Seorang laki-laki tampan dengan berpakaian jas hitam dengan tampilan yang rapi turun dari mobilnya dengan para pengawal di belakangnya. Raut wajahnya tidak sesuai dengan usianya yang menginjak 43 tahun. Terlihat lebih awet muda. Padahal dia sudah memiliki anak remaja yang berusia 16 tahun.
Lelaki itu bernama Berry Gunawan, seorang duda beranak 2 dan pengusaha kaya yang mewarisi aset peninggalan orang tuanya yang tidak akan habis sampai 7 turunan.
Lisa adalah istrinya yang sudah meninggal dua tahun lalu. Dia meninggal setelah melahirkan seorang putri cantik, tapi sayang tiga hari kemudian putri cantiknya pun meninggal karena sakit.
Anak pertamanya yang laki-laki sangat terpukul. Sejak istri dan anak keduanya meninggal, anak yang pertama jadi kehilangan arah. Sulit diatur. Sering pulang malam, bahkan sering berbuat ulah di sekolah.
Berry tampak berpikir. Dia memang membutuhkan istri pengganti untuk anaknya tersebut. Pergaulan yang memperihatinkan membuatnya tak mampu mendidik anak seorang diri. Dia tidak bisa 24 jam menjaga anaknya. Untuk itulah dia mencari seorang wanita yang tulus dan mau mendidik dan memberi perhatian yang serius pada anak laki-lakinya itu.
"Silakan Tuan!"
Seorang lelaki tua mempersilakan Berry untuk masuk ke rumahnya. Dia sangat sumringah menyambut kedatangan seorang CEO tempat ia bekerja.
Berry masuk setelah mengucapkan salam, para pengawalnya hanya berdiri di luar saja.
Dia memindai ruang tamu yang terlihat sangat sederhana. Di sudut tembok dekat pintu yang menghubungkan ke arah dapur terdapat mesin jahit yang cukup tua, dia menduga istri dari pegawainya adalah seorang penjahit.
"Sebentar saya panggilkan, Tuan!" ucap lelaki tua itu beranjak pergi dari tempat tersebut untuk memanggil seseorang.
Seorang wanita cantik tersenyum manis menyambut kedatangan Berry. Seraya menangkupkan kedua tangannya, mengangguk hormat pada tamu ayahnya tersebut.
"Jadi kamu Erina?" tanya Berry to the point saat melihat wanita yang masih muda berbalut hijab tersenyum manis menyambut kehadirannya.
Hatinya mulai berdesir, ternyata wanita yang ditawarkan pegawainya itu sangat cantik. Kriterianya sudah masuk tahta hatinya yang paling dalam, tapi sayang, wanita itu sudah menikah.
"Iya benar Tuan. Saya Erina. Oiya sebentar saya buatkan minuman terlebih dahulu," ujar Erina cukup kikuk.
Erina (29th) pamit melipir ke dapur, ia merasa ada yang tidak beres dengan pertanyaan atasan ayahnya tersebut, apalagi tatapannya sungguh berbeda dengan tamu pada umumnya.
Erina selalu menyambut para tamu ayahnya dengan percaya diri. Apalagi ayahnya seorang pegawai swasta terkenal di kota kembang. Erina selalu memberikan performance yang terbaik agar ayahnya tidak merasa malu dengan keberadaannya saat ini. Walaupun Erina tinggal di rumah sangat sederhana pemberian Ayahnya, namun ia tidak merasa malu.
Berry menatap punggung Erina dengan perasaan takjub, keindahan seorang wanita yang baru ia lihat setelah istrinya dan masa lalunya.
Dengan wajah yang penuh tanda tanya Erina menyiapkan teh hangat untuk tamu ayahnya. Dia menepis segala pikiran negatif yang berkecamuk dalam benaknya.
"Dia tahu namaku? Pasti ayah sudah memberitahukan sesuatu tentang aku. Untuk apa?" Erina menggigit bibir bawahnya.
"Oh ya, Ayah pernah bilang kalau atasannya itu butuh guru pembimbing untuk membimbing anaknya yang bermasalah. Gaji yang ditawarkan cukup fantastis, ya mungkin Tuan Berry mau membicarakan hal itu. Ya pasti tentang pekerjaan. Kebetulan sekali gajiku sebagai guru honor belum cukup untuk membantu penghasilan suamiku," ucapnya yakin dan mantap.
