NovelToon NovelToon

Karena Orang Ketiga

Pertunangan yang gagal

“Akhirnya setelah sekian lama, aku akan menjadi pengantinmu juga mas Pandu.” Batin Gisva tersenyum manis.

Sorak sorai dan tepuk tangan menggema, Pandu meraih cincin yang terukir indah didalam kotak beludru, hendak menyematkannya di jari manis Gisva.

Namun, senyuman Gisva tak berlangsung lama. Tiba-tiba, ponsel Pandu berdering nyaring.

Pandu merogoh saku dan melihat nama yang tertera di layar. Jantungnya berdegup kencang. Itu adalah nomor seseorang yang pernah dia cintai di masa lalu.

“Siapa mas?” Tanya Gisva merasa kesal.

Pandu tak menjawab, dia hanya menatap Gisva sekilas.

Gisva yang penasaran melongokan kepalanya, menatap nama yang tertera di layar.

“Cinta pertamamu lagi yang menelpon, mas.” Ucap Gisva dengan nada tak suka.

Pandu mengangkat tangan hendak menerima panggilan, namun Gisva mencegah memegangi tangan Pandu.

“Jangan diangkat mas.”

“Hari ini adalah hari pertunangan kita, hari bahagia kita yang sudah ditunggu-tunggu, mas. Aku mohon jangan diangkat!”

Pandu menatap Gisva dengan bimbang. Di satu sisi, ia merasa bersalah karena telah membuat Gisva sedih. Di sisi lain, ia penasaran dengan isi panggilan dari Kalila, perempuan yang lebih dulu mengisi hatinya.

“Biarkan aku mengangkat telepon ini." ucap Pandu melepaskan tangan Gisva dari lengannya.

“Tapi mas…”

Gisva menggelengkan kepalanya dengan kuat. "Jangan, Mas! Aku gak mau! Aku gak mau hari bahagia kita dirusak orang lain!"

Gisva kembali memegang tangan Pandu, berharap kekasihnya mau mendengarkan kata-katanya.

Pandu menatap Gisva mulai emosi, ia tidak bisa lagi mengabaikan panggilan itu. Dia takut terjadi sesuatu pada Kalila.

"Lepas Gisva. Aku harus mengangkat telepon ini!" ucap Pandu dengan nada tegas.

Gisva terdiam. Air matanya mulai menetes membasahi pipi, ia merasa kecewa dan marah pada Pandu. Ia tak mengerti mengapa Pandu lebih memilih mengangkat telepon dari Kalila dari pada meneruskan hari penting mereka.

“Mas, aku akan benar-benar marah kalau kamu angkat telepon itu!” ancam Gisva.

“Selama ini aku terus menuruti kemauan kamu mas, semuanya aku lakukan demi kamu. Apapun yang kamu minta, apapun yang kamu butuhkan aku selalu penuhi. Bahkan demi kamu nyawa pun aku relakan mas.”

“Tapi selama ini kamu terus menerus menyakitiku mas, kamu selalu mengabaikan aku ketika aku butuh kamu. Sekali, dua, tiga sampai puluhan kali aku selalu memaafkan kamu."

Gisva menghela nafas panjang, mengusap air matanya dengan punggung tangan.

“Tapi untuk hari ini, aku mohon mas. Hari ini adalah hari pertunangan kita.”

Pandu menyugar rambutnya kebelakang, “Memang apa salahnya, aku mengangkat telpon ini? Toh hanya sebentar saja.”

Gisva menggeleng kecewa, tak menyangka dengan jawaban yang akan Pandu katakan. Sepenting itukah perempuan itu?

Air mata Gisva semakin deras mengalir, hatinya hancur berkeping-keping mendengar ucapan Pandu. Ia merasa tidak dihargai, tidak dicintai, dan tidak dianggap penting oleh pria yang akan menjadi masa depannya.

"Kamu benar-benar tega Mas. Aku udah menuruti semua keinginanmu, tapi kamu masih saja memprioritaskan wanita lain." ucap Gisva dengan suara bergetar,

"Baiklah, kalau itu maumu. Silahkan angkat telepon itu. Tapi setelah itu, jangan pernah menemuiku lagi, kita putus!."

