Bab 1. Pacar Motamdo (Modal Tampang Doang)
POV Airin
# Semua nama tokoh yang ada di dalam novel ini hanya nama samaran dan bukan sebenarnya. Alamat dan segala tempat kejadian juga bukan sebenarnya. Bila terdapat kesamaan tempat dan nama seseorang maupun ras, itu bukanlah unsur kesengajaan. Karena kisah ini berdasarkan kisah nyata dari nara sumber terpercaya, jadi semua hanya samaran saja. Harap bijak untuk menyikapi dalam berkomentar. Terima kasih 🙏😊
***
"Kamu jadi Rin, pergi sama Lola?"
"Jadi Umi."
"Jangan malam-malam pulangnya ya Rin."
"Ya Umi. Abang pun pesan jangan pulang malam-malam. Lagi pun, Airin hanya pergi makan dekat sini aja kok."
"Ya sudah."
"Titip Ragil dan Selvia ya Umi."
"Iya. Itu di depan ada suara motor Rin. Mungkin Lola yang datang."
"Coba Airin lihat dulu ya, Umi."
Aku pun menuju pintu utama rumah untuk melihat siapa yang datang. Dan benar saja, Lola datang, tetapi dengan pacarnya.
Entah kenapa setiap melihat pacarnya itu hati ku dongkol rasanya. Apalagi sikap tidak peka dan tidak tahu malunya itu membuat aku gregetan karenanya.
"Rin, langsung aja yuk?! Jemin mau cepet. Katanya habis ini dia mau ketemuan sama teman-temannya."
Kata Lola yang terlihat santai dan senang tanpa beban. Terus kenapa dia ikut?!
"Iya, bentar. Aku ambil tas dulu."
Ugh, sebel banget! Siapa juga yang ngajakin dia! Awalnya kan hanya aku dan Lola saja yang pengen makan berdua. Kok dia ikut sih?! Mana tidak ada basa basinya buat nyapa.
Kalau nggak mikirin Lola, ingin ku batalkan saja acara malam ini. Padahal sudah lama aku nggak hang out bareng Lola semenjak aku melahirkan anak ke dua ku dan sibuk mengurusi ke dua buah hatiku itu, Selvia dan Ragil.
Lola adalah sepupu ku satu-satunya di kota ini. Kedua orang tuanya sudah meninggal, dan dia hidup seorang diri di rumah peninggalan orang tuanya. Dan Lola adalah anak tunggal, sama seperti ku. Bedanya aku masih punya Umi walau Ayah sudah lebih dulu menghadap Ilahi.
Lola hanya tamatan SMA dan sudah bekerja di sebuah kafe sebagai pengantar makanan disana. Walau hanya untuk membiayai diri sendiri, dengan gaji yang dia terima itu, masih belum cukup untuk menutupi kebutuhan hidupnya. Dia terkadang masih meminjam uang padaku atau Umi.
Lanjut pada rencana kami. Kami pun pergi ke tempat jualan bakso langganan kami. Suasana nggak ramai. Jadi kami bebas memilih tempat setelah memesan. Lola duduk di samping pacarnya dan aku duduk di depan mereka.
Sebel banget, harus makan lihat muka si sipit itu! Dan lihat aja, malah ngeluarin hapenya tanpa mau menyapa ku.
" Besok kamu buat kue Rin?" Tanya Lola.
Terkadang aku memang menerima pesanan kue, hanya bikin donat rumahan, lepas lah untuk jajan anak-anak.
"Nggak ada pesanan. Kamu besok masuk apa?"
"Aku sore. Yang, besok jadi mau pakai motornya?" Tanya Lola pada Jemin, pacarnya itu.
Jemin mengangguk.
"Motor mu kenapa?" Tanya ku.
"Jemin mau pinjam. Motornya lagi di bengkel." Jawab Lola dengan santainya.
Pantas saja mereka datang dengan motor Lola.
Ku lirik sekilas si Jemin itu. Dia menunduk, mungkin merasa aku melayangkan tatapan maut padanya.
Pesanan kami kemudian datang. Ku lihat Lola sibuk melayani Jemin mengambilkan, jeruk, cabe, kesap, saos dan sendok untuk Jemin. Sedangkan makanannya sendiri di anggurkan.
Enak sekali Jemin! Tanpa rasa bersalah malah menikmati pelayanan yang di berikan Lola. Tapi sudahlah, ku lihat Lola pun terlihat senang. Kami pun makan sambil bercerita.