Tidak lama kemudian Erina kembali dengan membawa nampan yang berisi 5 cangkir teh hangat. Sedangkan beberapa hidangan kue sudah tersaji di meja tamu.
"Silakan diminum dan dicicipi kuenya, Tuan. Maaf kami tidak bisa menjamu dengan baik. Beginilah keadaan kami," kata lelaki tua itu sekedar berbasa-basi.
Lelaki tua yang bernama Wangsa Gumilar (57 th) tersebut mempersilakan atasannya untuk mencicipi jamuannya.
"Heeeem," Berry hanya bergumam sebagai jawaban.
Berry menatap lekat wanita yang ada di hadapannya.Wanita yang sedang menata cangkir di meja tamu. Wajah wanita itu mengingatkannya pada seseorang yang pernah mengisi hari-harinya sebelum menikah dengan Lisa.
Wanita yang sangat cantik, dengan lesung pipi sebagai pemanis senyumnya yang menawan. Sungguh siapa pun berpikir kalau wanita tersebut adalah seorang gadis yang belum menikah, karena wajahnya yang cantik alami dan penampilannya sederhana namun bisa merawat tubuh dengan maksimal walaupun tertutup hijab. Hampir sempurna.
"Jadi bagaimana, Pak Wangsa sudah memberitahukan tentang maksud kedatangan saya ke sini pada Erina?" tanya Berry langsung pada intinya.
Erina langsung menatap Berry dan ayahnya secara bergantian penuh tanda tanya meminta penjelasan yang belum ia ketahui.
"Tentang apa ya, Tuan? Apa tentang pekerjaan yang pernah Ayah tawarkan? Kebetulan sekali Tuan, saya sangat membutuhkan pekerjaan sampingan untuk membantu suami saya," ujarnya tersenyum penuh harap.
Erina sangat berharap masih ada lowongan pekerjaan yang sesuai dengan bidangnya.
Berry mengernyitkan dahinya, sepertinya Erina belum tahu apa pun tentang pembicaraannya dengan Wangsa. Seraya meminta penjelasan dengan bahasa isyarat.
"Bukan itu," tepis Wangsa cepat.
"Lantas tentang apa? Ayah tidak pernah membicarakan apa pun selain pekerjaan, Tuan," Erina menatap Berry penuh tanya lalu beralih menatap Ayahnya.
Tidak ada jawaban, suasana menjadi hening sesaat.
"Sebenarnya ada apa ini, kok pada diam?" tanya Erina sedikit penasaran karena ini berkaitan dengan dirinya, ia yakin pasti ada yang tengah disembunyikan dari Ayahnya.
"Maaf Tuan, saya belum sempat memberi tahu pada Erina tentang perjodohan ini..."
Erina kembali menatap ayahnya, ia masih belum mengerti dengan ucapan ayahnya.
"Tunggu ....tunggu...perjodohan? Perjodohan siapa dengan siapa, Yah? Kenapa melibatkan Erina?" tanya Erina bingung.
"Dengan siapa lagi? Perjodohan antara kamu dengan Tuan Berry lah," jawab Wangsa enteng.
"Whaaat!" Erina kaget bukan main.
Erina menganga cukup lama. Ia terkesiap mendengar ucapan Ayahnya yang seperti petir menyambar tanpa rencana. Seraya menggelengkan kepalanya. Baginya bukan masalah kalau dirinya masih gadis, apalagi kalau dijodohkan dengan Berry yang terkenal sebagai sosok yang mempesona, penyayang tapi terkadang arogan, dermawan, tegas, kekayaannya saja tidak bisa dihitung dengan jari. Seorang yang multi talenta dalam kehidupannya.
Pada kenyataannya Erina sudah menjadi milik orang lain, statusnya sudah menikah dengan laki-laki yang sangat ia cintai. Walaupun lelaki itu belum memberikan keturunan namun kehadiran seorang anak lain yang ia temukan dari tempat sampah bisa memberikan warna tersendiri pada keluarga kecilnya.
