"Kasihan banget ya, pengantin perempuannya. Dari tadi berdiri terus nungguin mempelai prianya," kudengar suara pelan seorang ibu-ibu di barisan bangku belakang.
"Iya, sedih banget. Nggak kebayang gimana perasaannya sekarang," sahut perempuan lain dengan nada simpati.
"Jangan-jangan ditinggal nikah?" bisik seorang bapak, suaranya nyaris tak terdengar.
"Jangan gitu dong... kasihan dia," timpal ibu-ibu lain dengan nada prihatin yang tulus.
Aku tetap berdiri kaku di depan. Gaun pengantin putih yang kupakai rasanya terlalu mewah buat seleraku dan terlalu berat untuk nyaman dipakai. Tumit tinggi yang kupakai mulai menyiksa telapak kaki, betis pun pegal minta ampun.
Entah sudah berapa kali aku mengepalkan dan melepas kedua tanganku. Mungkin sudah seratus kali. Aku sendiri sudah nggak ingat.
Lengan panjang dari renda berpayet yang membungkus lenganku bikin gatal, tapi siapa peduli? Bukan aku yang milih gaun ini. Bahkan aku belum pernah ketemu calon suamiku. Aku mencintai orang lain. Dan yang paling penting aku nggak mau menikah.
Ya. Aku, Maya Sanjaya, dipaksa menikah dalam kontrak dengan pewaris sindikat mafia terbesar di dunia.
Di dalam gedung berlantai marmer putih ini terasa dingin, tapi tubuhku malah berkeringat karena gugup dan nggak nyaman. Aku bahkan nggak tahu sudah berapa lama aku berdiri di sini, menanti calon suami yang tak kunjung datang. Mungkin sudah berjam-jam. Semua orang mulai gelisah dan resah.
Kalau ini pernikahan yang Aku inginkan, mungkin Aku sudah panik setengah mati karena pengantin prianya belum juga muncul. Tapi kenyataannya, Aku bahkan tidak peduli dia datang atau tidak. Jujur saja, akan jauh lebih baik kalau dia nggak muncul sama sekali. Setidaknya pernikahan ini batal, dan Aku bisa bawa nenek pulang ke kehidupan kami yang tenang seperti biasa.
Aku melirik ke samping, ke arah nenek Aku yang sudah sangat lemah dan duduk di kursi roda, dengan seorang perawat berdiri di belakangnya. Aku cuma bisa berharap acara ini cepat selesai apapun ini sebenarnya supaya nenek bisa kembali ke rumah sakit dan istirahat. Nenek ku sudah sangat tua, dan baru-baru ini Aku tahu kalau beliau sakit parah.
Dokter sendiri nggak bisa kasih kepastian berapa lama lagi nenek bisa bertahan. Tapi bahkan mata Ku yang bukan dokter pun bisa melihat, usianya memang nggak akan lama lagi.
“Mana pengantin prianya?” tanya seorang pria dengan suara pelan.
“Pertanyaan bagus. Kita udah nunggu hampir tiga jam…” jawab yang lain sambil menguap lebar.
“Ssstt… jangan keras-keras. Bos bisa marah besar kalau dengar,” bisik seorang pria pada dua orang itu.
“Udah ada yang nemuin dia?” tanya suara lain, lebih serius.
“Aku udah suruh beberapa anak buahku cari. Harusnya sih nggak lama lagi…” jawab seseorang, tapi nada suaranya nggak meyakinkan sama sekali.
“Jangan mandangin bos. Dia bisa ngamuk kalau tahu kamu ngelihatin,” desis seorang pria.
“Betul. Dia jelas lagi nggak mood,” sahut yang lain sambil menghela napas.
“Apa yang lagi dilakuin bocah sialan itu?” gumam seseorang nyaris tak terdengar.
“Iya, ini pernikahan dia, tapi malah dia yang nggak nongol…” timpal yang lain setuju.
“Anak itu disiapin buat gantiin bapaknya? Hah, lucu banget… kayak lelucon gagal,” celetuk seorang lelaki tua dengan suara dingin.
"Jangan keras-keras, nanti didenger bos…" bisik lelaki di sebelahku, tergesa-gesa.
“Andai aja adiknya masih hidup…” gumam lelaki tua itu, seolah nggak peduli.
