...Kata Pengantar Khusus dari Penulis...
...بسم الله الرحمن الرحيم...
...السلام عليكم ورحمة الله وبركاته...
Halo, Pembaca Hebat NovelToon!
Apa kabar? Saya Harjuanto, penulis yang dengan bangga mempersembahkan karya ini.
Jika Anda mencari sebuah kisah yang akan membawa Anda lari dari rutinitas, bersiaplah. Novel ini bukan sekadar bacaan, melainkan gerbang menuju dunia lain yang telah saya bangun dengan darah, keringat, dan imajinasi.
Di dalam sini, Anda akan menemukan misteri yang memutar otak, romansa yang bikin baper, dan aksi yang membuat jantung berdebar kencang.
Ini adalah novel yang lahir dari sebuah pertanyaan sederhana: "Bagaimana jika...?"
Bagaimana jika karakter yang paling Anda cintai harus membuat pilihan yang paling menyakitkan? Bagaimana jika dunia yang kita kenal tiba-tiba memiliki aturan main yang berbeda? Melalui halaman-halaman ini, saya telah menuangkan visi unik saya, menciptakan sebuah dunia di mana batas antara yang nyata dan yang fantastis menjadi sangat tipis.
Untukmu yang Mencari Sesuatu yang Baru
NovelToon adalah tempat berkumpulnya cerita-cerita terbaik, dan saya berusaha keras agar karya ini memenuhi standar tersebut, bahkan melampauinya.
* Karakter: Anda akan bertemu tokoh-tokoh yang terasa begitu hidup—mereka kuat namun rentan, ambisius namun punya kelemahan, sama seperti kita. Bersiaplah untuk jatuh cinta, kesal, dan ikut merasakan setiap pergulatan batin mereka.
* Plot Twist: Jika Anda suka kejutan, pegangan erat-erat. Alur cerita di sini dirancang untuk membuat Anda terus menerka, menantang logika, dan menjamin Anda tidak akan bisa berhenti membaca setiap chapter baru dirilis.
* Vibe-nya Fresh: Saya telah meramu gaya bahasa yang dinamis dan catchy, memastikan setiap bab mengalir lancar dan memikat, cocok untuk dibaca kapan saja dan di mana saja.
Kami di NovelToon Publishing sangat antusias dan yakin bahwa karya dari Harjuanto ini adalah salah satu masterpiece yang wajib ada di daftar bacaan Anda. Novel ini telah melalui proses kurasi yang ketat untuk memastikan kualitas penceritaan, kedalaman karakter, dan pacing narasi yang sempurna.
Terima kasih telah memilih kisah ini. Dukungan Anda—lewat likes, komentar, dan shares—adalah energi terbesar bagi saya untuk terus menulis dan menghadirkan chapter yang lebih seru.
Selamat menyelam dalam petualangan kata yang mendebarkan ini. Salam hangat dari saya, Harjuanto, penulis yang telah merajut setiap aksara dan merangkai setiap alur dalam novel yang kini ada di hadapan layar Anda. Ini bukan sekadar buku digital; ini adalah proyek gairah yang telah melalui proses inkubasi, penempaan, dan penyempurnaan yang panjang, kini siap dilepaskan ke tangan pembaca yang paling bersemangat—Anda.
Jika Anda membuka halaman ini, berarti Anda adalah seorang penjelajah sejati, yang lapar akan narasi baru dan tidak takut untuk melangkah keluar dari zona nyaman cerita-cerita yang biasa.
Selamat, Anda telah menemukan tempat yang tepat. Novel ini adalah gerbang menuju dunia lain, sebuah escape room mental yang saya ciptakan, dan kunci untuk keluar darinya adalah dengan terus membalik (atau menggulir) halaman hingga akhir.
I. Visi di Balik Imajinasi (Mengapa Kisah Ini Harus Dibaca?)
Novel ini lahir dari sebuah kebutuhan mendesak untuk menceritakan kisah yang berbeda—sebuah fusi unik antara genre yang mungkin belum pernah Anda temui. Inti dari kisah ini adalah pertanyaan-pertanyaan besar yang terbungkus dalam petualangan yang memukau: "Apa yang kita korbankan demi takdir? Dan seberapa jauh kita berani melangkah untuk definisi kebenaran kita sendiri?"
Anda tidak hanya akan membaca tentang karakter; Anda akan berjalan bersama mereka.
A. Busur Karakter yang Tak Terduga
Saya telah dengan sengaja membangun karakter utama yang kompleks dan cacat (flawed). Mereka tidak sempurna—mereka membuat kesalahan, mereka meragukan diri mereka, dan terkadang, mereka membuat keputusan yang Anda benci. Tetapi justru di situlah letak otentisitasnya. Anda akan menyaksikan pertumbuhan yang menyakitkan dan perubahan drastis, membuktikan bahwa evolusi batin adalah inti dari setiap kisah hebat. Bersiaplah untuk jatuh cinta, marah, dan pada akhirnya, berempati dengan perjuangan mereka.
B. Plot Multi-Layered dan Pacing yang Adiktif
Struktur narasi dirancang dengan cermat untuk memastikan setiap bab terasa krusial. Kami memastikan pacing yang tepat—sejak adegan pembuka yang menggigit, hingga resolusi yang memuaskan. Jika Anda adalah pembaca yang suka menebak-nebak, novel ini akan menantang kemampuan Anda. Setiap kali Anda berpikir sudah tahu jawabannya, satu plot twist baru akan membalikkan segalanya. Novel ini adalah teka-teki, dan setiap chapter adalah potongan yang harus Anda kumpulkan.
C. Worldbuilding yang Imersif
Dunia yang saya ciptakan—baik itu latar yang menyerupai realitas modern atau dimensi fantastis yang sepenuhnya baru—telah diisi dengan detail yang kaya, konsisten, dan meyakinkan. Mulai dari hukum fisik yang mengatur alam semesta tersebut, hingga sejarah dan mitologi di baliknya, semuanya dirancang agar Anda terserap sepenuhnya dan melupakan bahwa Anda sedang membaca fiksi.
II. Komitmen Kualitas dari NovelToon Publishing
Kami di NovelToon tidak hanya menerbitkan;
Kami mengkurasi kualitas. Ketika tim editorial kami membaca draf dari Harjuanto, kami tahu bahwa kami menemukan sesuatu yang istimewa.
Sebagai platform penerbitan digital terdepan, kami memiliki tanggung jawab ganda: mendukung visi penulis dan memberikan pengalaman membaca terbaik bagi Anda.
Novel ini telah melewati serangkaian proses quality control (QC) yang ketat:
Penyuntingan Profesional: Untuk memastikan tata bahasa yang bersih, diksi yang kuat, dan konsistensi alur cerita.
Optimasi Pacing Digital: Menyesuaikan ritme penceritaan agar ideal untuk pengalaman membaca di ponsel atau perangkat digital.
Desain Visual: Memastikan cover art dan tata letak chapter menarik, menciptakan pengalaman yang tidak hanya memuaskan secara literasi, tetapi juga visual.
Kami sangat percaya bahwa karya ini memiliki potensi untuk menjadi salah satu novel terpopuler di platform kami, karena ia menggabungkan keahlian sastra dengan daya tarik hiburan yang masif.
III. Panggilan untuk Bertindak (Dukungan Anda Berarti Segalanya)
Kepada Anda, para pembaca yang cerdas dan bersemangat, kami mengajak Anda:
Jangan hanya membaca. Terlibatlah.
Novel ini akan hidup dan berkembang berkat interaksi Anda. Setiap "Like" adalah tepuk tangan; setiap "Komentar" adalah diskusi yang memperkaya interpretasi; dan setiap "Share" adalah undangan untuk teman-teman Anda bergabung dalam fandom yang baru ini.