Suaminya, Arsyad tidak mempermasalahkan mengangkat seorang anak yang bukan dari darah dagingnya. Mereka bahagia, hidupnya terasa lengkap dengan kehadiran anak yang masih berusia 2 tahun itu.
"Jadi gimana, Anda mau menerima lamaran saya, bukan?" tanya Berry tidak mau tahu tentang status Erina saat ini, matanya menatap lurus ke depan.
"Tidak!" jawab Erina tegas. Seraya menatap tajam Berry dengan geram. Lalu tatapannya beralih pada Ayahnya.
" Ayah lupa, Erina sudah menikah. Dan suami Erina masih hidup, sehat. Kenapa ayah tidak membicarakan hal ini padaku sebelumnya? Bagaimana kalau suamiku tahu hal ini, tentu akan menyakitkan, Yah," protes Erina tidak mau Ayahnya asal menjodohkan.
Wangsa hanya tersenyum miring, membalas tatapan anaknya dengan tajam pula.
"Ayah tidak peduli dengan perasaannya. Suamimu itu, orang yang tidak berguna. Rumah saja numpang di sini, ga ada harga dirinya jadi suami. Dengarkan Ayah, kamu akan bahagia jika kamu menikah dengan Tuan Berry, iya kan Tuan Berry?" tanya Wangsa meminta dukungan langsung dari orang yang akan menjadi menantu barunya itu.
Pandangan Berry menatap lurus. Sebenarnya perjodohan ini sangat kontra dengan hatinya yang paling dalam karena Erina milik orang lain. Namun Berry sangat membutuhkan Erina untuk menyelamatkan jiwa anaknya. Tidak ada pilihan lain. Erina orang yang tepat untuk dia dan anaknya. Erina harus segera dihalalkan.
Berry butuh sosok wanita yang bisa mengendalikan anaknya. Anaknya butuh ibu seperti Erina. Dia yakin Erina mampu menjadi ibu yang baik buat anaknya.
"Aku yang akan memberimu keturunan. Jika memang suamimu tidak bisa memberimu anak," ujar Berry cukup membuat Erina marah.
"Kami sudah punya anak!" ujarnya tegas dengan nada tinggi.
Berry tertawa sumbang, "Saya tahu anakmu yang sekarang bukan anak kandungmu. Anak itu anak yang kau temukan dari tempat sampah, bukan?"
Erina terhenyak, seraya menatap geram Sang Ayah yang sudah membocorkan rahasia tentang anaknya. Erina mengepalkan kedua telapak tangannya. Ayahnya sungguh tega menceritakan kondisi rumah tangganya pada orang lain.
"Apa pun yang terjadi pada kehidupanku, bukan urusan Tuan. Suamiku masih bisa memberikan kebahagiaan pada keluargaku. Dan Ayah, aku kecewa sama Ayah. Tega ya, ayah menawarkan Erina pada atasan ayah sendiri, demi apa Yah? Kedudukan, jabatan atau uang?" Erina mulai emosi.
"Ayah kamu sudah mengambil uang perusahaan sebesar 500 juta dan tidak bisa membayarnya...."
Erina kembali terhenyak.
"Jadi aku...." ujar Erina menggantungkan kalimatnya sambil menunjuk dirinya, seraya menatap geram ayahnya yang tega melibatkan dirinya dalam kasusnya di perusahaan.
Begitu hancur hati Erina mendengar penjelasan Berry. Ayah yang selama ini ia banggakan rela mengambil uang perusahaan demi menghidupi ibu tirinya. Ternyata rumah baru, mobil baru, yang Ayahnya berikan pada ibu sambungnya adalah uang perusahaan.
"Tolong Nak. Ayah tidak ada pilihan lain. Bercerai lah dengan Arsyad. Ini jalan satu-satunya agar ayahmu ini tidak masuk penjara," Wangsa sangat berharap, Erina menerima keputusannya, suaranya dibuat serendah mungkin dengan harapan ucapannya bisa meluluhkan hati Erina.
Erina menggelengkan kepalanya, ia tidak bisa menerima kenyataan ini. Ia sangat mencintai suaminya. Walaupun suaminya tidak memberikan harta yang banyak, namun suaminya bertanggung jawab dengan pekerjaannya sebagai tukang ojek online.
