NovelToon NovelToon

Ayudia Putri Dari Istriku

Bab 1: Pernikahan yang Dipercepat

Mahardika Kusuma terkejut saat handphone-nya berbunyi. Ada nama indah tertulis di layarnya. Nama siapa lagi kalau bukan nama seorang gadis berumur 19 tahun yang ia impikan selama ini, Azalea Wardhana. Putri Wisnu Wardhana, papa ideologinya.

Dia pun segera meninggalkan ruangan. Ada yang lebih penting yang harus dia segera ia penuhi, rasa rindu yang selama ini mendera jiwanya. Sampai-sampai dalam tidur pun angannya tak bisa beristirahat. Ia mengembara tanpa batas, melewati tempat dan waktu untuk sekedar melihat senyumannya.

“Assalamu alaikum, Kakak.” Suara lembut menyapu pendengarannya membawa khayalnya berkelana. Ingin rasanya untuk langsung menemuinya.

“Waalaikum salam. Ada angin apa, Dek?" ucap Dika.

Ia tak menampik jika suara yang merdu mendayu berdendang indah di telinganya semakin menyeretnya pada nada cinta yang selalu membuat jantungnya berdetak semakin berirama

“Kakak, maafkan aku. Baru bisa memberikan jawaban sekarang.”

“Tak apa.”

“Aku…” Kata-kata pun terhenti. Hanya hembusan nafas yang terdengar lirih dari ujung handphone-nya.

Detik demi detik seakan berjalan sangat lambat dalam kesunyian, Dika masih menunggu. Dalam hati kecilnya, ia berharap Lea tak akan menolak pinangannya yang sudah ia sampaikan setahun yang lalu. Ah, Rasanya dirinya masih belum siap jika terjadi.

“Kakak.”

“Iya. Hm…apa keputusanmu?”

“Aku menerima pinanganmu, Kak.”

“Alhamdulillah. Tak sia-sia, Kakak menantimu selama ini.”

“Tapi aku punya syarat.”

“Hah, Syarat?”

“Bagaimana kalau minggu depan pernikahan ini dilangsungkan?”

“Baiklah.”

Kalau pernikahan dipercepat, itu bukan syarat melainkan sudah disyariatkan. Dika bahagia. Tak sangka cinta yang lama ia pendam telah bersambut dan akan berakhir di pelaminan.

“Ok. Besok kamu jangan kemana-mana. Kakak akan jemput kamu untuk figting baju dan persiapan lainnya.”

“Ok, Kak. Lea tunggu. Assalamu alaikum.”

“Waalaikum salam.” 

***

Azalea Wardhana, gadis manis dan selalu ceria di setiap saat kini sedang duduk termangu dengan apa yang sudah terjadi. Dia tak lagi bisa menahan air mata yang sejak tadi menggenang di bening bola matanya.

“Mbok, apakah aku salah?” tanyanya pada Mbok Sari, orang tua yang telah mengasuhnya selama ini, semenjak mamanya meninggal.

“Mengapa Non Lea tidak jujur saja pada Den Dika. Kalau Dia memang mencintai Non Lea, ia akan mengerti.”

“Tidak, Mbok. Aku takut kalau Kak Dika tak mau menerima ku dan akan menyuruhku menikah dengan Antonio. Karena dialah ayah dari anak yang ku kandung ini. Aku benci dia. Apa salah aku, Mbok. Sampai dia begitu tega memperkosaku. Aku benci dia. Aku benci anak ini.” teriaknya sambil memukul-mukul perutnya.

“Sadar, Non.” Mbok Sari segera menahan, khawatir terjadi sesuatu dengan janin yang kini sedang tumbuh dalam rahim Lea.

Azalea pun menghentikan tindakannya yang sangat berbahaya itu. Dia hanya bisa menangis sesenggukan di pangkuan mbok Sari.

“Non, apa tak sebaiknya Non memberi tahu Tuan Wisnu, Papa Non Lea.”

“Tidak, Mbok. Aku takut, aku akan diusirnya. Mbok tahu sendiri kan, Papa sangat keras sama Lea. Hanya Kak Dika yang sayang ke Lea. Tapi kalau keadaan Lea seperti ini, pasti Kak Dika tak mau menerima Lea. Ya kan Mbok?”