“Nanti aja dibahas. Semoga dia cepet datang... dingin banget gedung ini,” kata salah satu pria, dan aku langsung setuju. Mereka semua pakai jas, sementara lenganku cuma dibalut kain renda tipis yang nyaris transparan.
Pendeta tua di depanku tampak pucat dan jelas tertekan dengan semua yang terjadi. Kasihan, aku jadi mikir, dosa apa sih yang dia lakuin sampai harus ngalamin ini? Dia berdiri di situ sama lamanya kayak aku, pasti kakinya udah pegal banget di umur segitu.
“Umm… mungkin lebih baik ditunda dulu aja…” ucap si pendeta pelan dan ragu-ragu.
“Diam Kau, orang tua! Aku tembak muka Kau!” bentak si dalang dari semua kekacauan pernikahan ini, suaranya nyaring banget.
Ya Tuhan… itu pistol? Seriusan itu pistol?
Mataku membelalak, dan aku cuma bisa berharap bisa lenyap dari tempat ini. Aku pasti lagi mimpi buruk, pikirku sambil merem erat-erat. Badanku gemetaran karena takut. Aku menoleh ke arah nenekku. Untungnya beliau nggak kena serangan jantung karena kaget.
Aku buka mata, dan... mimpi buruk itu nyata. Ini beneran kejadian. Bos mafia paling ditakutin itu sekarang lagi ngarahin pistol ke pendeta tua yang nggak bersalah itu. Bos mafia yang maksain aku buat nikah kontrak ini, sekarang mukanya merah padam dan dia ancam pendeta itu sambil nenteng pistol.
Geng mafia Yandex itu masalah besar. Begitu aku tahu nama depan cowok itu Ray, aku udah nggak perlu nanya nama belakangnya. Kalau dia pewaris geng Yandex, ya udah cukup: namanya pasti... Yandex.
Rumor yang beredar menyebutkan bahwa pendiri keluarga Yandex mengganti nama belakangnya menjadi Yandex dan menamai gengnya dengan nama yang sama. Konon, setiap anggota keluarga maupun geng Yandex diwajibkan memiliki tato bergambar Harimau di suatu bagian tubuh mereka. Lagi-lagi, saya tidak tahu apakah rumor ini benar atau tidak.
Geng Yandex terkenal di seluruh dunia, dan kehidupan mereka tampak bebas dari jerat hukum. Bisnis dan kejahatan mereka sudah menjadi rahasia umum bahkan bagi orang biasa seperti Diriku yang sama sekali tak punya kaitan dengan dunia mafia. Jaringan mereka meluas hingga ke berbagai benua dan negara, mencakup banyak sektor industri.
Beberapa usaha mereka dijalankan secara terbuka sebagai konglomerat legal yang sangat sukses, sementara sisanya beroperasi sepenuhnya di dunia bawah tanah.
Tentu saja, Aku tidak tahu banyak soal detail bisnis mereka. Tapi Aku dan siapa pun yang punya mata dan telinga tahu bahwa mereka punya jejak di industri pariwisata, perawatan kesehatan, hiburan, dan… ya, semua hal gelap yang biasa dikaitkan dengan mafia: perdagangan manusia, narkoba, kasino ilegal, senjata gelap, dan sebagainya.
Untuk berlaku adil, memang belum pernah ada bukti nyata yang bisa menjerat mereka secara hukum. Mungkin justru karena itulah mereka bisa hidup di atas hukum dengan menyuap para penegaknya.
Terlepas dari benar atau tidaknya semua rumor itu, satu hal pasti Yandex dan orang-orangnya bukanlah kabar baik. Dan kebetulan, saya akan segera menikah dengan salah satu dari mereka bukan sembarang orang, tapi pewaris berikutnya dari keluarga Yandex.
Aku tidak tahu ke mana hidup ini akan membawaku, tapi tak pernah, bahkan dalam mimpi paling gila sekalipun, Aku membayangkan akan berakhir di titik ini.
Yah… itu pun kalau mempelai prianya benar-benar muncul. Dan Aku sungguh berharap hal itu tidak akan terjadi…
Pak Pendeta itu langsung tersentak kaget waktu aku lihat dia angkat tangan tinggi-tinggi di atas kepalanya, tanda nyerah.