Interaksi Anda bukan hanya mendukung penulis, tetapi juga membantu NovelToon mengenali dan mempromosikan lebih banyak karya berkualitas tinggi seperti ini.
Kami sangat berterima kasih atas waktu dan perhatian yang Anda berikan. Siapkan kopi Anda, cari posisi paling nyaman, dan bersiaplah untuk menyelam.
Petualangan Anda dimulai sekarang.
Selamat membaca, dan mari kita ciptakan hype untuk novel ini bersama-sama!
Salam Hangat,
Harjuanto
(Penulis)
Tim Kurator NovelToon
Sinopsis : Awalnya dia hanyalah seorang ibu biasa tetapi saat dia kehilangan putrinya saat mengikuti masa orientasi penerimaan mahasiswi baru, dia tak tinggal diam. Kematian putrinya yang mencurigakan, membuatnya tak terima dan mencari tahu penyebab kematiannya serta siapa yang paling bertanggung jawab.
Bab : 1 Keluarga Adalah Yang Terpenting
“Hey bangun! Bangun! Bangun semuaaa!!!”
Teriakan di tengah malam itu membangunkan semua yang sedang terlelap. “Ayo bangun pemalas!!” teriak salah seorang gadis bertubuh tinggi berjaket kuning biru pada seorang gadis yang sedang mengucek-ngucek matanya.
“Bangun! Bangun! Cepat pakai sepatu kalian, pakai papan nama kalian dan berkumpul di lapangan!! Cepat!” teriak gadis lainnya yang bertubuh besar dengan jaket kuning biru juga. Gadis-gadis yang baru bangun tidur itu segera keluar dari tenda-tenda mereka dengan terhuyung-huyung masih mengantuk.
Salah satu dari mereka mengambil jaket tetapi gadis yang berjaket kuning biru dengan tahi lalat di pipi segera merebut jaket itu dan berteriak di depan wajahnya, “Ga pake jaket!!” Gadis yang mengambil jaket memprotes, “Tapi diluar tenda dingin Kak, ini tengah malam juga!” Gadis berjaket kuning biru dengan tahi lalat itu melotot, “Apa?! Lo berani melawan perintah gue hah??” Beberapa gadis berjaket kuning biru datang menghampiri mereka. “Ada apa ini?” seru salah satu gadis yang bertubuh tinggi.
Mereka mengepung gadis yang tadi mengambil jaket.
Melihat situasi tidak menguntungkan buat dirinya, gadis yang tadi akan mengambil jaket itu menunduk, berkata, “Ga ada apa-apa Kak ….” Gadis bertahi lalat itu mendekat dan bicara di depan wajahnya, “Kalau ga ada apa-apa, sekarang lo baris sama temen-temen lo di lapangan.” Gadis itu mengangguk dan akan berjalan tetapi lengannya ditarik oleh gadis bertahi lalat itu lagi yang melirik papan nama gadis tersebut di dada dan berbisik di telinganya, “Nama lo, Anggi … ok, Anggi, gue akan awasi lo, jangan macam-macam sama gue.” Gadis itu, Anggi, hanya diam mendengarnya. “Sudah pergi sana!” sentaknya, Anggi pun bergabung dengan gadis-gadis lainnya yang telah berkumpul di lapangan. Ia berdiri di sebelah gadis dengan rambut berponi yang melipat tangannya di dada gemetar kedinginan.
“Gila lo Nggi, jangan ngelawan sama senior kali, kita mah nurut aja,” bisik si gadis berponi setelah melihat kejadian tadi. “Ga gitu Din, kalau mereka keterlaluan ya lawanlah,” balas bisik Anggi pada temannya yang berponi itu, Dina namanya. “Hey! Semua berbaris yang rapih, jangan pada ngobrol! Cepat! Cepat!” teriak gadis bertubuh tinggi. Maka mereka yang berjaket kuning biru segera menarik lengan para gadis di lapangan untuk merapikan kumpulan gadis-gadis yang berhimpitan kedinginan itu. Setelah mereka berbaris maka berdirilah para gadis dengan jaket berwarna kuning biru itu di hadapan mereka.
“Selamat malam gadis-gadis lemah para mahasiswi baru!” teriak gadis bertubuh besar tadi, “selamat datang di malam pertama kalian di orientasi jurusan teknik lingkungan khusus perempuan! Malam ini kita akan berkenalan … kalian lihat yang berdiri di depan kalian ini dengan jaket berwarna kuning biru? Kita adalah kating kalian! Kita adalah kakak tingkat kalian! Kalian harus hormat sama kita! Kenapa? Karena kita adalah binatang buas, pemangsa … dan kalian adalah buruan, yang dimangsa!”
“Kalian masuk ke dalam fakultas ini maka wajib mengikuti masa orientasi selama tiga hari ke depan! Jadi, selama tiga hari ke depan kalian adalah milik kami!” lanjut gadis bertubuh besar itu dengan suaranya yang keras. Anggi memperhatikan satu persatu kating yang berdiri di depan mereka itu. “Gue adalah ketua acara orientasi ini, panggil gue, Boba … itu wakil gue (Boba menunjuk pada gadis bertahi lalat di pipi) namanya Kak Evelyn … kalian jangan main-main sama beliau … ga cuma gigit, beliau juga bisa mengoyak kalian! … kalau yang tinggi itu, namanya Kak Ovi, hati-hati sama beliau, beliau ga kenal sama kata-kata ‘ga tega’ beliaulah yang akan mendisiplinkan kalian para gadis lemah dan mager!”
“Ok cukup segitu dulu perkenalannya! Untuk kating lain nanti kalian bisa berkenalan sendiri … sekarang semuanya bersiap! Kak Ovi akan memberikan instruksi!” seru Boba kemudian digantikan dengan Ovi. “Halo Ladies! Nama gue Ovi, tadi Kak Boba sudah kasih tau kalian … denger! Gue di sini untuk membuat kalian ga manja, ga menye-menye … sebagai anak teknik, kalian harus tangguh! Jadi malam ini untuk membuat kalian tangguh, maka gue kasih tantangan. Apa itu? Sekarang saatnya lari malam!” teriak Ovi.
Tampak semua mahasiswi baru itu terkejut.
“Kenapa pada kaget? Dasar pemalas … sekarang siap ga siap, cepat ikuti Kak Boba! Cepat! Cepat!!” teriak Ovi lagi. Serentak semua kating berjaket kuning biru itu serempak meneriakki para mahasiswi baru yang masih terkejut itu untuk berlari bahkan mendorong tubuh mereka juga.
“Cepat lari! Hey Lari!” teriak mereka dengan sesekali menendang mereka yang berlari lambat. “Ikuti Kak Boba! Ikuti Kak Boba!” teriak Ovi. Semua mahasiswi baru itu pun akhirnya berlarian panik mengejar Boba yang telah lari lebih dulu di depan mereka.
Mereka berlari keluar dari lapangan meninggalkan tenda-tenda mereka. Menembus malam, melewati semak dan menapaki jalan setapak di tengah hutan. “Kita mau kemana ini?” bisik Dina. Anggi menggeleng, “Ga tau Din, kita ikuti aja dulu.” Mereka terus berlari, beberapa sudah terlihat gemetar kedinginan. Tak lama, akhirnya mereka sampai di tepi sungai yang airnya cukup deras.
“Berhenti semua!!” teriak Ovi.
Terdengar suara terengah-engah dari para mahasiswi baru tersebut di antara suara deru aliran sungai. “Buka sepatu kalian!” teriak Ovi lagi. Mereka semua serempak membuka sepatu. “Sekarang … masuk ke sungai semuanya!!” perintah Ovi. Para mahasiswi baru itu saling pandang, mereka tidak menyangka akan mendapatkan instruksi seperti itu di tengah malam yang dingin.
