Ruang tamu kontrakan kecil mereka. Matahari baru saja mengintip, menerangi dua figura yang duduk di sofa usang.
Aluna berdiri, mengenakan jaket denim usang, merapikan sedikit lipatan di bahu adiknya, Justin. "Sudah jam enam lebih, Dek. Kakak berangkat sekarang ya. Kamu jangan lupa sarapan, sudah Kakak siapkan nasi goreng di meja."
Justin duduk sambil memegang buku pelajaran Kimia, terlihat gelisah
"Kakak yakin nggak perlu Justin antar sampai halte? Walaupun online sebentar, kan hari pertama. Lagipula, Jaket Kakak..."
Aluna Tertawa kecil, menyentuh jaketnya
"Kenapa dengan jaket ini? Ini jaket keberuntungan kita, warisan Ayah. Aku harus memakainya di hari besar ini. Dan Kakak nggak mau kamu telat sekolah cuma karena antar Kakak, apalagi kamu kan sudah kelas tiga SMA. Fokus belajar ya."
Justin Menutup buku Kimia dengan letih
"Justru karena aku kelas tiga, aku khawatir. Kakak sekarang di Universitas Rajawali, kampus impian kita. Aku takut Kakak kaget dengan pergaulan di sana. Orang-orangnya beda, Kak. Nggak semua orang kayak kita."
Aluna duduk di samping adiknya, memeluk bahunya
"Dengar, Justin. Kakak tahu kita cuma berdua. Kakak tahu di luar sana banyak yang melihat kita sebelah mata, apalagi dengan beasiswa ini. Tapi kita janji, kan? Kita nggak akan jadi kecil hanya karena orang lain merasa besar. Kakak di sana untuk belajar, bukan untuk berteman dengan mereka. Tempat ini adalah tiket kita untuk keluar dari sini, untuk membuat Ayah dan Ibu bangga."
"Tapi kalau Kakak dibully lagi, seperti waktu di SMA... Kakak harus janji, jangan diam saja. Kakak punya aku. Bilang ke aku."
Aluna tersenyum lembut, mencium kening adiknya
"Kakak janji. Tapi Kakak lebih khawatir kamu di sekolah, jangan lupa makan siang yang benar. Setelah pulang, langsung kerjakan soal-soal latihan. setelah itu, kamu yang akan duduk di kampus itu, Dek. Kita akan ke sana berdua."
Justin berkaca-kaca, memeluk erat pinggang Aluna
"Aku janji. Aku akan menyusul Kakak. Aku bangga sama Kakak."
Aluna Menahan air mata, mengusap rambut Justin "Kakak juga bangga sama kamu. Sudah ya, lepaskan. Kakak harus kejar bus. Ingat, hari ini adalah awal dari segalanya. Jaga diri baik-baik di rumah."
Aluna melepaskan pelukan, mengambil langkah cepat menuju pintu. Justin hanya bisa mengangguk, berdiri di ambang pintu, melihat punggung Kakaknya menghilang di tikungan jalan, membawa harapan terakhir keluarga mereka.
......
Pagi itu, udara kampus Universitas Rajawali terasa dingin dan asing, tetapi Aluna merasa hangat. Setelah tiga tahun berjuang mati-matian, beasiswa penuh itu kini menjadi kenyataan. Ia meremas tali tas ranselnya yang sudah usang, mengamati gedung-gedung megah berlapis kaca yang memantulkan cahaya matahari. Inilah gerbang menuju masa depan yang ia impikan untuk keluarganya.
Aluna mengenakan kemeja yang sudah disetrika rapi, satu-satunya yang ia miliki, dipadukan dengan celana jins yang bagian lututnya mulai menipis. Agar tidak kedinginan, ia membalut tubuhnya dengan jaket denim belel peninggalan ayahnya—jaket yang memberinya rasa aman.
Saat mencari ruang orientasi, langkahnya terhenti. Di depannya, di antara kerumunan mahasiswa baru dengan tas bermerek, berdiri Alexa.
Alexa. Mantan teman SMA-nya. Gadis yang selalu menjadikan status ekonomi Aluna sebagai bahan lelucon favoritnya di kantin sekolah.
"Wah, lihat siapa ini? Si Ratu Beasiswa," sapa Alexa dengan nada yang lebih dingin dari pendingin ruangan. Di sisinya, tiga orang gadis lain tertawa kecil, melirik Aluna dari ujung kepala sampai ujung kaki.
Aluna mencoba tersenyum sopan. "Hai, Alexa. Kamu di sini juga?"
