"Assalamualaikum sayang, mas pulang," teriak Revan menggema di seluruh ruang tamu yang cukup luas.
Melati melongok ke bawah, lalu turun tergesa menuruni anak tangga, menyuruh suaminya untuk diam, pasalnya putri bungsu mereka baru saja terlelap. Usaha melati untuk menidurkan putrinya yang baru berusia 1 tahun lebih penuh perjuangan yang ekstra.
"Mas jangan berisik, Ayana baru saja tidur."
Revan mendekap istrinya dengan erat untuk menumpahkan kerinduannya.
"Maaf sayang mas terlalu senang, 3 hari di Bandung nggak ketemu rasanya seperti 3 bulan saja." Ucapnya berkelakar.
Melati meninju bahu suaminya dengan rengekan manja. "Gombal!
Revan menangkup pipi istrinya dan melumat bibir Melati yang selalu membuatnya candu. "Serius Mas nggak bohong, suerr!"
"Makanya nggak keseringan usah keluar kota, lagian ngapain sih mas sebulan sekali mas harus ke Bandung. Sudah 3 bulan lho mas kayak gini, nggak capek apa bolak-balik Jakarta Bandung, nyetir sendiri lagi," omel Melati. "Mas tidak menyimpan sesuatu di sana kan?" Tanyanya dengan tatapan menyelidik.
Revan tergagap, perubahan terlihat jelas dari wajahnya. "Ya Ng...nggak sayang, mas ke Bandung murni pekerjaan, kamu pasti mikir aku punya selingkuhan ya?" Ujarnya sambil menoel dagunya.
"Ya siapa tau mas, apalagi kamu dulu gampang tergoda, jujur aku belum sepenuhnya percaya sama kamu mas."
"Hadeh sayangku, kita udah punya anak 5 lho. Masak kamu belum percaya juga sih? Kamu nggak ingat apa gimana perjuanganku buat dapetin kamu, 7 tahun Yank aku harus bersabar. Ya nggak mungkin mas menduakanmu."
Revan kembali memeluk tubuh Melati dan memberikan ciuman bertubi-tubi di wajah cantik istrinya yang terlihat lelah. Lelah karena seharian mengurus 5 anak mereka.
"Siapin air ya, tubuh mas lengket berkeringat, jangan lupa pakai baju dinas yang paling seksi, malam ini mas menginginkanmu," bisiknya sensual di telinga sang istri. Revan selalu begitu, tiap berdua seperti ini selalu berakhir di atas kasur dan Melati pasti akan ngedumel.
"Ngomel tapi nyosor juga." Ledek Revan saat perempuan itu mengalungkan tangannya di leher sang suami.
Hembusan nafas Revan yang hangat membuat bulu kuduk Melati merinding. Wanita itu tersipu malu, menyembunyikan wajahnya di ketiak sang suami.
"Eh...mas bau lho." Tegur Revan, memegang kepala Melati.
"Aku suka wangi parfume-mu bercampur keringat mas, aromanya bikin candu."
Revan terkekeh dan membenamkan kepala Melati ke dadanya, memberikan pelukan hangat. Setelah puas melampiaskan rasa rindunya. Revan pun melepas dekapannya pada sang istri. Melati bergegas masuk ke kamar mandi menyiapkan keperluan suaminya.
"Sudah mas."
"Kamu nggak ikut mandi?" Pancing Revan dengan sebuah kerlingan nakal.
"Enggak!Bisa-bisa kamu mengurungku di kamar mandi."
Revan terkekeh lalu masuk ke kamar mandi, sedangkan Melati masuk walk in closet untuk menyiapkan baju untuk suaminya.
Di dalam walk in closet, Melati tak hanya mengambil baju milik Revan, suaminya. Melainkan dia meraih baju dinas yang tergantung rapi di rak khusus baju dinasnya. Melati bergidik ngeri melihat baju berwarna hitam itu ,sangat seksi dan menggoda.
Bibirnya tampak mengerucut, "ish...baju kayak gini harganya jutaan rupiah, mana setelah di pakai berakhir di tempat sampah lagi, suamiku maniaknya kebangetan." Gerutunya.
Melati membuka penutup kepalanya, dan satu persatu mengganti pakaiannya dengan baju yang dia pegang.
Wanita itu semakin melenguh kesal dengan penampilannya di pantulan cermin.
"Mas Revan...Revan, dia nggak bosen apa selalu seperti ini?"
Tiba-tiba sebuah tangan hangat melingkar di pinggangnya. Melati terjengat, hembusan nafas Revan beraroma mint menyapu lehernya yang putih dan jenjang.