“Kenapa diam? Kalian melawan ya?” lontar Boba bertolak pinggang. “Cepat masuk sungai! Atau mau kita paksa?!” tantang Ovi. Sebagian mahasiswi menuruti mereka dan berjalan memasuki air sungai dengan takut-takut. Sesampainya di sungai, arus air menyambut tubuh mereka yang hanya memakai pakaian tipis, mereka pun menjerit karena airnya begitu dingin.
Seorang mahasiswi masih berdiri di tepi sungai terlihat bingung. “Hey! Lo mau masuk sendiri apa gue paksa?” cetus Evelyn mendekati mahasiswi tersebut.
“Bentar Kak, aku---“ Mahasiswi baru itu tak bisa melanjutkan kalimatnya karena ia sudah didorong oleh Evelyn hingga tercebur masuk sungai. Evelyn dan kating lainnya tertawa melihat mahasiswi itu megap-megap dan ditolong oleh rekan-rekan lainnya yang sudah lebih dulu berada di sungai. “Dibilang masuk sungai ya masuk sungai hahaha,” ledek Evelyn. Sedang Ovi mendatangi sisa mahasiswi lainnya yang masih berkumpul di pinggir sungai.
“Heh ini kenapa kalian belum masuk sungai hah?” seru Ovi, “kalian nantang kita ya?” Mereka semua menggeleng. “Trus kenapa kalian ga mau masuk sungai seperti yang lainnya?!” sambung Ovi marah.
“Kak, hal seperti ini bertentangan dengan aturan orientasi!”
Suara teriakan itu membuat Ovi terdiam begitu juga Boba, Evelyn dan kating lainnya. Mereka semua menatap pada asal suara itu dan suara itu berasal dari, Anggi. “Apa lo bilang?” tanya Ovi dengan nada suara gelisah sembari mendekati Anggi. “Maaf Kak … tapi ini ga diperbolehkan di aturan acara orientasi, juga ga nyambung dengan jurusan yang kita ambil,” ulang Anggi dengan lebih jelas seraya mendongak menatap Ovi yang lebih tinggi darinya.
“Mmm … nama lo Anggi ya … lo yang tadi mau pake jaket bukan?” tanya Ovi. Anggi mengangguk. “Si Sok Pintar … denger Nggi … gue ga butuh lo kasih tau soal aturan … di sini, kita adalah aturan, apa yang keluar dari mulut kita itu aturan, apa yang kita perintahkan itu aturan, apa yang kita suruh itu aturan, jadi lo jangan ngajarin gue soal aturan atau lo mau kita hukum berendem sampai pagi di sungai itu karena melanggar aturan kita hah??” teriak Ovi.
Anggi menggeleng, “Ga Kak.”
“Bagus … sekarang lo mau masuk ke sungai atau harus gue seret pantat lo ke sungai?” tanya Ovi. Anggi bergeming begitu pun dengan yang lainnya. “Hey lihat nih! Temen satu angkatan kalian ga kompak, mereka ga mau nyemplung ke sungai, tandain mereka nih! Ga pantas jadi teman kalian!” teriak Boba pada mahasiswi yang telah berada di sungai. Anggi menatap teman-teman seangkatannya itu yang tampak gemetar dengan bibir mulai membiru di tengah arus sungai. “Lihat aja … kalau lo ga mau masuk ke sungai, maka temen-temen lo yang lain bakal nerima akibatnya!!” bisik Evelyn mengancam di telinga Anggi.
Mendengar itu Anggi akhirnya mengalah. Ia melangkah dan menceburkan dirinya ke dalam sungai diikuti Dina juga mahasiswi lainnya yang tersisa tadi. Rasa dingin dengan seketika menusuk-nusuk sekujur tubuh mereka.
Mereka menjerit kedinginan, sedang kating mereka tertawa dan bertepuk tangan senang melihat semua mahasiswi baru itu gemetar di tengah arus sungai. “Hey buat lo yang sok pintar … lo lihat … apa yang kita suruh ini masih nyambung sama jurusan yang kalian ambil … lihat kalau sungai bersih, ga ada sampah, dipake berendem enak ‘kan?” ledek Ovi disusul tawa kating lainnya.
Anggi hanya bisa terdiam menahan rasa dingin yang membekukan tubuhnya.
...***...
Perempuan paruh baya itu membuka matanya.
Perempuan itu bernama Agni dan ia melihat jam di dindingnya. Pukul 2.30 WIB. Hatinya merasa gelisah lalu mengambil telepon genggamnya, membukanya. Dengan perlahan Agni mengecek-ngecek pesan atau telepon masuk tetapi tidak ada pesan baru atau pun telepon masuk yang baru. Ia menyimpan telepon genggam itu di dalam kantung jaket cardigan-nya dan keluar kamar. Di luar kamar suasana temaram menyambutnya, semua lampu besar telah dimatikan sejak jam sembilan malam tadi, hanya lampu-lampu sudut yang dibiarkan menyala.
Agni berjalan melintasi ruang keluarga yang tampak rapih dan bersih dengan poster besar di sebuah bingkai kaca menempel di tengah dinding bertuliskan, Keluarga Adalah yang Terpenting. Ia berjalan menuju sebuah kamar, mendorong pintunya, lalu melongok melihat kedua anaknya sedang tertidur pulas di dua tempat tidur yang terpisah.
Ia menuju tempat tidur anak prianya, tersenyum melihat selimut yang tertendang, ia menarik selimut itu untuk kembali menyelimuti putranya … kemudian menuju tempat tidur anak perempuannya yang berada di seberang tempat tidur anak prianya tadi, mengambil buku-buku yang berserak di sekitar kepala anak perempuannya yang senang membaca dan sedang terlelap itu. Buku-buku itu dibariskan dengan rapi di atas meja belajarnya. Lalu ia mengecup dahi kedua anaknya itu dan keluar kamar.
Langkahnya berlanjut hingga ke sebuah kamar yang berseberangan dengan ruang tamu. Ia mendorong pintu kamar yang awalnya merupakan kamar tamu ini tetapi kini telah menjadi kamar untuk putri sulungnya. Ia melangkah masuk melihat-lihat kamar yang selalu dirapikannya itu.
Duduk di pinggir tempat tidurnya, memeluk selimut berbahan fleece berwarna biru muda sembari memandangi foto-foto si pemilik kamar yang menempel di dinding. Foto-foto gadis muda ceria yang sedang mengejar mimpi-mimpinya. Ia tersenyum melihat berbagai pose putrinya itu seraya mengeluarkan telepon genggam dari kantong jaketnya.
Ia mencoba menelepon lagi tetapi tetap tidak ada jawaban, akhirnya ia memutuskan untuk mengetik pesan dan mengirimkannya. Setelah itu Agni keluar dari kamar menutup pintunya dan tidur di sofa di ruang keluarga.
...***...
Alarm dari telepon genggamnya berbunyi.
Agni terkesiap dan melihat, sudah pukul 5.30 WIB. Ia segera melompat bangun dari sofa, ke kamar mandi lalu membangunkan anak-anaknya. “Aditya! Anindya! Bangun cepat bangun Nak, sudah siang, ayo bangun, kalian harus ke sekolah!” teriaknya menuju garasi dan mengeluarkan mobilnya. Sekembalinya dari mengeluarkan mobil terlihat kedua anaknya masih bermalasan di atas ranjang masing-masing. “Haduh! Ayo, ayo cepat mandi! Dit, Nin! Nanti kesiangan!” teriaknya lagi lalu menyiapkan sarapan pagi di dapur. Tak lama kemudian anak laki-lakinya, Aditya telah muncul di dapur dengan pakaian seragam sekolahnya.