"Tentu saja aku di sini. Papaku salah satu donatur terbesar dikampus ini. Tapi kamu..." Alexa sengaja menggantung kalimatnya, matanya tertuju pada jaket denim usang yang Aluna kenakan.
"Astaga, fashion apa itu? Jaket warisan, ya? Kupikir jaket itu sudah punah sepuluh tahun lalu," ujar Alexa keras, cukup keras hingga beberapa mahasiswa menoleh. "Serius, Luna. Kampus ini tempatnya calon-calon pemimpin. Kamu tidak malu membawa-bawa 'kemiskinan' ke sini? Kami yang bayar mahal jadi harus berbagi udara dengan..."
Salah satu teman Alexa pura-pura menutup hidung, "Aku mencium bau matahari dan bus kota"
Aluna merasakan pipinya memanas. Ia tahu, kata-kata tajam Alexa ditujukan untuk menjatuhkannya di hari yang seharusnya menjadi hari paling membanggakan dalam hidupnya. Namun, ia telah berjanji pada dirinya sendiri bahwa ia tidak akan menangis lagi di depan orang-orang seperti mereka.
Ia menegakkan tubuhnya, matanya menatap lurus ke arah Alexa.
"Jaket ini memang usang. Tapi jaket ini menemaniku belajar saat kamu sedang pesta, Lexa. Aku di sini bukan karena nama belakang atau uang orang tua. Aku di sini karena nilai-nilai yang aku dapatkan dengan kerja keras."
Aluna baru saja menyelesaikan kata-katanya yang berani, tetapi keberanian itu dibalas dengan kebencian murni.
"Beraninya kamu, Aluna! Jangan berpikir beasiswa murahan itu membuatmu setara dengan kami!" desis Alexa, wajahnya memerah karena marah. Tanpa pikir panjang, Alexa mengulurkan tangan dan mendorong keras bahu Aluna.
BUGH!
Tubuh Aluna yang kurus terhuyung, ia kehilangan keseimbangan dan jatuh. Tas ranselnya terlepas, dan beberapa buku murah yang ia bungkus plastik tipis berhamburan di lantai marmer yang licin. Rasa perih menjalar di sikunya, tetapi yang lebih menyakitkan adalah tawa meremehkan dari gerombolan Alexa.
"Ups! Maaf, licin ya? Mungkin kamu harusnya fokus di trotoar, bukan di kampus elit," ejek Alexa sambil menendang pelan salah satu buku Aluna.
Aluna berusaha bangkit, matanya menunduk, menahan amarah dan malu yang mendidik. Ia mulai memunguti bukunya dengan tergesa-gesa.
Tiba-tiba, suara tawa dan cemoohan itu terpotong oleh raungan mesin yang memekakkan telinga.
LIMA MOTOR BESAR (Moge) berwarna gelap, mengkilap, dan berkapasitas tinggi, meluncur pelan dan berhenti tepat di antara Aluna yang tergeletak dan kelompok Alexa yang membeku. Kehadiran mereka seolah menarik semua oksigen dari udara.
Dari motor-motor sport itu, turunlah lima sosok yang langsung menjadi pusat perhatian seluruh mahasiswa di koridor:
* Jhonatan, sang leader, turun pertama. Berjaket kulit hitam dengan patch sederhana, ia memancarkan aura otoritas yang tenang. Matanya tajam, langsung tertuju pada Aluna yang sedang memungut buku.
* Kevin, putra semata wayang pemilik kampus, dengan kemeja designer yang disampirkan di bahu, turun dengan gaya santai. Ia melirik Alexa dengan pandangan dingin, seolah gadis itu adalah serangga.
* Axel, si pemilik mata paling teduh. Ia menanggalkan helmnya, memperlihatkan wajah tampannya yang langsung membuat jantung banyak gadis berdegup kencang. Ia segera melangkah, tetapi tertahan oleh Jhonatan.
* Yoga, pria berpostur tinggi dan berwajah dingin, selalu menjadi misteri. Ia hanya bersandar pada motornya, tak bicara, tetapi tatapannya seolah mengancam siapapun yang berani membuat masalah.
* Jay, yang terkenal paling kaya raya, turun sambil merapikan jam tangan mahalnya. Ia melihat ke bawah ke arah buku-buku Aluna dengan ekspresi datar, seolah melihat sampah, namun bukan karena meremehkan, melainkan terbiasa melihat barang-barang yang serba baru.
Keheningan menyelimuti koridor. Jhonatan berjalan perlahan, melewati Alexa dan gerombolannya, hingga ia berdiri di samping Aluna.
"Sedang ada masalah?" Suara Jhonatan rendah dan berwibawa, seperti guntur yang jauh.
