NovelToon NovelToon

Cinta Terakhir Setelah Kamu

Cinta manis yang selalu membayangi.

Tristan bertemu dengannya terakhir kali di Paris. Dia mengandeng dua orang anak lelaki yang sangat tampan. Nirina melahirkan bayi kembar setelah menikah dengan lelaki pilihannya. Tristan tak pernah mengeluh pada kesetiaannya. Ya, dia hanya mampu melihat kebahagiaan Nirina- Nana dari jauh.

Cinta di masa kuliah yang berakhir menyakitkan. Dia kehilangan gadis itu karena membuatnya menunggu terlalu lama. Cinta yang membuat hatinya beku bahkan setelah 13 tahun berlalu.

"Bro! Sampai kapan foto ini akan di pajang?" Daren- sahabat sekaligus rekan bisnis Tristan menyapa dari ambang pintu.

Tristan tak masuk bekerja hari ini, kepalanya pusing sejak kembali dari Singapura. Daren berniat untuk menjenguknya tapi pemandangan di depan mata membuatnya terpaku.

"Gua copot ya."

"Ngga usah, bukan urusan lo juga kan."

Sahabatnya itu hanya bisa menghela nafas.

"Gimana bisa lo lupain dia, kalau foto pernikahannya di pajang segede ini, cinta Lo buta Tristan. Orang akan salah paham jika ini foto pernikahan kalian."

Daren duduk di sampingnya, sembari menatap foto itu lagi.

"Biarkan saja begitu. Gua memang ngga berniat untuk lupa padanya."

Foto itu diambil saat pernikahan Nana. Dulu, Tristan tidak di undang dan memohon agar Nana mengizinkannya datang. Gadis itu awalnya ragu, namun pada akhirnya dia mengirimkan undangan. Tristan datang dengan gengnya dan mengambil foto kenangan sebelum Nana bertemu suaminya. Tristan menggandeng gadis itu dan teman-temannya kompak mengabadikan moment tersebut.

Kini foto mereka abadi dalam ruang kerjanya.

"Mau sampai kapan hidup begini? Kemana-mana memakai cincin seolah lo udah nikah. Bro, cewek itu banyak. Sekarang kita sudah di Indonesia. Pilihlah satu dan bina keluarga yang bahagia."

"Berisik! Pergilah Daren, gua mau istrahat."

Daren menggelengkan kepala.

"No! Ngga bisa, bokap lo ngutus gua untuk nemenin lo di sini. Lagi pula ada berita penting, rapat akan mulai satu jam lagi."

"Rapat apa?"

"Rapat mengenai investasi penting di perusahaan Pak Wijaya. Lo mau dateng apa enggak?"

Tristan mau tak mau membuka mata.

"Hah, sialan. Lo ganggu banget tahu nggak."

Daren tersenyum dan melihat Tristan segera keluar, ini artinya pemuda itu akan bersiap dalam dua puluh menit.

***

Bagaskara Grup.

Berhasil berjaya membangun pabrik biodiesel nya sendiri, kali ini target pembangunan mereka ada di Sumatera. Kedatangan Tristan di Indonesia untuk mengawasi pembangunan itu.

Sebagai pewaris satu-satunya. Tristan juga tak dapat mengandalkan orang lain. Kehadiran pemuda itu di Jakarta menjadi magnet tersendiri bagi para staf. Tristan di kenal sebagai orang yang disiplin. Dia tak sungkan memecat siapapun yang bertingkah di hadapannya.

Bugh!

Seorang gadis di lempar keluar dari ruang HRD, CV nya terburai dan gadis itu buru-buru untuk bangkit. Langkah Tristan dan Daren seketika berhenti melihat pemandangan ini.

"Pak, bapak ini aneh ya. Udah jelas jawaban tes saya bener semua, dia hanya menang cantiknya doang. Bapak mau menerima orang cantik tapi isi kepalanya kosong atau menerima orang pintar, cekatan, tangguh dan manis seperti aku ini dan bonusnya kerjaan beres!"

