Hujan turun deras malam itu, mengetuk pintu rumah dengan irama yang monoton. Di ruang tamu besar berwarna krem, sebuah tawa pecah dari arah sofa. Aluna duduk berselonjor, wajahnya bercaaya di bawah lampu gantung, sementara kedua orang tua sibuk melayani.
‘’ Aluna, besok papah akan antar kamu sendiri ke butik itu. Pilih saja gaun yang paling kamu suka. Jangan khawatir soal harga. ‘’
Mamah langsung menimpali ‘’ Dan kalo ada yang terbaru, jangan lupa bawa pulang. kamu kan harus tampil cantik di acara gala minggu depan.’’
Aluna tersenyum manis, matanya berkilat penuh percaya diri. ‘’ Makasih, mah, pah. Aku janji akan bikin kalian bangga ‘’
Di sudut ruangan, Alya duduk diam. Gadis berusia tujuh belas tahun itu menggenggam buku pelajarannya dengan erat, berusaha menyamarkan rasa getir yang mengalir dalam hatinya. Ia sudah terbiasa duduk di sisi gelap di rumah itu, mendengarkan bagaimana setiap Doa dan pujian hanya jatuh pada sang kakak.
‘’ Ma, pa, aku.. aku juga besok ada lomba menulis di sekolah, ‘’ Suara alya lirih, nyaris tak terdengar dibandingkan riuhnya percakapan.
Namun, bukannya mendapatkan tanggapan, kedua orang tuanya malah terus berbicara soal gaun, pesta, dan undangan gala. Seakan-akan suara alya hanya angin lalu.
Ia menunduk. Jantungnya terasa perih, seperti diremas. Sudah ratusan kali ia berbicara, berusaha menunjukan dirinya pantas mendapatkan sedikit perhatian. Namun yang ia dapatkan hanyalah bayangan panjang sang kakak yang selalu menutupinya.
Malam kian larut. Setelah semua orang masuk kedalam kamar masing-masing, alya keluar ke halaman belakang. Hujan mulai reda, menyisahkan bau tanah basah yang menusuk hidung. Ia mendongkang, menatap langit yang kelam.
‘’ Aku bahkan tak di anggap ada.. ‘’
Ingatan tentang Arga pun muncul. Arga laki-laki yang sejak sekolah menengah pertama selalu menemaninya, mendengar keluh kesahnya, bahkan berjanji akan melindunginya dari luka dunia. Hanya dengan Arga, alya merasa menjadi dirinya sendiri.
Namun, beberapa minggu lalu, papah memanggilnya ke ruang kerja.
‘’ Alya, kamu tahu, kan. Arga itu calon yang tepat untuk Aluna? Kami ingin dia bersama kakakmu. Jadi, tolong jaga jarak. ‘’
Darah Alya serasa berhenti mengalir waktu itu. Bibirnya kaku, matanya memanas. Ia ingin menolak, ingin berteriak, ‘’ Arga mencintaiku, bukan Alun! ‘’ Tapi tatapan tajam papahnya kata-kata itu terjebak dalam tenggorokan.
Dan benar saja, beberapa hari kemudian, Alya melihat Arga berdiri di samping Aluna dalam sebuah pesta keluarga. Wajahnya tenang, meski matanya sempat menatap Alya sejenak, tatapan penuh luka yang tak bisa di lupakan.
Hari-hari setelah itu jadi saksi. Alya mencoba bertahan, tapi semakin hari, semakin jelas bahwa dirinya tak punya tempat. Ia hanyalah ‘’ Si adik’’ Yang harus berkorban.
Malam ini setelah merenung, alya membuat keputusan besar. Ia kembali ke kamar, membuka laki meja belajarnya, lalu mengambil secarik kertas. Tangannya bergetar saat menuliskan kata-kata yang mengalir dalam hati.
‘’Mah, pa. jangan khawatir. Aku baik-baik saja. Aku hanya ingin pergi mencari arti diriku sendiri. Kalian sudah punya Aluna yang bisa di banggakan, jadi tak perlu repot memikirkan aku. Doakan aku agar bisa bahagia. ‘’
Air mata jatuh menodai lantai. Ia melipat surat itu dengan hati-hati, lalu meletakkannya di atas meja belajar.
Satu koper kecil sudah ia siapkan sejak seminggu yang lalu. Tak banyak yang ia bawa hanya beberapa pakaian sederhana dan buku-buku tulis yang selama ini menjadi pelariannya. Bahkan sebuah ATM yang biasa ia gunakan untuk keperluan sekolah pun, Alya tinggalkan dengan saldo yang masih utuh. Karena selama ini Alya tidak pernah menggunakannya.
Dengan langkah berat, ia meninggalkan kamar. Setiap derap kaki di lantai terasa berat, seakan rumah itu ingin menahannya. Namun Alya tau, jika ia bertahan lebih lama, dirinya akan hancur sepenuhnya.
Di depan pintu ia berdiri sejenak. Menatap sekali lagi kearah ruang tamu yang remang. Disanalah seluruh hidupnya di jalani sebagai bayangan, sebagai gadis yang tak pernah di anggap cukup.