"Jadi gara-gara terhasut oleh Ibu yang ga tau diri itu, Ayah rela menjual anaknya sendiri, padahal anaknya sudah berkeluarga. Yah kenapa tidak menjodohkan Erita saja? Erita sudah dewasa dan belum menikah. Jangan pernah mengganggu rumah tangga kami!"
Erina memberi solusi agar Berry menikah dengan adik tirinya yang belum menikah.
"Tidak, Erita itu hanya anak tiri. Kriteria yang diinginkan Tuan bukan dia, tapi kamu. Tuan menginginkan kamu, Sayang!" jelas Wangsa agar Erina mengerti.
Erina kembali menatap Berry yang masih terdiam dengan pandangan lurus ke depan. Berry terlihat lebih tenang, seraya duduk dengan posisi tubuh yang tegak.
"Hey Tuan yang terhormat, tidakkah ada rasa empati sedikit saja untuk aku. Aku ini istri orang. Walaupun kami miskin, suamiku sanggup membiayai kami. Tuan salah orang jika Tuan datang meminangku. Aku tegaskan sekali lagi, aku ini istri orang. Kenapa Tuan mau menikahiku? Aku tidak memiliki apa pun yang bisa kau banggakan. Aku hanya wanita miskin yang sudah bersuami dan memiliki anak," jelas Erina memohon pengertian dari lelaki yang yang datang meminangnya.
"Aku tidak peduli. Keputusan Ayahmu menyerahkan dirimu padaku sudah final. Ayahmu tidak bisa mengembalikan uang yang sudah dia korup selama ini. Jadi kamu jangan main-main denganku. Bercerai lah dengan suamimu. Aku akan memberimu kebahagiaan lahir dan batin. Begitu pun anakmu. Aku akan membuat kalian bahagia," Janji Berry pasti, setiap ucapannya pasti terwujud.
"Tidak. Aku hanya mencintai suamiku!" tegas Erina memajukan tubuhnya tepat di depan lelaki sombong yang berlindung pada kekayaan yang dimilikinya.
Tidak bisa dipungkiri pesona Berry begitu menawan. Terlalu sempurna untuknya. Namun ia bertekad untuk tetap mempertahankan rumah tangganya. Cintanya hanya pada Arsyad bukan pada yang lain. Laki-laki di luar memang lebih menggoda, namun suami tetap harus menjadi nomor satu yang bertakhta di hatinya. Selama suaminya tidak berpaling ke lain hati, tidak boleh ada yang mengusik rumah tangganya.
"Aku tidak peduli. Cinta bisa lahir setelah hidup bersama. Aku benar-benar mencari sosok ibu pengganti untuk anakku. Dia butuh sosok ibu yang menyayanginya. Sejak ibunya meninggal, ia jadi sulit diatur. Aku yakin kamu bisa menjadi ibu yang baik buat anakku," jelas Berry penuh keyakinan dengan pilihannya.
"Kenapa kau begitu yakin aku bisa menaklukkan anakmu?" tanya Erina masih penasaran dengan pilihan Berry yang tidak bisa diubah. Padahal banyak wanita di luar sana yang lebih cantik dan tentunya masih perawan. Mengapa Berry lebih memilih wanita yang sudah menikah seperti dirinya? Sungguh pertanyaan macam ini yang tidak habis dalam pikiran Erina.
"Ya aku sangat yakin, karena kamu...." Berry menggantungkan kalimatnya saat melihat bola mata Erina yang sangat indah. Seraya tersenyum tipis.
"Apa? Kenapa?" tanya Erina penasaran.
"Karena aku tahu, kau seorang pendidik," jawaban Berry cukup singkat, membuat mata Erina membola.
Erina tertawa sumbang, " Pendidik? Tuan, kalau Tuan membutuhkan seorang pendidik, cari yang lain yang masih hidup sendiri. Jangan aku yang sudah menikah. Di luar sana masih banyak guru yang masih berstatus single atau janda yang lebih baik dari pada aku. Jadi jangan aku yang sudah bersuami. Jangan mentang-mentang, Tuan seorang Sultan, lantas seenaknya mengambil keputusan sepihak dengan memisahkan kami yang sudah berkeluarga. Aku jelas menolak. Aku tidak mau!"