“Jujur itu lebih baik, Non.”

“Tidak, Mbok. Aku belum sanggup.”

Mbok Sari sudah tidak bisa berkata apa-apa lagi. Dia juga sudah kehabisan cara, agar Lea membuka diri dengan beban yang ditanggungnya saat ini. Setidaknya mengatakan pada orang yang menyayanginya . Baik Tuan Wisnu Wardhana atau pun calon suaminya, Mahardika Kusuma. Siapa tahu mereka dapat memberikan solusi.

Tapi Nona nya sudah memilih untuk merahasiakan keadaan dirinya, ia bisa apa.. pilih. Dia hanya bisa berdoa yang terbaik untuk nona kecilnya yang sudah ia asuh sejak ia lahir.

***

Keesokan pagi Dika segera meluncur ke rumah Lea. Ia ingin segera mempersiapkan segala sesuatu yang diperlukan untuk pernikahan mereka.

Meskipun sudah lama Dika memiliki rasa terhadap Lea, namun ia tak berani mengatakannya. Siapa sih dirinya? Berani-beraninya berangan-angan memperistri putri satu-satunya orang yang selama ini menolongnya dan memiliki kekayaan yang luar biasa. Perusahaanya dimana-mana, bahkan di luar negeri juga?

Dia hanyalah anak terlantar, terbuang dari keluarga dan hidup sendirian di jalanan. Untuk bertahan hidup dan sekolah, ia hanya mengandalkan hasil dari mengumpulkan sampah.

Dia beruntung bertemu orang yang sebaik Tuan Wisnu yang mau menampungnya, meski ia harus menjadi tukang kebun di rumahnya, asalkan ia bisa sekolah.

Tapi sebenarnya bukan hanya tukang kebun saja, melainkan guru les dan teman putrinya yang bandelnya luar biasa. Siapa lagi kalau bukan Azalea Wardhana yang saat ia datang ke rumah ini baru berusia hampir lima tahun.

Azalea Wardhana, gadis kecil yang selalu mengacak-acak kamarku dengan kehebohannya. Lucu, menarik dan menggemaskan.

Tuan Wisnu tak tanggung-tanggung dalam menolongnya. Sampai bisa hidup mandiri seperti ini, memiliki perusahaan sendiri. Dan dapat menyelesaikan Pendidikan S2-nya dari usahanya sendiri. Tuan Wisnu sangat menginspirasinya. Tak salah jika mendapat julukan bapak ideologisnya.

“Assalamu`alaikum, Papa,” sapa Dika, lalu mencium tangan Wisnu dengan takdzim.

“Wa’alaikum salam. Akhirnya kamu datang juga. Lea sudah lama menunggumu, tuh.” Senyum sumringah tampak jelas di wajah Wisnu Wardhana.

Ia begitu senang akhirnya putrinya mau menikah dengan Dika, kandidat utama yang sudah ia persiapkan untuk putrinya sejak melihat bakatnya serta perhatian yang tulus yang diberikan Dika untuk putrinya.

Pada siapa lagi perusahaan akan diwariskan kalau tidak pada Lea, putri satu-satunya. Namun sayang Lea agak malas. Andai tidak ada Dika, mungkin Lea tak bisa seperti sekarang ini.

Dia sering pusing sendiri dengan kelakuan putrinya. Sering membantah kalau di bilangi atau apalah. Yang jelas kalau dengan bersamanya yang ada perang dunia atau perang dingin.

Mungkin karena sejak kecil ia tak mendapat kasih sayang bundanya, ditambah pula ia sering ke luar negeri sehingga tak banyak waktu untuk putrinya, sehingga dia bersikap seperti itu.

Beda kalau bersama Dika. Dia tampak lebih penurut. Mungkin karena Dika tipe kakak yang bisa ngemong dan juga tulus menyayanginya.

Padahal dengan Dika, Lea juga tak kalah badungnya. Hanya saja, ia bisa bersikap sabar. Ia telah menganggap Lea sebagai adiknya yang harus ia jaga setiap saat.

“Kakak ini menyebalkan deh. Lagian untuk apa aku belajar, untuk bekerja. Yeee…Uang Papa juga tak akan habis meski tujuh turunan.”