Mudah-mudahan aja dia nggak ngompol. Aku sih nggak tahu pasti dia ngompol atau nggak, tapi jelas banget dia mulai nangis ketakutan. Aku pilih diem aja. Mending aku tunggu semua ini kelar daripada kepalaku melayang dan leherku putus.
"Anakku di mana?! Rayza ke mana?!" bentak si Bos sambil suaranya menggema ke seluruh ruangan.
Oke, jadi namanya Rayza. Baguslah. Bukan cuma aku belum pernah ketemu sama calon suamiku, namanya aja aku baru tahu sekarang. Wajahnya pun aku nggak tahu. Bahkan fotonya aja belum pernah aku lihat. Tapi ya sudahlah, bukan berarti aku peduli juga.
Mau dia seganteng aktor sinetron atau sejelek setan pasar malam, kalau aku tetap harus nikah sama dia, ya sama aja buatku.
Si Bos mulai mutar badan sambil ngacungin pistol ke arah barisan laki-laki berdasi rapi yang dari ujung kepala sampai kaki kayaknya pakai seragam mafia kelas atas.
Pemandangan aneh, jujur aja. Laki-laki dari segala umur gelisah di tempat duduknya, kayak anak sekolah yang ketahuan nyontek. Pada lirik-lirikan satu sama lain, mukanya tegang. Jelas banget, nggak ada yang berani nyampein kabar buruk ke Bos.
“E… saya rasa Rayza lagi otw, Bos. Jadi Bapak nggak usah terlalu khawatir…” ucap salah satu pria yang kelihatannya anak buah kepercayaan si Bos, berusaha banget buat nenangin suasana.
“Nggak usah khawatir?! Rayza telat!” bentak si Bos lagi, wajahnya udah merah padam kayak kepiting rebus.
“Dia lagi di jalan, Bos. Sedikit lagi nyampe,” jawab orang itu cepat-cepat, mulai kelihatan panik.
“Kau tahu dia di mana?! Kau udah nemuin dia?! Jawab aku!!” Si Bos udah hilang kesabaran, langsung narik kerah baju si pria sampai hampir terangkat.
Para cowok bersetelan jas itu mulai panik, saling lempar pandang. Mereka jelas bingung harus gimana ngadepin si Bos yang gampang meledak-ledak itu. Dan aku tahu satu hal pasti: Rayza belum ditemukan.
Jujur aja, aku nggak salahin dia. Kalau aku di posisi dia, aku juga ogah datang. Siapa juga yang mau nikah sama orang yang belum pernah dikenalnya, apalagi cuma denger kabarnya dari mulut ke mulut?
Sama kayak aku yang males banget nikah sama dia, dia juga pasti ogah nikah sama aku.
Makasih, Rayza atau siapalah kamu itu. Makasih karena kamu nggak datang.
Kalau pernikahan ini batal gara-gara dia nggak muncul, ya itu bukan salahku. Aku malah berdoa semoga ini gagal total.
Serius, belum pernah aku doa segini sungguh-sungguh. Aku bukan orang yang religius, percaya Tuhan aja kadang nggak yakin. Tapi kalau memang Tuhan itu ada, tolong banget, biarkan aku balik ke hidupku yang tenang di kampung, jauh dari semua kegilaan ini.
"Tuan Rayza sudah datang!"
Apa?!
"Sempurna! Rayza-ku akhirnya datang!" teriak Bos dengan wajah berseri-seri, senyum lebarnya tak bisa ditahan.
Di sisi lain, aku merasa seperti baru saja dijatuhi hukuman seumur hidup. Kenapa dia harus muncul sekarang? Apa dia berubah pikiran soal pernikahan ini?
Aku segera berbalik secepat mungkin, meski gaun pengantin yang kupakai berat dan mengembang, menghalangi gerakanku.
Pandanganku langsung tertuju ke arah pintu masuk gedung besar tempat acara ini digelar. Pintu Kayu ukiran itu perlahan terbuka sangat lambat seolah kami semua sedang berada dalam adegan sinetron yang dibekukan waktu.
Aku menahan napas. Ini saatnya. Calon suamiku akan masuk lewat pintu itu. Aku bertanya-tanya seperti apa rupa orang yang akan ku jadikan suami. Kalau sampai ayahnya harus mengatur pernikahan ini untuknya, jangan-jangan dia sudah tua, nggak menarik, dan nggak bisa cari pasangan sendiri, walaupun katanya sih dia orang kaya.