Keesokan paginya, rumah keluarga Darma gempar. Surat yang di tinggalkan oleh alya di temukan oleh seorang pembantu rumah tangga yang hendak merapihkan kamar Alya. Surat itu segera di berikan kepada Nyonya rumah.
Di ruang makan, Papah Darma membaca surat tersebut dengan wajah tanpa ekspresi. Mamah duduk di sampingnya, kedua matanya menyempit dingin setelah selesai mendengar isi surat.
‘’ Dia pergi? ‘’ Suara Papah Darma datar, seolah mendengar kabar seorang tamu yang membatalkan janji temu makan malam.
‘’ Ya, dan menurut mamah, itu lebih baik, ‘’ Jawab Mamah Ratna cepat, sambil meminum kopinya tanpa rasa bersalah. ‘’ Sejak kecil anak itu memang keras kepala. Tidak tau berterimakasih. Segala yang kita beri selalu di anggap kurang. Pergi adalah pilihan terbaiknya. ‘’
Papah Darma mendengus pelan. ‘’ Benar. Untuk apa kita repot memikirkan dia lagi? Kita sudah sibuk memastikan masa depan Aluna. Jika Alya memilih jalan sendiri, biarkan saja. Itu urusannya. Jika dia sudah tak tahan hidup di luar pasti akan kembali dengan sendirinya. ‘’
Tidak ada kesedihan. Tidak ada rasa kehilangan. Justru yang ada hanyalah kelegaan seolah beban lama telah terangkat dari rumah itu.
Aluna turun dari tangga dengan gaun tidur sutra, wajahnya masih dihiasi senyum puas. Rambut hitam panjangnya tergerai, dan ia tampak terlihat berseri.
‘’ Ada apa, ma, pa? pagi-pagi sudah serius sekali, ‘’ Tanya Aluna dengan nada manja.
Ibunya melirik sekilas lalu menyodorkan surat Alya. ‘’ Adikmu memutuskan pergi dari rumah ini. Sepertinya dia sudah bosan hidup di rumah ini ‘’
Aluna membaca sepintas. Bibirnya terangkat membentuk senyum sinis yang tidak bisa ia sembunyikan. ‘’ Oh.. Jadi akhinya dia memutuskan untuk pergi dari rumah ini.. ‘’
‘’ Aluna! ‘’ Tegur Mamah dengan nada halus, tapi tidak benar-benar marah.
‘’ Apa, ma? Bukannya ini kabar baik? Sekarang tidak ada lagi yang mengganggu ketenangan rumah kita. Lagi pula, bukannya papah dan mamah lebih bahagia kalua hanya fokus kepadaku? ‘’ Kata Aluna ‘’ Dengan kepergiannya, aku tidak perlu melihat Arga mencuri-curi pandang lagi ‘’
Papah menatap putrinya sebentar, lalu mengangguk pelan. ‘’ Kamu memang benar. Alya terlalu banyak menuntut perhatian, sekarang kita bisa memberikan yang terbaik untuk kamu.’’
Aluna tersenyum kecil, kemudian berjalan kearah kursinya. Ia duduk dengan anggun, sambil menyesap jus jeruk yang baru di sajikan. Dalam hatinya, ia merasa menang.
Satu alasan terbesar yang membuat hatinya lega adalah arga. Selama ini, Aluna selalu di landa cemburu setiap kali menyadari tatapan arga kerap kepada Alya. Walaupun Arga mencoba menyembunyikan, Aluna tahu betul siapa sebenarnya yang laki-laki itu cintai.
Dan kini, Dengan kepergian Alya, tak ada lagi ancaman. Arga akan sepenuhnya menjadi miliknya.
‘’ Syukurlah mah, pa. Aku janji, kalian tidak akan pernah menyesal. Aku akan membuat nama kelurga kita semakin harum. Tidak seperti Alya yang selalu menjadi bayangan, ‘’ Ucapnya penuh keyakinan.
Mamah mengelus lembut rambut Aluna, matanya berbinar penuh kebanggan. ‘’ Itulah putri mamah. ‘’
‘’ Karena Alya sudah pergi, Aku ingin merayakannya dengan jalan-jalan bersama Arga. ‘’ Seru Aluna dengan senyum mengembang di bibirnya.
‘’ Pergilah, buatlah laki-laki itu bertekuk lutut di hadapanmu. Jangan lepaskan dia, karena dia adalah satu-satunya pewaris Dirgantara. ‘’ Ucap Papah dengan senyum bangga. Karena sebentar lagi akan memiliki menantu kaya raya.
Tanpa bantuan Dirgantara, mungkin saat ini perusahaan papah sudah gulung tikar. Bahkan ia tidak akan melihat senyum manis putrinya.
‘’ Siap, mah, pah. Aku akan buat Arga menjadi anjing peliharaanku ‘’
Siang itu, matahari menyinari halaman rumah keluarga Arga dengan terik. Di teras depan, seorang pembantu membuka pagar untuk tamu yang datang. Sebuah mobil putih berhenti, dan dari dalamnya keluar Aluna dengan kacamata hitam besar menutupi wajah cantiknya.