"Jemin besok mau interview, Rin."
"Oh, kok interview? Emang nggak kerja lagi di tempat kemarin? Kerja apa itu kemarin?"
"Sales motor." Jawab Lola.
"Nah iya."
"Susah disana, harus ada target penjualan baru gajian. Iya kan Yang?"
Orang yang ditanya diam saja, seakan kami ini bukan membicarakan dia. Justru dia malah santai melahap makanan. Benar-benar, huh....!
"Besok Jemin mau interview di Hotel, katanya ada penerimaan karyawan baru disana. Bantu doa biar dia diterima ya Rin."
"Aamiin..."
Ku Amin kan saja permintaan Lola karena kasihan melihatnya yang begitu berharap pacarnya itu mendapatkan pekerjaan yang baru. Tapi jika melihat si Jemin yang tetap santai makan tanpa beban, bahkan sedikit menoleh padaku yang sepupu Lola ini pun tidak, rasanya aku nggak ingin dia di terima kerja seperti yang dia harapankan.
Entah apa yang di lihat Lola dari laki-laki ini. Kalau boleh jujur, hanya kulit putih bersih saja yang dia punya karena dia keturunan Tionghoa. Kalau dia hitam, ku yakin wajahnya itu nggak akan membuat sepupu ku ini sampai sebegitunya menyukai dia.
Makanan dan minuman kami pun habis. Sudah waktunya kami pulang. Karena aku tahu Lola begitu berat menjalani hidup seorang diri, aku pun membayar makananku sendiri. Akan malu lagi kalau aku di bayarkan oleh laki-laki yang sejak tadi ku jelek-jelekkan dalam hatiku.
"Kok kamu bayar sendiri Rin? Biar sekalian aja harusnya." Kata Lola sambil memegang dompetnya.
Kening ku berkerut melihat sepupuku itu memegang dompetnya.
"Dua bakso sama dua es teh manis berapa Pak?"
"Empat puluh ribu, Neng."
"Ini Pak."
Lola memberikan uang yang telah dia ambil dari dalam dompetnya. Loh, kok Lola yang bayar bukan pacarnya?!
Wah, benar-benar...!
Sudah yang keberapa kali ku lihat Lola membayarkan makanan dan minuman dia dan pacarnya saat aku pergi bersama mereka. Atau jangan-jangan, setiap makan dan minum di luar selalu Lola yang bayar kalau mereka hanya berdua saja tanpa aku?
Huh! Pengen ku jambak ususnya!
Aku menatap nggak suka pada si Jemin yang sempat-sempatnya memainkan handphonenya di saat sepupuku Lola yang merupakan pacarnya itu membayarkan makanan mereka. Benar-benar nggak peka dan nggak tahu malu! Dan anehnya, sepupuku begitu tergila-gila padanya. Dasar bucin!
"Rin, bisa pulang sendiri kan? Aku mau antar Jemin dulu ke tempat teman-temannya nongkrong."
Hah? Apa lagi ini?! Lola yang nganterin dia?! Terus Lola di biarkan pulang sendiri?
"Kenapa Jemin nggak naik ojol aja. Apa kamu nggak capek?"
Lihat dia. Pasti dia nggak suka aku ngomong gini sampai-sampai ia menengadahkan mukanya yang nyebelin itu melihat ke arahku.
Ngapain lihat-lihat?! Nggak suka?! Nyadar diri harusnya!
Hanya bisa ngedumel dalam hati. Ugh! Pengen ku bejek-bejek mukanya yang sok ke cakepan padahal mata nggak bisa di buka lebar itu!
"Nggak apa-apa Rin. Deket kok, nggak jauh. Lagian kalau aku yang anterin bisa hemat uang buat bayar ojol kan?" Jawab Lola sembari tersenyum.
Duh, Lola... Kenapa kamu harus punya pacar modelan kayak Jemin sih?! Nggak keluar duit buat bayar makan, bayar ojol pun nggak mau. Terus dia bisanya apa?!
Makin kesini makin dongkol. Sudah lah, mending aku pulang saja.
"Ya sudah kalau begitu. Kamu hati-hati ya pulangnya La."
"Iya. Salam buat Umi ya. Tadi nggak sempet nyapa."
"Iya nanti aku sampaikan. Aku jalan dulu ya La."
