udah egois selama ini dan menyebabkan bencana," jelas Loreynzza dingin.

Ia sudah muak dengan semua ini, wajah kesakitan Aretha dan ekspresi sedih Melody membuatnya gelap mata.

"Ma, tolong. Hiks.. Sekali ini aja.. Ma.. Tolong.. Sakit," raung Heavenhell kesakitan saat Loreynzza menarik paksa dirinya.

Valdrin yang melihatnya merasa tidak sanggup melihat Heavenhell memohon seperti itu. Ia seperti ikut merasakan perasaan sesak yang dirasakan Heavenhell.

"Loreynzza, berhenti!" seru Valdrin berusaha melepaskan cekalan tangan sang istri namun ditahan oleh Jazlan.

"Pah, jangan."

Valdrin melemparkan tatapan tajam kearah Jazlan yang menghalangi langkahnya. "Apa maksudnya ini, Lan. Heavenhell itu istri kamu."

Jazlan menganggukkan kepalanya. "Begitupun Aretha. Anak aku butuh dia begitupun aku."

"Trus gimana sama Heavenhell," tanya Valdrin tidak habis pikir.

Jazlan melirik sejenak kearah Heavenhell yang sedang berusaha memberontak dari genggaman tangan Loreynzza. "Kehadiran dia nggak berarti dalam hidup aku. Jadi nggak ada bedanya kalau dia ada atau enggak ada," jawab Jazlan dingin.

Perkataan itu sekali lagi memukul telak relung hati Heavenhell. Tubuhnya yang tadinya sibuk memberontak seketika melemas. Jadi seperti itu yah posisi Heavenhell di hati Jazlan pantas saja ia tidak dia dihargai selama ini. Rasanya Heavenhell ingin tertawa keras sekarang air matanya sudah habis untuk menangisi hidupnya yang malang. Kehadirannya tidak berarti bagi siapapun entah itu untuk ibunya, ayah kandungnya, suaminya, lalu siapa lagi. Entahlah, Heavenhell sudah tidak ingin tahu.

"Kamu denger itu kan? Jadi ayo cepetan jangan banyak drama kamu," kata Loreynzza tidak sabaran seraya menarik tangan Heavenhell agar berdiri.

Putrinya itu terlihat tidak memberontak lagi seperti tadi, ia berdiri dengan sukarela dan membuat Loreynzza tersenyum senang karena tidak lama Aretha lagi akan sembuh dan bisa berbahagia. Setidaknya itu yang dipikirkan Loreynzza sebelum Heavenhell tiba-tiba melepaskan cekalan tangannya dan kabur.

"Heavenhell, mau kemana kamu sialan!" seru Loreynzza mengejar Heavenhell yang berlari.

Valdrin berinisiatif untuk menghalangi Loreynzza namun Jazlan sudah terlebih dulu memerintahkan anak buahnya untuk mencekal pergerakan Valdrin. Ia pun menyusul Loreynzza yang mengejar Heavenhell.

......................

Langkah kaki Heavenhell berhenti di tepi bangunan rumah sakit. Angin kencang menerbangkan rambut panjangnya serta bajunya yang berkibar mengikuti arah angin. Nafasnya tersengal karena berlari belum lagi perutnya yang terasa sangat kram.

Celana hitam yang ia gunakan menyamarkan noda merah darah yang keluar dari pangkal pahanya. Tidak usah menebak, Heavenhell tahu jika ia kemungkinan keguguran lagi karena tekanan batin yang kuat.

"Mau kemana kamu, anak sialan," kata Loreynzza melangkah mendekat kearah Heavenhell yang berdiri diujung bangunan.

Heavenhell berbalik menatap kearah Loreynzza lalu matanya menangkap siluet anak dan Ibu yang tersenyum dibawah sana. Mereka berdua nampak bahagia dan tersenyum lepas dibawah sana.

Mengingatkannya pada masa lalu ketika ia dan ibunya masih mesra tidak seperti sekarang.

"Ma, apa Mama masih sayang sama aku setelah menikah dengan om Valdrin?" tanya Heavenhell tidak melepaskan pandangannya dari penampakan tadi.

"Maksudnya?"