"Diam kamu, saya yang memutuskan di terima atau nggak nya pegawai di sini. Nona Nirmala ini memang cantik, dari pakaiannya juga dia orang yang berpendidikan. Kamu ini, lihat pakaian kamu!"

Tristan dan Daren memperhatikan gadis itu.

"Kamu ini kayak SPG penjual obat urut!"

Beberapa staf tertawa. Gadis itu bukannya malu tapi ikut tersenyum.

"Hehe, lucu ya?"

Tak di sengaja Tristan ikut tersenyum.

"Pergi sana! Balik lagi ke sini halo kamu udah pintar milih pakaian."

Gadis itu cemberut, dia memungut berkasnya dan Tristan membantunya. HRD di sana tidak terlalu memperhatikan dan langsung menutup pintu.

Daren menggelengkan kepala melihat semua tingkah staf yang tak menyadari kehadiran Tristan.

"Kamu tidak apa-apa?" tanyanya.

"Nggak apa-apa, Pak. Ini bukan penolakan yang pertama kali kok."

"Maksudnya?"

Gadis itu menatap wajah Tristan. Dia tersenyum manis bentuk dari keramahannya.

"Iya, jadi saya sudah melamar pekerjaan di berbagai tempat dan semuanya ditolak. Semuanya beralasan yang sama, pakaian saya ini ngga cocok bagi mereka."

"Kalau sudah tahu kenapa tidak diubah?"

"Enggaklah, Pak. Lagian saya melamar kerja untuk dapat uang, untuk bekerja, bukan untuk menggoda laki-laki."

Tristan tersenyum.

"Apa dengan memperbaiki penampilan akan membuat lelaki menggodamu?"

Gadis itu bangkit dan mengambil seluruh berkas yang ada di tangan pemuda itu.

"Nggak semuanya begitu, tapi ya. Sebelum melalui bagian HRD alangkah lebih baik, jika saya berpenampilan apa adanya."

Tristan mengerutkan kening.

"Nona Nirmala itu menggoda staf HRD untuk di terima di perusahaan ini, jawaban tesnya kacau banget. Jika memang aku bisa di terima bekerja suatu saat nanti, aku mau bekerja pada orang yang jujur, orang yang murni memandang kemampuan bukan kecantikan."

Tristan menatap Darren, pemuda itu memalingkan wajah dan mengetuk pintu HRD.

Tok tok tok!!

"Apalagi sih?" Pak Tedi yang membuka pintu dengan kesal lantas menciut kala melihat kehadiran Tristan di sana.

"P-pak Tristan, kapan anda sampai?"

Tristan mengabaikan pertanyaannya dan meminta Daren masuk mencari jawaban tes yang di maksud gadis yang berdiri di sampingnya. Saat Daren masuk, Nirmala tampak memperbaiki kemejanya.

Daren keluar membawa selembar kertas dan Tristan mengulurkan tangan meminta jawaban tes milik gadis yang baru di tolongnya, sesuai ucapan gadis itu, jawabannya memang benar dan jawaban satunya hanya mengisi dengan asal.

Tristan lantas menatap Pak Tedi yang kini panik mencari alasan.

"Pak, saya bisa jelaskan."

"Kamu di pecat, mulai hari ini, kamu tidak perlu masuk lagi."

Gadis yang bersama Tristan terkejut, Pak Tedi kini memohon agar diberi kesempatan.

"Pak, ini hanya kesalahpahaman. Nona Nirmala adalah keponakannya Pak Bi...."

Tristan menyipitkan mata.

"Kau membangun nepotisme di kantorku?"

Pak Tedi semakin kalut.

Tristan menatap Daren dan security segera membawa lelaki itu pergi.

"Kau juga, apa yang kau lihat? Pergi sana!" Nirmala melenggang malu.

Gadis yang ada di samping Tristan pun pelan-pelan pergi dari sana.