Ia melangkah masuk dengan percaya diri, bibirnya tersenyum manis meski hatinya penuh niat tersembunyi.
“Selamat siang, Bu.” Ia menyapa ramah ibu Arga yang kebetulan sedang duduk di ruang tamu.
“Oh, Aluna. Silakan masuk. Arga ada di kamarnya. Panggil saja,” jawab ibu Arga dengan senyum hangat.
Aluna mengangguk sopan, lalu segera menuju kamar Arga di lantai dua. Ia mengetuk pintu beberapa kali.
“Masuk,” terdengar suara Arga dari dalam.
Saat pintu dibuka, Arga tampak sedang duduk di kursi dekat jendela, buku terbuka di pangkuannya. Wajahnya tenang, tapi tatapan matanya penuh jarak ketika melihat siapa tamunya.
“Aluna,” ucapnya singkat.
Aluna tersenyum lebar, berjalan mendekat tanpa ragu. “Arga, aku butuh kamu hari ini. Temani aku belanja, ya? Ada beberapa acara penting, dan aku butuh selera kamu untuk pilih gaun.”
Arga menghelai nafas panjang. “Aluna, hari ini aku ingin istirahat. Besok saja, atau ajak temanmu yang lain.”
Namun, Aluna tidak menyerah. Ia duduk di tepi ranjang, menatap Arga dengan sorot mata penuh manja bercampur tuntutan. “Arga, kamu tahu aku paling nyaman kalau ditemani kamu. Ayolah… cuma sebentar. Aku janji tidak akan lama.”
Arga menutup bukunya, lalu berdiri. “Bukan soal sebentar atau lama, Aluna. Aku memang sedang tidak ingin keluar.”
Rona wajah Aluna seketika berubah. Senyum manisnya memudar, digantikan ekspresi yang lebih licik. Ia tahu, jika terus memaksa dengan cara halus, Arga tetap akan menolak. Maka ia memainkan kartu lain kartu yang sejak awal ia simpan rapat.
“Arga,” panggilnya lirih, berpura-pura ragu. “Kamu sudah tahu soal Alya, kan?”
Mata Arga menajam, tubuhnya sedikit menegang. “Alya? Kenapa dengan dia?”
Aluna menunduk sejenak, lalu menatap Arga dengan ekspresi iba. “Aku kasihan sekali dengan Papa dan Mama. Mereka begitu kecewa. Bayangkan saja, adikku kabur dengan seorang laki-laki, entah siapa. Parahnya lagi, dia membawa perhiasan Mama. Kamu bisa percaya itu? Dia tega sekali.”
Arga membeku. Kata-kata itu masuk seperti duri menusuk jantungnya. Alya gadis yang ia kenal penuh kesederhanaan, yang selalu menjaga harga diri, yang bahkan menolak hadiah kecil darinya dulu karena takut dianggap menyusahkan. Apakah mungkin Alya melakukan hal itu?
“Aluna… apa kamu yakin dengan yang kamu katakan?” suaranya pelan, tapi bergetar menahan emosi.
Aluna buru-buru mengangguk. “Tentu. Aku tidak mungkin berbohong soal ini. Papa dan Mama marah besar, tapi ya… mau bagaimana lagi? Dia sudah memilih jalan itu. Aku hanya berharap kamu tidak lagi memikirkan dia. Tidak pantas, Arga. Alya sudah menunjukkan siapa dirinya yang sebenarnya.”
Arga menggenggam buku di tangannya begitu erat, hingga buku itu hampir kusut. Ada pertarungan sengit di dalam hatinya. Satu sisi, ia mengenal Alya lebih dari siapa pun. Sisi lain, berita yang ia dengar datang dari mulut kakaknya sendiri orang yang mestinya dekat dengan Alya.
Selama ini Arga tidak pernah tau bagaimana perlakuan Aluna dan juga kedua orang tuanya terhadap Alya. karena Alya, tidak pernah bercerita.
Melihat keraguan di wajah Arga, Aluna tersenyum samar. Ia tahu racunnya mulai bekerja.
“Jangan sampai kamu ikut terbawa masalah, Arga. Kamu terlalu berharga untuk itu. Fokuslah padaku… pada kita.” Suaranya lembut, penuh manipulasi.
Arga menutup matanya sejenak. Hatinya menolak untuk percaya, tapi pikirannya goyah. Bayangan wajah Alya muncul mata bening penuh luka, senyum sederhana yang selalu membuatnya hangat. Bisakah gadis itu benar-benar tega melakukan semua tuduhan itu?
Sementara Aluna, dengan penuh kemenangan, meraih tangan Arga. “Ayo, temani aku. Jangan pikirkan dia lagi. Alya sudah memilih jalannya. Biarlah dia hilang bersama pilihan buruknya.”
Arga tidak menjawab. Ia hanya berdiri, menatap kosong ke arah jendela. Namun, hatinya terasa semakin berat antara percaya pada cerita Aluna, atau tetap memegang keyakinannya pada Alya.
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!