Gisva melepaskan tangannya dari lengan Pandu, membiarkan pria itu menentukan pilihannya sendiri.

Tanpa disangka, Pandu menggeser tombol hijau. Membuat dunia Gisva terasa hancur seketika, air matanya mengalir deras.

“Halo.”

"Mas Pandu, ini aku Kalila, mas." jawab suara di seberang sana, "Aku mohon, datanglah ke rumah sakit sekarang juga."

"Rumah sakit? Kamu sakit apa, Kalila?" tanya Pandu dengan nada khawatir.

"Aku kecelakaan mas, aku takut gak punya banyak waktu lagi, mas. Aku mohon, datanglah secepatnya!" jawab Kalila dengan suara lemah, lalu menutup telepon.

“Kalila, halo… halo..”

Pandu panik, menatap jam tangannya lalu menatap Gisva sejenak yang masih sesenggukan.

“Gisva maaf, aku harus ke rumah sakit sekarang juga, Kalila kecelakaan.”

Pandu hendak berbalik badan, tapi tangannya ditahan Gisva. “Tunggu mas.”

“Apalagi Gis, aku harus ke rumah sakit sekarang juga, Kalila kritis.”

“Hiks.. Hiks… Mas kamu tega, kamu mempermalukan aku mas di depan banyak orang.” Gisva menatap sekeliling yang tengah pada penasaran.

“GISVA! sudah aku bilang aku buru-buru. Hari pertunangan kita bisa diulang dihari lain.” Pandu melepaskan tangannya sekaligus membuat Gisva terhuyung dan terjatuh.

“Mass…” Panggil Gisva dengan suara bergetar.

Tapi sayang Pandu sudah melangkah menjauh.

“PANDU MAHESA, sekali lagi kamu melangkah kamu gak akan bisa menemuiku lagi. Kita PUTUS!” Teriak Gisva bercucuran air mata.

Langkah Pandu terhenti mendengar teriakan Gisva, hatinya mencelos. Ia berbalik badan, menatap Gisva yang terduduk di lantai dengan air mata yang terus mengalir. Ia tahu ia telah menyakiti Gisva, tapi ia merasa tak ada pilihan lain. Pandu kembali melanjutkan langkah, mengabaikan suara isakan Gisva yang terdengar sangat menyakitkan.

Suasana di ballroom yang tadinya penuh dengan kebahagiaan dan kemeriahan, kini berubah menjadi tegang dan canggung. Para tamu undangan yang menyaksikan pertengkaran antara Pandu dan Gisva merasa tidak nyaman dan bingung harus berbuat apa.

Beberapa orang berbisik-bisik, membicarakan apa yang baru saja terjadi. Ada yang merasa kasihan pada Gisva, ada yang mencibir Pandu, dan ada pula yang hanya diam terpaku, tidak tahu harus bereaksi seperti apa.

"Ya ampun, kasihan sekali Gisva. Padahal dia sudah sangat bahagia tadi." bisik seorang wanita kepada temannya.

"Iya, aku juga tidak menyangka Pandu akan setega itu. Padahal mereka berdua sangat serasi." timpal temannya.

"Mungkin ada sesuatu yang penting yang terjadi pada wanita itu, makanya Pandu sampai seperti itu." sahut seorang pria yang berdiri di dekat mereka.

"Tapi tetap saja, tidak seharusnya Pandu mempermalukan Gisva di depan banyak orang seperti ini." balas wanita itu dengan nada tidak setuju.

“Iya. Ternyata hubungan lama kalah dengan adanya orang ketiga.”

“Hum. Kasihan Gisva, pasti hancur banget dia.”

“Orang lama yang jadi pemenangnya.”

Celotehan-celotehan itu terdengar jelas dipendengaran Gisva. Hati Gisva semakin hancur, ia merasa seperti ditelanjangi di depan umum, semua aib dan kesedihannya dipertontonkan dihadapan banyak orang. Air matanya semakin deras mengalir, ia tak bisa menahan rasa sakit dan malunya.

"Cukup!" teriak Gisva dengan suara bergetar, "Kalian tidak tahu apa-apa! Jangan menghakimiku!"

