“Ah, Mas, udah... Jangan lagi. Aku pengen lagi kalau kamu kayak gitu terus."
"Biarin. Aku memang mau lagi. Buka kakimu, sayang...."
"Mas, aku udah make up loh."
"Sedikit saja, sayang. Udah nggak tahan."
"Akh, pelan-pelan. Iya iya... Aku duduk disini aja ya..."
"Errggh, Sabrina. Ini s€ mpit, sayang...."
"Ah, kamu juga en ak, Mas. Terus, Mas lebih da lam!"
"Oke honey! Rasakan ini!"
"Ah..!"
Ajeng mengeraskan rahangnya di depan pintu kamar suaminya.
Biasanya, dia tak pernah sampai bertandang ke rumah istri kedua suaminya. Namun, karena semua kru konten sudah menunggu, dia terpaksa masuk ke sana.
Sialnya, sekali-kalinya dia masuk ke rumah yang berada di sebelah rumahnya itu, malah mendengar hal-hal gila yang menusuk hatinya hingga berkeping-keping.
Karena tak tahan, Ajeng memilih keluar. Dia memberi tahu yang lain, kalau shooting konten dibatalkan saja.
Kebetulan, saat semua peralatan sudah dibereskan, pasangan suami istri yang baru selesai bercinta tadi, datang dengan tingkah sok tergesa.
"Loh, yang lain mana, Dek?" Tanya Rendy—suami Ajeng.
Ya, suami Ajeng dan Sabrina.
"Nggak jadi. Besok aja shooting nya. Anak-anak sibuk sama orderan yang membludak." Jawab Ajeng dingin.
"Oh..." Hanya itu yang keluar dari mulut Rendy. Lelaki itu langsung beralih ke istri keduanya yang masih menempel di lengannya.
"Ya udah yuk, sayang. Kita jalan sekarang aja."
Mendengar hal itu, Ajeng tak tahan untuk tidak bertanya.
“Kalian mau kemana?”
“Brina pengen sushi, Dek. Tahu sendiri kan kalau hamil muda gimana? Meskipun kamu belum hamil, tapi setidaknya kamu sudah paham itu.”
Ajeng tak menjawab, hanya menunjukkan wajah datarnya saja. Ini bukan yang pertama kalinya kok.
“Ya udah yuk, sayang. Kita jalan!” Rendy merangkul Sabrina—istri keduanya dengan mesra.
Sabrina pun, menyambut dengan senyum lebar. Semakin genit bergelayut di lengan suaminya.
“Kita jalan dulu ya, Mbak. Maaf, setelah anter aku beli sushi, Mas Rendy boleh pulang kok. Hari ini, waktunya Mas Rendy di rumah utama kan?”
Jangan harap Ajeng menjawabnya. Tapi, jangan harap juga Sabrina akan peduli.
“Oke, Dek. Aku duluan ya. Sampai ketemu nanti."
Rendy hanya mencolek dagu Ajeng. Tapi, Ajeng melengos cepat hingga sedikit saja tersentuh oleh Rendy.
Rendy pun tak peduli. Dia tetap terus meninggalkan tempat, tanpa mau peduli perasaan Ajeng.
“Udah biarin aja, Mbak. Nanti juga kena karmanya mereka.”
Perhatian Ajeng dari dua sejoli itu, terpaksa dialihkan akibat suara Monik—asisten Ajeng.
“Kamu berharap mereka dapat karma apa, Mon? Mereka loh nikah sah.” Ajeng menggelengkan kepalanya dengan senyum tipis, untuk menutupi perasaannya.
“Ya karma yang menyakitkan lah. Kan mereka berdua udah nyakitin Mbak Ajeng. Mas Rendy juga udah nggak nepatin janji yang katanya mau adil. Mana? Orang dia lebih mentingin Si Sobri terus selama ini.” Monik terlihat jengkel.
“Sabrina, Mon.” Ajeng sok mengingatkan, padahal dirinya sendiri sedang kesal.
“Nggak pantes dia punya nama cantik gitu, Mbak. Dia itu kan pelakor.”
“Sudahlah, mungkin Mas Rendy cuma mau manjain dia aja karena lagi hamil.”