"Bye Rin."
Aku pun mengendarai motorku dan berlalu dari hadapan mereka. Pasti kelihatan aku nggak suka sama si Jemin itu. Biarlah, biar dia sadar diri. Jadi laki-laki harus punya tanggung jawab seharusnya. Bukan malah berlindung di balik punggung wanita.
Untung saja Abang bukan modelan kayak si Jemin ini. Kalau iya, akan ku tinggalkan dia.
Sampai di rumah handphone ku berdering. Pas sekali Abang nelpon ketika aku sudah meletakkan tas ku.
"Halo, Assalamualaikum Bang..."
"Waalaikumsalam, Rin. Sudah selesai?"
"Sudah Bang, baru saja."
"Ya sudah. Ragil nangis, sepertinya mau nyusu."
"Iya Bang. Ini dah dekat kok."
"Abang tutup teleponnya ya. Assalamualaikum..."
"Waalaikumsalam..."
Yang menelpon barusan suamiku, namanya Herlan. Meski kadang sedikit protektif, tapi dia bertanggung jawab. Bagiku, rasa protektifnya masih wajar karena, aku tahu itu demi kebaikan diriku sendiri.
Aku lalu mencari Ragil begitu sampai di rumah. Ku susukan dia karena Ragil baru berusia 6 bulan, masih menerima ASI eksklusif dari ku. Sembari membawa Ragil, aku menemui ibuku di kamarnya yang tinggal bareng keluarga kecilku.
"Mi?" Panggilku di depan pintu kamar Umi.
"Ada apa Rin?"
Umi bertanya. Belum menjawab, aku masuk ke kamar Umi, duduk di lantai sembari menyusukan Ragil.
"Mi, tahu nggak? Si Lola bayarin lagi makan pacarnya, Mi." Sadu ku begitu melihat Umi yang sedang merapikan pakaian di lemarinya.
"Ck, si Lola itu! Kok mau-maunya sih di manfaatkan terus?! Cari cowok itu harusnya bisa di andalkan, bukan sebaliknya, kita yang di andalkan dia."
"Itu lah si Lola Mi. Jadi kebiasaan cowoknya, dikit-dikit dibantu, jadi manja. Tadi aja ya, udah makan di bayarin, eh malah nganterin si Jemin itu lagi ngumpul ke tempat teman-temannya."
Jujur saja, kalau sudah bahas Lola dan pacarnya itu, emosi ku pasti meledak-ledak karenanya. Umi ku pun sama, nggak sukanya dengan si Jemin itu. Bagi Umi, Lola sudah di anggap anak sendiri. Jadi perihal yang menyangkut Lola, sedikit banyak Umi pasti ikut campur dalam menasehati.
"Nanti kalau Lola datang lagi, biar Umi nasehati dia."
Bersambung...
Jangan lupa like dan komen ya, terima kasih 🙏😊
Bab 2. Biarlah Orang Berkata Apa
POV Lola
Aku tahu Airin nggak suka sama Jemin. Ya, tipe cowok yang kami suka kan beda, wajar sih jadinya.
Tapi tadi Airin terlalu berlebihan ku rasa. Aku tahu Airin mencemaskan aku. Tapi bagiku itu nggak perlu karena aku sudah dewasa. Aku tahu mana yang baik dan buruk.
Dan menurut ku, Jemin baik kok. Selain ganteng, dia juga nggak pernah berbuat kasar padaku. Yah, meski dia masih suka main game bersama teman-temannya.
Jemin adalah laki-laki yang aku suka. Aku yang pertama kali mengajaknya berpacaran dan dia nggak menolaknya.
Aku yang berwajah pas-pasan ini tentu memiliki Jemin yang mau berpacaran denganku harus sangat ku syukuri. Nggak banyak cowok yang menyukai wajah pas-pasan seperti ini. Dan Jemin adalah laki-laki paling berharga buatku.
Rasa nggak percaya diri, iri melihat orang lain memiliki pasangan dan juga keinginan untuk memiliki pasangan yang di cintai tentunya ada dalam sebagian besar hati wanita yang memiliki situasi yang sama seperti ku. Apalagi nggak memiliki orang tua, dan hanya seorang pekerja dengan upah minim seperti ku. Biarlah orang berkata apa tentang Jemin. Selagi dia tetap baik padaku, itu saja aku sudah sangat bersyukur.