Heavenhell mengalihkan pandangannya kearah Loreynzza yang berdiri di depannya. Sekilas Heavenhell bisa melihat siluet wajah lelah namun senang Loreynzza ketika ia baru saja pulang kerja, sebelum ia menikah dengan Valdrin. Yang dimana hanya ia dan Ibunya. Bayangan ia berlari kearah ibunya karena merindukannya seharian berputar dibenak Heavenhell.

Memori yang sangat berharga baginya, dulunya ia selalu berpikir ia hanya perlu Loreynzza didalam hidupnya setelah Ayah kandungnya menelantarkan mereka. Namun rupanya Loreynzza tidak menginginkan hal yang sama. Selalu hanya dirinya yang berharap disini.

"Mama, aku seneng Mama akhirnya bisa mendapatkan kesempatan kedua untuk bahagia walau aku nggak termasuk di dalamnya. Mama akhirnya punya keluarga yang selalu Mama idam-idamkan, suami baik seperti Om Valdrin dan Putra cerdas seperti Adhvan. Trus ada Aretha yang selalu mengerti Mama. Aku bahagia ngeliat Mama saat pertama kali meluk Adhvan yang baru lahir. Akhirnya kehidupan bisa memperlakukan Mama dengan baik. Aku bahagia banget walau setelah itu Mama mengabaikan aku, tapi nggak apa-apa. Bahkan saat Mama mutusin buat aku tinggal sama Nenek sama Kakek di desa aja, aku juga nggak apa-apa. Karena aku tau Mama mau membangun hidup baru tanpa ada bayangan masa lalu yang mengikuti Mama. Aku sayang sama Mama karena hanya Mama yang aku punya didunia ini."

Heavenhell mengepalkan kedua tangannya ketika mengatakan hal tersebut. Semua hal yang ia rasakan dan ia pendam selama ini akhirnya bisa ia keluarkan. Rasa sakitnya masih sama dan akan selalu sama. Waktu tidak akan bisa menyembuhkannya dan tidak akan pernah.

Kesakitan ini akan terus menjeratnya hingga mati.

"Om Valdrin, makasih karena selalu belain aku dan selalu berusaha memberikan figur Ayah buat aku. Bukannya aku nggak bersyukur atau apanya, aku cuman merasa nggak pantes dengan semua ini. Aku hanya anak bawaan dari wanita yang om cintai. Tidak ada kewajiban untuk Om melakukan itu semua. Cukup Om bahagiain Mama sama Adhvan itu udah cukup untuk aku."

"Ave, jangan bilang gitu. Papa sayang sama kamu, mau kamu itu anak kandung Papa atau bukan tapi Papa tetep sayang sama kamu, sama besarnya dengan Papa sayang sama Adhvan. Kamu pantes nak, sangat pantas."

Tangisan Heavenhell tidak terbendung ketika Valdrin memanggilnya dengan sebutan, "nak". Tidak ada yang pernah memanggilnya seperti itu sebelumnya. Bahkan ibunya.

"Makasih, Papa," balas Heavenhell.

Wajahnya sudah memucat karena darah yang keluar dari pangkal pahanya semakin banyak dan merembes di kakinya. Nafasnya bahkan sudah tercekat saking sesaknya atmosfer disekitarnya sekarang.

"Ave, kaki kamu," tunjuk Valdrin pada pergelangan kaki Heavenhell yang bersimpah darah. Matanya membelalak ketika ia mengikuti sumber aliran darah tersebut.

"Ave, kamu.." kata Valdrin tidak percaya.

Heavenhell mengangguk. "Aku keguguran lagi, tadi pagi aku tes kehamilan pake tespack dan hasilnya positif. Aku mau bilang sama Lan tapi dia lagi sibuk."

Jazlan merasakan tubuhnya seperti disiram air dingin. Matanya melirik kearah pergelangan kaki Heavenhell lalu kearah wajahnya. Kenyataan Heavenhell hamil membuatnya sangat terkejut luar biasa. Bagaimana bisa? Bukannya ia tidak pernah menyentuh Heavenhell dan tidak mungkin juga istrinya itu berselingkuh karena ia tahu betul tabiatnya.