“Eh, jangan mentang-mentang dia hamil ya, Mbak. Mbak Ajeng juga bisa hamil kalau dulu nggak suruh nunda kehamilan dulu. Dulu bilangnya biar sukses dulu. Giliran udah sukses malah ditinggal kawin lagi.”
“Udah… udah… kok malah jadi kamu yang kesel. Aku aja biasa aja.”
“Dih, aku nggak percaya. Paling, di dalem hati Mbak Ajeng, juga dongkol kan? Aku aja pengen jambak rambutnya si Sobri kalau lagi sok manja gitu. Mbak Ajeng sih terlalu baik.”
Dikatai seperti itu, Ajeng hanya bisa tertawa miris dalam hatinya.
Ya, ini salahnya.
Dia yang sudah mengizinkan Rendy menikah lagi tiga bulan lalu, setelah perseteruan sengit mereka yang seolah tak pernah padam selama berbulan-bulan.
Kalau sudah terlanjur seperti ini, Ajeng hanya bisa menyesal mengingat kejadian kala itu.
Empat bulan yang lalu.
Prang!
“Itu lagi, itu lagi yang kamu minta, Mas. Sekarang, gini aja. Kalau kamu mau menikah lagi, ceraikan aku saja!”
Bunyi barang-barang terjatuh yang diikuti oleh suara nyaring seorang wanita, terdengar di sebuah rumah dua lantai, di pinggir kota.
Gaduh, hingga menimbulkan perhatian para penghuninya yang berlalu lalang.
Tapi, mereka semua tak ada yang ikut campur, atau sekedar melerai pertengkaran suami istri itu.
Sudah biasa, pikir mereka.
Hal ini sudah terjadi sejak setengah tahun belakangan, dimulai saat sang kepala rumah tangga meminta izin berpoligami.
“Nggak mau, Dek. Mas kan udah bilang, Mas nggak mau cerai sama kamu.” Rendy, si pelaku utama memohon.
“Kalau nggak mau, kenapa malah mau nikah lagi?” Tantang Ajeng, sang istri.
“Sudah Mas bilang, Mas mau menghindari zina, Dek. Makanya, Mas inisiatif menikahi Sabrina. Maaf, Dek. Tapi, kamu tahu sendiri apa yang sudah kami lakukan, dan aku mau bertanggung jawab sama dia.”
“Halah! Bilang aja kamu masih cinta sama mantanmu itu kan?" Ajeng menyilangkan kedua tangannya di depan dada.
“Mas nggak munafik. Mas memang tertarik sama Sabrina di luar kecelakaan yang sudah kami lakukan. Tapi, bukan itu penyebab utamanya. Itu hanya kecelakaan karena kami dikerjai anak-anak. Mas itu sayang sama kamu, Dek. Mas nggak mau kehilangan kamu.”
Ajeng diam saja dengan rahang mengeras. Entah, sudah berapa kali dia mendengar pembelaan itu.
“Mas sudah minta maaf sama kamu. Mas mengaku salah. Tapi, mau gimana lagi? Semua sudah terjadi. Mas juga udah dapet konsekuensinya. Kamu lempar Mas pakai panci, udah. Kamu main pisau sampai melukai Mas juga udah. Nih masih ada bekas jahitannya.”
Ajeng melengos saat Rendy menunjukkan bekas luka di lengan karena ulahnya.
“Kamu mecahin barang-barang dari yang murah sampai yang berharga pun juga udah biasa. Pulang ke rumah Ibu, juga udah kamu lakuin. Terus, apalagi sekarang? Mas cuma minta izin tanggung jawab sama Sabrina, Dek. Mas janji akan adil sama kalian.” Lelaki itu terus membujuk.
“Cih! Adil katamu?” Ajeng melotot.
Ya, saking terbiasanya mendengar permintaan itu, Ajeng seolah sudah kebal.
Lihatlah, bahkan wanita itu sudah tidak menangis lagi, dan hanya mengedepankan emosinya.
“Mas janji, Dek. Dari segi apapun, Mas akan berusaha adil.”
“Nggak mungkin!” Teriak Ajeng. “Kalau kamu masih pakai uangku untuk menafkahi gundikmu itu, bukan adil namanya. Di usaha kita ini ada keringatku yang mengalir, bahkan aku yang lebih dulu memulai ini semua.”