Para tamu undangan terdiam, menatap Gisva dengan tatapan iba dan kasihan. Mereka tahu Gisva sedang terluka, dan mereka tidak ingin memperburuk keadaan.

Gisva bangkit, mengusap air matanya dengan kasar. Menatap setiap orang yang ada disana.

“Acara pertunangan hari ini, Adalah kesempatan terakhir untuk hubungan kita.”

“Dan sudah jelas sekali, kalau kamu ingin mengakhirinya! Kamu sama sekali tak menghargai semua ini Pandu!”

Gisva menatap pigura foto mereka berdua, dengan cepat dia mengambilnya lalu melemparnya ke lantai hingga pecah berkeping-keping. Membuat orang-orang disana menjerit prihatin.

“Aku Gisvara Nayasha resmi mengakhiri hubungan ini dengan Pandu Mahesa!”

Gisva berlari meninggalkan acara yang telah berakhir dengan paksa.

Bersambung...

Mohon do'a dan dukungannya ya temen-temen. Jangan lupa like dan komennya. Happy reading😍😍

Teman dimasa lalu

Saat Gisva melangkah keluar dari ballroom, dadanya sangat sesak oleh amarah dan kesedihan. Ia merasa seluruh hidupnya runtuh dalam satu malam, air mata mengalir deras, membasahi pipi. Namun ia berusaha sekuat tenaga untuk tidak mengeluarkan suara, Gisva tak ingin siapapun melihat betapa hancurnya ia.

Gisva berjalan cepat menuju pintu keluar, mengabaikan tatapan iba dan bisikan-bisikan yang menyertainya. Ia merasa seperti seorang pesakitan yang diarak di depan umum.

“Suatu saat akan ku balas semua ini dengan kebahagian!” batin Gisva menoleh ke arah orang-orang.

Sesampainya di luar Gisva berhenti sejenak, menarik napas dalam-dalam mencoba menenangkan diri. Gisva menatap langit malam yang gelap dan sunyi, seolah ikut merasakan kesedihannya.

Wanita itu tidak tahu harus pergi kemana. Tak ada seorang pun yang peduli, tidak ada yang menunggunya pulang. Gisva benar-benar hidup sendirian di dunia ini.

"Kenapa... kenapa harus aku?" gumamnya lirih, "Apa salahku? Kenapa seakan aku tidak pantas bahagia?”

Kedua orang tuanya sudah lama meninggal. Ia tidak memiliki saudara atau kerabat dekat, sahabat-sahabatnya mungkin ada, tapi ia tidak ingin merepotkan mereka. Gisva merasa malu dan tidak pantas untuk meminta bantuan siapapun.

Gadis itu memutuskan untuk pulang ke kontrakan tempat ia tinggal selama ini. Untuk saat ini, ia hanya ingin menjauh dari tempat itu, menjauh dari semua kenangan pahit yang menghantuinya.

Gisva menyusuri jalanan dengan masih terisak, ia merasa seperti berada di dunia yang berbeda. Ia melihat orang-orang tertawa dan bercanda, namun ia tidak bisa merasakan kebahagiaan itu. Ia merasa seperti orang asing di tengah keramaian.

"Aku akan buktikan kalau aku bisa bahagia tanpa dia. Aku akan sukses, aku akan dapatkan segalanya, dan aku akan buat dia menyesal!” gumam nya tajam mengingat wajah Pandu yang dia rasa sangat sombong.

Gisva memeluk dirinya sendiri, mencoba menghangatkan tubuhnya yang mulai menggigil kedinginan. Gaun pertunangan yang hanya terbuat dari bahan sutra tipis itu tak mampu melindunginya dari hembusan angin malam yang menusuk tulang. Ia merasa sangat lelah, baik secara fisik maupun mental.

Gisva rasanya ingin menyerah saja, ingin mengakhiri semua penderitaan ini. Namun, ia harus membuktikan pada dunia bahwa ia juga layak untuk bahagia.

"Aku harus bisa." gumamnya dalam hati. "Aku harus bisa melewati semua ini. Aku tidak boleh menyerah!"