"Yang, ada uang 20 ribu nggak? Nanti kalau sudah kerja dan gajian aku ganti." Pinta Jemin padaku setelah aku mengantarkannya ke tempat teman-temannya berada.
"Buat apa Yang?"
"Buat naik ojol pulang nanti kalau mereka nggak bisa nganter."
"Uang ku nggak banyak lagi Yang. Aku harus berhemat. Kalau nggak, nanti nggak cukup sampai ketemu gajian."
" Nanti aku ganti."
Melihat Jemin, aku merasa Iba. Kasihan juga dia bekerja ditempat sebelumnya tapi nggak dapat gaji. Ya sudah, akhirnya ku berikan uang 20 ribu yang katanya pinjam tadi.
"Nih, aku pulang ya?"
"Makasih ya Sayang. Hati-hati ya, jangan lupa besok."
"Iya."
Aku pun pulang dan Jemin pun melangkah memasuki sebuah warkop dimana teman-teman sudah lebih dulu duduk disana dan bermain game bersama-sama.
***
Keesokan harinya.
Pagi-pagi sekali aku datang ke rumah Jemin. Ibunya sedang pergi mengantarkan kue-kue yang dia buat dan di titipkan ke beberapa warung. Sedangkan dua adik Jemin lainnya, berpapasan dengan ku yang baru saja datang.
Suly, adik Jemin yang bekerja sebagai karyawan kasir di sebuah bengkel besar khusus sepeda motor, hendak mengantarkan adiknya, Lily ke sekolah yang duduk di kelas 4 Sekolah Dasar. Sudah sering kami bertemu dan mereka pun sudah terbiasa dengan kehadiranku di rumah mereka.
"Kak, aku pergi dulu ya." Pamit Heni padaku.
"Iya, hati-hati." Pesan ku.
Kemudian aku turun dan hendak masuk ke dalam rumah. Tapi ternyata, Jemin sudah siap dan berpakaian rapi untuk memasukan lamaran kerjanya hari ini.
Lalu kami pun pergi ke Hotel yang katanya sedang membutuhkan karyawan tambahan.
Aku menunggu di lobi, sedangkan Jemin masuk ke sebuah ruangan untuk di wawancarai. Saat dia keluar dari ruangan itu, wajahnya tampak senang. Sepertinya ada hal bagus sehingga wajahnya penuh senyuman seperti itu.
"Aku di terima. Besok sudah mulai kerja." Katanya begitu datang menghampiriku.
"Alhamdulillah..."
Aku senang mendengar kabar itu. Kami pun pulang ke rumah. Dan aku mengantarkannya kembali ke rumahnya. Tapi sebelum kami tiba, kami berhenti dulu di sebuah warung yang menjual sarapan.
Tadi pagi aku buru-buru pergi ke rumah Jemin sehingga aku nggak sempat sarapan. Sekarang sudah pukul 10.30 dan perutku mulai keroncongan.
Aku dan Jemin pun memesan lontong sayur karena hanya ada makanan itu yang tersisa. Bubur dan nasi uduk sudah habis terjual duluan.
"Yang, kamu ada uang kecil buat tambahin bayar nggak?" Tanya ku ragu-ragu, takut kalau Jemin marah.
"Mana ada aku uang Lol, tadi malam aja aku pinjam ke kamu. Lagian kamu kenapa main ngajakin kesini kalau nggak ada uang sih?"
Bener juga, tadi malam saja Jemin pinjam uang padaku. Jadi nggak mungkin saat ini dia punya uang. Salah ku juga sih.
Aku pun mengeluarkan uang sebesar 100 ribu untuk membayar. Masih tersisa 2 minggu lagi sebelum gajian. Dan uang yang ada kini tinggal 270 ribu di dompetku. Semoga saja cukup sampai akhir bulan nanti.
Gajiku bekerja di sebuah kafe sebagai pengantar makanan nggak banyak. Aku menerima upah 1,2juta setiap bulannya. Bayar tagihan listrik dan air, dan membeli beberapa kebutuhan sembako yang nggak banyak, aku memegang sekitar 700 ribu untuk bensin dan sisa keperluan lainnya.
Aku termasuk boros sih, karena sering jajan dan nggak masak di rumah. Dan kadang untuk berhemat, aku sering main ke rumah Airin, sepupu ku itu dan makan disana. Terkadang aku juga meminjam uang padanya.