Alexa, yang tadinya angkuh, kini pucat pasi. Ia tahu siapa lima orang di depannya. Mereka adalah 'penguasa' tak resmi di Rajawali, yang tak tersentuh oleh aturan manapun.
"T-tidak, Jhonatan. Ini... hanya salah paham. Dia hanya terlalu ceroboh," Alexa tergagap, menunjuk Aluna.
Axel, yang tidak bisa menahan diri lebih lama, akhirnya bergerak. Ia menyingkirkan Jhonatan sedikit, berjongkok di samping Aluna, mengabaikan kehadiran yang lain.
"Kamu tidak apa-apa?" tanya Axel dengan nada lembut yang mengejutkan, tangannya terulur membantu Aluna memungut buku Kimia.
Aluna mendongak. Di ambang rasa sakit dan malu, ia bertemu dengan sepasang mata cokelat yang hangat—mata Axel. Jantungnya berdebar, bukan karena takut, melainkan karena kebaikan yang sudah lama tidak ia rasakan dari orang asing.
"A-aku tidak apa-apa. Terima kasih," bisik Aluna, meraih kembali bukunya.
Axel tersenyum kecil. Senyumnya seperti sinar matahari yang menembus awan. Ia berdiri tegak, memunggungi Aluna, dan menatap dingin ke arah Alexa.
"Lain kali, jika ada yang jatuh, ambilkan, bukan ditertawakan," kata Axel, suaranya tenang namun mengandung peringatan yang jelas.
Jhonatan kemudian melangkah maju. "Ruangan ini berisik. Kalian, urus barang kalian dan bubar. Kami tidak suka keramaian."
Perintah itu adalah titah. Tanpa perlu diulang, Alexa dan teman-temannya langsung mundur teratur, wajah mereka menahan rasa malu dan takut.
Aluna bangkit perlahan, memeluk jaket denimnya dan buku-bukunya yang kini sudah rapi. Ia sendirian bersama lima orang berjaket kulit hitam yang kini menatapnya, terutama Axel, yang tatapannya tidak lepas darinya.
Hari pertamanya di kampus, Aluna diselamatkan. Tapi ia belum tahu, intervensi ini justru menyeretnya ke dalam lingkaran elit kampus yang akan mengubah hidupnya, dan hatinya, selamanya.
"permisi, aku harus mencari kursiku sekarang. Dan juga terimakasih " kata Aluna, tanpa menunggu jawaban ia melangkah melewati Alexa dan teman-temannya .
Ia tahu hari-hari ke depan tidak akan mudah. Universitas Rajawali mungkin memberinya beasiswa, tetapi ia harus terus berjuang untuk mendapatkan rasa hormat.
Ketika Aluna duduk di barisan depan ruang orientasi, ia merogoh saku jaketnya, merasakan sentuhan kain yang kasar. Jaket ini adalah pengingatnya: ia mungkin miskin harta, tetapi ia membawa sesuatu yang jauh lebih berharga—tekad yang tak akan pernah bisa dibully oleh siapapun.
Ia menarik napas panjang, tersenyum kecil. Selamat datang, Aluna. Pertarungan yang sebenarnya baru saja dimulai.
Pagi Hari di Sangkar Emas
Pukul enam pagi, dan seluruh lantai marmer di penthouse keluarga William sudah bersinar. Gabriella berdiri di depan cermin besar, mengenakan blus sutra dan rok pensil bermerek yang harganya setara dengan biaya hidup Aluna selama setahun.
Wajahnya dipoles sempurna, rambutnya ditata tanpa cela. Ia tampak seperti dewi yang siap menyambut hari pertamanya di Universitas Rajawali.
Namun, di balik citra kemewahan itu, ada rasa hampa.
"Non, mobil sudah siap. Tuan berpesan agar Non jangan lupa makan vitamin yang di atas meja," ujar Bi Surti, kepala pelayan, dengan suara datar.
"Ya, Bi. Terima kasih," jawab Gabriella lesu.
Ayahnya, seorang konglomerat yang sibuk, bahkan tidak repot-repot keluar dari ruang kerjanya yang kedap suara untuk mengucapkan selamat.
"Gaby, sudah siap?"
Suara berat itu milik Arjuna, kakaknya. Arjuna, tiga tahun lebih tua, sudah lulus dari kampus yang sama dan kini menjabat sebagai direktur muda di perusahaan Ayah mereka. Ia berdiri di ambang pintu, bersandar dengan setelan jas mahal dan karisma yang tak terbantahkan.