"Kamu hamil? Bagaimana bisa? Lan kan lebih banyak menghabiskan waktu dengan Aretha, Mama sendiri yang liat," kata Loreynzza heran. Diam-diam ia merasa ngeri dengan darah yang mengalir pada kedua kaki Heavenhell. Rasa takut mulai menjalari relung hatinya, untuk pertama kalinya ia merasakan perasaan ini. Wajah kuyuh dan pucat Heavenhell membuat nafasnya sesak ditambah pernyataan yang keluar dari mulut putrinya tadi.

Putrinya yang dulunya sangat kecil dan tersenyum kearahnya dan selalu menemaninya di kala suka dan duka. Dan sekarang putrinya itu tengah berdiri didepannya dengan penampilan yang sangat memprihatinkan.

Sudah berapa banyak waktu yang habiskan tanpa melihat perkembangannya dan bagaimana hidup memperlakukan putri satu-satunya ini. Dan kapan terakhir kali ia memperhatikannya. Entahlah, rasanya sudah sangat lama karena Loreynzza seolah tidak melihat rupa putri kecilnya yang dulunya sangat ia cintai.

"Ini anak aku, Ma. Hanya anak aku tapi sekali lagi dia udah pergi, mungkin dia nggak mau punya ibu seperti aku makanya dia pergi."

"Ave.." ujar Jazlan dengan nada suara yang melembut.

Tidak ada lagi suara dingin dan raut muka datar yang ia tampilkan. Hal itu membuat Heavenhell semakin sesak karena ia seperti melihat wajah Jazlan yang dulunya sangat mencintainya. Mengapa waktu baik selalu datang saat terakhir.

Heavenhell menatap Jazlan dengan senyum tipis dibibirnya. "Lan, mari tidak bertemu di kehidupan manapun."

Dan kemudian, tanpa ragu, ia melangkah satu langkah terakhir. Dunia yang dingin dan keras akhirnya menjadi sunyi.

Angin menerpa lebih kencang, seakan menggiringnya menuju akhir yang ia cari.

Pandangannya mengabur oleh air mata, tetapi ia tidak peduli. Jazlan berteriak, berlari, mencoba meraih tangannya. Tapi semuanya terlambat. Tubuh Heavenhell melayang di udara, seolah terbebas dari segala beban dunia.

Saat ia jatuh, angin terasa hangat di kulitnya, seperti pelukan yang ia dambakan. Dalam detik-detik terakhir, ia membayangkan bayi kecil itu tersenyum padanya, di tempat yang lebih baik, di mana rasa sakit tidak lagi ada.

"Ayo kita pergi sayang, Mama akan mengikuti kamu kemanapun," bisik Heavenhell menatap langit yang tiba-tiba saja berubah menjadi gelap gulita lalu sedetik kemudian pandangannya menghitam.

Di bawah sana, desas desus orang-orang terdengar beberapa menit kemudian. Namun, di atas sana, hanya tersisa hujan dan langit kelabu yang menyaksikan kepergiannya.

Titik Awal Mulai

Jarum pada jam dinding terasa berputar dengan cepat disertai angin yang berhembus dengan kencang. Diruangan yang hanya diterangi lampu kecil menampakkan pemandangan Heavenhell yang terduduk dengan pandangan kosong.

Beberapa menit lalu atau beberapa jam lalu ia terbangun dengan nafas tersengal dan keringat dingin membasahi tubuhnya. Jadi yang tadi itu hanya mimpi buruk belaka atau mungkin kilasan masa depannya yang tragis. Matanya jelalatan menjelajahi ruangan tempatnya terbangun. Bukan kamar rumah sakit yang dipenuhi alat medis dan bernuansa putih, setidaknya itu yang dipikirkan Heavenhell. Namun ia terbangun di sebuah kamar kos yang berukuran tidak besar.

Kalau tidak salah, ini adalah kamar kos yang ia sewa setelah kakeknya meninggal dan tantenya hanya mau merawat neneknya saja. Sehingga dirinya mengalah dan memutuskan untuk kembali kepada Ibunya. Namun karena ia merasa dikucilkan di rumah baru sang Ibu makanya ia memilih menyewa kamar kos kecil ini dengan menggunakan uang yang diberikan neneknya. Sangat miris sekali.