"Aku antar kamu ya, aku mau pinjam motormu." Ujar Jemin.
"Kemana?"
"Mau lihat motorku di bengkel sudah selesai apa belum. Besok kan mau aku pakai kerja."
"Aku ikut deh."
"Nggak usah. Habis dari bengkel aku mau ke tempat teman-teman ku, nanti kamu nggak enak disana."
"Jangan telat jemput loh Yang. Aku masuk sore hari ini."
"Iya tahu. Jemput jam 2 kan?"
"Iya."
"Ya, ntar aku jemput tepat waktu."
"Ya sudah."
Aku percaya pada Jemin dan meminjamkan motor ku padanya. Melihatnya berhasil, toh aku juga yang senang nantinya. Apapun untuk Jemin, sebisa mungkin aku upayakan. Karena aku juga ingin terlihat menjadi wanita yang baik dan berharga di mata Jemin.
Lalu akhirnya Jemin pun mengantarkan aku pulang ke rumah. Aku merasa senang saat-saat seperti ini, berboncengan dengan Jemin dan bisa memeluknya dari belakang. Pastinya, aku ingin melihat para wanita iri melihat aku yang pas-pasan ini bisa memiliki kekasih yang 11-12 dengan oppa Korea dari segi warga kulit dan rasnya.
Dan kami pun tiba. Di sebuah rumah kecil dan usang milik peninggalan kedua orang tuaku.
"Lol, ada 15 ribu nggak? Buat isi bensin motor mu. Aku takut kehabisan di jalan nanti." Ujar Jemin padaku.
Aku pun melihat motorku dan benar saja, bensinnya sisa sebalok. Lalu, aku mengambil uang 20 ribu dan memberikannya pada Jemin karena uang pecahan 20 ribu saja yang terkecil ada di dompetku saat ini.
"Makasih ya Yang."
Hatiku senang mendengar Jemin memanggil ku Sayang. Apalagi sambil membelai pipi ku dengar lembut.
Perhatian seperti ini yang membuat ku semakin menyukai Jemin. Dan aku nggak tahu, kenapa Airin sepupu ku itu sangat nggak suka pada Jemin, padahal dia sebaik ini padaku.
Mudah baginya yang cantik untuk meninggalkan pacar yang dia nggak sukai dan mencari pacar baru lagi. Tetapi aku dengan wajah dan rasa nggak percaya diri ini tentu sulit mencari pengganti Jemin dengan wajah orientalnya itu.
Bagiku Jemin adalah yang terbaik. Biar saja orang mau berkata apa, aku tetap mencintai Jemin.
Bersambung...
Jangan lupa like dan komen ya, terima kasih 🙏😊
Bab 3. Pinjam Uang
POV Lola
Seminggu kemudian.
Jemin sudah diterima bekerja di sebuah Hotel, dan sudah berjalan satu minggu lamanya dia bekerja disana. Aku senang dia mendapat pekerjaan, tapi aku jadi sedikit repot karenanya.
Jemin bekerja dengan menggunakan motorku karena motornya belum selesai di perbaiki dengan alasan menunggu sperpat datang dari luar kota seminggu lamanya. Akibatnya, aku sering datang terlambat ke tempat kerja ku karena menyesuaikan jam kerja Jemin.
Aku ditegur oleh pemilik kafe karena sering terlambat. Dan demi bisa ke tempat kerja tepat waktu, aku terpaksa naik ojol. Dan akibatnya, uang ku yang harusnya untuk bisa bertahan seminggu lagi, kini sudah nggak bersisa.
"Kenapa La, muka mu kok murung lagi? Aku dengar kamu di tegur sama Pak Dino ya? Kenapa sih La, belakangan ini kamu sering terlambat?"
Yuni teman kerjaku bertanya padaku.
"Jemin meminjam motorku buat bekerja. Jadi aku dan dia kesulitan mengatur waktu, apalagi kadang jadwal shift kami berbeda-beda."
" Loh, motor Jemin kemana?"
"Belum selesai di bengkel."
"Kenapa dia nggak minta di antar keluarganya saja?"
Aku terdiam sejenak. Seharusnya sih Suly bisa mengantar Jemin bekerja bergantian dengan ku. Tapi aku juga nggak mengerti hubungan kakak beradik itu. Suly tampak acuh kepada Jemin. Dia hanya memperhatikan adik bungsu mereka saja yang masih duduk di kelas 4 SD, si Lily.