"Tentu saja sudah, Bang. Apakah aku pernah tidak siap?" jawab Gabriella, meraih kunci mobil sport yang tergeletak di meja rias.
Arjuna melangkah masuk, tatapannya melembut. "Dengar, Dek. Kampus itu... bukan tempat untuk main-main, meskipun kamu bisa mendapatkannya dengan mudah. Jaga sikapmu. Ayah ingin kamu membangun jaringan, bukan mencari masalah"
Gabriella mendengus. "Aku tahu, Bang. aku tahu aturannya: bersikap sopan pada semua orang, selama mereka tahu tempat mereka."
"Bagus," kata Arjuna sambil tersenyum kecil. Ia merogoh saku, mengeluarkan sebuah kartu kredit platinum. "Untuk jaga-jaga. Beli saja apa yang kamu mau. Tapi ingat, fokus utama kita."
Gabriella menerima kartu itu, tetapi ia hanya memasukkannya ke dalam tas tanpa melihat. Kartu seperti itu sudah tidak ada artinya. Yang ia inginkan adalah kebebasan.
"Kakak tidak perlu khawatir. Aku akan lulus dengan cemerlang, dan setelah itu, aku akan melakukan apa yang aku mau. Permisi, supir sudah menunggu"
...
Ketika tiba di kampus, Gabriella langsung dikelilingi oleh teman-teman lamanya dari sekolah elit—termasuk Alexa, yang langsung menempel padanya, sibuk menggosipkan rencana pesta penyambutan.
"Gaby, kamu tahu tidak, ada gadis beasiswa yang membuat ulah di depan tadi? Benar-benar memalukan membawa tas jelek ke kampus semewah ini," desis Alexa, suaranya dipenuhi cibiran.
Gabriella hanya mengangguk ringan, tidak benar-benar mendengarkan. Ia muak dengan semua pembicaraan dangkal tentang merek dan status. Ia mencari sesuatu yang otentik.
Gabriella masuk ke kompleks kampus. Ia tiba tepat sebelum orientasi dimulai. Aula utama sudah ramai, penuh dengan wajah-wajah familiar dari sekolah elit dan anak-anak pejabat.
Gabriella memilih kursi di barisan tengah yang strategis, tempat ia bisa dilihat dan melihat tanpa harus berada di tengah kerumunan yang terlalu berisik.
Saat ia sedang sibuk melambaikan tangan singkat pada beberapa kenalan, matanya tanpa sengaja tertuju pada barisan paling depan.
Di sana, duduk seorang gadis yang kontras dengan segala sesuatu di ruangan itu. Ia mengenakan jaket denim yang sudah lusuh, tampak sangat bersih tetapi jelas usang, dan tas ranselnya terlihat penuh.
Gadis itu, Aluna, tidak memperhatikan sekeliling. Ia tidak sibuk menyapa atau memamerkan ponselnya. Ia sedang membaca buku-buku tebal yang ia keluarkan dari tasnya—bukan novel, melainkan buku teks. Wajahnya begitu fokus dan serius, seolah-olah ia sedang duduk di perpustakaan, bukan di hari pertama orientasi yang riuh.
Aluna tampak gugup, sesekali ia menghela napas, namun matanya tak pernah lepas dari deretan kalimat di halaman buku itu.
Gabriella, yang merasa bosan dengan kebisingan di sekitarnya, malah merasa tertarik. Ia selalu dikelilingi oleh orang-orang yang pura-pura serius, tetapi gadis di depan itu menunjukkan kesungguhan yang nyata.
"Siapa dia? Tidak pernah melihatnya di acara-acara," bisik seorang teman di sebelah Gabriella.
"Entahlah. Mungkin anak beasiswa yang benar-benar pintar," jawab Gabriella, pandangannya masih terpaku pada Aluna. Ia merasakan sedikit kekaguman, sekaligus rasa asing.
Saat beberapa pembicara naik ke atas panggung, Gabriella mencoba fokus. Namun, pandangannya terus kembali pada punggung Aluna.
Gadis itu, dengan jaket denim lusuhnya yang kontras dengan aula mewah, seolah menjadi satu-satunya orang di ruangan itu yang tahu persis mengapa ia ada di sana: untuk belajar.
Di balik kemewahan dan kebosanan yang ia rasakan, Gabriella merasakan benih rasa ingin tahu yang tak terduga. Ia ingin tahu, apa rasanya memiliki tekad sebesar itu. Ia belum tahu bahwa di balik keseriusan gadis itu, tersimpan hati yang suatu hari nanti akan terjerat pada pria yang sama dengannya
. ..