Heavenhell menghela nafasnya yang terasa berat, tangannya terjulur mengusap perutnya. Sesaat lalu ada janin disini yang ia sangat cintai, namun sekarang tidak ada karena itu hanyalah di mimpinya.

Tokk...

Tokk....

Lamunan Heavenhell buyar ketika suara pintu kamar kostnya tiba-tiba diketuk. Kalau ia tidak salah itu pasti Valdrin yang mengajaknya untuk pulang kembali, ayah tirinya itu datang bersama Adhvan alias adik saudara seibunya. Perasaan Heavenhell terasa berdebar dan perutnya terasa mulas, ia rasanya ingin menangis ketika mengingat bagaimana tulusnya Valdrin memperlakukannya selama ini. Tidak ada yang berubah, semuanya tetap sama.

Ceklek...

Heavenhell membuka pintu kamar kostnya dan mendapati Valdrin yang berdiri didepannya dengan setelan jasnya dan Adhvan yang masih berusia 10 tahun disampingnya.

"Boleh papa masuk?" tanya Valdrin lembut.

Heavenhell melirik sejenak kedalam kamar kostnya yang masih sangat kosong melompong dan hanya ada tas besar berisi baju-bajunya disudut ruangan. Ia hanya tidur beralaskan karpet tipis yang dipinjamkan ibu kosnya sebab kasihan melihatnya hanya membawa sebuah tas besar saja.

"Boleh," jawab Heavenhell menggeser tubuhnya agar kedua pria berbeda usia itu bisa masuk kedalam kamar kostnya yang sederhana.

Valdrin mengedarkan pandangannya ke arah kamar kostnya milik Heavenhell. Ia menghela nafas berat ketika melihat kondisinya yang sangat err.. memprihatinkan. Ruangan ini bahkan tidak sebesar kamar mandi yang ada di rumahnya. Kamar pembantunya mungkin lebih besar dibandingnya. Bagaimana bisa Heavenhell yang dianggapnya seperti putri kandungnya ini tinggal disini. Tidak akan ia biarkan.

"Papa kesini buat jemput kamu untuk pulang, Papa udah bicara sama Mama kamu."

Heavenhell menatap Valdrin, kalimat yang dilontarkannya sama persis dengan yang diingatnya. Apa ia benar-benar memutar waktu karena ia merasa dejavu. Sangat dejavu. Apa ini? Kenapa ini bisa terjadi di dunia nyata ini? Apa sekarang ia juga sedang bermimpi? Mungkin saja ini proses menuju keabadian yakni Tuhan memberikan sebuah mimpi yang merupakan refleksi kehidupan yang pernah dilalui.

"Adhvan, ambil tas kakak kamu dan bawa ke mobil," titah Valdrin kepada putranya. Dan tanpa babibu lelaki kecil itu berjalan kearah tas besar yang berada disudut ruangan dan menggendongnya.

Heavenhell hanya bisa terdiam menyaksikannya karena merasa dejavu lagi. Jadi ia kembali ke titik awal lagi, ke titik dimana semuanya berawal.

Setelah ini ia akan kembali ke rumah dan disambut dengan pemandangan Loreynzza dan Aretha yang sedang berkebun bersama. Ibunya itu hanya menatapnya sekilas lalu acuh tak acuh dan kembali berkebun bersama Aretha. Lalu hari-hari yang menyesakkan dadanya akan dimulai lagi. Yang dimana Loreynzza hanya peduli pada Adhvan dan Aretha. Sementara dirinya terlihat transparan didepan Ibunya, hanya Valdrin yang memperhatikannya itupun jika beliau tidak sibuk. Ingatan-ingatan itu tanpa sadar membuat tubuh Heavenhell gemetar. Tidak! Ia tidak ingin merasakan perasaan itu lagi. Kalaupun benar ia mendapatkan kesempatan kedua untuk hidup lagi maka ia tidak mau hidup seperti ini lagi. Ia tidak boleh menyia-nyiakan kesempatan ini.