“Tapi kan Mas yang jalanin.”
Benar, itu semua memang benar.
Mereka ini, bisa dikatakan sebagai orang kaya baru, setelah menjadi konten kreator dan pengusaha private label sebuah produk parfum yang mereka buat sendiri.
Makanya, meskipun belum punya anak sampai sekarang, di rumah mereka ada banyak penghuni selain keluarga.
Tapi, lebih banyak lagi, yang berada di gudang sebelah rumah mereka—tempat yang menjadi pusat aktivitas perdagangan secara online private label milik mereka.
Mereka sudah memiliki beberapa reseller dan dropshipper di marketplace-marketplace sosial media dan dipasarkan di hampir semua online shop besar negeri ini.
Semua bermula saat Ajeng yang sering gabut ditinggal kerja oleh Rendy, membuat konten sederhana aktivitasnya di rumah. Tak jarang, dia melibatkan Rendy saat lelaki itu sedang tidak bekerja, layaknya manusia jaman sekarang yang senang menjual kehidupan untuk konten.
Lama-lama, karena kontennya berhasil menarik minat penonton, Ajeng sering ditawari iklan beberapa produk, hingga yang paling meledek adalah iklan parfum milik orang lain.
Dari sana, tercetuslah ide untuk membuat merek parfum mereka sendiri setelah berunding berdua saja.
Akhirnya, mereka sepakat, namun tidak membuat racikan parfum mereka sendiri. Mereka memutuskan mengambil produk dari perusahaan maklon parfum agar tidak terlalu membebani mereka.
Pada akhirnya, Ajeng menggunakan semua tabungan hasil kontennya untuk menambahi modal dari tabungan keluarga mereka selama satu tahun menikah. Bahkan, Rendy sampai nekat keluar dari perusahaan tempatnya bekerja, karena ingin fokus berbisnis dengan istrinya.
Maklum, Rendy lah yang menjadi pentolan usaha mereka karena Ajeng belum terbiasa berkiprah di dunia bisnis. Tapi, tentu saja andil Ajeng tak kalah banyak menggunakan sosial medianya.
Nyatanya, usaha mereka berhasil. Semua berkembang dengan pesat. Di tahun ketiga pernikahan mereka, mereka bisa dikatakan punya segalanya. Popularitas, harta, bahkan usaha yang semakin berjaya.
Tapi, ujiannya pun tidak kaleng-kaleng. Tiba-tiba, Rendy yang kala itu baru saja pulang kampung karena ada acara, mendadak izin menikah lagi hingga mengejutkan Ajeng yang memang sengaja tidak ikut pulang kampung karena kesibukan mereka.
Katanya, Rendy sudah khilaf berhubungan badan dengan mantan kekasihnya saat reuni sekolah dadakan. Rendy benar-benar merasa bersalah sampai sujud-sujud di kaki Ajeng.
Awalnya, semua menjadi tangisan pilu yang menyayat hati. Tapi sekarang, semua seolah sudah biasa, bahkan wajar menjadi konsumsi para karyawannya.
Tapi, tentu saja semua pertengkaran mereka tidak berlaku di dunia maya yang menunjukkan betapa sempurnanya pasangan muda sukses itu, meskipun mereka belum memiliki momongan.
“Begini saja, Dek. Gimana kalau aset yang kita punya, kita bagi menjadi dua. Jadi, Mas nggak ambil hakmu dari gono-gini kita untuk menafkahi Sabrina.” Usul Rendy.
“Termasuk usaha kita, Mas?” Ajeng melunakkan sikapnya.
“Em, kalau itu sepertinya belum bisa. Kita nggak bisa mecah usaha itu begitu saja. Bisa-bisa, usaha itu akan jatuh karena kita pecah.”
“Tapi, aku nggak mau kamu menafkahi mantan pacarmu itu dengan hasil usaha kita.”
“Loh, kok nggak boleh? Kan ada hak Mas juga disitu. Mas janji hanya akan pakai hak Mas aja untuk Sabrina.”
“Kita buat perjanjian kalau begitu.”
“Jadi, kamu mengizinkan Mas nikah sama Sabrina, Dek?”
Wajah bahagia Rendy, membuat Ajeng tersenyum getir.