"Hey, bukankah kamu mau bekerja?" Seluruh staf terdiam. Bagaimana tidak, ini tawaran langsung dari Pak Tristan.

"Saya, Pak?" tunjuknya pada diri sendiri.

"Ya, kamu. Nama kamu siapa?"

Gadis itu tersenyum saat uluran tangan Tristan siap menjabat tangannya.

"Saya Dinda, Pak. Dinda Kanya Putri."

"Saya Tristan, Tristan Bagaskara."

"Hah!!" Gadis itu seketika menyadari siapa dia. Berkas-berkasnya kembali jatuh ke lantai.

Tristan dan Daren ikut bingung melihat ekspresinya.

"Bapak Tristan Bagaskara, CEO dari Bagaskara Grup?"

"Wow, rupanya selain cerdas kamu jeli juga."

Dinda hampir pingsan dengan gaya lebaynya.

"Oh my God, sepertinya Tuhan sangat memberkati ku."

Tingkahnya yang absurd membuat Tristan tersenyum.

"Mulai sekarang kamu diterima bekerja di perusahaan ini, karena kamu ngga cantik-cantik amat, kamu akan menjadi sekertaris saya."

Dinda sangat senang lalu tersadar.

"What? Bapak muji saya atau menghina, Pak?"

"Satu lagi, saya nggak suka orang yang bising."

Gadis itupun mengangguk. Dia kembali memungut berkasnya dan mengikuti langkah Tristan.

"Ya ampun, gue diterima kerja. Mimpi apa gue semalam." Tristan dan Daren mendengar kehebohannya. Dinda memperbaiki penampilannya dan menyusul ke lift.

"Dinda," ucap Tristan membuat gadis itu menatapnya penuh takjub.

"Siap, Pak."

"Meeting setengah jam lagi, meski kamu nggak cantik-cantik amat. Perbaiki penampilanmu, kau adalah sekertaris Tuan Tristan. Daren akan menemanimu untuk memilih beberapa pakaian."

"Oh my wow! Terimakasih banyak, Pak. Tapi, ini gratis kan?"

Tristan menatapnya lekat.

"M-maksud saya, sekarang saya nggak punya uang."

Daren menatap aneh pada gadis itu. Dia berbisik ke telinga sahabatnya untuk mengingatkan.

"Bro, lo yakin rekrut dia jadi asisten?"

"Yup, setidaknya dia melamar bekerja dengan tulus, bukan berniat untuk menggoda, aku menghindari perempuan-perempuan centil. Dia sepertinya orang yang cocok untuk dibawa kemana-mana."

"Apaan dah, yang benar saja!"

Dinda masih menunggu jawaban.

"Belanjaan kamu akan dipotong dari gaji kamu bulan depan. Tidak ada yang gratis di dunia ini, kamu mengerti."

"Siap, Pak."

Hari pertama

Daren menatap gadis itu yang terus berlalu lalang sejak tadi tak memilih apapun. Mereka kehabisan waktu dan meeting sebentar lagi.

"Woi, lama banget sih. Kita hampir telat ini." Pemuda itu menunjukan waktu di jam tangannya.

"Maaf, Pak. Mau bagaimana lagi, semuanya mahal."

"Astaga, Dinda! Jadi dari tadi lo belum milih apapun karena harganya?"

Gadis itu mengangguk sungkan.

Daren bangkit lalu memilihkan baju dan rok.

"No, no, no! Pak, saya pakai celana panjang aja ya. Saya ngga cocok pakai rok."

"Banyak gaya, pokoknya beli ini saja, pakai sekarang mumpung gua mau bayarin."

Gadis itu berdecak.

"Tapi, Pak. Selain itu mahal, saya ngga pede makainya."

"Saya yang bayar, Dinda. Kamu ngga perlu ganti, buruan! Gua telat nih!"

Dinda mau tak mau berlalu ke ruang ganti, kata gratis yang diucapkan Daren membuatnya setuju walau setengah hati.