Dika tak menggubrisnya. Ia tetap konsentrasi menyetir mobil membelah jalanan yang hampir-hampir macet di jam-jam sibuk ini. Ia hanya ingin segera sampai di sekolah Lea, lalu pergi ke kantor dan bekerja dengan tenang.

Tiba di gerbang sekolah, ia segera menghentikan mobilnya.

“Sudah selesai ngedumelnya?”

“Ya, ya.” Ia segera melepas seltbet-nya meski dengan wajah ditekuk.

“Awas kalau ada laporan kamu bolos sekolah, Kakak tak segan-segan kirim kamu ke Barak Tentara, atau ke Gurun sekalian.”

“Sadis amat,” ucapnya dengan segera merapikan baju seragamnya.

“Kak.” Lea menengadahkan tangannya ke arah Dika dengan mengedip-ngedipkan matanya. Apalagi maksudnya kalau bukan minta uang saku. Maklumlah, semenjak ia ketahuan keluar malam bersama dengan temannya, ATM-nya diblokir oleh Papa Wisnu. Apalagi ia sudah kelas 3, makin ketat peraturan papa Wisnu. Tapi tak apa, masih ada Kakak Dika yang murah hati untuk memberinya uang. Meskipun sedikit, tapi lumayan juga untuk mengganjal perut di sekolah termasuk traktir teman-teman.

Dika segera mengeluarkan 3 lembar uang berwarna merah dari dalam dompetnya, “Nih…”.

Lea segera menerimanya dengan senyum dan mata berbinar-binar.

“Terima kasih, Kakak.” Ia pun berlalu begitu saja meninggalkan Dika.

Itulah selintas kenangan, saat-saat dirinya harus menghadapi Lea.

Lea sudah berada di dalam mobil, menunggu Dika dengan muka cemberut. Isyarat tak mengenakkan dari adik kecilnya yang bandel. Dika pun berpamitan.

“Papa, kami pergi dulu.”

“Pergilah. Kalau ada apa-apa hubungi Papa.”

“Baik, Pa.”

Tak terlalu sulit bagi Dika untuk bisa membuat sebuah pernikahan yang Lea impikan. Ada uang, semuanya pasti jalan. 

Bab 2 : Kenyataan Tak Terduga

"Bagaimana saksi, Sah?”

“Sah.”

Dika benar-benar merasa lega bisa melewati prosesi yang paling penting dalam pernikahan ini. Untuk acara selanjutnya tinggal menuruti pihak WO saja. Sebuah acara resepsi yang melelahkan. Tapi demi istri dan Papa mertua, ia mencoba bersabar, meski jam 12 malam baru kelar.

Tamu Papa Wisnu banyak, semua rekan bisnisnya diundang, Demikian juga dengan karyawannya dari sekretaris sampai satpam, semua diundang. Maklum Lea, adalah pewaris tunggal grup Wardhana, perusahan yang didirikannya.

Demikian juga dengan karyawannya sendiri, tak enak kalau meninggalkan mereka. Mereka banyak berkontribusi pada perusahaan, waktu pesta seperti tidak diikut sertakan meski dengan peraturan dilarang membawa kado atau amplop. Agar mereka tak segan untuk datang.

Semua tamu sudah pulang, bahkan Papa Wisnu juga sudah menuju ke kamarnya. Kini hanya tinggal beberapa orang dari WO yang sedang membereskan peralatan pesta dan juga dirinya.

Tubuh Lea tiba-tiba limbung, Dika segera menangkapnya agar tak jatuh. Beruntung ada sebuah kursi di dekat mereka. Dika pun mendudukkannya di kursi tersebut.

“Kenapa, Dek?” tanya Dika khawatir.

“Tak apa-apa, Kak. Mungkin aku hanya lelah,” jawab Lea dengan lemah. Matanya sebentar terpejam, sebentar menyala. Dan ada butiran halus memenuhi keningnya. Sesekali deheman keras keluar dari mulutnya. Huaaaikkkk….

“Tidak, kamu pasti sakit.”

“Ah, paling dengan minyak kayu putih dan istirahat akan hilang sendiri.”