"Rayza!" Bos berteriak kegirangan sambil bertepuk tangan saat melihat putranya melangkah masuk ke dalam ruangan.
Aku sendiri tidak yakin apa yang aku harapkan, tapi yang kulihat saat itu sungguh... mengejutkan. Lupakan soal penampilan Rayza aku bahkan tidak bisa melihat wajahnya dengan jelas. Dia tidak masuk sendirian. Lebih tepatnya, dia tidak bisa masuk sendirian.
Dua pria bertubuh besar, mengenakan jas hitam dan kaca mata hitam seperti pengawal pribadi, menopangnya dari kiri dan kanan. Tangan Rayza disampirkan di bahu mereka.
Luar biasa. Rayza... tampaknya tidak sadar?
Yang kulihat, dia seperti diseret masuk ke dalam Gedung oleh dua pria tadi. Kepalanya tertunduk, tubuhnya lunglai, dan sama sekali tak menunjukkan tanda-tanda sadar dengan apa yang sedang terjadi. Semakin dekat mereka berjalan ke arah pelaminan, aku bisa melihat Rayza dengan lebih jelas.
Meskipun wajahnya tertutup karena posisinya membungkuk, aku bisa langsung menyimpulkan satu hal dia tidak tua, dan jelas tidak jelek. Bahkan, Rayza tinggi. Sangat tinggi. Padahal dua pria berpakaian hitam yang menyangganya itu sudah jauh lebih besar dari kebanyakan orang, tapi Rayza yang membungkuk pun tetap terlihat lebih tinggi dari mereka.
Rambutnya pirang terang dan yang paling mencolok dia tidak berpakaian seperti seorang pengantin pria. Itu sudah pasti.
Ketika dua pria itu mengantarnya ke lorong atau lebih tepatnya, menyeretnya. Aku akhirnya mengerti kenapa, dan tampaknya sebagian besar tamu di gedung juga mulai menyadarinya. Bau alkohol yang menyengat begitu kuat sampai-sampai aku yakin semua orang bisa menciumnya.
Hidungku otomatis berkedut karena baunya, dan secara refleks aku mulai mengipasi udara di depan hidungku dengan tangan.
Rayza mabuk berat.
Dari cara berpakaiannya, aku bisa menebak kalau dua pria itu mendandaninya saat dia tidak sadar. Rayza tidak mengenakan kemeja, tapi seseorang sudah memakaikannya celana panjang putih, jas blazer putih, dan sepatu kulit hitam.
Dada bidang dan perut six packnya tampak jelas karena jasnya dibiarkan terbuka dan tidak dikancingkan.
Jadi… ini calon suamiku. Sejujurnya, dia tidak seburuk bayanganku. Dia kelihatan seumuran denganku, tinggi, tegap, dan, yah… cukup tampan. Tapi semua itu tidak membuatku merasa apa-apa. Apa pun yang terjadi, aku tetap tidak mau menikahi pria ini.
Sebenarnya aku ingin bertanya apakah upacara pernikahan bisa tetap dilanjutkan dengan mempelai pria yang jelas-jelas tidak sadar seperti ini, tapi aku takut ayahnya bakal nembak kepalaku secara harfiah pakai pistolnya. Jadi aku memilih diam dan menunggu apa yang akan terjadi selanjutnya.
Para tamu, yang sebagian besar adalah anggota geng mafia, mulai berbisik-bisik pelan satu sama lain. Aku tidak bisa menangkap persis apa yang mereka katakan, tapi bisa menebaknya. Dari yang kudengar sebelumnya, Rayza punya reputasi yang… agak berbeda dibanding anggota geng lainnya.
"Umm... mempelai prianya masih sadar, nggak?" bisik pendeta tua itu pelan sekali sampai-sampai aku nyaris tak mendengarnya.
Tepat sekali… terima kasih sudah menunjukkan Hal itu, Pak Pendeta!
"Apa itu penting?" sahut si bos dengan suara menggelegar, berdiri tegak di depan anaknya sendiri.
"Baiklah... janji nikah..." gumam si pendeta dengan ragu, matanya yang biru pucat tampak gelisah, celingak-celinguk ke segala arah.