“Maaa, Adit ga mandi tuuuh!!” teriak Anindya.
Perempuan itu bertolak pinggang di depan Aditya yang telah menggigit roti isi daging panggangnya itu. “Hehehe … sekali ini doang Ma,” cengir Aditya. “Tapi sudah sikat gigi?” tanya Agni, Aditya mengangguk. “Sudah pake minyak wangi?” tanya Agni lagi, Aditya mengangguk lagi sembari mengangkat tangannya untuk membuktikkan ketiaknya tidak bau. “Ok sekali ini saja … tapi besok-besok kamu harus mandi! Awas ya Dit,” ujar Agni kembali sibuk menyiapkan sarapan untuk putrinya juga untuk dirinya. “Siap Mamaku tercintah!” seru Aditya.
Anindya masuk ke dapur dan duduk di kursi makan seberang Aditya. Agni meletakkan piring yang berisikan nasi goreng dengan telur ceplok di hadapannya. “Jorok ih! Ga mandi, ntar cewek-cewek di sekolah pada ga mau sama elu!” tukas Anindya sambil mengaduk nasi gorengnya lalu menyuapnya. “Biarin … daripada elu sudah mandi tapi tetep ga ada yang mau,“ ejek Aditya lalu meminum susunya. Anindya mengambil potongan kecil telur ceploknya lalu menimpukkannya pada Aditya. Aditya terkejut lalu membalasnya dengan melemparkan remahan rotinya.
Agni yang sedang menyeruput kopinya menghela nafas melihat kelakuan kedua anaknya itu. “Terus … terus aja timpuk-timpukkannya … kalau masih kurang, tuh ada sendok, garpu, piring … sekalian timpukin---“ Agni terdiam tidak melanjutkan kalimatnya karena potongan telur ceplok itu nyasar dan menempel di hidungnya. “Ups … maaf Ma … ini si Adit-nya nih!” kilah Anindya terkejut tak menyangka potongan telur yang dilemparkannya malah mengenai mamanya. “Rasain, rasain … marahin Ma … marahin,” sahut Aditya mengompori lalu tertawa.
Agni mengambil telur itu dari hidungnya, “Jadi … kalian mau maen lempar-lemparan nih? Baiklah rasakan ini!” Agni mengambil potongan roti tawar dan melemparkannya pada Anindya juga Aditya yang terkejut lalu menjerit-jerit berlari sambil tertawa. Agni terus mengejar mereka yang lari berkeliling di dalam rumah.
“Udah Ma, udah … capek nih,” ucap Anindya terengah-engah. “Iya Ma … udah, nyerah … nanti kita telat masuk sekolah,” sahut Aditya juga. Agni bertolak pinggang di hadapan kedua anaknya itu, “Mau macem-macem sama Mama hah, baru segitu aja udah ngos-ngosan … Mama ini dulu jago lari tau ga, semua anak di sekolah kalah sama Mama … dulu Mama itu langsing, sekarang aja jadi gemuk … jadi dulu ceritanya begini ….”
Anindya melengos meninggalkan mamanya diikuti Aditya, sembari berkata, “Hhhhh, mulai lagi deh, ini sudah cerita yang ke dua ratus lima puluh kali Ma … kita udah tau ….” Agni nyengir, “Oh gitu ya, emang Mama udah cerita sebanyak itu? Ah masa sih Nin? Kok Mama lupa? Hehehe.”
“Itu sarkas Ma,” sahut Anindya.
“Oooh … ok deh kalau gitu, gimana kalau kita berangkat sekolah aja?”
Kedua anaknya pun segera mengangguk menyetujui dibanding harus mendengar cerita nostalgia lagi. Mereka pun keluar rumah bersama dan naik ke dalam mobil. Agni menyalakan mesin mobilnya.
“Selamat pagi Bu Agni!” sapa ramah tetangga sebelah rumah. Agni membuka kaca mobilnya membalas sapanya, “Pagi juga Bu Erna, maaf kemarin saya ga bisa datang ke arisan RT, ada kerja tambahan di kantor.” Bu Erna tersenyum, “Ga apa-apa Bu … tapi nanti acara kumpul warga datang ‘kan?” Agni mengangguk, “InsyaAllah Bu, kalau ndak sibuk, maklum harus jadi ibu sekaligus bapak nih … kalau gitu saya pamit dulu ya Bu … takut terlambat ke sekolah.” Bu Erna mengangguk. Mobil pun mulai berjalan. Bu Erna melambaikan tangan pada Aditya dan Anindya yang malas-malasan membalas lambaiannya.
“Pffffhhh, kenapa sih kita harus berbasa-basi sama tetangga, tiap pagi pula,” sebal Anindya. “Ya ga apa-apa Nin … hanya berbasa-basi apa susahnya sih … lagi pula kalau ada apa-apa sama kita yang menolong pertama itu tetangga dekat loh … jadi kita harus ramah,” jelas Agni. “Tapi kalau tetangganya tukang gibahin kita gimana? Bilang mama itu janda, simpenan pejabat, soalnya mama ga punya suami tapi bisa punya mobil, nguliahin anak,” sela Aditya.
Agni tertawa, “Oya? Ada yang ngomong gitu? Hahaha … ga semua orang suka sama kita Dit, ya biarin aja, itu urusan hati mereka yang jelek, kita ‘kan engga … tapi sama orang seperti itu, kadang kita ga perlu basa-basi Dit … kita juga harus punya sikap … kalau orang itu ngomong langsung di depan Mama sih bakal Mama sumpel mulutnya pake kanebo ….” Aditya tertawa.
“Tapi Mama bukan simpenan ‘kan?” sahut Anindya. Agni tersenyum menggeleng, “Sudah tidak usah dibahas omongan tetangga … Nin coba ambilin hape Mama di dalam tas.” Anindya mengambilkan telepon genggam itu dan menyerahkannya pada Agni. Agni membuka telepon genggamnya sembari menyetir mobil. Beberapa kali ia nyaris menubruk mobil di depannya karena fokusnya terbagi.
“Duh Ma … nyetir sambil maen hape bahaya loh … kenapa ga beli handsfree aja sih jadi tangan Mama bisa tetep fokus ke setir mobil?” cetus Anindya cemas melihat mobil yang dikemudikan mamanya menjadi tak stabil. “Handsfree? Apaan tu?” sahut Agni yang masih sibuk memijit-mijit nomer. Suara klakson mobil dari luar mengagetkan mereka karena mobil mereka nyaris menyenggol mobil tersebut.
“Ma … sudah sini sama Anin aja nelponnya, ‘kan bisa pake perintah suara, ga usah dipijit-pijit lagi nomernya Ma,” sahut Anindya. Agni menyerahkan telepon genggamnya, “Nah dari tadi kek Nin … kamu ‘kan tau Mama gaptek.”
Anindya menyebut sebuah nama lalu telepon itu menyambung otomatis. Ia pun memijit pengeras suara di telepon genggam tersebut sehingga tidak perlu menempelkan telepon itu ke telinga lagi. Nada dering terdengar. Cukup lama hingga telepon tersebut dijawab.
“Halo Ma …” terdengar suara dari ujung telepon sana. Agni segera memerintahkan pada Aditya dan Anindya, “Ayo kalian sapa dulu Kakak kalian itu.” Anindya dan Aditya berteriak serempak, “Pagi Kak Anggiiiii ….” Terdengar suara serak dan tawa dari sana, membalas sapaan, “Hehehe … pagi juga adik-adik kembar kesayanganku.”