Saat gadis itu keluar, Daren terpaku melihat paha mulusnya.

"Pak, saya ngga cocok pakai ini. Selain itu saya juga malu."

"Diem! Terima saja. Bawel banget."

Daren membayar belanjaan itu, dia juga membeli celana panjang untuk Dinda buat jaga-jaga. Daren berkeras melakukan ini bukan tanpa sebab. Dia ingin Tristan melihat jika sekertaris barunya cukup mulus.

***

Tiba di kantor.

Tristan sudah masuk ke ruang meeting lebih dulu bersama staf yang lain. Daren dan Dinda terlambat karena terjebak macet.

Saat meeting hampir berakhir, keduanya muncul di ruangan setelah mengetuk pintu.

Tok tok tok!

"Masuk!"

Semua orang menoleh ke arah yang sama dan Dinda tertunduk tak berani melihat siapapun. Daren tersenyum memohon maaf pada sahabatnya.

"Sorry, kita telat. Macet di jalan."

Tristan lalu menatap Dinda dan pakaiannya. Melihat gadis itu memakai rok di atas lutut membuat pandangan Tristan menoleh ke Daren.

"Hey, Dinda. Duduk!"

Daren menarik kursi untuknya dan Dinda pun duduk di samping bos barunya. Daren berjalan ke sisi lain dan duduk di samping kanan Tristan.

"Apa yang lo lakuin dengan pakaiannya?" bisik pemuda itu.

"Sorry, Tan. Tapi masa iya gua kabulin keinginannya makai celana panjang? Dia kan sekertaris."

Tristan menghela nafas panjang.

Ini hari pertama Dinda bekerja, dia tak ingin menangis hanya karena Daren yang usil. Gadis itu memberanikan diri menatap ke depan dan Bosnya menyerahkan jas untuk menutupi kakinya.

Hal sederhana ini membuat Dinda terharu.

Tristan tak melakukannya terang-terangan, dia menyisipkan jas itu di bawah meja dan langsung dipahami oleh Dinda.

"Untuk keseluruhan saya rasa, saya bisa mempercayakan pembangunan pabrik ini pada arsiteknya. Dan, mungkin bulan depan saya bisa berkunjung untuk melihat hasil akhirnya."

"Benar sekali Pak Tristan, kami akan berusaha menyelesaikan pembangunan sesuai target waktu yang kita sepakati. Adapun kendala berarti, nanti kami akan melaporkan lagi ke ....?" Staf itu diam untuk melihat.

"Dinda Kanya, dia asisten sekaligus sekertaris saya." Dinda bangkit lalu membungkuk hormat.

"Baiklah, setelah ini saya akan mengobrol dengan beliau."

"Oke, rapat selesai." Tristan bangkit dan beberapa staf melewatinya. Mereka saling berjabat tangan dan Dinda akan berdiri untuk melepas para investor pergi.

Saat gadis itu akan berdiri, Tristan menahannya dan membuatnya duduk kembali di kursinya.

"Nona Dinda, saya butuh kontak anda untuk membicarakan pekerjaan."

"Oh iya, tentu saja." Dinda bertukar kontak dan ruangan pun kosong, kini hanya ada Tristan dan Daren di sana.

Dinda menatap kedua lelaki itu bergantian. Hawa yang menguar membuat bulu kuduk Dinda bergidik.

"Pak Tristan, mohon maaf banget Pak. Pertimbangkan saya untuk memakai celana panjang. Saya ngga cocok pakai rok seksi begini. Bapak nggak mau kan, istri bapak nanti cemburu kalau punya sekertaris yang make rok setengah telanjang begini?"

"Haha!!" Daren tertawa puas.

Tristan terpejam dan menarik kembali jas yang dia berikan ke Dinda.

Gadis itu tersentak dan spontan menutupi kedua pahanya.

"Pertama, aku tidak melarang mu memakai celana."