“Ya. Tapi, kamu harus tepati janjimu untuk adil lahir batin.”
“Ya. Mas janji, Dek. Makasih banyak ya, Dek. Mas sayang banget sama kamu. Mas akan jadi laki-laki bertanggung jawab seperti influencer yang punya istri dua lainnya. Mereka juga bisa harmonis kan?”
Rendy memeluk Ajeng dengan erat, benar-benar menunjukkan rasa bahagianya.
Entah, terbuat dari apa hati Rendy sampai dia menutup mata atas kesakitan Ajeng.
Sialnya, Ajeng juga paling pintar menutupi rasa sakitnya sendiri. Wanita itu tak mau dianggap lemah dengan cara menunjukkan amarahnya yang selalu menggebu-gebu.
Lucunya, sampai pernikahan Rendy dilakukan, Rendy lupa segalanya. Dia sudah dibutakan oleh puber kedua, hingga tergila-gila kepada istri keduanya.
Rendy lupa jika dia punya Ajeng juga. Hanya di awal-awal saja dia terlihat sungkan. Tapi, semakin kesini, sampai usia poligami mereka sudah tiga bulan, Rendy seolah hanya menjadikan Ajeng sebagai partner bisnisnya saja.
Ajeng jarang disentuh, dimanja-manja, bahkan sering dilupakan jadwal kunjungannya. Wanita itu hanya diingat saat Rendy membutuhkan dirinya untuk membuat konten poligami yang terkesan lucu di depan kamera.
Ya, bukannya malu, Rendy justru menjadikan rumah tangga poligaminya sebagai bahan unggahan di sosial media.
Sebenarnya, Ajeng miris. Namun, meskipun begitu, Ajeng tak pernah protes lagi, setelah dia pernah mengingatkan sekali, tapi Rendy lupa lagi seolah dia tak berarti.
Ya, katakanlah Ajeng bodoh. Tapi, karena dia sudah terlanjur masuk ke dalam permainan ini, dia tak ingin melepaskan semuanya begitu saja dalam kerugian.
Setidaknya, jika dia sudah kehilangan hati sang suami, Ajeng tidak ingin kehilangan hasil keringatnya selama ini.
Kembali ke masa sekarang.
Ajeng menatap jam di dinding kamarnya yang sudah menunjukkan pukul sembilan malam.
Tidak masalah waktu berlalu cepat. Tapi, ada yang ditunggu oleh wanita itu.
Sekuat apapun Ajeng berusaha mengacuhkan suaminya yang sedang lupa, nyatanya hati kecilnya tetap menunggu Rendy di hari yang seharusnya menjadi miliknya.
“Bohong lagi.” Gumamnya pelan.
Ajeng tak berusaha mencari Rendy—karena dia tahu ada dimana lelakinya itu, saat dia tak sengaja mendengar obrolan dua orang karyawannya, yang tadi sempat mencari Rendy di rumah sebelah—rumah yang Rendy beli untuk Sabrina.
Karena tak ada tanda-tanda Rendy akan datang, Ajeng memilih meletakkan tabletnya, mulai berbaring dan menaikkan selimutnya.
Ya, dibandingkan merengek meminta Rendy pulang, Ajeng memutuskan untuk tidur saja karena wanita itu sedang berusaha memperbaiki pikirannya yang menjadi racun untuk dirinya sendiri akhir-akhir ini.
Masa bodoh kalau tiba-tiba Rendy datang dan menanyakan kenapa dia sudah tidur. Ada dan tidak ada suaminya pun rasanya sama saja.
Paling-paling, kalau Rendy datang, lelaki itu juga hanya tidur saja di ranjang mereka, tanpa romantisme layaknya suami istri seperti dulu. Tak mau munafik, Ajeng juga wanita normal yang ingin dimanja suaminya.
Ceklek.
Rupanya, dugaan Ajeng jika Rendy tak akan pulang, salah besar. Baru saja Ajeng menutup matanya, lelaki itu sudah membuka pintu kamar mereka, tanpa ketukan lebih dulu.
Karena sudah terlanjur malas, Ajeng memilih pura-pura tidur saja, daripada dia terpancing amarah lagi.
“Dek.” Panggil lekaki itu.