...****************...

“Aku akan mulai semuanya dari awal!”

Gisva melangkah masuk, disambut suasana yang sepi dan dingin. Rumah kecil dan sederhana, tempat ia berlindung dari kerasnya dunia selama ini.

Gisva mengusap air matanya dengan kasar, menarik nafas dalam-dalam, setiap sudut ruangan menyimpan banyak kenangan bersama orang terkasih.

"Tidak, aku tidak bisa terus berada di sini," gumamnya, menggelengkan kepalanya dengan kuat. "Aku harus pergi, meski dengan meninggalkan semua kenangan ditempat ini.”

Gisva membuka lemari pakaian, menatap baju-baju pemberian Pandu. Air matanya kembali menetes, “Selamat tinggal, aku harus pergi!”

Gisva memasukan sebagian pakaiannya ke dalam koper, hanya menyisakan baju-baju pemberian Pandu yang ia tinggalkan, bersama dengan barang-barang lainnya.

Sekali lagi Gisva menatap sekeliling rumah itu, Gisva meraih pigura foto bersama kedua orang tuanya, dia akan membawa pergi satu-satunya kenangan terakhir mereka.

"Terima kasih untuk semua kenangannya," bisiknya, dengan suara bergetar.

Gisva berjalan menyusuri keheningan malam. Kini, dia hanya ingin pergi jauh dari tempat itu, untuk memulai hidup baru di tempat baru.

...****************...

Setelah berjalan cukup jauh, ia melihat sebuah halte bus. Gisva memutuskan untuk duduk di sana, menunggu bus yang akan lewat.

Namun, bukannya bus yang datang, kini sebuah mobil pribadi berhenti tepat di depannya. Gisva lupa kalau ini hampir tengah malam, dan mana mungkin ada bus yang beroperasi di jam segini.

Gisva menatap mobil itu dengan bingung. Entah siapa yang berhenti di depannya tengah malam begini? Ia sedikit waspada, apalagi ia seorang wanita yang berjalan sendirian.

Pintu mobil terbuka, seorang pria tinggi dan tampan keluar. Tersenyum pada Gisva yang masih kebingungan.

"Gisva? Benar ini kamu, kan?" tanya pria itu, penuh binar.

Gisva mengangguk pelan, masih sedikit bingung. “Ka-kamu. Kamu siapa?”

“Aku Naresh, Gis. Kamu lupa ya?” Jawabnya sambil terkekeh.

"Naresh?” Gisva berpikir sejenak, mengingat-ingat nama itu. “Nareshaka Maverick? Kakak kelasku pas di SMA bukan?” tanya Gisva sedikit ragu.

“Yes, that's me.” jawabnya tersenyum tampan.

“Ya ampun, ini beneran kamu, kak? Kok kamu bisa ada di sini?" tanya balik Gisva, gadis itu tak menyangka bisa bertemu kembali dengan seseorang dimasa lalunya.

Gisva terkejut, dia menelisik penampilan Naresh yang terlihat modis dan rapi, berbeda jauh dari kesan sebelumnya yang sederhana dan apa adanya. Pria itu adalah Nareshaka Maverick, kakak kelas Gisva saat SMA dulu. Kini Gisva hampir tidak mengenalinya, Naresh terlihat lebih dewasa dan tampan.

Naresh tersenyum lebar. "Kebetulan sekali. Aku baru saja pulang dari luar kota, dan aku lihat kamu sendirian di halte ini. Kamu mau kemana malam-malam begini Gis?"

Gisva terdiam sejenak, tidak tahu harus menjawab apa. Ia tidak mungkin menceritakan semua masalahnya pada Naresh, apalagi mereka sudah lama tidak bertemu.

"A-aku... a-ku.. Aku." Gisva tersenyum kikuk.

Naresh menatap Gisva lekat, dia juga melirik barang bawaan Gisva yang banyak, koper besar dan satu tas jinjing besar.

“Kamu kok bawa-bawa koper Gis, malam-malam begini kamu mau kemana sebenarnya?”

Gisva menggeleng ragu. “A-aku.. Aku juga gak tau mau kemana kak.”