"Sampai mati pun aku nggak pernah bosan. Aku merindukanmu sayang," ujar Revan, lalu mengangkat tubuh istrinya keluar dari walk in closet dibaringkannya diatas kasur.
Keduanya pun terlibat obrolan kecil setelah bersenang-senang melakukan aktivitas malam suami istri di atas kasur.
Melati membelai dada suaminya yang terbuka, sesekali Revan mencium kening Melati dan menyingkirkan anak rambut istrinya yang menutupi wajah.
"Sayang."
"Hemmm?" Jawab Melati, dia merapatkan tubuhnya.
"Kalau kayak gini terus, rasanya mas ingin mempelajari satu ilmu."
" CK...nggak usah nanti kamu tambah sibuk nggak ada waktu buat aku dan anak-anak, bukannya ilmu bisnismu melebihi ambang batas."
Revan terkekeh, melihat istrinya merajuk dia semakin gemas, dia mencubit istrinya.
"Aww... sakit mas." Jerit Melati.
"Maksud mas bukan ilmu bisnis sayang, tapi satu ilmu yang membuat orang tak bisa mati. Karena aku ingin selamanya hidup berdua sama kamu," ungkap Revan dengan penuh penuh cinta.
Melati terlihat melongo. "Haa...emang ada?"
"Ada."
"Ilmu apa itu?" Tanya Melati penasaran, dia melingkarkan tangannya semakin erat pada pinggang sang suami.
"Rawa rontek," jawab Revan berkelakar.
"Itu hanya mitos, tahayul, sihir dan menyalahi takdir, itu sama aja dengan musyrik mas"
Revan tertawa terbahak-bahak.
"Malah tertawa lagi." Dengus Melati.
"Aku hanya bercanda sayang, seandainya ada boleh juga tuh mas mempelajarinya."
Keesokan harinya,
"Aku berangkat kantor dulu ya sayang, kalau kamu kerepotan jemput anak-anak telpon saja suamimu ini, mas dengan senang hati jemput mereka."
Melati mengangguk. "Iya, tapi tumben mas berangkat sepagi ini?"
Revan terlihat gugup mengusap tengkuknya, berusaha menyembunyikan kegugupan dengan senyum mautnya.
"Ada meeting dengan beberapa investor asing dari Jepang. Mereka minta jam di luar kantor. Maaf ya? Mas berangkat." Revan mencium keningnya sangat lama.
Melati memaksakan senyumnya, bagaimanapun juga dia merasa aneh dengan tingkah Revan beberapa hari ini. Sering keluar kota, sering menerima telepon serius tengah malam, membuatnya menaruh kecurigaan yang cukup besar pada suaminya.
Melati menggeleng cepat, menepis kecurigaannya. "Enggak mungkin mas Revan berbuat aneh-aneh diluar."
Melati segera membereskan kekacauan yang terjadi tadi malam, mengganti seprei yang kusut dan kotor dengan yang baru. Lalu memasukkannya ke dalam keranjang khusus pakaian kotor. Dia juga mengambil jas yang kemarin dipakai suaminya saat keluar kota.
Saat dia ingin memasukkan jas itu ke dalam keranjang pakaian kotor, sebuah kertas kecil semacam struk belanja terjatuh dari saku jas. Dengan rasa penasaran yang tinggi, Melati memungutnya. Kedua bola matanya membulat sempurna, dia membekap mulutnya tak percaya.
"Astaghfirullah mas Revan?"
Melati membekap mulutnya tak percaya, perempuan itu menggeleng cepat. "Tidak mungkin mas Revan main api di belakangku, mungkin ini milik temannya, atau sengaja nitip belanja sekalian."
Melati meneliti kembali struk belanja di tangannya, tangannya terlihat bergetar, 10 dus susu kehamilan dengan berat bersih 900 gr tertera di sana juga buah-buahan. Struk berlogo minimarket terkenal di negeri ini, beralamat di Bandung dengan waktu dan tanggal 2 hari yang lalu.
Wanita itu terduduk lemas di depan meja rias, pandangannya menerawang kedua bola matanya terlihat mengabur.
"Aku nggak boleh berburuk sangka dulu, aku harus menyelidikinya," Gumamnya sambil menyeka kedua matanya yang mulai berair. Melati menyimpan struk itu sebagai bukti di laci meja rias dan dia akan mencari bukti lain untuk menguak perselingkuhan suaminya.