"Adhvan, stop. Nggak usah," cegat Heavenhell menghalangi tubuh Adhvan yang hendak keluar dari kamar kostnya. Pria kecil itu nampak merengut kesal, bukan karena adiknya ini membencinya. Tidak seperti ibunya yang nampak tidak suka padanya. Adhvan lebih bersahabat karena Valdrin selalu menjelaskan padanya jika ia punya kakak perempuan yang tengah tinggal dengan kakek dan neneknya di desa. Setiap tahun mereka sering bertemu karena Valdrin selalu bersilahturahmi ke rumah kakek dan neneknya di desa membawa Adhvan. Sesekali Loreynzza juga ikut jika Aretha sedang tidak ingin mudik kerumah ibu kandungnya yang berada diluar pulau.

"Apa-apaan ini, Heavenhell. Kamu pikir papa bakal biarin kamu tinggal di kamar suram ini. Kamu harus pulang ke rumah, Titik. Nggak usah takut sama Mama kamu."

Heavenhell menggeleng. "Nggak usah, Pa."

Mata Valdrin membelalak dan perasaannya bergemuruh ketika mendengar Heavenhell memanggilnya dengan sebutan "Papa". Sebutan yang ia kira tidak akan pernah ia dengar dari bibir Heavenhell. Tumbuh tanpa seorang figur ayah sejak usia 1 tahun hingga usia 7 tahun, membuat Heavenhell tidak pernah menyebut panggilan tersebut karena di dunianya hanya ada kata "Mama". Sehingga Valdrin maklum jika Heavenhell hanya memanggilnya dengan sebutan " Om" karena Loreynzza juga tidak pernah mengajarinya untuk memanggilnya dengan kata "Papa". Istrinya itu hanya menyuruh Aretha memanggilnya demikian.

"Ave, kamu..." kata Valdrin dengan nada serak dan mata yang berkaca-kaca.

Heavenhell menganggukkan kepalanya pelan. "Maaf, Heavenhell baru punya keberanian sekarang buat manggil "Papa", mungkin aku telat 10 tahun tapi itu lebih baik daripada enggak sama sekali."

Valdrin mengusap airmatanya lalu berjalan kearah Heavenhell dan memeluknya dengan erat serta Adhvan juga. Seperti inilah keluarga yang diinginkan Valdrin minus istrinya saja. Selama ini hatinya tidak tenang karena memikirkan Heavenhell yang mungkin merasa sendirian diluar sana tanpa bimbingan kedua orang tuanya. Kehidupan terlalu kejam pada gadis ini yang sedari kecil tidak mengenal Ayah kandungnya. Bagaimana bisa Loreynzza mengabaikan putrinya ini dan lebih mementingkan keponakannya yang masih memiliki ibu kandungnya. Istrinya itu lebih memilih menjadi pahlawan untuk anak orang lain dan menjadi penjahat untuk anak kandungnya sendiri.

"Kita pulang yah?" bisik Valdrin.

Heavenhell menggeleng pelan. "Nggak usah, Pa. Aku disini aja, Mama nggak nyaman aku disana. Makanya aku pindah kesini, ini cukup kok buat aku tinggal sendiri."

"Cukup apanya, ruangan ini bahkan nggak ada kasurnya, nggak ada Ac, nggak ada dapurnya, ruang tamunya juga. Kamar mandinya juga diluar dan cuman ada tiga. Gimana bisa kamu hidup semiskin ini?" oceh Valdrin meroasting kamar kostnya. Heavenhell berdoa dalam hati agar ibu kostnya tidak lewat dan mendengarkan perkataan Valdrin barusan.

"Nggak apa-apa, nanti aku kerja sampingan lagi buat ngisi kamar ini."

Valdrin menggelengkan kepalanya. "Papa, nggak setuju. Kamu itu masih 17 tahun, kerja kamu yah belajar dan belajar. Ngapain kerja kek gitu, jangan kayak orang susah."

Adhvan menganggukkan kepalanya. "Kakak pulang aja, nanti aku suruh Aretha buat minggat dan balik ke habitatnya kalau itu yang buat kakak nggak enak."

Sudut bibir Heavenhell terasa berkedut ingin ngakak tapi ia tahan. Raut wajah julid Adhvan sangat lucu di matanya, ia sedikit tahu jika adiknya ini tidak suka dengan kehadiran Aretha yang mengambil perhatian ibunya. Apalagi dulu keluarga dari pihak ibu Aretha seolah tutup mata dengan keadaan Aretha pasca omnya wafat karena kecelakaan pesawat.