Katakan, Pendeta! Katakan bahwa kami nggak bisa menikah kalau pengantin prianya nggak sadar dan nggak bisa ucapin janji nikahnya. Maksudku, apa dia tahu apa yang sedang terjadi? Emangnya penting kalau dia nggak tahu apa yang dia lakukan?.
"Oh... begitu," kata si bos sambil mengangguk pelan, seolah mengerti.
Aku tertegun melihat reaksi bos mafia yang tiba-tiba penuh pengertian. Ia terus mengangguk-angguk seperti sedang mencerna sesuatu.
"Dia harus ucapin janji nikah... ya... ya..." gumamnya sendiri, seolah lagi ngobrol sama pikirannya sendiri.
Rayza masih terkulai kayak mayat. Aku yakin kalau dua orang itu nggak menopangnya, dia pasti sudah ambruk jatuh ke lantai.
Bugh!
Suara keras menggema di seluruh ruangan gereja yang lantainya dari marmer itu. Aku terkesiap, begitu juga semua orang yang hadir, menyaksikan apa yang baru saja terjadi.
Tanpa aba-aba, si bos mendadak menghantam pelipis anaknya sendiri pakai gagang pistol. Kencang.
Apa itu barusan... ngebunuh dia?! Gila... dia berdarah...
Mataku membelalak. Mulutku terbuka lebar karena syok. Darah mengalir dari pelipis Rayza, menuruni sisi wajahnya.
"Bangun, Nak!" teriak si bos sekencang-kencangnya.
Suaranya begitu keras sampai aku harus menutup telingaku dengan kedua tangan. Orang ini bener-bener sinting. Dia baru saja mukul anaknya sendiri buat nyadarinnya?! Aku yakin semua orang di sini juga udah kehilangan akal!
"...hmmm..."
Yang bikin nggak masuk akal, Rayza mulai bergerak dan keluarin suara-suara aneh kayak orang cadel. Aku bengong melihat dia tiba-tiba ngangkat kepalanya yang tadinya nunduk, sekarang jadi tegak. Apa dia baru bangun? Dia beneran bangun... gitu aja?
"Rayza! Bangun, Nak!" teriak bos itu keras-keras, persis di samping telinga Rayza.
Rayza langsung buka matanya dan lihat-lihat ke sekeliling dengan wajah ngantuk.
Aku bisa bayangin dia pasti bingung, kenapa dia ada di gereja dan dikelilingi banyak orang. Tiba-tiba matanya ngelirik ke arahku, dan tanpa sengaja pandangan kami saling bertemu. Aku sempat kaget juga, karena ini pertama kalinya kami saling tatap.
Aku ngelihatin sepasang mata biru yang indah banget pas kami saling pandang. Aku tertegun; dia kelihatan bingung. Beberapa detik kemudian, Rayza miringin kepalanya kayak lagi mikir, mencoba ngerti apa yang lagi terjadi.
Perlahan-lahan, Rayza ngeluarin diri dari pegangan dua orang pria yang tadi menyangga tubuhnya. Dia masih kelihatan sempoyongan, kayak orang mabuk, tapi dia maksa berdiri pakai kakinya sendiri.
"Jangan sentuh gue…" gumam Rayza pelan, dengan alis pirangnya yang saling berkerut karena kesal.
Dua pria itu langsung nurut, melepas Rayza. Bosnya buru-buru datang ke samping Rayza buat ngecek keadaan anaknya. Rayza ngangkat tangannya dan nyentuh pelipisnya yang ternyata masih berdarah. Aku heran, kenapa belum ada yang ngasih dia pertolongan medis? Dia lihat darah di tangannya, jelas-jelas bingung setelah nyadar ada luka di kepalanya.
"Apa kepalaku kebentur?" tanya Rayza langsung kepada ayahnya.
"Enggak. Ayah ngetok kepala kamu pakai gagang pistol biar kamu bangun! Kamu harus nikah sekarang juga. Ini bukan waktunya buat mabuk-mabukan!" bentak ayahnya sambil berteriak lantang ke arah putranya.
Bicara pelan dan tenang jelas bukan keahlian si bos besar.
"Ya... sialan..." umpat Rayza sambil menyeka darah yang menetes di pelipisnya. Jas putihnya langsung bernoda merah.