Lea mencoba berdiri namun hanya sebentar kemudian duduk kembali. Wajahnya tampak semakin pucat dan matanya terpejam. Ia pun tak tahu lagi dengan apa yang terjadi. 

 “Lea Lea,” panggil Dika.

Namun sayang, tubuh Lea tak merespon, membuat Dika semakin panik. Ia pun segera menelepon dr. Aris, dokter keluarga papa Wisnu. 

Tak lama, dr. Aris pun datang. Ia pun segera memeriksa keadaan Lea dengan seksama. Dahinya berulang kali berkerut. Nafasnya sesekali berhembus dengan kasar.

“Apa karena dunia sudah mendekati akhir ya, sehingga menikah harus pakai kecelakaan dulu.”

Dika yang mendengar gumaman Aris terperanjat. Dia memandang Aris bingung, lalu ia pun bertanya, “Maksudmu apa?”    

“Begini nih, lelaki. Sudah melakukan tapi tak merasa,” ucapnya dengan kesal dan sedih.

Dika tersentak. Seolah dadanya dihantam oleh bongkahan batu seberat satu ton. Dia tak bodoh-bodoh amat dengan maksud Aris. Hanya saja ia tak mengira, kalau maksud Lea meminta pernikahan mereka dipercepat adalah karena hal ini.

“Bagaimana keadaannya?” Dika mencoba menetralkan suasana hatinya yang benar-benar kacau balau. Meski sakit hati, kecewa, marah, tapi dia tak boleh membongkar aib Lea yang notabene adalah istrinya saat ini.

“Keadaannya baik. Ini biasa terjadi pada ibu yang sedang hamil muda. Untuk sementara aku beri infus dulu, untuk menambah nutrisinya.”

“Ya,” jawabnya dengan diiringingi oleh nafas berat tertahan.

Aris segera menelepon seseorang untuk membawakan cairan infus dan juga barang-barang yang dibutuhkan. Lalu, dia pun memberi wejangan sedikit agar Dika bisa menjadi suami siaga untuk istri tercinta. Dika tampak dingin menanggapi nasehat-nasehat Aris.

Tak berapa lama seorang perawat perempuan membawa apa yang Aris perlukan. Orang kaya gitu lho…meski tengah malam, jika ada kebutuhan mendesak bisa langsung mendapat pelayana, di hotel pula.

Mereka segera berpamitan, meninggalkan Dika yang masih dengan suasana hati yang tidak baik-baik saja.

Ia merasa terpukul. Dia duduk tertunduk di sofa yang ada di pinggir ruangan. Ia memandang sedih tubuh Lea yang kini terlihat terbaring lemah di atas kasur yang dipenuhi oleh hiasan dengan pernak-pernik layaknya sepasang pengantin yang akan menyambut malam pertama.

Impiannya pupus sudah. Hasrat keinginannya runtuh seketika. Ternyata ada lelaki lain yang mendahuluinya. Dia merasa tertipu, sakit hati dan marah. Ia merasa dipermainan oleh Lea.

Atau kah ini karena salah yang akhir-akhir ini meninggalkan Lea dalam kebebasan. Semenjak menginjak bangku kuliah, ia tak banyak menemani Lea. Ia memberi sedikit kebebasan pada Lea untuk menikmati masa mudanya. Toh, iia sudah dewasa.

Ia tak menampik kalau tersimpan cinta di ruang hatinya untuk Lea. Dan ia juga senang jika Lea bermanja-manja kepadanya. Namun ia takut akan terseret pada perbuatan dosa sebelum Lea sah miliknya.

“Kakak.” Terdengar suara lemah Lea memanggil. Dika mendiamkannya. Ia masih marah dan kecewa dengan kenyataan yang kini terpampang jelas di depan matanya.

“Kakak,” panggilnya sekali lagi. Suaranya yang lemah dan sedih seakan mengetuk belas kasihnya. Namun ia bergeming.

 “Sudah berapa bulan?” tanya Dika dengan tatapan tajam.

“Tiga bulan,” jawab Lea sambil terisak.

“Kebebasan semacam inikah yang kamu inginkan saat kamu mencoba menunda pernikahan setahun yang lalu? Membiarkan dirimu disentuh orang lain!”