Aula besar untuk kuliah umum Pengantar Ekonomi. Ruangan berkapasitas ratusan mahasiswa, dilengkapi kursi ergonomis dan layar proyektor raksasa. Namun, mata semua orang tertuju pada beberapa sudut tertentu, bukan pada dosen.
Gabriella duduk di barisan tengah, tempat yang secara sosial dianggap "tepat." Di sampingnya, duduk Jay, yang tampak tidak tertarik, lebih fokus memainkan smartwatch mewahnya ketimbang mendengarkan dosen. Jay adalah personifikasi kemewahan yang acuh tak acuh.
Tepat di belakang mereka, duduk tiga pria yang memancarkan aura dominasi: Jhonatan, sang leader, bersikap tenang dengan lengan dilipat, matanya mengawasi seluruh ruangan seolah mengendalikan situasi. Di sebelahnya adalah Kevin, putra pemilik kampus, yang tampak bosan dan sesekali melempar senyum tipis, menunjukkan bahwa dia ada di sana hanya karena kewajiban.
Yang paling menarik perhatian Gabriella adalah Axel. Ia duduk sedikit terpisah dari gengnya, dekat jendela. Ekspresinya tidak bossy seperti yang lain, tetapi lebih reflektif, sesekali mencoret-coret buku catatannya dengan gambar abstrak.
Tiba-tiba, mata Axel beralih ke bagian depan ruangan. Gabriella mengikuti pandangannya.
Di barisan paling depan, persis di bawah pandangan dosen, duduk Aluna.
Aluna, adalah satu-satunya yang benar-benar terlihat fokus. Ia mencatat dengan sangat cepat, menggunakan pulpen yang tintanya terlihat mulai menipis, dan sesekali mengangguk serius pada poin-poin penting dari dosen. Ia terlihat rapuh di kursi besar itu, tetapi auranya penuh dengan ketekunan.
Meskipun Aluna berusaha keras untuk terlihat tidak terlihat, ia menjadi pusat perhatian sunyi. Para mahasiswa lain berbisik-bisik, mengingat insiden dorong-mendorong di koridor tadi.
Yoga, si pria dingin, juga duduk di barisan belakang, tetapi matanya yang tajam sesekali mencuri pandang ke arah Aluna, membuat suasana di sekelilingnya terasa membeku. Ia tidak menunjukkan emosi, tetapi tatapannya intens, seolah sedang menganalisis setiap gerakan Aluna.
Ketegangan yang Tak Terucapkan
Saat dosen membahas konsep 'Kelangkaan dan Pilihan', ironi memenuhi ruangan.
Gabriella terus mengamati Aluna. Ia melihat kesungguhan yang ia dambakan, dan ia merasa canggung dengan kenyataan bahwa Axel—pria yang baru saja membuat hatinya berdebar—tampak tidak bisa mengalihkan pandangan dari gadis sederhana itu. Ada benih cemburu yang tidak ia kenali mulai tumbuh.
Di belakang, Axel sesekali menghela napas. Ia merasa bersalah atas insiden tadi, tetapi lebih dari itu, ia tertarik pada aura ketahanan yang dipancarkan Aluna. Ia melihat Aluna bukan sebagai gadis miskin, melainkan sebagai sosok yang penuh gairah dan pantang menyerah.
Aluna sendiri, meskipun sadar akan tatapan intens dari belakang dan samping, mengunci dirinya dalam materi kuliah. Setiap kata dari dosen adalah emas, kesempatan yang tak boleh ia sia-siakan. Ia mencatat dengan tergesa-gesa, berusaha sekuat tenaga untuk tidak membiarkan rasa malu dan sakit di sikunya mengganggu fokusnya. Ia tidak tahu bahwa perhatian Axel adalah awal dari badai yang akan datang.
Ketika kelas berakhir dan dosen menutup buku, Jhonatan memberikan kode pada gengnya. Mereka bersiap meninggalkan kelas.
Namun, Axel tidak bergerak. Ia malah bangkit dan berjalan ke depan, menuju satu-satunya sosok yang masih sibuk merapikan catatannya—Aluna, si gadis dengan jaket denim yang menjadi kelangkaan di tengah semua kemewahan di ruangan itu.
Axel menghampirinya, membawa senyumnya yang hangat.
"Catatanmu pasti yang paling rapi di ruangan ini," sapa Axel, membuat Aluna tersentak.
Di barisan tengah, Gabriella terpaku. Jemarinya mencengkeram erat buku catatan mahal yang bahkan belum terisi penuh. Di depannya, Axel, pria yang diam-diam ia cintai sejak mereka berada di SMA elit yang sama, sedang tersenyum. Dan senyum itu, senyum yang sangat jarang ia tunjukkan di depan umum, diberikan kepada Aluna, si gadis beasiswa dengan jaket denim lusuh.