"Lanjutkan upacaranya! Kita nggak punya waktu seharian!" bentak si bos ke arah penghulu yang tampak gemetar ketakutan.
Ini enggak boleh terjadi. Lanjutkan upacara? Aku benar-benar harus menikah sama pria itu? Keringat dingin langsung membasahi punggungku, dan panik mulai mengambil alih. Kalau aku menikah dengannya, hidupku benar-benar tamat.
Aku bakal terjebak sama mafia gila ini seumur hidupku.
Enggak... Ini pasti cuma mimpi buruk.
Si bos yang udah kehilangan kesabaran menarik lengan putranya kasar dan menyeretnya ke depan. Aku melihat Rayza sempat terhuyung karena tarikan ayahnya, tapi lalu dia tiba-tiba berhenti di tengah langkahnya, seperti baru saja kepikiran sesuatu.
"...Siapa dia?" tanya Rayza sambil menunjuk ke arahku.
Akulah perempuan yang seharusnya kamu nikahi. Tapi kayaknya kamu bahkan nggak sadar siapa aku, atau apa yang sedang terjadi, karena kamu mabuk berat, teriakku dalam hati.
"Itu calon istrimu, Rayza!" teriak si bos, nadanya makin kehilangan kesabaran.
"...Dia bukan calon istriku," jawab Rayza, tegas.
Wow. Nggak nyangka. Kayaknya nggak ada pengantin perempuan yang berdiri di altar dan berharap bakal ditolak, tapi jujur... aku seneng banget denger itu. Tolong, batalkan pernikahan konyol ini, biar aku bisa pulang sama nenekku. Tolonglah!
"Apa yang kamu omongin?! Kita udah bahas ini! Kalau Bapak bilang dia istrimu, berarti dia ISTRIMU!" bentak si bos, mukanya nyaris nempel ke wajah Rayza.
Aku meringis melihat ketegangan di depanku. Anggota geng lain dan para tamu masih terpaku di tempat duduk mereka, suasana benar-benar hening. Aku cuma ingin pulang. Gedung ini dingin, dan dari sudut mataku aku lihat nenekku tampak makin pucat dari menit ke menit. Dia kelihatan benar-benar nggak enak badan.
"Namamu siapa?" tanya Rayza padaku, suaranya pelan tapi jelas, meskipun masih dalam kondisi setengah kacau.
Aku kaget dia benar-benar bicara langsung padaku. Tatapan matanya tajam menancap di wajahku, dan aku nyaris nggak bisa bicara. Rayza masih menatapku, matanya menyipit, menunggu jawabanku.
“…Maya. Namaku Maya Sanjaya.” akhirnya aku berhasil mengatakannya, meskipun suaraku terdengar gemetar dan kering.
“Amelia. Aku nggak akan nikah sama siapa pun selain Amelia. Dia bukan calon istriku,” ujar Rayza dengan tegas sambil menunjuk ke arahku. Dia menepis tangan ayahnya dan berbalik hendak pergi.
“Apa yang kamu bilang?! Amelia… Arghhh! Cepat tangkap dia!” bentak sang bos sambil menunjuk ke punggung putranya.
Orang-orang itu langsung berdiri dari tempat duduk dan menahan tangan serta kaki Rayza sampai dia terpaksa berlutut di hadapan ayahnya.
Sekarang apa? Ternyata Rayza sudah punya seseorang yang dia cintai dan ingin dia nikahi. Aku juga punya seseorang yang sangat kucintai, meskipun dia nggak pernah mau menikahi orang seperti aku…
Yang terjadi setelah itu adalah kekacauan total. Para anggota geng berusaha keras menahan Rayza, sementara bosnya terus-menerus membentaknya. Beberapa saat kemudian, Rayza kembali pingsan, dan tidak ada satu pun yang bisa membuatnya sadar.
Akhirnya, aku sangat lega karena upacara pernikahan itu tidak jadi dilanjutkan. Bukan berarti aku langsung terbebas dari jeratan mafia, tapi setidaknya aku bisa menunda pernikahan itu untuk satu hari lagi. Para pria berpakaian hitam mengawal ku dan nenek kembali ke kamar rumah sakit setelah aku berganti dari gaun pengantin.
Hari itu, aku tidak pernah melihat Rayza lagi.
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!