Dika sudah dikuasai oleh emosi. Ia sangat marah dan kecewa, ingin menumpahkannya saat itu juga.

“Kakak!” Tak sangka Dika yang selama ini menjadi separuh sandaran hidupnya telah tega berkata seperti. Ia benar-benar kecewa.

Tubuh Lea jatuh terkulai, dengan getaran hebat yang mengguncang dirinya. Isakan tangis penuh kesedihan menggema, semakin menghimpit dada dan menambah sesak yang tak tertahanan.

Dika pun tersadar. Tak seharusnya ia memarahi gadis yang sejak ia kecil ia sayangi. Justru yang patut disalahkan adalah dirinya. Mengapa tak bisa menjaganya dengan baik.

“Maafkan, Kakak,” kata Dika. Dia pun menghapus tetes air mata yang mengalir deras di pipi Lea. “jangan menangis lagi, kasihan baby yang ada diperutmu.”

“Terima kasih, Kak. Aku akui kalau aku salah tidak berterus terang dulu sebelum menikah, menjebak kakak hanya untuk menutui aib ini. Namun tahu kah Kak, mengapa aku melakukan itu?” kata Lea di tengah-tengah tangisnya yang mulai mereda.

“Tak usah kau ceritakan. Hanya akan menambah luka.” Dika belum siap menerima kebenaran yang Lea coba terangkan. Tentang lelaki yang telah menyesatkan dirinya atau rasa cinta yang mungkin tak pernah terbalaskan.

“Baiklah, Kak.” Lea menyadari kalau kesalahan ini terlalu besar, sehingga Dika perlu waktu untuk bisa menerimanya. Ia pun terdiam, merenungi nasib yang saat ini tengah mempermainkannya.

“Sekarang tidurlah. Jagalah baby itu dengan baik, sampai ia lahir.” Dika pun beranjak, meninggalkan Lea menuju ke tempat semula. Sebuah sofa yang mungkin bisa mengistirahatkan jiwanya yang saat ini sedang terluka.  

Dika juga merasakan hal sama. Sepanjang malam matanya juga sulit terpejam. Berulang kali ia membolak-balikkan tubuhnya untuk mencari posisi yang nyaman, namun tak berhasil juga membuat diri tertidur dengan lelap.

 Ia pun beranjak, membersihkan diri dan berwudhu untuk melakukan sholat malam. Semoga Allah memberinya petunjuk agar bisa menyelesaikan masalah ini dengan baik.

“Lea, rencana bulan madu kita batalkan, ya. Aku takut dengan baby yang ada dalam kandunganmu. Dan kita akan kambali ke rumahku besok. Kamu tidak keberatan, kan?” kata Dika.

“Iya, Kak.”

Bab 3: Antonio

Esok paginya, Mereka segera cek out dari hotel, tempat mereka menginap semalaman. Bukan keindahan yang Dika dapatkan, layaknya pasangan baru yang baru menikah, tetapi kesedihan yang yang tak terkira yang Dika dapatkan. Namun demikian Dika tetap bersabar.

Dika membawa Lea ke rumah yang suda lama disiapkannya. Sebuah rumah megah dengan halaman yang luas, seperti yang idamkan selama ini.

Dika membawa Lea ke ruang tidur utama, sebuah ruang tidur yang sangan luas dengan perabotan yang telah lengkap untuk dirinya, terutama meja rias dan lemari.

“Itu lemari sudah penuh dengan baju. Tak usah kamu ambil bajumu yang ada di rumah papa. Mungkin untuk baju ibu hamil belum siap. Sabar ya, pasti kakak belikan.”

“Terima kasih, Kak.”

Lea sangat bahagia, Dika sudah menyiapkan semuanya untuk dirinya. Namun ia harus kecewa ketika Dika berkata, “Kamu tidur di sini saja. Aku akan tidur di kamar sebelah.”

“Aku harap kamu tak kecewa, Lea.”

“Ya. Aku mengerti, Kak.”

“Kalau ada apa-apa, tinggal ketuk pintu kakak.”

“Terima kasih, Kak.” Lea pun merebahkan tubuhnya di ranjang. Tubuhnya masih sangat lelah. Ditambah pula sejak semalam ia belum bisa tidur.