“Nggi … ini Mama … kenapa suaramu serak gitu? Semalam Mama kirim sms dan telpon kamu tapi kamu ga balas, kamu baik-baik ‘kan Nggi?” tanya Agni cemas. “Ya gimana mau balas, Mama kirim sms dan nelpon menjelang subuh gitu, aku masih tidur lah uhuk!” jawab Anggi lalu terbatuk.
“Tuh kenapa batuk? Kayaknya kamu flu tuh … kamu harus minum obat Nggi … itu orientasinya ga berat ‘kan? Ga macem-macem ‘kan?” cerocos Agni cemas.
“Ga Ma … aku fine kok … iya nanti aku minta obat flu sama kating di sini, udah Mama tenang aja,” ujar Anggi.
“Nggi … setelah masa orientasi kamu selesai, rencananya, kalau cuti Mama disetujui kantor, Mama mau kesana sama adik-adik … sekalian jemput kamu, kamu habis orientasi libur ‘kan? Kamu mau dibawain apa?” tanya Agni.
“Bawain aku selimut yang di kamar aja Mah … yang biru muda itu … Ma, udah ya, aku ga bisa lama … kating sudah manggil-manggil tuh … love you Ma,” sahut Anggi lalu menutup teleponnya.
“Nggi! Jangan lupa minum obat … love you too---“
“Teleponnya sudah ditutup sama Kak Anggi Ma,” potong Anindya menutup telepon genggam dan menyimpannya kembali di dalam tas mamanya. Agni berdecak karena ia belum puas untuk bicara dengan putri sulungnya tersebut.
“Nin, coba sms Kak Anggi … bilang nanti malam hape dibawa jangan ditinggal-tinggal, Mama mau nelpon,” cetus Agni. “Ma tinggal nelpon aja via WA, kenapa harus di-sms dulu sih,” sahut Anindya. “Ya udah kirimin pesan WA aja kalau gitu deh, kamu bawel,” balas Agni. Anindya mengambil kembali telepon gengam itu, mengetik pesan sembari menggerutu.
“Hayo … ngegerundel apa itu?” cetus Agni, Anindya seketika terdiam. “Dia ngegerundel ‘bawel, bawel, Mama tuh yang bawel’ gitu Ma,” celetuk Aditya. “Dasar tukang ngadu!” cetus Anindya menyabetkan bantal pada wajah Aditya yang tertawa.
“Sudah, sudah … kita sudah sampai di sekolah … ayo turun, nanti sore Mama jemput seperti biasa ya,” sahut Agni pada kedua anaknya yang sedang turun dari mobil. “Love you Ma,” ucap Aditya, lalu bergegas menuju gerbang sekolah.
“Love you too Dit,’ balas Agni. Anindya menutup pintu mobil dan berjalan.
“Hey Nin …” panggil Agni seraya menempelkan jemari di belakang telinganya seakan ingin mendengar suara dari putrinya itu. Anindya menghela nafas, berkata dengan malas, “Hhhhh … love you Ma.”
Agni tersenyum, “Love you too Anindya.”
Setelah Agni memastikan kedua anak kembarnya itu masuk sekolah, ia pun segera menjalankan mobil menujut tempatnya bekerja.
...***...
Awan mendung menggantung tepat di atas tenda-tenda. Angin bertiup dingin dan kencang. Para mahasiswi baru itu sedang berlari mengitari lapangan dengan membawa beban batu di punggung mereka. “Apa … maksudnya coba … kita disuruh lari … bawa beban kek gini?” gerutu Dina terengah-engah. “Emang kita mau jadi tentara apa?” timpal seorang mahasiswi mendengar gerutuan Dina. Anggi hanya diam saja mendengar keluhan teman-teman seangkatannya itu.
“Kita harus aduin ke dosen wali nih,” sahut salah satu mahasiswi diikuti anggukan kepala yang lainnya. “Gue sebel banget sama trio kating yang sok galak itu huh,” sambung mahasiswi itu lagi. “Mereka paling rese, mana jelek dan menyebalkan pula, paket komplit!” tambah mahasiswi lain yang nimbrung dengan nafas terengah, mereka senyam-senyum menahan tawa mendengar komentar mahasiswi itu. “Tapi kenapa ya, kalau senior yang jelek biasanya paling bertingkah? Galak dan minta dihormatin gitu?” tanya salah satu dari mereka. “Soalnya caper, kalau ga caper ga ada yang lirik mereka hihihi,” sahut yang lain, mereka pun cekikikan.
“Nggi … lo … kenapa … diam aja?” tanya Dina berbisik terengah pada Anggi yang berlari di sampingnya. “Gue diam karena ga mau gegabah … di sini ga ada dosen … mereka bisa seenaknya … kita harus nurut dulu … nanti kalau ada kesempatan … baru kita lawan,” bisik Anggi terengah-engah juga.
“Hooooy gue suruh lari bukan pada ngobrol!” teriak Ovi seraya melayangkan tangannya pada kepala Dina dan kepala mahasiswi lainnya yang melewati dirinya. Plak! “Aduh! Iya Kak … maaf,” seru Dina mengusap-ngusap kepalanya yang dikeplak itu. “Brengsek!” umpat Anggi melihat temannya dipukul begitu.
Boba mendatangi Evelyn yang sedang duduk memperhatikan mereka. “Sudah berapa kali puteran?” tanya Boba. “Baru lima kali,” jawabnya lalu melihat pada langit. “Pas nih, bentar lagi turun hujan gede, biarkan mereka di lapangan terus, setelah itu kita bawa lagi ke hutan,” sambung Evelyn, “tapi kali ini kita bikin mereka nginep di hutan … kita lihat sampai besok pagi, apa malam ini mereka bisa survive atau ga.” Boba menatap Evelyn, “Apa ga terlalu berlebihan Eve? Kalau ada hewan buas gimana?”
“Mana ada … wilayah ini sudah menjadi tempat perkemahan Ba … sudah aman dari hewan buas .… gue lagi ngincer si Sok Pintar itu.”
“Anggi?”
Evelyn menggangguk dengan senyum culas, bertepatan dengan bunyi gemuruh dari balik awan yang mendung.
Waktunya Berburu
“Ok stop!!” teriak Ovi.
Maka para mahasiswi baru yang tengah berlari itu berhenti dan seketika luruh duduk di lapangan tanah dengan dada yang terengah-engah. Tubuh mereka begitu letih. “Heh siapa suruh duduk?! Bangun!” teriak Ovi diikuti kating lain yang bergerak menarik para mahasiswi baru itu untuk berdiri. Semua bangun dari duduknya dengan malas, salah seorang mahasiswi jatuh lagi tak sanggup untuk berdiri. “Bawa dia ke tenda senior, suruh istirahat sebentar kalau masih lemah siram air ke wajahnya!” perintah Boba. Maka mahasiswi itu pun digotong menuju tenda senior.
“Sekarang turunkan beban kalian!” teriak Ovi, semua mahasiswi itu meletakkan batu-batu tersebut seraya menghela nafas lega. “Anggap kalau beban kalian itu adalah sampah, bukan batu … jadi kalian harus bisa menemukan cara untuk me-reduksi sampah agar tidak menjadi beban lingkungan … jadi itu maksud dari tugas lari keliling lapangan sambil menggendong batu ini … nah sekarang siapa yang berani bilang kalau tugas yang kami perintahkan tidak nyambung dengan jurusan yang kalian ambil hah!?” sindir Ovi seraya melirik tajam pada Anggi. Anggi hanya menunduk diam tak berkomentar. “Ga banyak bacot lo ya sekarang,” gumam Evelyn menatap Anggi yang tertunduk.