Naresh mengerutkan kening. “Rumah kamu dimana Gis, biar aku antar ya.”

Gisva kembali menggeleng, “Aku gak punya rumah kak.” jawab Gisva sembari menunduk.

“Maksudnya? Terus kamu tinggal dimana selama ini? Orang tua kamu dimana?”

Gisva masih menunduk, gadis itu kembali terisak-isak membuat Naresh kebingungan. Naresh melirik sekitar yang sangat sepi, kendaraan sudah jarang yang lewat, waktu kini hampir menunjukan pukul 2 malam.

“Gis, hey.” Naresh memberanikan diri menyentuh lengan Gisva. “Kamu ikut dulu sama aku ya. Kita bahas ini besok, sekarang udah dini hari.”

Gisva menggeleng, ia tidak ingin merepotkan Naresh, tapi ia juga tidak mungkin menolak tawarannya, setidaknya ada tempat untuk tidur semalam ini.

"Tidak usah, kak. Aku tidak mau merepotkan." tolak nya halus. "Aku mau nunggu bus lewat nanti pagi."

Naresh terbelalak. "Gis, yang bener aja kamu. Ini masih malam, masih beberapa jam lagi nunggu pagi.”

“Dan lagi pula kamu tidak merepotkan sama sekali, Gisva. Aku senang bisa bertemu kamu lagi.”

“Tapi kak…”

“Gak ada tapi Gis, kamu emangnya gak takut disini sendirian?” Naresh sengaja menakut-nakuti Gisva.

“Gak usah nakutin kak.” Gisva mengusap air matanya.

“Ya makanya kamu ikut aku aja dulu, besok terserah kamu mau kemana.” Sahut Naresh tersenyum.

Gisva menghela napas panjang.

"Baiklah. Terima kasih ya, kak."

Naresh tersenyum senang. Ia meraih koper dan tas Gisva, membawanya ke bagasi mobil. Naresh membukakan pintu untuk Gisva dan mempersilahkannya untuk masuk.

"Silakan, Nona." ucapnya dengan nada bercanda.

Gisva tertawa kecil lalu masuk ke dalam mobil.

Bersambung...

Tetap dukung aku ya teman-teman. Semoga buku ini jadi inspirasi, ambil yang baiknya buang yang buruknya. Happy reading😍😍

Apartemen Naresh

Setelah Gisva masuk mobil, Naresh menutup pintu dan berlari kecil ke sisi pengemudi. Ia menyalakan mesin mobil dan menatap Gisva yang tampak masih sedikit linglung.

Selama perjalanan, keduanya mengobrol tentang banyak hal. Mereka mengenang masa-masa SMA, bercerita tentang pekerjaan masing-masing, dan bertukar kabar tentang teman-teman lama.

Naresh sengaja tidak langsung menanyakan maksud Gisva keluar malam-malam, dia kasih Gisva waktu untuk menenangkan diri.

"Gis dulu waktu SMA kamu aktif banget di OSIS, ya kan? Masih suka kegiatan sosial?"

Gisva tersenyum tipis. "Lumayan, kak. Dulu emang suka ikut kegiatan, tapi sekarang lebih fokus kerja aja. Kakak sendiri gimana? Dulu kan kapten basket, pasti sekarang makin keren."

Naresh tertawa. "Ah, bisa aja kamu. Basket sih udah jarang, sekarang lebih banyak ngurusin bisnis keluarga. Kamu tau kan, dulu ayahku punya toko elektronik kecil, sekarang udah lumayan besar."

"Wah, hebat! Pasti sibuk banget ya, kak?"

"Ngga juga sih. Eh, kamu kerja di mana sekarang?"

"Dulu aku sempat jadi guru les privat, kak. Tapi sekarang kerja di butik."

“Butik? Dimana?”

“Di jalan X, lumayan lah buat nyambung hidup, kak." Gisva tersenyum tipis.

"Yang penting kan happy, Gis. Eh, ngomong-ngomong soal SMA, kamu masih inget Bu Susi, guru matematika yang galak itu?"

Gisva tertawa. "Ya ampun, masih inget banget! Dulu aku sering kena marah sama beliau gara-gara gak ngerjain tugas."