Dika meninggalkan Lea. Ia juga ingin beristirahat sejenak. Sebagai pengganti istirahatnya semalam.

Untuk hari ini, biarlah seperti ini.  Tapi yang jelas, ia tak bisa mengabaikan Lea. Ia sedang hamil. Ia harus bisa menjaga moodnya, agar bayi yang dikandungnya bisa tumbuh dengan baik. Rasa kecewa ini biarlah ia simpan dalam hatinya saja. Ia akan focus dalam menunjang kesehatan jiwa maupun raga bumil. Agar ia merasa tak diabaikan, tentu sebatas yang ia mampu.

***

“Kakak, aku  ingin mbok Sari ikut kita,” kata Lea saat sarapan di suatu pagi.

Dika diam sejenak. Di rumahnya memang sudah banyak art yang akan membantu Lea dalam mengurus rumah tangga. Tapi sepertinya Lea perlu teman dan membimbingnya dalam menghadapi kehamilannya ini. Memang sosok Mbok Sari yang cocok, tapi bagaimana dengan papa Wisnu. Apakah ia akan mengijinkan?

“Ok, nanti aku bilang Papa. Semoga diijinkan.”

“Setelah mengantarmu control, nanti kita jemput Mbok Sri.”

“Makasih, Kak.”    

Dika akan menyempatkan waktu untuk menemani Lea control. Atau hanya mengingatkan untuk meminum susu bumilnya. Entahlah, mengapa ia bisa melakukan itu semua. Padahal sampai saat ini, rasa kecewa masih ia rasakan. Apakah ini tumbuh karena cinta yang selalu ada untuk Lea atau hanya rasa kasihan pada wanita yang berbadan dua. Tak tahulah.

Menjelang usia kehamilan 9 bulan,  Dika sering mengajak Lea untuk jalan pagi. Apalagi kalau hari libur, mereka akan jogging di hutan kota. Semua ia lakukan agar Lea memperoleh kemudahan dalam menjalani persalinannya kelak.

“Kak, aku kok pingin mendoa. Belikan, dong!” pinta Lea sesaat setelah jalan pagi menyusuri jalanan kecil yang ada di hutan kota.

“Perasaan selama hamil, kamu makin manja deh. Ini karena babynya atau mamanya?”

“Hehehe…dua-duanya.”

“Baiklah, tunggulah di sini sebentar.”

Dika sudah bertekad akan memperbaiki hubungan mereka kelak setelah Lea melahirkan. Taka da salahnya jika saat ini ia memberikan perhatian penuh pada Lea, apalagi saat ini menjelang kelahiran babynya. Dia perlu dukungan dari orang-orang yang ada di sekitarnya.

Sementara Dika membeli mendoa, Lea mendaratkan tubuhnya berlahan-lahan di atas hamparan rumput. Agak sulit, tapi ia tetap berusaha untuk. Ia tertolong sekali saat sebuah tangan membantunya.

“Antonio?” Lea terkejut bukan kepalang, saat melihat sosok yang membantunya. Ia tak menyangka akan bertemu dengan sosok yang sudah ingin ia lupakan. Dia pun menghempaskan tangannya. Ia pun mengurungkan keinginannya untuk duduk.

“Apa kabar, Lea?...Bagaimana kabar anak kita, apakah ia baik-baik saja?” tanya Antonio dengan senyum semiriknya.

Gigi Lea gemeretak, menahan amarah. Berani-beraninya Antonio berkata kepadanya seperti itu.

“Gila, kamu Antonio. Siapa yang mau hamil dengan orang sepertimu. Dan perlu kamu ingat, Aku wanita yang sudah bersuami. Anak dalam kandunganku ini adalah anakku bukan anakmu,” kata Lea. Ia tak ingin Antonio tahu keadaan yang sebenarnya. Biarlah rahasia ini cukup ia, suaminya dan Mbok Sari yang tahu. Lagi pula ia tak ingin anak itu jatuh pada Antonio, meskipun ia adalah bapak biologisnya. Cukup ia yang menjadi korban kebrengsekan Antonio. Janganlah putrinya akan menjadi korbannya juga.

Untuk apa mempedulikan orang gila sepertinya, tak ada manfaatnya sama sekali.