Ajeng bisa merasakan kasurnya bergerak, tanda jika ada seseorang sedang mendekatinya.
“Kamu udah tidur, hem?” tanya Rendi.
Dia mencium pipi Ajeng dari arah belakang, karena posisi Ajeng memang membelakangi sisi ranjang yang semula kosong.
“Bangun dulu, Dek. Ada sesuatu yang mau Mas bicarain.”
Awalnya, Ajeng pura-pura tak bereaksi. Tapi, karena Rendy mengguncang lengannya, dia terpaksa berhenti berpura-pura.
“Ada apa?” Suaranya datar. Hanya saja, reaksinya malas seolah-olah baru saja bangun tidur.
Wanita itu memutar tubuhnya dan menaikkan sedikit bantalnya, hingga setengah duduk.
“Tumben jam segini tidur?”
Ajeng tak bereaksi berlebihan. “Aku emang biasa tidur cepat akhir-akhir ini.”
“Oh ya? Biasanya, kamu masih asyik nonton drama kalau Mas masuk.”
“Biasanya kapan? Dulu sebelum kamu sibuk sama Sabrina kan?”
Rendy terlihat gugup, tapi langsung bisa menormalkan ekspresinya.
“Ayolah, Dek. Jangan cemburu gitu. Mas kan di rumah Brina karena dia sedang hamil.”
“Ya. Aku tidak masalah.”
Melihat sikap istrinya yang dingin, Rendy tersenyum kecil.
“Cie… yang cemburu.”
Entah apa maksudnya dia meledek seperti itu. Bahkan, Rendy juga mencolek dagu Ajeng.
Namun, secepat kilat, Ajeng berkelit dengan cara memalingkan wajah.
“Udahlah, Mas. Kamu mau ngomong apa? Buruan! Aku udah ngantuk.” Ajeng hanya menghindari kekesalan.
“Aku punya obatnya biar nggak ngantuk lagi.” Tiba-tiba saja, Rendy mendekatkan wajahnya, mengisyaratkan sesuatu.
“Aku sedang datang bulan.”
Rendy menghentikan niatnya. Dia menatap lekat istrinya yang sudah dia peluk.
“Kamu datang bulan dua minggu yang lalu, Dek. Nggak mungkin sekarang lagi.”
“Ya emangnya kenapa kalau datang bulan lagi? Mungkin, aku lagi stres.”
“Coba lihat kalau gitu.”
Rendy hampir menyentuh tubuh istrinya, tapi Ajeng mencegahnya.
“Apa sih, Mas? Konyol banget.” Ajeng mengerling malas.
Rendy menghela nafas berat, seolah paham istrinya sedang merajuk.
“Baiklah, nggak apa-apa kamu marah. Tapi, jangan lama-lama ya. Aku tahu kamu lagi cemburu. Mas cuma minta pengertian kamu, Dek. Sabrina sedang hamil, jadi dia butuh perhatian ekstra. Apalagi, cuma aku yang dia punya disini.”
“Kalau kamu cuma mau ngomong itu, aku tidur lagi.”
Ajeng sudah siap menaikkan selimutnya lagi, tapi Rendy mencegah cepat.
“Jangan, Dek. Nanti dulu!”
Ajeng tak bersuara, tapi dia kembali dengan sikap memperhatikan.
“Aku tadi kontekan sama Mas Biantara.”
“Biantara?” Ajeng mengenyit. “Biantara maklon parfum kita bukan?” ekspresi Ajeng lebih serius.
“Iya.” Rendy tersenyum lebar. “Dia mau bicara sesuatu tentang kelangsungan bisnis kita. Katanya, tahun ini kita menjadi customer dengan order terbanyak di perusahaannya dibandingkan reseller lainnya.”
“Terus?” Ajeng mengangkat satu alisnya.
“Dia ingin mengapresiasi kita. Mau ketemu sebentar, sekalian bikin konten, biar lebih menarik minat penjual.”
“Apa reward nya?” Tanya Ajeng.
“Mereka minta kita ketemuan dulu. Tapi, yang dulu-dulu, biasanya reseller atau private label seperti kita mendapatkan logam mulia.”
“Berapa gram?”
Rendy tersenyum kecil melihat reaksi istrinya.