Setelah menyimpan bukti itu ditempat aman, dengan langkah berat Melati membawa keranjang pakaian kotor itu ke ruang laundry. Sri, ART yang bertugas mencuci sudah standby di sana.
"Udah semua mbak Mel," tanya Sri.
Melati mengangguk lesu. "Sudah mbak."
Sri meletakkan ember yang dipegangnya lalu mendekati majikannya.
"Mbak Melati kok lemes gitu, seperti sedang banyak yang dipikirkan."
Melati hanya tersenyum getir. "nggak apa-apa mbak, aku hanya capek aja ngurus anak-anak."
"Harusnya mbak Melati dengerin saran mas Revan buat nyari baby sister ngurus 5 anak itu nggak gampang lho mbak, rasa lelah itu pasti ada meski hati senang. Pasti sudah di charge kan?" Ledeknya, sambil menyenggol bahu majikannya.
Melati tersipu, "Apa sih mbak."
Sri melirik ke seprei yang masih teronggok di keranjang pakaian kotor.
"Pantas saja nyuci sprei," godanya. "Pasti tadi malam main kuda-kudaan ya?"
Melati mendengus kesal dan mencubit lengan ART-nya. "Kamu seperti mas Revan aja Mbak, mesum!"
Sri perempuan berusia hampir 40 tahun itu terkekeh. "Emang bener kan? Tau nggak mbak, melihat kemesraan mbak Melati sama mas Revan, jiwa jomblo saya meronta-ronta."
Muka Melati bersemu merah. "Ish mbak Sri, jomblo apaan,emangnya suami dan anak mbak mau dikemanain?"
"Kan dikampung mbak, beda lagi urusannya."
"Saya masih ingat pas waktu mbak Melati sama mas Revan masih sekolah dulu, saya inget betul lho mbak, mbak Melati mencintai mas Revan secara ugal-ugalan, tak taunya mas Revan malah nikah sama cewek lain. Tapi yang namanya jodoh nggak akan kemana, akhirnya mas Revan menyadari bahwa mbak Melati cinta sejatinya. Meski mbak harus menunggu dudanya mas Revan. Untung saja istrinya mas Revan meninggal saat melahirkan."
"Hush, jangan seperti itu mbak nggak ada yang untung di sini, semua yang terjadi adalah takdir. Jodoh, rezeki, maut sudah ada yang ngatur mbak. Safina udah meninggal 13 tahun yang lalu nggak perlu diungkit lagi, dia meninggal karena mempertaruhkan nyawanya untuk melahirkan Alice. Yang perlu kita lakukan mendoakannya."
Sri mengangguk dan memandang kagum pada majikannya.
"Untung saja ya mbak, Alice mirip banget sama ayahnya, jadi nggak keliatan kalau non Alice anak sambung mbak Melati. Non Alice juga sayang banget sama mbak Mel."
Melati menghela nafas panjang, bibirnya tersenyum membayangkan wajah Alice yang kini menginjak kelas 2 SMP, cantik, energik, dan selalu bermanja padanya.
"Alice dari bayi memang dekat sama saya mbak Sri, tau sendiri kan mas Revan sering memintaku datang ke rumah ketika Alice sakit."
"Iya ya mbak, mengingat itu kasihan juga sama non Alice, dia belum sempat melihat wajah ibunya."
"Iya mbak, rasa sayangku pada Alice sama besarnya pada Arjuna, si kembar Nakula Sadewa juga Ayana."
"Mbak Melati adalah ibu sambung yang paling sempurna yang pernah saya temui. Cantik, baik, Sholehah dan pintar menyenangkan suami. Pantas saja mas Revan begitu tergila-gila sama mbak Mel.
Melati tertawa kecil mendengar pujian dari ART-nya.
"Mbak Sri terlalu berlebihan memuji, aku bukan manusia yang sempurna pasti punya banyak kekurangan."
Melati terdiam sejenak saat teringat struk belanjaan yang ditemukan dari kantung jas suaminya. "Sayangnya mas Revan mulai bermain api dibelakangku mbak." Gumamnya dalam hati.
Sri menyenggol lengan majikan. "Lha mbak Melati malah melamun."
Melati tergagap dan menyudahi obrolannya dengan Sri. "Ya sudah mbak, lanjutkan pekerjaannya, aku mau melihat Ayana dulu."
Melati naik kembali ke lantai atas, dan dia melihat putrinya tengah bermain di atas karpet.
"Eh anak bunda bangun, kesiangan ya? Makanya jangan tidur larut malam."