“Pergilah! Aku tak punya urusan denganmu,” usirnya.

“Mengapa engkau mengusirku, Lea. Padahal kamu tahu pasti kalau anak yang kau kandung adalah anakku. Aku ke sini hanya ingin bertemu dengannya.” Antonio mencoba mengusap perut Lea. Spontan Lea menepisnya.

Orang seperti tak bisa dibiarkan. Dia akan nekat. Tapi untuk melawan, Lea tak punya kekuatan. Lebih baik ia pergi, menuju keramaian mencari keberdaan Dika. Di dekatnya, ia akan merasa aman. Ia pun melangkah cepat meninggalkan Antonio.

Lea sangat ketakutan sehingga tak lagi memperhatikan langkahnya dan juga kedaannya yang kini sedang hamil tua. Ia baru sadar ketika merasakan nyeri yang amat sangat di perutnya dan tampak darah segar mengalir di sela-sela pahanya.

“Kakaaakkkkk….” panggil Lea. Ia sudah tak sanggup lagi bertahan. Ia jatuh terduduk dengan darah yang semakin deras mengalir di sela-sela pahanya.

Antonio yang tiba di tempat Lea, segera ingin menolongnya. Namun Lea menepisnya.

“Pergi kamu!”teriaknya. Antara kemarahan dan rasa sakit di perutnya bercampur jadi satu. Ia hanya berharap Dika segera datang.

Untung saja Dika segera datang. Dia syok dengan keadaan Lea. Tanpa berfikir panjang, ia segera membopong tubuh Lea. Dan membawanya ke mana mobilnya terparkir.

“Adakah yang bisa menyetir,” tanya Dika pada orang yang mengerumuninya.

Tanpa banyak kata, Antonio segera masuk dan mengambil kendali mobilnya.

“Keluar Kau!” usir Lea. Tapi tak dipedulikan oleh Antonio. Ia segera menginjak pedal dan melajukan mobil itu dengan segera, agar Lea segera mendapat pertolongan. Tak peduli berapa kali Lea menyumpahinya dan mengusirnya, ia tetap konsentrasi mengendalikan kemudi. Ia merasa bersalah dengan apa yang terjadi pada Lea. Ia tak menyangka kalau Lea akan lari menghindarinya dan menyebabkan ia seperti ini.

“Sayang, istighfar.” Dika menenangkan. Dika tak tahu siapa yang Lea maksud. Mungkinkah karena rasa sakit yang amat sangat menjelang melahirkan, sehingga ia berkata seperti ini.

“Jangan ambil putriku, Nio. Aku yang mengandungnya, Nio. Aku yang susah payah menjaganya, Nio. Apakah kamu mau mengambilnya, hah. Lalu kamu peralat dia untuk mengeruk kekayaan demi dirimu. Kamu kejam, Nio. Pergi kau, Nio …” Lea terus saja mengocek tak jelas. Membuat Dika makin panik.

“Cepat, Mas. Kasihan istriku, kesakitan begini.” Baik Dika maupun Antonio tak tega melihat keadaan Lea. Begini kah keadaan orang yang melahirkan. Apalagi dengan keadaan Lea yang seperti ini.

“Baik, Pak.” Antonio menambah kecepatan mobilnya. Untung saja hari ini hari libur, tak banyak kendaraan yang berseliweran. Sehingga ia bisa sampai di rumah sakit dengan cepat.

Begitu tiba, Dika segera keluar sambil membopong tubuh Lea yang sudah penuh dengan darah dan wajahnya tampak semakin pucat namun bibirnya masih berucap yang tidak-tidak, beberapa kali ia menyebut nama Nio Nio. Siapakah sebenarnya Nio?

Beberapa perawat menyambutnya dengan membawa tempat tidur pasien. Dika segera menurunkannya, tampak ia mulai tenang.

“Istighfar, Sayang.” Dika terus menyerukan istighfar di telinga Lea. Sampai suara Lea menghilang dengan wajahnya semakin pucat.

“Suster, Istriku suster.”

“Bapak tenang ya. Tunggu di sini dulu!”

Langkah Dika pun terhenti. Ia membiarkan perawat itu membawa tubuh Lea ke dalam ruang persalinan.

Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!

Download Novel PDF
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!