Erina merasa gemas mendengar penuturan Berry yang terlalu mengada-ada. Seraya menggelengkan kepalanya, tetap pada pendiriannya menolak dan hanya ingin mempertahankan rumah tangganya saja. Prinsipnya menikah itu hanya cukup satu kali dalam seumur hidup, kecuali maut yang memisahkan.
Berry langsung beranjak dari tempat duduknya. Seraya menatap tajam seorang wanita yang sudah berani menolak lamaran nya. Ini wanita kedua yang tidak mau diajak menikah. Padahal ia punya segalanya. Mengapa justru sulit sekali mendapatkan wanita yang sesuai dengan kriterianya?
"Oooh begitu. Baiklah, aku pastikan Ayahmu akan membusuk di penjara karena sudah mengambil uang perusahaan. Ingat, perkataan Berry Gunawan tidak pernah main-main. Apa pun bisa dilakukan untuk mendapatkan keinginannya. Ingat itu!" ancam Berry menatap mata Erina yang basah.
Berry langsung memutar tubuhnya untuk kembali ke rumahnya. Ia tidak ingin berlama-lama berdebat dengan calon istrinya.
Wangsa setengah berlari menyusul Berry yang melangkah dengan cepat. Dia merasa tidak enak hati.
"Tuan maafkan saya. Saya mohon Tuan jangan melaporkan saya ke polisi. Akan saya atur semuanya. Saya pastikan Erina mau menikah dengan Tuan. Saya janji!"
Berry menghentikan langkahnya lalu menatap Wangsa dengan tatapan yang tajam.
"Saya pikir Pak Wangsa sudah membicarakan ini sebelum saya bertemu dengan Erina. Ternyata urusan kalian belum selesai. Saya beri waktu selama seminggu. Kalau Erina tidak bersedia menikah dengan saya, maka tuntutan itu akan tembus ke kepolisian, saya tidak peduli dengan kehidupan Bapak. Apalagi kalau Bapak tidak bisa mengembalikan uang perusahaan, saya tidak bisa tinggal diam membiarkan tikus berkeliaran bebas di perusahaan kami. Paham!"
Wangsa mengangguk. Kepalanya mulai pening. Anak satu-satunya tidak bisa diajak kerja sama. Bisa saja ia menjodohkan anak tirinya yang masih kuliah, namun Berry pasti menolak karena yang dicari Berry adalah sosok pendidik yang bisa mengendalikan putranya. Apalagi dia tahu kalau Erina seorang guru BK yang bisa menangani anak-anak yang bermasalah.
"Atur semuanya sesuai rencana!" titah Berry sambil memakai kaca matanya.
Berry langsung pergi menuju mobil yang sudah siap di halaman rumah Erina. Tidak menunggu waktu lama, mobil itu meluncur meninggalkan rumah tersebut.
Wangsa menatap kepergiannya dengan nanar. Seraya membalikkan badannya memasuki rumahnya kembali yang ia berikan pada Erina dan suaminya. Dia sangat marah dengan sikap Erina yang membuat Berry pergi sebelum keputusan pernikahan ditentukan secara resmi.
Wangsa memindai ruang tamu yang sudah terlihat sepi, tidak ada Erina di sana. Seraya memanggil anaknya dengan lantang.
"Erinaaaaaaa!"
Deg!
Suara Wangsa membuat anak kecil yang sedang tidur membuka matanya perlahan, namun tidak berlangsung lama. Anak itu tidur kembali setelah tahu ada Erina di sampingnya.
"Ternyata kau di sini!"
Ssssssst!
Erina menempelkan telunjuk di bibirnya, berharap Ayahnya tidak berbicara keras, karena anaknya akan terusik dari tidurnya.
Erina keluar kamar setelah berhasil menenangkan anaknya. Seraya duduk di sofa dengan hati sedikit lebih tenang.
Wangsa yang berdiri pun ikut duduk berhadapan.
"Ayah hanya ingin kamu mengerti posisi Ayah saat ini. Ayah tidak punya pilihan lain. Kamu mau melihat Ayah menikmati masa tua di dalam penjara?"