Ayana tampak tertawa memperlihatkan giginya yang terlihat lucu dan menggemaskan.
"Kamu seperti ayahmu saja, kalau diomeli malah pamer gigi. Mandi yuk!"
Melati merentangkan kedua tangannya dan Ayana berjalan tertatih menghampiri ibunya dan mendekap tubuh ibunya dengan erat.
Melati memang tak memperkerjakan baby sitter untuk membantunya merawat ke 5 anak-anaknya. Dia ngeri melihat berita di TV dan media sosial seorang baby sitter menganiaya anak majikannya, bahkan ada yang lebih mengerikan lagi yaitu menggoda suami majikannya. Melati khawatir hal itu terjadi dalam kehidupan drama rumah tangganya. Tak heran dia sering kelelahan dan qualitas tidurnya pun terganggu, akibatnya kantung mata cukup terlihat di wajahnya. Ia juga khawatir jika baby sister yang dipekerjakannya menggoda suaminya, secara Revan memiliki ketampanan yang bisa dikatakan nyaris sempurna.
Tubuh tinggi menjulang 183 cm, wajah bak artis drama China dan satu lagi dulu waktu mereka masih berseragam putih abu-abu Revan adalah ketua OSIS dan ketua tim basket sekolah yang digilai cewek-cewek cantik di SMA Bonavista.
Setelah memandikan dan mendandani putrinya Melati membiarkan Ayana bermain, dan dengan gampangnya dia menyuapi putri bungsunya tanpa ada drama penolakan.
Sementara itu dikantor Revan sedang berkutat dengan berkas-berkas penting di tangannya, sesekali dia melihat ke layar monitor untuk mengecek kerjasama yang baru saja di sepakati. Tiba-tiba konsentrasinya terganggu oleh deringan ponsel yang memecah kesunyian ruangan kantor.
Revan melirik sekilas pada layar ponsel, bibirnya berdecak kesal.
"Ck...Ngapain lagi sih perempuan itu, aku sudah berbaik hati bertanggungjawab atas anak yang ada dalam kandungannya, seminggu sekali aku juga mentransfer uang untuk memenuhi kebutuhannya dan kemarin aku juga sudah mengunjunginya. Apalagi sih yang diinginkannya?" Gerutunya. "Lama-lama ngelunjak! Dikasih hati minta jantung. Merepotkan!"
Revan mengabaikan telepon itu, namun deringan ponsel itu tak juga berhenti. Beberapa saat kemudian sebuah notifikasi pesan masuk. Ting!
Buru-buru Revan membuka dan membacanya sekilas.
'Angkat aa, atau kamu terima akibatnya'
"Iya hallo ada ada Wi?"
"Enggak bisa aku sibuk, bukannya kemarin aku sudah dari sana, istriku bisa curiga. Jangan menyalahi perjanjian kita, kalau kamu masih ingin hidup enak."
Revan segera memutus panggilan dan meletakkan ponsel itu dengan kasar diatas meja. Prakk!
Tatapan Revan menerawang. "Maafkan suamimu ini sayang, kalau sudah saatnya aku akan memberi tahumu apa yang terjadi 3 bulan lalu."
Revan mengusap wajahnya dengan kasar, menandakan dia sangat frustasi
Jam 22.05 Revan tiba di rumah, dan suasana rumah tampak gelap gulita, hanya lampu penerangan teras dan jalan yang masih menyala. Revan memarkirkan mobilnya dengan sangat hati-hati khawatir membangunkan seisi rumah, terutama putri bungsunya yang akhir-akhir ini mengalami kesulitan tidur.
Sebelun Revan membuka pintu utama dengan pelan, dia melepas alas kakinya agar tak menimbulkan suara gaduh. Namun usahanya sia-sia, tiba-tiba ponselnya berdering nyaring. Pria itu ikut terkejut dan berjalan tergesa memasuki ruang makan, dia segera merogoh saku celananya dan mengeluarkan gawai yang membuat kegaduhan di malam yang sunyi.
"Siapa sih malam-malam begini nelpon, kayak nggak ada kerjaan aja...." Gerutunya.
Revan menarik kursi dan melihat siapa si penelpon, dia sedikit kesal, namun belum sempat dia mengangkat telepon sebuah suara mengagetkannya.
"Sayang ngapain kamu gelap-gelapan di situ!" Pekik Revan, dia mengusap dadanya untuk menetralkan detak jantungnya yang berdegup kencang. Revan mengurungkan menerima telepon.