“Mana Mas tahu, Dek. Tapi, yang penting kan bukan itunya. Kamu tahu kan dia itu juga influencer dan motivator terkenal? Kita bisa kolaborasi sama dia biar kita semakin dipandang.”
“Terus, kapan ketemunya? Dimana?”
“Lusa, dia ada perjalanan bisnis ke kota sebelah. Kita bisa kesana sekalian bikin vlog atau short content. Tadi, Mas udah janjian. Katanya, dia mau mampir sebentar di glamping yang udah Mas usulin.”
“Oh, jadi besok kita akan kesana?” Mimik wajah Ajeng berubah. Jujur saja, ada getaran bahagia yang datang tiba-tiba, menyusup di hatinya.
Rasa iri karena suaminya habis jalan-jalan dengan madunya beberapa hari lalu, sepertinya akan terbayar lunas, meskipun hanya perjalanan bisnis saja.
“Iya dong. Kamu siap-siap ya. Kita disana dua atau tiga hari sambil shooting konten."
Ajeng mengangguk. Ekspresinya semakin melunak. Tak bisa dibohongi, wanita bodoh itu bahagia karena akan punya quality time bersama suami yang sudah lama dia rindukan.
“Oh ya, Dek. Karena waktunya mepet dan kamu udah ngantuk juga, kamu nggak usah siapin barang-barangku. Aku udah minta Brina buat nyiapin semuanya sekalian baju-bajunya.” Rendy berbicara lagi sambil beranjak dari kasur.
“Baju-bajunya? Memangnya, Brina ikut?” belum apa-apa, Ajeng sudah spaneng.
“Ya iyalah, Dek. Kalau nggak ikut, dia bisa merengek sama Mas.”
“Oh…”
Sialnya, bukannya memahami perasaan Ajeng, Rendy justru terkikik membayangkan istri keduanya yang akan ngambek karena tak diajak.
Menelan kecewa untuk yang kesekian kalinya, Ajeng memilih kembali menaikkan selimutnya, tanpa memperdulikan Rendy—yang baru masuk kamar mandi.
Sekuat apapun Ajeng menganggap semua baik-baik saja, nyatanya air mata sialannya tetap keluar tak bisa dicegah.
“Mbak Ajeng, Mbak yang di depan ya sama Doni. Biar Mas Rendy sama aku di belakang. Aku takut mabok, Mbak. Aku kan lagi hamil. Jadi, kalau aku muntah, biar Mas Rendy aja yang repot karena dia yang bikin.”
Niat Ajeng membuka pintu belakang mobil mereka, urung karena permintaan Sabrina.
Ya, Sabrina memang lebih tua dari Ajeng karena dia adalah adik kelas Rendy semasa sekolah. Tapi, karena posisinya sebagai istri kedua, dia menghargai Ajeng yang lebih muda tiga tahun darinya, dengan panggilan Mbak.
Tanpa banyak kata, wanita itu pindah ke depan, tempat yang biasa diduduki oleh Rendy.
Biasanya, formasi saat bepergian bersama memang Rendy yang di depan demi keadilan. Tapi kini, keadilan itu sudah terabaikan dengan alasan kehamilan Sabrina.
Ya, lagi dan lagi, kehamilan madunya menjadi alasan kekecewaannya.
Perjalanan menuju penginapan yang berada di kawasan puncak, tak banyak drama. Hanya dipenuhi oleh celotehan Sabrina yang bermanja kepada Rendy tanpa peduli Ajeng di depan sana.
Mereka membawa dua rombongan. Satu mobil berisi mereka bertiga dan juga Doni—yang menyetir. Serta satu mobil lagi di belakang, rombongan bagian perkontenan.
Hanya sekitar empat jam perjalanan, mereka sudah sampai tempat tujuan. Doni, selaku orang kepercayaan Rendy, sudah mengatur semuanya.
“Mau satu kamar untuk bertiga atau pesan dua kamar, Bos?” Goda Doni yang sebenarnya hanya bercanda.
“Yang bener aja lo, Don. Lo pikir, gue mau three--some?”
Banyak yang tertawa karena candaan itu. Tapi, tidak demikian dengan Ajeng yang terlanjur badmood karena istri muda Rendy, ikut dalam perjalanan mereka.