Jadi aku merasa kasihan dengan Jemin. Hanya ibunya saja yang masih memperhatikan selayaknya seorang Ibu menyayangi anak-anak mereka. Tetapi ibunya juga nggak bisa menggunakan kendaraan, dan Ayahnya pun sudah tiada. Karena itu, aku nggak bisa mengharapkan orang lain untuk membantu Jemin, meskipun itu keluarganya.
Tentunya, masih ada sanak saudara Jemin yang lain dari sebelah Ibu maupun Ayahnya. Tetapi sekali lagi, mereka juga punya urusan dan hal penting lainnya karena mereka masing-masing sudah punya keluarga. Dan mereka juga nggak tinggal serumah maupun berdekatan dengan tempat tinggal Jemin.
Dan lagi pula pastinya, nggak bisa juga selalu meminta bantuan saudara. Apalagi dalam hal urusan pribadi seperti pekerjaan. Karena mereka pun juga harus berkerja.
Ini adalah kondisi umum dan hampir sebagian banyak orang mengalaminya.
"Saudara juga sibuk." Jawabku.
"Susah juga ya. Tapi bagaimana pun, sebaiknya Jemin pakai motor sendiri. Kalau nggak, bisa-bisa kamu di pecat loh La kalau keseringan terlambat."
"Iya, aku tahu. Terima kasih sudah mengingatkan."
Namun aku hanya bisa mendengar nasehat temanku tanpa bisa merealisasikannya. Sudah aku tanyakan lagi kepada Jemin perihal motornya yang terlalu lama berada di bengkel. Tapi lagi-lagi kata Jemin masih ada kerusakan lain yang harus di perbaiki.
Karena Jemin terus-menerus menggunakan motorku, akhirnya pengeluaran pun nggak bisa di hindarkan. Jemin yang baru bekerja dan belum gajian setiap hari meminta uang padaku untuk mengisi bahan bakar motorku.
Aku serba salah, aku kesal tapi aku tidak nggak bisa marah dan takut dia kecewa padaku. Aku nggak ingin dia marah, yang dapat memicu kami bertengkar dan saling diam membisu. Apalagi sampai nggak bertemu, bisa mati aku menahan rindu. Karena jujur, merindu dan takut kehilangan Jemin adalah hal besar yang bisa membuat goyah hari-hari ku dan kehilangan semangat untuk beraktivitas.
Lalu hari ini, ku putuskan mendatangi rumah Airin. Hari ini sengaja aku mengantar Jemin dan menjemputnya esok pagi karena kebetulan dia dapat giliran shift malam. Sedangkan aku, baru saja selesai bekerja karena bertugas di shift pagi.
Aku tahu Airin nggak suka Jemin. Akan ribet urusannya bila datang bersama Jemin karena sejujurnya saat ini aku butuh bantuan sepupu ku itu untuk meminjam uang padanya.
"Assalamualaikum..."
Aku masuk setelah mengucapkan salam. Malam itu pintu rumah sedang terbuka dan ada Airin serta Umi nya sedang menonton televisi di ruang tamu yang sekaligus menjadi ruang bersantai di rumah itu beserta anak-anak.
"Waalaikumsalam..." Jawab mereka secara serempak.
"Lola, sini duduk. Sudah makan?"
Umi selalu menanyakan pertanyaan yang sama setiap kali aku datang kesini.
"Sudah Umi."
Padahal aku belum makan malam. Aku terpaksa berbohong. Lalu aku pun duduk di dekat mereka.
"Bang Herlan kemana? Nggak kelihatan."
Tanyaku berbasa basi. Akan malu bila aku ketahuan meminjam duit pada istrinya. Jadi ku pastikan dulu keadaan rumah ini.
"Abang lagi keluar. Nganterin sablon pesanan orang." Jawab Airin.
Baguslah. Aku sedikit tenang mendengarnya.
"Lola, di tempat kerja mu ada toko pakaian yang baru buka kan? Aku lihat di medsos. Banyak yang sudah pergi ke sana, komentar mereka pada bilang murah dan kualitas juga lumayan bagus. Kapan-kapan kita kesana yuk? Aku mau cari kemeja buat ganti-ganti untuk bekerja." Ajak Airin.
Ah, boro-boro aku bisa belanja. Sekarang saja aku datang kesini mau pinjam uang karena kekurangan. Mana gajian masih 6 hari lagi.