"Ambil minum," jawab Melati singkat. Melati menatap Revan dengan tatapan dingin, lalu melangkah pergi. Revan sedikit keheranan tak biasanya Melati mengabaikannya.
"Sayang mau kemana?" Tanya Revan, mencekal pergelangan tangan istrinya.
"Tidur."
"Tumben nggak menemani mas."
"Aku capek, seharian mengurus anak-anak."
"Biasanya kamu tak melewatkan satu malam menemaniku, meski kadang mengeluh capek mengurus anak-anak."
Melati tak membalas pernyataan suaminya. Wanita itu memejamkan mata sejenak untuk mereda gejolak hati yang membuncah.
Melati malah melontarkan pertanyaan yang membuat Revan bingung menjawab.
"Kenapa nggak di angkat?" Tanyanya.
"Apanya?" Tanya Revan canggung, dia mengusap tengkuknya yang berkeringat berkali-kali.
"Telponnya." Jawab Melati gemas.
Revan mengibaskan tangan tak ambil peduli lalu mendekap tubuh istrinya dari belakang.
"Telpon nggak penting, biarin aja."
"Ohh...."
Melati kembali memejamkan kedua matanya, menikmati pelukan hangat Revan, namun ketika mengingat struk pembelian susu ibu hamil, hatinya berdenyut nyeri. "Aku yakin kamu menyembunyikan sesuatu dariku mas," batinnya.
"Siapkan air ya, jangan lupa seperti biasa."
Melati melepas dengan kasar tangan Revan yang melingkar intim di pinggangnya.
"Aku nggak bisa."
"Kenapa? tidak biasanya kamu nolak, suamimu hafal betul tanggal datang bulan kamu lho."
Melati mendengus dan menatap Revan intens, "sudah aku bilang kan, aku capek. Tolong ngertiin."
Melati melangkah pergi, tanpa memperdulikan Revan yang menatapnya keheranan.
"Istriku kenapa sih? Tidak biasanya dia seperti itu, padahal tiap aku pulang dia selalu setia menungguku, menghabiskan malam bersama."
Revan menatap layar ponsel di dalam genggamannya. "Telpon sialan! Seandainya peristiwa itu tak terjadi, hidupnya pasti tenang. Tapi kejadian itu begitu cepat."
Revan memutar tubuhnya menaiki anak tangga untuk menyusul istrinya. Diatas ranjang, Melati tidur dengan membelakangi pintu. Revan sangat yakin Melati belum sepenuhnya tidur.
"Sayang kamu belum tidur."
Melati membisu dan pura-pura memejamkan matanya. Dia merasakan ranjang bergerak dan sebuah usapan lembut terasa di dahinya.
"Ya udah, kamu tidur. Mas ngerti kok, kamu capek seharian karena mengurus anak-anak kita. Jadi malam ini mas nggak minta jatah."
Revan tersenyum dan beringsut dari atas tempat tidur, beberapa detik kemudian terdengar suara gemericik air dari dalam kamar mandi.
Melati membuka kelopak matanya, dan mengedarkan pandangan ke sekeliling kamar, tatapannya tertuju pada ponsel suaminya yang tergeletak diatas nakas.
Dia menoleh ke pintu kamar mandi yang tertutup rapat. Dengan tangan yang sedikit gemetar, dia mengambil ponsel itu. Dengan harapan mengungkap suatu kebenaran yang disembunyikan suaminya.
Melati menekan tombol power, terkesiap, ponsel yang dulu tanpa beri sandi kini menampilkan 6 titik yang mengharuskan dia memasukkan kode sandi, berulang kali dia memasukkan sandi dari tanggal pernikahan, ulang tahun dirinya dan Revan tapi tak ada satupun yang membuka kunci sandi ponsel di tangannya.
"Keterlaluan kamu mas ..."
Melati buru-buru meletakkan ponsel itu dengan posisi seperti semula, saat suara gemericik air dari dalam kamar mandi berhenti. Beberapa menit kemudian pintu kamar mandi terbuka, menampilkan Revan keluar dengan rambut yang basah. Kedua mata Melati tak sepenuhnya terpejam menghadap ke pintu kamar mandi, dalam pandangan redup dia melihat rambut suaminya yang basah. Tiba-tiba timbul rasa jijik.
"Dia pasti habis bergumul dengan wanita lain," batinnya perih. "Cinta yang selama ini kamu tunjukkan padaku semuanya palsu mas."
Setelah memakai piyama tidurnya, Revan naik ke atas tempat tidur. Dia memandang istrinya penuh cinta, sebelum memberikan kecupan lembut di kening.