Alhasil, Rendy dan kedua istrinya dipesankan dua kamar kali ini. Kata Doni, terserah Rendy akan tidur di kamar istrinya yang mana.
Sedangkan karyawan lain, mereka punya bagian masing-masing dalam satu kamar untuk empat orang. Sengaja, Rendy hanya membawa personil laki-laki agar tidak ribet dan membebani.
“Dek, Mas ke kamar Brina dulu ya. Baju-baju Mas kan satu koper sama Brina.”
Lagi-lagi, Ajeng hanya bisa pasrah, tanpa membantah. Wanita itu berjalan sendiri menyeret kopernya, menuju kamar miliknya.
Entahlah, meskipun Ajeng tahu itu mustahil, tapi si bodoh itu tetap tak berhenti berharap suaminya akan datang ke kamarnya.
“Bodoh kamu, Ajeng. Bodoh sekali.” Ucapnya saat harapannya menunggu sang suami seolah kandas begitu saja.
Dari siang mereka tiba, hingga kini hari sudah mulai gelap, nyatanya Ajeng tak melihat batang hidung suaminya sedikit pun di sekitarnya. Hanya ada kru kontennya saja yang mengajaknya mengobrol karena kesepian, di sebuah cafe milik resort.
“Nah, itu Mas Rendy.” Ucap Joko, salah satu tim Ajeng.
Ajeng tentu saja menoleh ke arah tunjuk Joko. Dan ternyata, dia melihat suaminya sedang berjalan bersama Sabrina sambil bergandengan tangan mesra, ke arahnya.
Namun, saat sepasang suami istri itu sudah mendekat, Ajeng justru memalingkan wajahnya.
“Udah pada makan malam belum nih?” Tanya Rendy kepada anak buahnya.
“Dari tadi udah ngopi sama ngemil, Bos. Sambil nemenin Ajeng.” Sahut Doni apa adanya.
Karena nama istrinya disebut, Rendy menatap istri pertamanya itu.
“Kamu juga belum makan, Dek?” Tanyanya.
“Aku udah kenyang. Sama seperti mereka.” sahut Ajeng tenang.
“Kalau begitu, kita aja yang makan lah. Laper belum makan dari siang.”
Rendy duduk lebih dulu, kemudian dia menarik kursi sebelahnya untuk Sabrina yang terkikik menanggapi ucapannya.
Ya, memangnya siapa yang tak paham apa maksud ucapan Rendy dengan kata "lapar karena tidak makan sejak siang"?
Sialnya, dua manusia laknat itu tidak merasa tak enak hati sedikitpun kepada Ajeng.
“Dek.” Panggil Rendy, setelah dia menyuruh salah satu anak buahnya untuk memesankan makanan untuknya dan Sabrina.
Ajeng hanya menatap, tanpa menjawab.
“Malam ini, aku tidur sama Brina ya. Kasihan dia nggak berani sendirian.”
Ajeng mengepalkan tangannya erat-erat menahan kesal.
Sebenarnya, sudah dia duga akan seperti ini jadinya. Suaminya tak akan bisa mengesampingkan Sabrina demi dirinya sebentar saja.
Tapi, kalau bertemu kenyataannya secara langsung seperti ini, Ajeng jelas emosi. Tapi, untuk meluapkan emosinya pun, Ajeng tak sampai hati mempermalukan dirinya sendiri.
“Ya. Tidurlah di kamar Brina. Tapi, sebelum kalian tidur, aku mau bicara sama kamu sebentar.” suara Ajeng datar. Kemudian, dia berdiri tiba-tiba.
“Kamu mau kemana, Dek?” Rendy bertanya.
“Aku mau ke kamar. Pegel dari tadi duduk disini.” Wanita itu masih tenang.
“Kamu beneran nggak makan lagi?”
“Aku udah kenyang. Aku ke kamar dulu.”
Tanpa menunggu jawaban siapa-siapa, Ajeng berlalu begitu saja dengan sikap biasa.
Rendy hanya bisa menatap istri pertamanya dengan tatapan yang sulit diartikan.
“Hayo loh, Bos. Yang satu marah kan? Kasihan Ajeng. Dari tadi disini terus nungguin kalian.” Joko menakut-nakuti.