"Aku disini aja, Pa. Ini demi ketentraman kalian juga. Aku nggak mau suasana rumah jadi nggak nyaman karena kehadiran aku."

Valdrin berkacak pinggang sambil berdecak lidah. Kalau seperti ini ia merasa sedang menghadapi Loreynzza versi muda, sangat keras kepala dan susah untuk diluluhkan. Kost yang ditempati Heavenhell merupakan kost campuran, dilantai bawah tadi ia menjumpai ada beberapa lelaki yang sedang merokok dengan hanya bertelanjang dada. Sangat tidak ramah untuk putrinya ini.

"Gini aja, kalau kamu emang nggak mau balik ke rumah. Ok, nggak apa-apa. Tapi kamu mau kan tinggal di apartemen?" tanya Valdrin berusaha mencari jalan tengah. Tidak ada gunanya ia memaksa Heavenhell kembali ke rumah. Jangan sampai putrinya ini malah tertekan karena melihat kemesraan antara Loreynzza dan Aretha. Ia saja sudah cukup sakit mata menyaksikan drama bawang bombay antara Tante dan Keponakan itu.

"Apartemen?" tanya Heavenhell.

Valdrin mengangguk. "Sebelum nikah sama mama kamu, papa tinggal di sebuah apartemen di pusat kota. Kamu bisa tinggal disana dibanding kost murah ini. Seenggaknya disana lebih ekslusif dan perabotannya lebih lengkap dan privasinya terjamin," jelas Valdrin.

Heavenhell berpikir sejenak untuk menimang-nimang penawaran dari Valdrin. Di kehidupan lalunya, Valdrin tidak menawarinya hal ini karena ia yang setuju untuk pulang ke rumah dan memperkeruh suasana. Apakah kali ini ia menerimanya saja? Toh Valdrin kan sudah legal jadi ayah sambungnya. Daripada ia susah susah tinggal di tempat ini mending ia tinggal di apartemen kan? Pasti tempat itu tidak hanya sekedar apartemen namun mungkin sebuah penthouse karena Valdrin itu orang kaya.

"B-boleh deh, pa," jawab Heavenhell malu-malu.

Valdrin dan Adhvan menghela nafas lega, setidaknya Heavenhell tidak harus struggle di ruangan sumpek ini. Sementara mereka hidup dengan nyaman di sebuah mansion besar nan mewah.

......................

Heavenhell tidak dapat menahan rasa kagumnya ketika memandangi interior apartemen yang diberikan Valdrin padanya. Ini bukan apartemen lagi namanya karena saking mewahnya. Mungkin sebutan penthouse lebih cocok disematkan untuk tempat ini. Sial, bagaimana bisa ia melewatkan tinggal ditempat ini di kehidupan dulunya.

Harusnya ia gas saja ketika Valdrin menawarkannya bukannya bertingkah malu-malu kucing.

"Kamu suka?" tanya Valdrin meletakkan tas besar Heavenhell diatas sofa sementara Adhvan sibuk bermain game di ponselnya.

"Bagus banget pah," jawab Heavenhell yang masih takjub dengan interior apartemen itu.

"Kalau kamu mau ada yang dirubah bilang aja yah, Papa dulu jarang nginep disini. Jadi interiornya yah gitu-gitu aja," timpal Valdrin.

Heavenhell menggeleng pelan. "Nggak usah, Pah. Gini aja udah cukup."

Valdrin menghela nafas lega, perlahan ia meraih dompetnya lalu membukanya dan menyodorkan sebuah kartu debit kearah Heavenhell.

"Ini buat kamu, pake ini kalau kamu mau belanja apapun itu. Setiap bulan Papa bakal transfer uang saku kamu kesini atau kalau misalnya uangnya habis kamu bisa telfon Papa."

Heavenhell membulatkan matanya ketika menatap kartu yang disodorkan Valdrin. Dari tampilannya saja ia sudah tahu kalau kartu itu hanya dimiliki oleh nasabah prioritas. Kalau tidak salah Valdrin pernah memberikannya dulu namun ia tolak dan malah berakhir di tangan Aretha. Dan sekarang ia akan menerimanya dengan senang hati. Pokoknya di kehidupan kali ini, ia akan menikmati semua bentuk perhatian Valdrin padanya. Tidak ada Heavenhell yang tidak enakan dan merasa kecil hati. Ia harus membunuh sisi lain dirinya itu untuk mendapatkan ending yang bahagia. Kalau bisa ia tidak mau bertemu dengan Jazlan lagi dan Aretha. Walaupun sulit tapi ia akan berusaha demi masa depannya.