Gabriella dan Axel sudah saling kenal sejak lama. Bersama Jhonatan, Kevin, Yoga, dan Jay, mereka adalah lingkaran elit di sekolah menengah. Gabriella selalu berada di orbit Axel, tetapi ia tidak pernah tahu pasti bagaimana Axel memandangnya—sebagai sahabat lama, teman satu geng, atau sesuatu yang lebih.
"Ayolah, Gaby. Sudah selesai, ayo kita pergi. Aku lapar," desis Jay tanpa minat, berdiri dan merapikan setelannya.
Gabriella mengabaikannya. Matanya tertuju pada Axel yang kini membantu Aluna merapikan tas ranselnya.
"Dasar Alexa bodoh," gumam Gabriella pelan, tetapi nada suaranya penuh amarah.
Kevin yang mendengarnya, terkekeh sinis. "Alexa? Kenapa dia? Dia sudah membantumu menyortir sampah kampus, bukannya itu yang kau mau?"
"Bukan masalah sampahnya, Kevin," potong Gabriella tajam. "Masalahnya, dia membuat drama murahan di hadapan semua orang, dan sekarang... lihat! Axel bertingkah seperti Pahlawan Kesiangan!"
Jhonatan, yang diam-diam memperhatikan, melangkah mendekat. "Axel memang selalu aneh sejak SMA. Dia tidak suka melihat yang lemah diinjak-injak, apalagi setelah kejadian itu." Ia melirik sekilas pada Yoga yang bergeming.
"Tenang saja, Gabriella. Dia hanya bersikap sopan. Bukan urusanmu."
"Justru itu urusanku!" sembur Gabriella. Ia tahu hubungannya dengan Axel jauh lebih kompleks daripada "hanya bersikap sopan". Perhatian Axel selalu menjadi miliknya, atau setidaknya, bukan milik orang lain.
Sementara itu, Aluna berdiri kaku di depan Axel. Bagi Aluna, dia adalah kelompok yang sama—elit, berkuasa, dan menakutkan.
"Terima kasih sudah menolongku tadi," bisik Aluna pada Axel. Ia berusaha menghindari pandangan mereka semua.
"Bukan masalah," jawab Axel tulus. Ia melihat luka lecet di siku Aluna. "Sikumu terluka. Perlu ke klinik kampus?"
"Tidak perlu, aku bisa mengurusnya sendiri," tolak Aluna cepat, tersentak oleh perhatiannya. Ia hanya ingin pergi.
Axel mengangguk. "Baiklah. Sampai jumpa di kelas berikutnya. Pertahankan fokusmu."
Aluna buru-buru mengangguk dan segera bergegas keluar. Ia tidak mau berada di dekat mereka lagi, terutama di bawah tatapan dingin dan tajam dari teman teman Axel dan juga Gabriella.
Perasaan Gabriella yang Rumit
Gabriella menyaksikan Aluna melarikan diri, lalu pandangannya beralih ke Axel yang kini berjalan kembali ke arah geng.
"Cukup pahlawan-pahlawanan mu, Bro," ujar Kevin sinis.
"Aku hanya bersikap manusiawi," balas Axel singkat.
Matanya sempat bertemu dengan mata Gabriella.
Di tatapan itu, Gabriella mencari pengakuan atau kehangatan yang sama seperti yang ia lihat diberikan pada Aluna. Sayangnya, ia hanya menemukan tatapan netral yang biasa—seolah ia hanya salah satu bagian dari perabot mahal di hidup Axel.
Rasa sakit dan cemas menyergap Gabriella. Di SMA, ia tahu ia akan mendapatkan Axel cepat atau lambat, karena tidak ada yang selevel dengannya. Tapi sekarang, Axel baru saja menunjukkan ketertarikan pada seorang gadis yang berasal dari dunia yang sama sekali berbeda—dunia yang bahkan tidak pernah ia anggap ada.
Siapa dia? pikir Gabriella, melihat ke arah pintu yang baru saja dilewati Aluna. Kenapa Axel memperhatikannya?
Rasa ingin tahu yang awalnya murni, kini bercampur dengan kepemilikan. Gabriella menyadari, persaingan untuk mendapatkan hati Axel baru saja dimulai, dan lawan pertamanya adalah gadis miskin yang bahkan tidak memiliki uang untuk membeli buku baru.
Apakah Gabriella akan langsung mendekati Aluna, atau ia akan mencoba mendekati Axel terlebih dahulu untuk mengetahui perasaannya?