"Sama! Aku juga sering kena hukuman gara-gara telat masuk kelas. Tapi sekarang beliau sudah berpulang."

“Yang benar kak? Kapan?”

“Beberapa hari yang lalu kayaknya deh, aku dapat info dari grup.”

“Inalillahi, aku baru tau sekarang sih.”

“Iya, soalnya udah pindah juga ikut anaknya.”

Gisva mengangguk. Gadis itu merasa sedikit lebih baik setelah mengobrol dengan kakak kelasnya. Ia merasa lega karena ada seseorang yang masih peduli padanya, meskipun ia baru bertemu dengannya setelah sekian lama.

...****************...

Naresh membawa Gisva ke apartemen miliknya yang berada di pusat kota. Gisva terkejut melihat betapa mewah dan modernnya tempat tinggal Naresh.

"Kak, ini... ini apartemen kakak?" tanya Gisva dengan nada tak percaya.

Naresh mengangguk sambil tersenyum. "Iya, Gis. Kamu istirahat di sini ya malam ini. Kamar tamu ada di sebelah sana."

Gisva merasa tidak enak. Ia merasa tidak pantas untuk tinggal di tempat semewah ini.

"Tapi, kak... aku..."

"Sudah, Gis. Jangan sungkan. Anggap saja rumah sendiri." potong Naresh. "Kamu pasti lelah kan. Istirahat ya." Naresh mengantar Gisva ke kamar tamu, membawakan koper dan juga tasnya.

Gisva akhirnya mengangguk pasrah. Ia mengikuti Naresh ke kamar tamu. Kamar itu juga rapi dan nyaman, terdapat tempat tidur cukup besar, lemari dan kamar mandi pribadi.

"Kakak baik banget sama aku." ucap Gisva merasa tak enak.

Naresh tersenyum. "Kamu teman lama aku, Gis. Sudah seharusnya aku bantu."

“Kamu istirahat gih, kalau mau bersih-bersih ada kamar mandinya kok. Aku juga mau ke kamar, ngantuk.” Ucap Naresh sambil menguap lebar.

“Makasih ya kak.”

Naresh tersenyum lembut. "Sama-sama, Gisva. Aku senang bisa membantu, kalau ada apa-apa panggil aja ya!"

Gisva mengangguk. Naresh tersenyum sambil berjalan menuju kamarnya sendiri, pria itu merasa senang bisa bertemu kembali dengan Gisva, wanita yang dulu pernah ia taksir saat masih SMA.

Setelah Naresh keluar dari kamar, Gisva menghempaskan tubuhnya ke tempat tidur, merasa sangat lelah dan mengantuk. Ia memejamkan mata dan mencoba untuk tidur. Namun, pikirannya masih dipenuhi dengan kenangan pahit tentang Pandu.

Air mata kembali menetes dari sudut matanya. Ia merasa sangat bodoh karena telah mencintai pria yang salah. Ia merasa hancur dan tidak berharga.

“Cukup sampai malam ini, aku gak akan lagi menangisinya. Apalagi menangisimu, mas.” Gumam Gisva getir, mengingat wajah Pandu yang menjadi sumber luka terbesarnya.

Gisva akhirnya tertidur dengan air mata yang membasahi pipinya. Ia bermimpi tentang masa depan yang lebih baik, tentang kebahagiaan yang menantinya di depan sana.

...****************...

Pagi harinya, Gisva terbangun dengan perasaan yang jauh lebih baik, ia merasa lebih segar dan bersemangat. Gisva menatap sekeliling kamar dan tersenyum. Kamar itu memang nyaman dan bersih, jauh berbeda dengan rumah kontrakannya yang sempit dan berantakan.

Gisva bangkit dari tempat tidur dan berjalan menuju kamar mandi. Gadis itu akan membersihkan diri lebih dulu, lalu mencari keberadaan Naresh. Bermaksud akan mengucapkan terima kasih dan berpamitan pergi.

Gisva menemukan Naresh sedang berada di dapur, membuat sarapan. Naresh terlihat tampan dengan hanya mengenakan kaos oblong dan celana pendek.