“Ok, sekarang balik ke tenda masing-masing … istirahat lima menit setelah itu balik lagi ke lapangan sini … dan pakai jaket kalian!!” perintah Ovi. Maka semua mahasiswi baru itu pun bubar. Dina segera merebahkan tubuhnya di atas matras ketika sampai di dalam tenda. “Hufffhhh … kalau tau gini sumpah deh gue ga akan mau ikut ini orientasi,” cetusnya sembari meregangkan tubuh. Anggi memeriksa telepon genggam yang disimpannya di tas. Ia membaca sms dari mamanya lalu membalasnya. “Nggi, kenapa lo sekarang banyak diam?” tanya Dina. “Kalau gue banyak ngomong gue takut kalian yang kena imbasnya,” sahut Anggi lalu merebahkan tubuhnya di samping Dina.
“Lo bener Nggi … lo juga harus hati-hati … perasaan gue bilang, lo lagi diincer sama mereka,” bisik Dina. “Coba aja … selama gue benar, gue ga takut Din … itu yang diajarin Mama gue ke gue,” balas Anggi. “Mama gue juga bilang gitu … tapi tetep aja gue takut … gue penakut sih orangnya … nyali gue ga seberani lo Nggi,” sahut Dina. Anggi tersenyum, berbisik, “Mereka juga berani karena banyakkan … soalnya di jurusan kita ini ceweknya sedikit jadi mereka merasa bisa seenaknya … coba kalau angkatan kita ini ceweknya banyak … bisa kita gulung mereka.”
“Waktu istirahat selesai! Semua keluar!! Semua kumpul di lapangan!” teriak Boba. Mendengar perintah Boba maka para kating lainnya segera menyeruak masuk ke dalam tenda-tenda untuk menarik membangunkan semua mahasiswi baru yang belum lama beristirahat itu. “Cepat! Cepat! Jangan kebanyakan mager! Dasar generasi pemalas!” seru mereka. Anggi dengan cepat memakai jaketnya yang anti air, dan menyelipkan telepon genggamnya di kantong dalam dekat dada. Kemudian ia keluar dari tenda. Suara gemuruh petir terdengar disusul dengan hujan yang mulai turun merintik.
“Semua jongkok!! Dan diam!” teriak Ovi.
Para mahasiswi baru itu berjongkok di lapangan. Para kating berjalan di antara mereka, beberapa mengeplak kepala para mahasiswi baru yang masih ngedumel. Hujan pun turun cukup deras. Beberapa kating tampak membawa sebuah panci besar dan diletakkan di depan lapangan sehingga semua mahasiswi baru itu bisa melihat. “Malam ini akan menjadi malam yang panjang … jadi … kami sebagai kating kalian yang baik hati … akan memberikan kalian makan sebelum kalian memulai aktivitas berikutnya … silahkan nikmati mie rebus ala kami ini!!” seru Boba memberi tanda pada rekannya untuk membuka tutup panci itu.
Tutup panci dibuka. Uap panas terlihat mengebul keluar dari panci seiring air hujan yang menyerbu masuk ke dalam panci dan bercampur dengan mie rebus tersebut. Ovi dan Evelyn tertawa, mereka tampak senang melihatnya. Mie rebus bercampur air hujan itu dibagikan di dalam mangkok-mangkok plastik sekali pakai. “Setelah makan, mangkok plastiknya jangan dibuang sembarangan, taro di depan kalian! Ingat, sebagai mahasiswi teknik lingkungan kalian tidak boleh membuang sembarangan limbah plastik bukan?” teriak Boba di tengah derasnya hujan yang turun. Para mahasiswi itu menerima mangkok-mangkok berisikan mie rebus yang kuahnya telah bercampur dengan air hujan, beberapa bahkan bercampur dengan daun-daun dari pohon yang jatuh.
“Ayo di makan! Sebelum mienya dingin!” teriak Boba.
Para mahasiswi itu terlihat ragu menatap mangkok-mangkok mie di tangan mereka bahkan sebagian dari mie mereka, kuahnya sudah luber dengan air hujan.
“Kenapa diam? Kalian ga menghargai kami yang sudah nyiapin mie ini hah?” teriak Ovi. Maka mau tak mau, para mahasiswi baru itu menyendok mie tersebut dengan jari-jari mereka dan menyuapkannya ke dalam mulut dengan terpaksa.
Evelyn berjalan mengambil satu mangkok mie, lalu membawanya pada Anggi. Ia berjongkok di depan Anggi. Anggi menatapnya. Evelyn tersenyum sinis lalu mengangkat mangkok tersebut ke dekat bibirnya dan membuang ludahnya ke dalam mangkok tersebut. “Makan nih,” cetusnya pada Anggi seraya menyodorkan mangkoknya. Dina yang berada di sebelah Anggi merasa jijik dan mual melihatnya.
Anggi menatap mata Evelyn, begitu juga sebaliknya.
Hujan masih terus turun.
“Makan! Atau ntar malam lo ga kita kasih makan,” ancam Evelyn.
“Gue lebih baik kelaparan,” balas Anggi tegas.
Evelyn manggut-manggut, “Ok kalau itu mau lo,” lalu ia membalikkan mangkoknya di tanah becek. “Kita lihat seberapa tangguhnya lo malam ini,” bisik Evelyn di telinga Anggi. Kemudian ia meninggalkan Anggi. “Nggi … kita makan mie gue berdua,” bisik Dina menawarkan membagi mienya. Anggi menggeleng, berkata sambil menatap Evelyn dan Ovi, “Engga Din … lo aja yang makan, lo butuh tenaga buat apa pun yang sedang mereka rencanakan malam ini.”
...***...
Agni tersenyum membaca pesan sms yang masuk dari putri sulungnya.
Ia membalas mengetik, “Ok Sayangku … nanti malam Mama telepon ya.” Setelah mengirim balasan pesannya, ia menemui seorang kliennya yang telah menunggu di lobi kantor. “Maaf menunggu Pak …” senyum Agni pada kliennya. “It’s ok, Bu,” balas sang klien. “Jadi … seperti yang Bapak minta kemarin, ini gambaran dari plan asuransi jiwa dengan premi tiga juta perbulannya,” ucap Agni seraya menyodorkan lembaran-lembaran kertas print out di atas meja. Bapak itu mengambil kertas-kertas tersebut. Agni melirik pada jam di dinding ketika kliennya sedang fokus membaca plan asuransi yang ditawarkannya.
Pukul 17.00.
Akhirnya setelah menunggu, bapak itu menyetujui plan asuransinya, mereka pun berjabatan. Setelah kliennya pergi, Agni segera mengambil tasnya bergegas menuju parkir mobil. “Halo Anin? Tunggu ya, Mama segera jemput ke situ … iya … tadi ada klien … Adit ada di situ juga ‘kan? Iya iya … ini Mama cepat-cepat kesana … tunggu ya, jangan kemana-mana,” cetus Agni menutup teleponnya dan menjalankan mobilnya.
Di perjalanan ia mencoba menelpon putri sulungnya dengan panggilan suara seperti yang dilakukan Anindya tadi pagi. “Telpon putriku Anggi,” ucap Agni, tapi telepon genggam itu tidak memberikan respon apa-apa. “Telepon putriku Anggi,” ulangnya lagi, tetap tidak ada perubahan apa-apa pada telepon genggamnya. “Telepon putriku Anggi! Hoy! Hey!” seru Agni mulai kesal tetapi tidak ada yang terjadi. “Telepon putriku Anggi, brengsek!” umpat kesalnya. Tidak ada sambungan juga, dengan kesal ia melempar telepon genggamnya ke jok sebelahnya. “Perasaan tadi pagi Anin kok kayak yang gampang sih,” gerutunya.