"Kedua, saya belum punya istri."

Dinda terperangah. Daren suka ini dan mengikuti Tristan berjalan meninggalkan ruang meeting.

"Oh iya, itu celana panjang buat lo. Sorry ya, Din. Gua cuman bercanda."

"Bercanda?" Dinda menatap tak percaya.

Daren pergi dengan santainya dan Dinda mengepalkan tangan.

"Apa maksudnya, dia mencoba mempermalukan gue, dih jahat banget, heran." Gadis itu memakai celananya dan ukurannya pas. Baru pertama bekerja dan nyalinya sudah di uji sedemikian rupa. Gadis itu kesal namun dia tak mungkin menyerah.

"Sialan Pak Daren, ada dendam apa dia sama gue." Sambil nyerocos, Dinda tiba-tiba teringat dengan ucapan Pak Tristan.

"Oh my wow, Pak Bos belum menikah. Yang benar saja, udah mengkal gitu hampir matang pula."

"Perasaan Pak Bos itu ganteng deh, kok bisa ngga laku ya?"

"Dinda! Apa kau belum selesai?" Gadis itu terkejut hampir jantungan. Dia segera keluar dan mendapati Tristan dan Daren masih menunggunya.

"Pak Bos, kok masih di sini?"

"Menurutmu? Apa kamu tahu ruangan saya?"

Gadis itu menggelengkan kepala.

"Makanya, buruan!"

Dinda bergegas dan sigap. Daren masih memperhatikan celananya sampai gadis itu menyadari perbuatannya.

"Pak Daren mesum banget sih, ngapain bapak lihat-lihat celana saya?"

Daren tersenyum menahan tawa.

"Ya gimana, lo tu aneh. Tahu nggak?"

Dinda menggelengkan kepala.

"Semua perempuan yang ingin menjadi sekretaris seorang Tristan, mereka berlomba-lomba untuk tampil cantik."

"Ya, mungkin karena mereka tahu jika pak bos itu masih single."

"Emang lo nggak tahu?"

Dinda melihat cincin di jari manis pimpinannya itu.

"Enggak tahu, emang harus tahu?"

"Wah, parah banget." Daren menggelengkan kepala.

"Hentikan Daren, sudah kubilang dia di sini untuk bekerja. Kamu saja yang keterlaluan menggodanya." Tristan angkat bicara, dia membuka pintu mempersilahkan Dinda masuk lalu menahan Daren di luar.

"Eh, lo ngapain Bro?"

"Sudah cukup main-mainnya, sekarang pergi dan urusi pekerjaanmu."

Pintu tertutup dan Daren meringis.

"Sialan, mentang-mentang udah ada sekertaris gua dicampakin." Daren meninggalkan tempat itu dan melanjutkan pekerjaannya.

Dinda masih terpaku melihat seisi ruangan, dia dengan tenang mengikuti Tristan ke mejanya.

"Kamu ngapain?"

Gadis itu terdiam.

"Meja kamu di sana," tunjuk Tristan di arah berlawanan.

"Oh, maaf Pak. Saya ngga tahu, hehe."

Dinda bergegas pergi dan melenggang bebas dengan celana kantornya. Tristan menggelengkan kepala melihat tingkahnya.

"Pak, boleh nanya nggak?"

"Apa?"

"Bapak, ganteng-ganteng gini kok bisa sih belum nikah?"

Tristan tersenyum dan duduk di kursinya.

"Apa kau tidak menyukai pekerjaanmu?" ucap pemuda itu.

Dinda seketika mengerti akan maksudnya.

"Suka kok, Pak. Maafkan saya. Saya tidak akan mengulanginya lagi."

"Dengar Dinda, aku tidak suka orang bertanya padaku tentang masalah pribadi ku. Ini kantor, tempat untuk bekerja."

"Paham, Pak."

Gadis itu tak lagi berani bertanya. Dia memeriksa pekerjaannya dan tak berani melirik ke arah Tristan.