"Hei Gis, sini kita sarapan dulu!” sapa Naresh dengan senyum cerah.

Gisva tersenyum berjalan menghampiri Naresh. "Selamat pagi, kak. Maaf ya, aku jadi merepotkan." ucapnya tak enak.

Naresh menggeleng. "Tidak merepotkan sama sekali. Sini duduk, aku buat nasi goreng, cobain ya!" Naresh menarik kursi untuk Gisva.

Gisva mengamati nasi goreng buatan Naresh. Nasi goreng itu terlihat lezat dan menggugah selera, apalagi dengan full toping.

"Wah, kelihatannya enak banget." Puji Gisva yang jadi merasa lapar.

"Tentu saja. Aku kan jago masak, heheheh." jawab Naresh dengan nada bercanda.

Mereka berdua tertawa dan mulai menikmati sarapan bersama. Suasana di dapur terasa hangat dan akrab.

"Gimana tidurnya semalam Gis? Nyenyak?" tanya Naresh.

Gisva mengangguk. "Nyenyak banget, kak. Aku sudah lama tidak tidur senyenyak itu." jawabnya sambil penuh mengunyah.

“Syukur lah.”

...****************...

Selesai makan keduanya masih berada dimeja makan, Naresh dengan sedikit ragu menanyakan maksud kepergian Gisva semalam.

“Oh ya, Gis. Semalam kamu kenapa bisa sampai di halte bus malam-malam? Apa kamu ada masalah?"

Gisva terdiam sejenak. Ia menatap Naresh dengan tatapan ragu. Ia tidak tahu apakah ia harus menceritakan semua masalahnya pada Naresh atau tidak.

Namun, ia merasa harus menceritakan semuanya pada seseorang agar ia bisa merasa lega. Dan lagi Gisva merasa Naresh itu orang baik.

"Sebenarnya..." Gisva menarik napas dalam-dalam, sedikit ragu.

Naresh menepuk bahu Gisva pelan. “Kalau belum siap gak usah cerita juga gak apa-apa kok. Maaf ya!”

Gisva menggeleng. “Sepertinya aku memang harus cerita sih.” Jawabnya terkekeh.

“Ya sudah aku dengerin, tapi gak usah dipaksain juga, ya!”

"Sebenarnya.. Aku baru aja gagal bertunangan, kak."

Naresh terkejut mendengar pengakuan Gisva. Ia menatap Gisva dengan tatapan prihatin.

"Gagal bertunangan? Kenapa bisa begitu, Gis?" tanya Naresh.

Gisva mulai menceritakan semua yang telah terjadi padanya. Ia menceritakan tentang Pandu, tentang perempuan dari masa lalunya, dan tentang bagaimana ia merasa hancur, hina dan tak lagi berharga.

Naresh mendengarkan cerita Gisva dengan seksama. Ia tidak menyela atau menghakimi Gisva. Ia hanya mendengarkan dan mencoba untuk memahami apa yang dirasakan oleh gadis itu.

Setelah Gisva selesai bercerita, Naresh merangkul Gisva menenangkan.

"Aku turut prihatin atas apa yang terjadi padamu, Gis." ucap Naresh tulus. "Kamu tidak pantas untuk diperlakukan seperti itu. Kamu adalah wanita yang baik, kamu berharga dan kamu pantas mendapatkan kebahagiaan."

Gisva menangis di pelukan Naresh. Ia merasa lega karena ada seseorang yang masih peduli padanya dan memahami apa yang ia rasakan.

"Terima kasih, kak." ucap Gisva lirih. "Aku gak tahu harus berbuat apa."

Naresh melepaskan pelukannya dan menatap Gisva dengan tatapan lembut.

"Kamu tidak perlu khawatir, Gis." ucap Naresh. "Aku akan selalu ada untuk kamu. Aku akan bantu kamu lewati semua ini hingga menemukan kebahagiaanmu kembali."

Naresh mengusap pelan air mata Gisva. “Kamu itu perempuan berharga Gis dan layak untuk bahagia.”

Bersambung...

Jangan lupa like dan komentarnya. Happy reading😍

Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!

Download Novel PDF
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!