Sudut sepi di Perpustakaan Universitas Rajawali. Suasana tenang, hanya diselingi gesekan halaman buku.
Gabriella melangkah perlahan ke meja terpencil tempat Aluna selalu menyendiri. Niat awalnya sangat jelas dan pragmatis.
Axel sering melihat ke arah gadis ini, jadi Gabriella perlu tahu apa yang membuat pria yang dicintainya itu tertarik. Jika ia bisa berteman dengan gadis ini, ia bisa mengendalikan situasi, atau setidaknya, ia akan punya alasan untuk berada di dekat Axel.
Gabriella berdiri di samping Aluna. Gadis beasiswa itu sedang tenggelam dalam buku tebal, wajahnya lelah tetapi matanya fokus. Ia mengenakan jaket denim usang itu lagi, yang kontras dengan tumpukan buku-buku baru yang disumbangkan oleh Gabriella beberapa hari sebelumnya.
Aluna menyadari ada bayangan dan mendongak kaget. Matanya langsung menunjukkan pertahanan diri.
"Aku... maaf, apakah aku mengganggu?" tanya Gabriella, sedikit canggung.
Aluna menutup bukunya. "Tidak. Ada yang bisa kubantu?"
"Aku hanya... ingin bicara," kata Gabriella, menarik kursi di seberang meja. Ia menatap Aluna, mencari tahu apa yang spesial.
Aluna tetap diam, menunggu. Ia tidak tahu siapa nama gadis cantik ini, hanya tahu ia adalah bagian dari kelompok elit yang sering meremehkannya.
"Kamu... kamu selalu terlihat serius. Tidak pernah tertawa, tidak pernah melihat ke ponselmu," ujar Gabriella, mencoba memulai.
"Aku datang ke sini bukan untuk tertawa," balas Aluna dingin. "Aku di sini untuk belajar. Biaya kuliahku bukan dari orang tuaku."
Jawaban yang jujur dan tanpa basa-basi itu langsung menusuk pertahanan Gabriella. Gadis-gadis yang ia kenal akan tersinggung, merajuk, atau berpura-pura tidak peduli. Tapi gadis di depannya ini, ia lugas.
Gabriella tersenyum, senyum yang berbeda dari senyum sosialnya yang biasa. Senyum yang sedikit jujur.
"Kamu benar. Itu luar biasa," kata Gabriella. Ia kemudian teringat percakapannya dengan Arjuna dan tekanan yang ia rasakan. "Aku iri padamu. Kamu tahu persis apa tujuanmu. Aku... aku hanya di sini karena aku harus. Semua yang kumiliki diatur, termasuk apa yang harus kurasakan."
Gabriella meremas tangannya di bawah meja. Ia melihat Aluna, yang kini tidak lagi menunjukkan pertahanan diri, melainkan sedikit rasa ingin tahu dan empati.
"Kamu terlihat... tidak bahagia," kata Aluna perlahan.
Kata-kata itu membuat Gabriella terdiam. Tidak ada yang pernah mengatakan ia tidak bahagia. Mereka selalu mengatakan ia "beruntung."
Pada saat itulah, niat awal Gabriella untuk mendekati Aluna demi Axel hancur. Ia menyadari, di depan gadis ini, topengnya tidak berfungsi. Aluna tidak terintimidasi oleh kekayaan dan tidak menginginkan apa pun. Aluna hanya melihat dirinya sebagai seorang manusia, bukan sebuah aset.
Gabriella merasa ada beban berat yang terangkat dari dadanya.
Ia menarik napas dalam-dalam, mengulurkan tangan kanannya melintasi tumpukan buku di meja.
"Aku Gabriella. Aku... ingin berteman denganmu. Bukan karena tugas, bukan karena geng, tapi karena aku ingin berteman dengan orang yang jujur."
Aluna memandang tangan yang terulur itu. Tangan yang dihiasi dengan cincin mewah itu terasa asing, tetapi nada suara Gabriella yang bergetar itu terasa nyata. Aluna menanggalkan sarung tangannya yang sudah usang dan menyambut uluran tangan itu.
"Aku Aluna," balas Aluna, merasakan genggaman tangan Gabriella yang ternyata hangat. "Terima kasih."
Perkenalan mereka dimulai bukan karena Axel, tetapi karena kerapuhan dan kejujuran yang sama-sama mereka temukan di tengah dunia yang penuh kepalsuan. Mereka berdua belum tahu bahwa persahabatan tulus yang baru saja terjalin ini akan diuji oleh cinta segitiga dan masa lalu yang rumit.