Erina mengangkat kepalanya, ia tidak mau Ayahnya mengalami hal buruk dimasa tuanya. Dia sangat menyayangi Ayahnya namun ia juga sangat mencintai suaminya. Dua laki-laki yang sangat penting dalam hidupnya.
"Kenapa Ayah melakukan hal seperti itu? Apa Ayah tidak memikirkan resikonya sebelum melakukannya?" tanya Erina serius. Matanya menatap Ayah yang sangat ia sayangi itu dengan sendu.
"Ayah khilaf, Rin. Ibu tirimu selalu menghasut Ayah untuk melakukannya. Ibu tirimu selalu mengancam Ayah jika tidak melakukan hal itu. Ayah sayang kamu dan tidak ingin kehilanganmu."
Wangsa beralasan agar Erina merasa iba dengan keadaannya.
"Tapi yang lakukan Ayah itu suatu kesalahan. Apalagi sampai menyuruh kami bercerai. Itu dosa Yah." jelas Erina mengingatkan.
"Tapi Ayah bingung, Rin. Uang yang Ayah gelapkan itu sangat banyak. Ayah tidak bisa mengembalikan uang tersebut."
Wangsa terlihat panik, terlihat sekali beban di pundaknya.
"Jual kembali rumah, motor yang diberikan Ayah pada Ibu. Erin tetap tidak bisa bercerai dengan bang Arsyad. Maaf Yah, Erin terlalu mencintainya," ucapnya tegas.
Wangsa menatap tajam putri cantiknya. Matanya mulai menunjukkan kekecewaan yang mendalam. " Jadi kau lebih memilih suamimu ketimbang Ayah? Ingat Rin, hidup itu harus realistis. Kamu membutuhkan uang banyak untuk membiayai hidupmu dan anak pungutmu itu. Lihatlah sekarang pun kamu masih tinggal di rumah orang tua. Padahal ini rumah Ayah satu-satunya!"
"Lho bukankah Ayah yang memberikan rumah ini pada Erin? Biar Erin ga ngontrak dan katanya Ayah mau tinggal di rumah baru bersama ibu Surmi, istri Ayah yang sok kecakepan itu. Maaf ya Yah. Kalau pun Erina harus angkat kaki dari rumah ini, Erin siap kok. Dan perlu Ayah tahu pernikahan yang Erina lakukan bukan permainan yang bisa terhenti kapan pun. Jadi ayah jangan menganggap enteng sebuah pernikahan. Sekarang kalau Erin balikkan ke Ayah, apa Ayah bersedia bercerai dengan bu Surmi?" ucap Erina menantang Ayahnya sendiri. Kini Erina berani mengatakan hal tersebut karena situasi.
Wangsa terkesiap mendengarnya. Anak kesayangannya sudah bisa membalikkan keadaan.
"Ya jelas tidak bisa lah. Keadaan kita berbeda. Ayah memperistri Bu Surmi karena ibu sambung mu tulus merawat Ayah dan mau menemani masa tua Ayah. Sedangkan kamu? Kamu itu anak Ayah yang harus berbakti pada kedua orang tua. Ayah ini orang tua kamu satu-satunya, apa kamu tega melihat Ayah di situasi yang sulit seperti ini? Sekarang Ayah hanya ingin kamu mau menikah dengan Tuan Berry karena Ayah sudah kepepet,"
"Yah kenapa harus Erin? Erina sudah katakan berkali-kali Erina sudah menikah. Harusnya Erita yang Ayah jodohkan bukan Erin. Karena gara-gara hasutan ibunya Ayah jadi seperti ini...."
"Ya Allah Rin. Ayah harus mengatakannya berapa kali biar kamu paham? Tuan Berry itu maunya sama kamu bukan sama Erita. Tolong lah Nak. Bantu Ayah kali ini saja! Kalau kau sudah menikah dengan Tuan Berry, Ayah tidak akan mengusik kehidupanmu kembali. Ayah akan merasa tenang. Tolong Nak, bantu Ayah!" Wangsa meraih kedua tangan putrinya dengan wajah memelas. Berharap Erina menuruti keinginannya.
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!