Mobil berhenti di depan gerbang sekolah. Kedua anak kembarnya itu naik ke dalam mobil dengan wajah cemberut. “Ma lama banget deh!” ketus Aditya. Disusul protes Anindya, “Ma, tau ga sih kalau menunggu itu pekerjaan yang teramat membosankan?!” Mama Agni mengatupkan tangannya di dada, “Iya, iya … Mama salah … maafkan … tadi ada klien datang sore, mau ditolak ga enak, maafkan yaaa … buat nebus kesalahan gimana kalau sekarang kita beli es krim sundae dan hot dog?” Aditya langsung berteriak, “Yes! Setuju!” tapi Anindya masih tampak cemberut.
“Anin … maafin Mama yaaa … Anin mau apa atuh supaya ga cemberut lagi?” bujuk mama. “Anin mau Mama ga telat lagi!” tukasnya. “Ok, ok … besok Mama janji ga telat lagi deh,” janji mama. “Yaaah … telat aja Ma … biar kita bisa beli es krim dan hot dog lagi,” sahut Aditya. Dengan cepat Anindya memukul wajah Aditya dengan bantal. Aditya tertawa. “Iya, iya … besok Mama ga telat dan kita tetap beli es krim dan hot dog!” ujar mama. Aditya bersorak lagi dan Anindya tersenyum. “Sekalian besok kita cari camilan buat Kak Anggi ya, lusa kita ke Bogor, jemput Kak Anggi,” sambung Mama.
Mobil membelah jalanan kota yang mulai diguyur hujan.
Beberapa saat kemudian mereka sampai di sebuah café. Setelah memarkirkan mobil, mereka turun dengan berlarian menghindari hujan, masuk ke dalam café tersebut. Mereka memilih meja di sebelah jendela dan mulai memesan. Anindya dan Aditya bercanda sedang Agni terlihat gelisah. Ia memandang sejenak pada hujan yang turun semakin deras lalu mengeluarkan telepon genggamnya. “Nin, gimana sih kalau mau nelpon hanya dengan perintah suara?” tanya Agni, “ tadi Mama ga bisa-bisa.” Anindya tertawa, “Gampang Ma … buka dulu kunci teleponnya trus Mama tinggal sebut deh nama orang yang mau ditelpon sesuai dengan nama yang Mama tulis di telpon Mama itu.” Agni menepuk jidatnya, “Pantesan ga bisa … Mama tadi maen langsung ngomong aja, lupa ga dibuka dulu kunci hapenya.” Anindya dan Aditya tertawa. Pesanan mereka akhirnya datang dan tanpa dikomando lagi Aditya langsung menyantap hot dog berukuran besar itu dengan lahap begitu pula Anindya. Agni tersenyum melihat mereka yang bersemangat menikmati makanannya, sedang di dalam hatinya ia merasakan gelisah.
Ia memijit nomer telepon putri sulungnya mencoba menghubunginya tetapi tidak ada nada sambung. “Kenapa Ma? Kok ga dimakan hot dog-nya?” tanya Anindya yang memperhatikan mamanya. Agni tersenyum, menjawab, “Nanti, Mama masih kenyang,” lalu mencoba menghubungi Anggi lagi. Tidak ada nada telpon yang menyambung, Agni menghela nafas. “Kak Anggi lagi sibuk kali Ma, jadi teleponnya dimatiin …” ujar Anindya. “Tapi dia janji mau terima telpon Mama malam ini,” resah Agni. Dalam hatinya Agni bertanya-tanya, apakah Anggi sudah meminum obat flunya? Gimana kabarnya di tengah hujan deras begini? Apakah Anggi sudah makan atau belum?
“Ma tenang … Kak Anggi akan baik-baik aja, dia tangguh kok, Anin hapal Kak Anggi,” ucap Anindya seraya menggenggam jemari mamanya. “Iya Ma … ingat ga waktu Kak Anggi ngebelain aku di sekolah? Semua anak bandel itu takut sama Kak Anggi,” tambah Aditya. Agni tertawa mengingat itu. Putri sulungnya itu memang dikenal pemberani sejak kecil dulu. “Kalian betul … baiklah … gimana hari kalian tadi di sekolah? Ada yang mau diceritakan sama Mama?” lontar Agni mengalihkan pikirannya seraya mengambil hot dog-nya dan mulai mengunyahnya.
“Sekolah ga seru … sama aja kayak kemarin Ma … gimana kalau aku cerita kenapa roti yang kita makan ini disebut hot dog?” tawar Aditya. Agni manggut-manggut, “Nah itu lebih menarik Dit.” Anindya mengerutkan kening, “Lu beneran? Emang tau?” Aditya mengangguk-ngangguk yakin. “Masa sih … aku ga yakin deh … orang penemu lampu aja kamu ga tau Dit,” ledek Anindya. “Kalau yang ini tau dong … soalnya yang ini baru baca pas tadi nungguin dijemput Mama hehehe,” cengir Adit.
“Ceritain atuh Dit cepet,” pinta Agni. “Jadi jaman dulu, sosis itu bentuknya besar-besar Ma … nah saat itu perkumpulan pengusaha sosis di Jerman membuat sosis yang ukurannya lebih kecil dan panjang dengan ujungnya ditekuk seperti anjing tekel, anjing ras dachshund itu loh,” urai Aditya. “Oh dari situ jadi dipanggil hot dog gitu ya?” sela Anindya. “Ga, bukan gitu … sabar dong, certitanya belum beres nih … terus, sosis itu dibawa ke Amerika dan mulai dijual dengan roti yang menjepitnya, tetapi penyebutannya susah yaitu ‘red hot dachshund sausages’ sehingga roti itu ga terlalu dikenal. Sampai suatu hari seorang kartunis Amerika, menggambar seekor anjing tekel yang berlumur saus sedang dijepit roti panas … nah dari sinilah orang-orang mulai menyebut sosis dijepit roti panas itu dengan ‘hot dog’ sampai hari ini … jadi begitulah asal usul nama hot dog hadirin sekalian,” tutur Aditya.
Agni bertepuk tangan kecil, “Wah Mama baru tau loh Dit … cerita yang informatif, anak Mama hebat banget.” Agni mencubit gemas pipi Aditya yang dicibiri Anindya. “Sekarang mau tau ga Ma, dari mana asal usul nama gorilla?” tanya Aditya lagi, Agni langsung mengangguk bersemangat. “Baiklah kalau gitu kita tanya langsung pada ibu gorillanya saja … jadi dari mana nama gorilla itu Bu?’ tanya Aditya pada Anindya. Anindya seketika melotot. “Reseh lu, emang gue induk gorilla!!” serunya sebal lalu menimpuk Aditya dengan remahan roti sedang Agni tertawa lepas melihat kelakuan kedua anak kembarnya itu.
...***...
Hujan deras telah mereda, tetapi masih menyisakan rintik-rintik yang jatuh.
Malam telah menjelang tetapi di lapangan para mahasiswi baru itu masih terlihat berdiri gemetar kedinginan dengan jaket yang basah kuyup. Meski jaket mereka anti air tetap saja dinginnya air hujan dan dinginnya udara tempat perkemahan mereka di lereng gunung itu masih bisa terasa menusuk terlebih hujan telah mengguyur mereka sejak sore tadi.
“Sekarang waktunya permainan!” teriak Ovi tiba-tiba. Para mahasiswi baru itu saling pandang dan mengeluh. “Pfffhhh … yang gue inginkan itu balik ke tenda dan istirahat, gue udah kedinginan dan capek, bukannya permainan,” lirih Dina menghela nafas. Anggi merogoh kantong jaket dalamnya, mengintip telepon genggamnya sesaat dan dengan cepat menekan tombol rekam suara kemudian mengantonginya lagi.