“Oh ya?” Yang menjawab adalah Sabrina. “Ya ampun, kasihan sekali Mbak Ajeng. Kamu sih, Mas, pakai acara begituan dulu sampai dua kali. Jadinya, Mbak Ajeng marah kan?”
Kelima laki-laki yang biasa bercanda itu, hanya bisa melengos karena situasinya tak tepat untuk menanggapi apapun. Bahkan, diantara kru itu, ada yang mencebik dan ada juga yang menggelengkan kepalanya tak menyangka.
*
“Aku mau kita ketemu sama notaris.”
Rendy yang baru saja sampai di tempat Ajeng menunggu, mengenyitkan keningnya.
“Notaris? Untuk apa?”
“Untuk membagi usaha kita yang sedang berjalan.”
“Apa maksudmu?” Reaksi Rendy, berbanding terbalik dengan Ajeng yang terlihat tenang.
Wanita yang semula menatap pemandangan kemerlip lampu-lampu di bawah bukit itu, menoleh santai ke arah suaminya.
“Aku mau kita cerai.”
“Jaga ucapanmu, Ajeng!” Spontan, Rendy membentak.
Merasa sudah habis kesabaran, Ajeng menatap Rendy dengan tatapan menantang.
“Kenapa harus aku yang menjaga ucapan? Sementara kamu, nggak pernah bisa jaga perasaanku.”
Rendy tersenyum sinis. “Apa ini cuma karena kamu lama nungguin aku di depan tadi, hem? Atau karena malam ini aku akan tidur di kamar Sabrina?”
“Seharusnya, seperti itu saja tidak perlu dijelaskan. Nggak cuma sekali dua kali kamu mengingkari janji untuk adil, Mas. Kamu lebih mengutamakan Sabrina terus daripada aku.”
“Sudah ku bilang, itu karena Sabrina sedang hamil.”
“Itu bukan alasan, Mas. Kalau status kami sama, kenapa dia nggak kamu suruh mencegah kehamilan dulu sama sepertiku?”
“Kita sudah kecukupan sekarang, Dek. Ayolah, ini masalah sepele.”
“Ya, sepele menurutmu, tapi tidak dengan aku. Pokoknya, aku mau bercerai dan bisnis kita dibagi dua.”
“Sudahlah! Kamu cuma sedang cemburu seperti biasanya, Ajeng." Rendy tak mau membahas lebih lanjut.
"Kalau ini cuma perkara tidur, nanti aku akan tidur sama kamu seminggu full. Tapi, tidak sekarang karena Sabrina akan ketakutan kalau tidur di tempat ini sendirian.”
Setelah berkata seperti itu, Rendy langsung meninggalkan Ajeng, tanpa berniat mendengarkan penjelasan istrinya lagi.
Wanita itu—Ajeng. Hanya bisa terdiam dengan wajah datarnya. Tapi percayalah, meskipun dia setenang itu, hatinya sedang berperang hebat dengan dirinya sendiri.
Mengatur nafasnya—hanya itu yang bisa Ajeng lakukan untuk menenangkan dirinya sendiri.
Tak tahu saja dia, jika tak jauh dari tempatnya saat ini, seseorang sedang memperhatikannya, bahkan sejak dia bertengkar dengan Rendy tadi.
“Apa itu benar Rendy dan istrinya, Nu?” suara itu terdengar rendah namun penuh makna.
“Ya, lo tahu sendiri lah....” Wisnu yang berdiri di samping Biantara, memutar bola matanya malas.
Namun, Biantara justru tersenyum miring, dengan tatapan mata tak lepas dari Ajeng.
“Jadi, wanita tenang yang tidak pernah tertarik sama gue karena mencintai suaminya itu, sekarang sudah disakiti?” Biantara terdengar meremehkan.
“Oh, ayolah, Bi. Lo nggak perlu ikut campur sama urusan mereka. Mau lo tertarik betulan sama dia pun, dia tetap istri orang.”
“Itulah, Nu. Lo tahu kan, pepatah yang mengatakan kalau rumput tetangga itu lebih hijau? Sama halnya seperti istri orang. Dia akan nampak menarik di mata gue, apalagi kalau perempuan itu udah mengacuhkan gue."
"Jangan macam-macam, Bi! Lo cuma penasaran sama dia!"
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!