"Oh ya, karena kamu adalah asisten, kamu juga harus cepat belajar untuk tahu apa yang aku suka dan apa yang tidak, jika pekerjaanmu bagus, gajimu juga bagus."

Mendengar itu, senyum tercipta di wajah Dinda.

"Siap Pak, tenang saja saya sangat cepat belajar untuk menilai sesuatu. Anda tidak akan pernah kecewa nantinya."

"Bagus, semoga saja apa yang kamu katakan itu benar. karena jika kamu melakukan kesalahan, saya ngga akan segan ganti kamu dengan asisten yang lebih baik."

"Duh, galak banget Pak Bos."

"Kamu bilang apa?"

"Hehe ngga ada, baiklah Pak Bos. Saya janji akan bekerja keras dan menjadi asisten yang berguna untuk bapak. Tenang saja. Hehe."

Sikapnya itu. Tristan suka semangatnya namun tak ada yang mengalahkan kehangatan semangat Nana dihatinya. Dia centil, berani, dan juga bersemangat.

Tentu Dinda tak bisa disamakan dengannya.

Bos Tristan yang galak.

Hari kedua menjadi asisten sang Bos.

Penampilan Dinda hari ini jauh lebih baik daripada penampilannya yang kemarin. Seperti yang dia katakan, hari ini gadis itu mulai berdandan. Celana kantor berubah menjadi rok. Namun ukurannya lebih panjang dari rok yang dipilihkan Daren kemarin.

Rambutnya di hias cantik.

Di ikat ekor kuda namun terlihat sangat anggun. Dia juga memakai parfum dan tas yang lumayan kece.

"Selamat pagi, Pak Tristan. Cuaca hari ini sangat cerah dan menyenangkan, apa bapak sudah sarapan?"

Tristan tertegun melihat penampilan barunya.

Di saat yang sama, Daren masuk ke ruang kerja mereka.

"Bro, soal kerja sama kemarin ...." Kalimat pemuda itu terjeda saat melihat penampilan baru Dinda.

"Wah, apa ini? Lo bukannya cewek yang kemarin? Nah, bisa lo pakai rok, katanya ngga bisa?"

Dinda meletakan tas dan barang bawaannya di atas meja lalu berdiri dengan tegap seolah dia akan membawakan presentasi penting.

"Setelah peringatan dari bapak Tristan kemarin, saya jadi berfikir untuk totalitas dalam pekerjaan ini."

Tristan dan Daren saling menatap.

"Untuk menjadi asisten yang nggak malu-maluin, saya sudah searching dan melihat banyak gaya atau mode untuk busana yang harus saya kenakan, Pak Daren. Saya pun berbenah dan harus terlihat cantik!"

"Lo ngga lagi kecentilan kan?" ejek Daren.

"Maksudnya?"

"Ya, bisa jadi lo berubah kayak gini karena tahu status Tristan yang sebenarnya. Lo lagi nyari kesempatan untuk mendekati bos lu sendiri."

"Ohoo, Pak Daren. Aku masih 27 tahun."

"Lalu?"

Tanpa mengucapkan apapun, Dinda menatap ke arah Tristan.

"Maksud lo, Tristan udah tua gitu?"

Dinda memilih menundukan kepala, sebuah proposal mendarat tepat di kepala Daren.

Bugh!

Auw!

Baik Daren maupun Dinda menoleh kompak pada Tristan.

"Udah selesai ngobrolnya? Daren jika kau tidak punya pekerjaan, ganti kan aku untuk melihat perkembangan pabrik kita di Sumatera."

"What? Gua, sendiri?"

Tristan mengabaikannya.

"Tristan, yang bener saja. Gua diutus bokap lo kesini buat nemenin loh bukan buat kerja ngawasin pembangunan pabrik."

"Daren, baru dua hari kau ikut denganku. Mulutmu itu sudah tidak bisa di jaga, kau dan Dinda tidak boleh terlihat bersama."