"Selamat tidur sayang, moga mimpi indah ya. Sebenarnya sangat disayangkan malam ini kita melewatkan malam-malam indah seperti sebelumnya. Tapi nggak apa-apa aku ngerti kok kamu capek."
Revan membawa tubuh Melati ke dalam dekapannya membisikkan kata-kata cinta yang membuat Melati terbuai. Tak lama kemudian dengkuran halus terdengar.
Sementara itu Melati mencoba menepis semua kecurigaannya,saat mendengar kata-kata cinta yang suaminya ungkapkan.
"Aku ingin percaya kamu tak mengkhianatiku mas, tapi dua bukti yang mengarah ke sebuah perselingkuhan sudah aku pegang, struk pembelian susu ibu hamil, ponsel yang sekarang dikunci."
Susah payah Melati memejamkan mata, akhirnya dia bisa tertidur pulas dalam dekapan Revan.
Melati meraba kasur di sebelahnya, tapi tak menemukan suaminya. Seketika itu juga matanya terbuka dan mengedarkan pandangan ke penjuru kamar.
"Kemana mas Revan kok nggak ada?"
Wanita itu menyibak selimut dan menurunkan kakinya, dia berjalan ke arah balkon yang terbuka mencari keberadaan suaminya. Namun dia tak menemukan Revan. Dahinya mengernyit berpikir dimana keberadaan Revan.
Perlahan dia membuka pintu kamar dan menuruni anak tangga, sayup-sayup dia mendengar suara yang sangat dia kenali tengah berbicara, entah dengan siapa.
"Aku sudah bilang kan Dewi, jangan pernah meneleponku saat aku sedang di rumah, kamu ngerti nggak sih?"
"Iya, tapi aku udah nggak sabar menunggu aa. Kapan kamu ke Bandung lagi. Aku kangen tau nggak?" Rengek perempuan bernama Dewi di seberang telepon.
Revan menggertakkan giginya. "Denger ya Wi, aku hanya bertanggung jawab atas masa depan anak itu, jangan meminta hal yang lebih. Apalagi kamu berusaha menjadi bagian dari hidupku, mustahil! Aku hanya mencintai istriku!"
"Tapi a aku menyukaimu saat pertama kali melihatmu, nggak ada salahnya kan seandainya kita menikah. Toh kamu mampu menafkahi istri-istrimu."
Revan menggeram. "Jangan mimpi Dewi!" Bentaknya dengan suara lirih.
"Siapa Dewi mas?"
Revan terperanjat dan menoleh ke belakang. "Sayang?"
"Siapa Dewi mas?" Melati kembali mengulang kalimatnya dengan tatapan dingin menusuk. Pandangan Melati mulai mengabur.
"Bukan siapa-siapa sayang, dia hanya kolegaku. Dia ingin membatalkan kerja sama yang tadi siang baru kita sepakati."
"Ohhh... Kolega macam apa mas, nelpon jam 2 dini hari begini, perempuan lagi? Nggak mungkin Dewi itu nama laki-laki?" gumamnya tapi cukup di dalam hati.
"Kamu pasti terbangun karena Ayana kan? Dia itu persis kayak ayahnya, suka ganggu kamu malam-malam tanpa tau kondisi kamu," ucap Revan sambil merangkul bahu istrinya. "Kita ke kamar yuk, aku pijitin sampai kamu pulas."
Melati meneguk ludahnya yang terasa nyangkut di tenggorokan, kemudian mengangguk mengikuti ajakan suaminya.
Melati trus menatap wajah suaminya yang tengah memijit kakinya.
"Kenapa melihatku seperti itu sayang?"
Melati menggeleng. "Nggak apa-apa."
"Oh iya sayang besok mas mau ke Bandung lagi, cuma dua hari kok."
Melati tersentak. "Ke Bandung lagi mas, mau ngapain baru seminggu yang lalu mas dari sana."
Revan menarik nafas dalam. "Ada masalah lagi di perusahaan cabang, dan mas harus menanganinya langsung."
"Sebenarnya ada masalah apa sih mas, perusahaan yang bermasalah atau kamu yang bermasalah mas?"
Revan tersentak pertanyaan Melati membuatnya tersudut.
"Maksud kamu apa sayang?"
"Nggak apa-apa mas, aku ngantuk mau tidur."
Melati berbalik memunggungi suaminya, sedangkan Revan hanya mematung, di kepalanya dipenuhi banyak pertanyaan.
"Apa istriku mulai curiga ya?"
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!