Akankah persahabatan yang dimulai dengan kejujuran ini mampu bertahan saat cinta pada Axel mulai tumbuh di hati Aluna?
beberapa saat setelah Gabriella dan Aluna berjabat tangan dan mulai berbincang santai, didominasi oleh ketulusan yang baru mereka temukan.
Di sisi lain perpustakaan, di antara deretan buku-buku sejarah, lima pria—Axel, Jhonatan, Kevin, Jay, dan Yoga—sedang berkumpul untuk membahas materi kuliah. Pembicaraan mereka terhenti ketika Kevin menyikut Axel dan menunjuk ke sudut ruangan.
"Coba lihat itu," bisik Kevin, nadanya antara terkejut dan geli. "Sejak kapan Ratu Gaby bersosialisasi dengan anak beasiswa?"
Semua mata mengikuti arah tunjuk Kevin. Mereka melihat Gabriella, yang biasanya dikelilingi oleh kemewahan, sedang duduk berhadapan dengan gadis jaket denim usang itu. Yang lebih mengejutkan, Gabriella tampak santai dan terlibat dalam percakapan, bukan sedang meremehkan.
Axel merasakan lonjakan kebingungan dan sedikit kecemasan. Ia tahu ini bukan gaya Gabriella. Niat awal Gabriella untuk mendekati Aluna demi Axel sudah kandas, tetapi Axel tidak mengetahuinya. Ia hanya melihat wanita yang ia cintai tiba-tiba mendekati gadis yang menarik perhatiannya.
"Gaby sedang melakukan pengamatan lapangan," cibir Jay, menyeringai. "Mungkin dia sedang mengumpulkan data untuk proyek sosial Ayahnya."
Jhonatan, sebagai leader dan yang paling pragmatis, menyipitkan mata. "Itu bukan Gaby. Dia tidak akan menyia-nyiakan waktu berharganya untuk hal-hal sepele. Gadis itu pasti punya sesuatu yang Gaby inginkan."
Ia menoleh pada Axel, mencari reaksi. "Kau yang paling sering melihat gadis itu, Axel. Kau tahu namanya?"
Axel menggeleng, memilih untuk berbohong. Ia memang sudah tahu nama gadis itu dari insiden di koridor, tetapi ia tidak ingin ada yang tahu seberapa besar perhatian yang ia berikan. "Tidak. Hanya tahu dia gadis yang didorong oleh Alexa."
Yoga, yang selama ini diam, akhirnya buka suara dengan suara rendah. "Dia tidak mencari sesuatu. Dia mencari ketenangan."
Kevin tertawa terbahak-bahak. "Ketenangan? Gadis itu hampir tidak bisa membeli pensil. Ketenangan Gaby ada di kartu kredit platinumnya!"
Melihat Gabriella tertawa kecil pada ucapan Aluna membuat Axel merasa ada sesuatu yang bergejolak di hatinya. Ia tidak senang Gabriella mendekati Aluna, tetapi ia juga tidak bisa menjelaskan mengapa. Ia khawatir Gabriella akan menyakiti Aluna dengan ketidaksengajaan, atau bahwa pertemanannya hanyalah tren sesaat.
"Kita harus memastikan Gaby tidak menyia-nyiakan waktunya," kata Axel, menyuarakan kekhawatiran yang ia sembunyikan sebagai sikap protektif. "Dia harus fokus pada tugas-tugasnya."
Axel mengambil langkah pertama, berniat mendekati meja mereka dengan dalih mengingatkan Gabriella tentang tugas kelompok.
Jhonatan menahan bahunya. "Biarkan saja. Jika Gaby tertarik pada gadis itu, biarkan. Ini jauh lebih baik daripada dia membuat masalah. Tapi kita awasi. Kita tidak ingin masalah lama terulang lagi."
Axel akhirnya mengalah, tetapi matanya tetap tertuju pada interaksi antara dua gadis yang sangat berbeda itu. Ia tidak tahu bahwa dalam beberapa menit percakapan yang ia saksikan itu, motivasi Gabriella telah bergeser dari kompetisi untuk dirinya menjadi persahabatan yang murni.
Meskipun "Big Five" belum tahu nama Aluna, mereka sudah tahu satu hal, kedekatan gadis beasiswa itu dengan Gabriella—dan perhatian tak terhindarkan dari Axel—akan menjadi benang merah baru yang akan menguji kesetiaan, persahabatan, dan cinta di antara mereka semua.
Akankah keheranan dan campur tangan "Big Five" segera membongkar perasaan Axel yang tersembunyi untuk Gabriella?
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!