"What? Jadi ini gara-gara si Dinda?" Daren menoleh pada gadis itu.

"Kalau gitu, dia aja yang diutus ke Sumatera. Kenapa harus gue!"

"Urusanku bukan hanya ngawasin pabrik, Daren. Dinda di sini harus belajar banyak hal sebelum ikut aku dalam perjalanan bisnis."

"What?"

"Sudah sana pergi!"

Daren mencebik, dia terlihat kesal dengan keputusan sahabatnya itu. Saat pemuda itu berhasil pergi. Dinda buru-buru mendekat dan membawakan sebuah roti ke arah Bosnya.

"Terimakasih atas pertolongannya, Pak. Oh iya, sarapan kali ini mau saya siapkan roti selai? Bapak suka kopi atau teh?"

Tristan enggan menatapnya.

"Pak."

"Saya suka teh, tapi tidak suka roti selai."

"Oh, terus bapak suka apa? Apa perlu saya pesankan dari luar?"

"Tidak perlu, buatkan saja teh. Saya tidak suka manis."

"Baik."

Dinda bergegas melaksanakan tugasnya, dia menuju ke pantry dan beberapa staf memperhatikan gaya centilnya.

"Dih, aku tidak pernah melihat ular cepat sekali berubah kulit. Kemarin dia ber keras meminta izin untuk menggunakan celana panjang sekarang dia telah memutuskan untuk memakai roknya."

Dinda sadar orang-orang itu sedang menyindirnya.

"Oh ya, memang siapa sih yang bisa menahan pesonanya Pak Tristan. Udah ganteng, kaya, perhatian lagi."

"Iya, betul banget."

Dinda tak mengatakan apapun, dia dengan cepat menyelesaikan pekerjaannya agar bisa segera keluar dari pantry. Naasnya, karena tak merasa terganggu, staf di sana dengan sengaja mencekal kakinya hingga gadis itu jatuh bersama teh buatannya.

Suara pecahan kaca terdengar menghantam lantai, beling yang berserakan juga tak sengaja tertekan oleh tangan Dinda.

"Auw!"

Para staf yang membullynya lantas berhamburan keluar, mereka takut mendapatkan masalah yang lebih besar karena kejadian ini.

Dinda bangun dan melihat luka di tangannya. Tak ada siapapun yang membantu dan dia terbiasa akan itu.

Dia telah terbiasa untuk terluka.

Dinda bangkit untuk membuat teh yang baru dan membasuh lukanya. Seorang OB datang dan terkejut melihat pecahan kaca di lantai.

"Ada apa ini?"

Dinda menoleh dan meminta maaf.

"Saya jatuh, Pak. Maaf ya, saya akan bantu bersihkan pecahannya."

"Ngga usah, Bu. Ibu nggak apa-apa?"

Netra gadis itu akhirnya berembun.

"Tidak apa-apa."

"Lain kali, hati-hati, Bu. Kalau lantainya basah, panggil saya saja."

"Terimakasih, Pak."

Tristan menunggu hingga setengah jam lamanya, saat pintu terbuka dia mulai melirik gadis itu yang datang dengan senyum cerianya.

"Teh hangat ngga terlalu manis, special untuk Bapak Tristan. Silahkan."

Pemuda itu mendelik, namun sesaat kemudian dia mendapati kemeja Dinda basah dan tangan kanannya terluka.

"Kamu habis ngapain? Lama banget."

"Oh itu, Pak. Tadi saya jatoh pas mau kesini. Jadi balik bikin teh yang baru lagi."

"Jatuh? Kok bisa?"

Dinda hanya tersenyum.

"Ngga penting saya jatuh karena apa, yang penting itu, rasa teh buatan saya. Ayo di coba."

Tristan meminumnya dan suka akan rasanya.

"Satu sendok gula?"

"Yup, benar sekali. Kebetulan selera kita sama, Pak."

Tristan tersenyum.