“Diam! Diam! Dengar! Tenang! Setelah malam ini, tidak akan ada permainan lagi. Jadi malam ini adalah malam terakhir kita bermain … maka dari itu, kami akan membuat permainannya lebih seru dari orientasi tahun lalu, supaya nanti kalian bisa mengenang ini sebagai permainan team building di jurusan kita yang paling seru! … daaan kabar baiknya … bagi kalian yang bisa survive dari permainan ini tepat saat matahari terbit besok akan mendapatkan penghargaan khusus dari kita!” teriak Ovi lagi, “terus gimana permainannya? Silahkan Kak Evelyn yang akan menjelaskan.”
Evelyn melangkah maju ke hadapan para mahasiswi baru itu dengan membawa sebuah senapan paintball di tangannya. Anggi dan rekan-rekan mahasiswi baru lainnya mengerutkan kening melihat itu. “Kalian semua pasti bertanya-tanya buat apa gue bawa senapan ini? Tentu saja buat main paintball dong … tapiiii … di sini hanya kita yang membawa senapan … kalian? Tidak! Hahaha,” ledek Evelyn puas.
Sontak seluruh mahasiswi baru itu memprotes.
“Diam! Diaaaam!!” teriak Ovi.
Semua pun terdiam. Evelyn berkata, “Kalian lupa ya sejak awal kita sudah sampaikan kalau kami adalah pemangsa dan kalian yang dimangsa, kami adalah pemburu dan kalian yang diburu … dan ingat! Kami adalah aturan … inilah aturan kami, patuhi, ikuti atau kami hukum!”
“Ini tidak sesuai dengan aturan jurusan dan orientasi!” kini Anggi berteriak, diikuti anggukan semua mahasiswi baru. “Supaya adil … beri kami juga senapan paintball … maka kami bisa survive sampai besok pagi!” teriak Anggi lagi menantang. “Ya betul! Setuju!” tambah Dina mendukung Anggi. Evelyn, Ovi dan Boba menatap tajam Anggi. “Anak ini cari mati,” bisik Ovi pada dua temannya. “Biar gue yang urus dia,” bisik Evelyn.
“Yang bilang permainan ini sesuai sama aturan jurusan siapa hey?! Permainan ini memang ga seusai dan ini adalah aturan kami!” hardik Evelyn. “Dan kalau gitu gue ga ikut!” tegas Anggi. Dina dan beberapa mahasiswi baru mengangguk menyetujui Anggi, sedang sisanya terdiam. “Si Sok Pintar bikin ulah lagi, ckckck … heh kalau lo dan teman-teman lo itu ga patuh maka semua mahasiswi di sini akan kita hukum!” ancam Ovi.
“Begini saja, buat yang patuh, dengar … permainannya adalah, kami akan mencari kalian di hutan, bila kalian tertembak maka kalian kalah, tetapi kalau kalian bisa bertahan sampai besok pagi tanpa tertembak, maka kalian menang dan akan mendapatkan penghargaan … ingat area hutannya telah kami batasi dengan bendera-bendera, kalian tidak boleh keluar dari batas bendera itu, kalau kalian melewati batas itu, kalian kami diskualifikasi dan akan dihukum berendam di sungai semalaman … mudah bukan?” cetus Evelyn.
“Ok Kak, kami ikut!” teriak sebagian besar mahasiswi baru itu.
Evelyn tersenyum, “Bagus.”
“Kalau begitu, rapatkan jaket kalian dan segera lari ke hutan cepat!!” teriak Boba, diikuti tindakan menarik dan mendorong dari para kating berjaket biru kuning lainnya untuk mengantarkan para mahasiswi baru itu berlarian menuju hutan.
Kini Evelyn menatap Anggi, Dina dan beberapa mahasiswi yang tadi tidak mau bermain. Semua kating mendatangi lalu mengelilingi mereka. “Well, well … apa yang harus kita lakukan sama para pembangkang ini?” sinis Ovi menatap mereka semua. Dina dan mahasiswi lainnya menunduk gemetar ketakutan, hanya Anggi yang menatap mereka satu persatu. Evelyn melangkah mendekati Anggi, berkata di depan wajahnya, “Anggi, Anggi … kenapa sih lo harus membuat semuanya jadi ribet? Tinggal patuh maka semua beres.” Anggi menatap Evelyn, berkata, “Selama sesuai dengan aturan dan kewajaran, maka gue akan patuh.”
“Si Sok Pintar … sekarang gue tanya, mana yang ga wajar? Kita bikin permainan ini untuk team building, supaya angkatan kalian kompak,” kilah Evelyn.
“Wajar, kalau kita pun dikasih senapan paintball,” jawab Anggi.
“Heh, kita juga dulu seperti ini … tapi ga ada yang sok pintar macam lo.”
“Gue bukan sok pintar Kak … gue cuma mengingatkan, jangan menganggap hal yang ga wajar jadi sebuah kewajaran hanya karena kalian punya kuasa,” ujar Anggi.
Evelyn mendengus, “Sekarang lo mau ikut maen atau ga?”
Anggi menggeleng.
Evelyn mengarahkan ujung senapan paintball-nya pada Dina. “Lo tau ‘kan kalau dalam jarak dekat peluru paintball bisa mematikan?” ucapnya menekan. “Lo ga akan berani,” tantang Anggi. Dar! Semua menjerit mendengar senapan paintball itu meletus. Dina gemetar ketakutan karena peluru paintball itu hanya berjarak beberapa senti dari kakinya. Anggi menelan ludahnya, ia tak menyangka Evelyn berani menembakkan senapan paintball-nya itu.
Melihat hal itu, mahasiswi yang tersisa segera menghambur berlari ketakutan meninggalkan Dina dan Anggi. “Hahaha … kabur deh lo semua!!” ledek Ovi melihat mahasiswi-mahasiswi baru itu lari tunggang-langgang masuk hutan. Ovi membawa senapan paintball-nya dan diikuti kating lainnya mereka menyusul para mahasiswi itu dengan berteriak-teriak senang.
Kini Evelyn mengarahkan ujung senapan paintball-nya pada kepala Dina.
“Percayalah, untuk tembakan kali ini gue ga akan meleset … jadi lo mau ikut maen atau engga, Sok Pintar?” cetus Evelyn. Anggi melirik pada Dina yang gemetar dan pucat. Ia tak bisa membiarkan seseorang menjadi celaka akibat dirinya, maka Anggi pun mengalah dan mengangguk. “Pergi lo,” perintah Boba pada Dina sembari mendorong tubuhnya. Dina menatap Anggi, Anggi mengangguk, Dina pun segera berlari menuju hutan.
Tinggal Anggi, Evelyn dan Boba berdiri di lapangan yang basah bekas diguyur hujan. Tiba-tiba Evelyn memukulkan popor senapan paintball-nya itu pada perut Anggi dengan keras. Anggi yang tidak siap mengaduh kesakitan memegangi perutnya. Boba terkejut melihat itu. “Itu hukuman karena lo melawan perintah gue, Sok Pintar,” tukas Evelyn. Anggi menahan rasa sakit di perutnya itu. “Sekarang … lo boleh pergi!” lanjut Evelyn mendorong Anggi. Anggi berjalan setengah bungkuk memegangi perutnya.
“Hey Nggi! Sebaiknya lo lari! Hahaha …” teriak Evelyn lalu meletuskan senapannya lagi ke udara. Anggi pun berlari. Boba menyiapkan senapan paintball-nya dan Evelyn berkata di sampingnya, “Bersiap Ba, sekarang waktunya berburu!” Mereka mengokang senapan mereka lalu berjalan ke dalam hutan dengan bersiul-siul.
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!