"Tunggu pas gajian ya. Kalau dalam minggu ini, dompet ku sekarat perlu asupan. Hehehe..."
"Beras mu masih Lola?" Tanya Umi.
"Kayak masih Umi. Tapi kalau boleh, mau pinjam uang aja. Sampai gajian nanti baru Lola ganti."
Meski malu tapi aku sudah lama membuang harga diriku karena aku sudah menganggap Airin dan Umi bukan orang lain karena hanya mereka keluarga ku yang paling dekat di kota ini. Dan juga paling dekat di hatiku.
Umi yang merupakan Kakak dari ibuku sudah ku anggap sebagai pengganti ibuku juga.
"Gajian ya La nanti kita pergi ke toko itu." Ajak Airin.
Aku sebenarnya juga ingin kesana. Dan kalau sudah gajian, aku pun setuju dengan ajakan Airin.
"Boleh." Jawabku.
"Makan gih La, Umi masak banyak tadi. Rin, ajak Lola makan." Ujar Umi, kemudian beliau berdiri dan meninggalkan kami.
"Ayo La, Umi tadi ada masak pepes ikan sama ayam goreng. Kamu kan suka pepes ikan." Ajak Airin.
"Beneran aku sudah makan. Aku masih kenyang." Lagi-lagi aku berbohong. "Tapi bungkus aja deh, siapa tahu nanti malam mau tidur lapar lagi. Hehehe..."
"Ya sudah, aku cari tempat dulu."
"Nggak usah pakai tempat Rin. Plastik aja, biar nggak repot cuci, tinggal buang aja." Ujar ku.
Aku malas cuci piring. Di rumah saja bekas kemarin masih numpuk.
"Ada nggak ya, plastik es batu? Bentar aku cari dulu."
Aku dan Airin menuju ke dapur. Airin mencari plastik sedangkan aku melihat lauk di bawah tudung saji. Benar-benar ada pepes ikan kesukaan ku. Rasanya cacing dalam perut seketika meronta-ronta mencium aroma khas pepes ikan.
Aku duduk di meja makan, dan mencomot tahu goreng.
"Beneran ini nggak mau makan? Aku ambilkan piring ya?" Tanya Airin melihat aku mengunyah tahu goreng.
"Nggak usah, aku masih kenyang."
"La, ini. Umi punya segini aja belum narik ATM. Cukup nggak sampai gajian?" Tanya Umi sambil meletakkan uang 200 ribu di atas meja.
"Cukup Umi." Jawabku.
"Jangan boros-boros La. Jangan banyak jajan apalagi traktir orang. Kalau ada uang lebih, baiknya di tabung saja. Punya tabungan kan bagus, sewaktu-waktu ada keperluan mendadak juga nggak perlu khawatir." Ujar Umi.
"Bener La, apalagi kamu ini paling sering traktir Jemin. Biar aja dia bayar sendiri La. Dia kan laki-laki, masa terus di traktir perempuan! Aku aja jalan sama Abang dulu nggak pernah Abang biarin aku bayar sendiri. Apalagi bayar makan kami berdua." Ujar Airin sembari membungkuskan makanan untukku.
Airin memang ceplas-ceplos. Sudah terbiasa aku dengan sikapnya ini. Apa yang dibilang Airin memang benar. Hanya saja, kondisi Abang dan Jemin berbeda. Jadi nggak ada salahnya kan bila aku terkadang membayar makanan dan minuman kami?
"Kamu sih enak Rin. Abang pekerjaannya mapan."
"Nggak juga kok, Abang masih berstatus kontrak. Tapi yang namanya laki-laki, kalau dia baik itu benar-benar bertanggung jawab. Bukan hanya lewat ucapan, tapi lihat dari sikap sama perbuatannya. Kalau kamu sering manjain pacarmu, lama-lama dia terbiasa dan sudah pasti kamu nggak akan bisa punya tabungan nanti."
Aku hanya diam seperti biasa kalau sudah mendengar mereka menasehati. Aku nggak boleh marah, karena mereka sebenarnya peduli padaku dan mereka lah selama ini yang selalu membantuku tiap kali aku kesusahan. Tapi ya gitu, aku kadang masih dengan jalan pikiran ku sendiri. Yah, tahan sedikit lagi saja.
Bersambung...
Jangan lupa like dan komen ya, terima kasih 🙏😊
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!