"Oke, terimakasih untuk tehnya. Luka kamu obati dulu."

Dinda mengangguk lalu kembali ke mejanya. Raut wajah cerianya berubah murung saat mengingat perlakuan staf di kantor itu.

"Huh! Gue ngga akan nyerah hanya karena bulyan kecil ini. Nenek masih di rumah sakit, gaji di sini pasti gede buat bayar biaya pengobatan. Ini ngga ada apa-apanya di banding di suruh makai rok pendek." Batinnya.

Tristan mengawasinya sesekali sambil mengerjakan pekerjaannya.

"Dinda!" Wajah murung sang asisten seketika berubah ceria.

"Ya, Pak. Ada yang bisa saya bantu?"

Tristan terpaku di tempatnya. Dia menyadari jika gadis itu selalu berusaha tersenyum di hadapannya.

"Kamu punya obatnya?"

Dinda melihat goresan di tangan kanannya.

"Udah ngga berdarah kok, Pak. Bentar lagi juga sembuh."

Tanpa mengatakan apapun, Tristan keluar dari ruangan untuk mencari kotak obat.

Di ruang staf, saat pemuda itu melewatinya.

"Duh, tu cewe ngaduin kita ngga ya?"

"Pak Tristan tahu ngga ya?"

Tristan mendengar pembicaraan mereka.

"Di aduin pun, kita ngga ada salah, dia aja yang jatuh sendiri. Lemah banget jadi cewe!"

"Tapi, kamu yang sengaja cekal kakinya."

"Ehmm!"

Tiga staf wanita itu seketika berbalik dan tertunduk takut di hadapan Tristan.

"Bisa jelaskan apa yang terjadi?"

Pemuda itu menatap semua orang.

"Begitu ceritanya, Paak."

"Maaf ya, Pak. Kita janji ngga akan melakukan itu lagi."

Tristan menghela nafas panjang.

"Sudah berapa lama kalian kerja? Apa kalian pernah melihat saya menggoda seorang sekertaris?"

Ketiga staf itu menggelengkan kepala.

"Ini peringatan pertama dan terakhir kali, jika saya mendengar Dinda di ganggu lagi hanya karena kalian takut dia deket sama saya, kalian tak akan lagi di terima di kantor ini."

"Maaf, Pak."

"Ini peringatan bagi semua staf, kalian ke sini untuk bekerja bukan untuk bergosip."

"Mengerti, Pak."

Tristan berlalu dan membawa kotak obat ke ruangan kerjanya.

"Kamu sih!" Salah satu dari tiga staf itu, mengeluh.

"Udah diem, Pak Tristan udah pergi."

"Beruntung banget si Dinda, udah jadi sekertaris, di belain pula sama Pak Tristan. Enak banget jadi dia."

Gadis-gadis itu meracau berharap bisa seperti Dinda, meski kenyataan yang sebenarnya, tak seindah khayalan mereka.

Saat Tristan masuk ke ruang kerja, dia mendapati Dinda telah sibuk mengatur jadwal untuk Bosnya itu.

"Ini, kotak obat. Obati sendiri luka kamu itu."

Dinda terhenyak melihat kotak obat mendarat di mejanya.

"Loh, Pak. Saya kan udah bilang nggak perlu."

"Pakai nggak!" Sentaknya.

Dinda tertegun. Dia mengangguk dan segera memakainya.

"Galak banget dah, dia kenapa sih?" batinnya.

"Kamu tadi di gangguin sama staf di luar?" tanya Tristan.

"Enggak kok, Pak. Saya tadi cuman ja ...." Sorot mata bosnya terlihat sangat kesal.

"Toh."

"Kau tahu, Dinda. Saya paling tidak suka dengan orang yang suka berbohong."

Dinda menggelengkan kepala. Nyatanya dia memang tidak berbohong.

"Sepertinya, kamu memang tidak cocok menjadi sekertaris saya."

Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!

Download Novel PDF
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!