"Makasih, Pa."

Senyum lebar terukir di bibir Valdrin ketika Heavenhell menerima kartu debit darinya tanpa adanya perdebatan lagi. Padahal dirinya sudah menyiapkan banyak alasan agar Heavenhell menerimanya. Lagipula ini kewajibannya untuk membiayai Heavenhell dan juga Adhvan.

"Papa udah daftarin kamu ke salah satu SMA swasta terbaik di kota ini. Yah walaupun itu artinya kamu harus satu SMA sama Aretha sih."

Tuh kan sudah ia bilang kalau ia tidak bisa menghindari adik sepupunya itu. Kalau begini ia harus memastikan dirinya tidak terlalu bersinggungan dengannya. Mana Jazlan juga sekolah disana. Baru juga ia bangun dari mimpi buruknya masa langsung dihadapkan dengan mereka berdua. Mau menghindari tapi bagaimana caranya? Pindah sekolah? Bisa aja sih tapi Valdrin tidak akan setuju dan menganggap dirinya tidak suka dekat dengan Aretha walau memang iya sih.

"Nggak apa-apa, Pah. Aku di sana aja sekolahnya. Makasih banget Pah," balas Heavenhell dengan senyum manisnya padahal dalam hatinya ia sibuk mengomel karena harus bertemu dengan duo pasangan bahagia itu tapi yasudahlah, sekolah aja dulu kan.

"Baguslah, nanti Papa bakal sewa satu pembantu yang ngurusin keperluan kamu. Baju-baju kamu juga udah banyak yang lusuh dan ketinggalan jaman. Jadi Papa udah pesenin baju-baju yang baru nanti sore dianterin. Seragam sama perlengkapan sekolah kamu juga lagi disiapin sama asisten Papa. Jadi kamu tinggal belajar dan berangkat sekolah. Papa juga udah nyiapin supir buat nganter kamu ke sekolah atau kemanapun itu," jelas Valdrin panjang lebar membuat Heavenhell tidak percaya jika sedetail itu ayah sambungnya ini mengurus dirinya dibanding ibu kandungnya sendiri. Betapa beruntungnya dirinya.

"Makasih banyak, Papa," kata Heavenhell memeluk Valdrin. Rasa hangat menjalari relung hatinya. Ternyata seperti ini rasanya memiliki seseorang yang peduli dan sayang padanya. Rasanya hangat dan menyenangkan. Dirinya tidak perlu lagi repot-repot untuk ovt untuk memikirkan bagaimana hidupnya kedepannya karena ada Valdrin yang menjadi garda terdepannya. Tuhan sangat baik mengirimkan seorang Valdrin dihidupnya yang penuh dengan duri ini.

"Sama-sama, ini udah kewajiban Papa untuk memberikan hidup yang layak untuk kamu. Karena kamu putri Papa jadi rasa sayang Papa sama kamu sama ratanya, tidak ada yang Papa lebihkan atau kurang," jelas Valdrin dengan lembut. Ia tidak bohong dengan apa yang tadi ia sampaikan karena ia benar-benar tulus menyayangi Heavenhell. Hal yang sangat langka di jaman sekarang karena pasti sebagian orang berpikiran buat apa menyayangi seseorang yang bukan anakmu tapi baginya Heavenhell itu anaknya. Ia sudah berjanji untuk menjaga putrinya didepan ayah mertuanya dulu atau Ayah Loreynzza sebelum menikahi Loreynzza. Dan ia akan menjaga janji itu sampai mati karena jika bukan dirinya siapa lagi yang akan menyayangi Heavenhell. Loreynzza sudah berpaling jauh dari putrinya ini dan lebih memilih melangkah dengan Aretha. Jadi akan ia pastikan Heavenhell mendapatkan kehidupan yang layak seperti seharusnya ia dapatkan.

Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!

Download Novel PDF
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!