"Dok... tolong selamatkan ibu saya!"
Gadis dengan pakaian kerjanya yang masih kusut berlari tergesa, mendorong brankar yang membawa tubuh ibunya yang tak sadarkan diri.
"Saya akan usahakan."
Laki-laki tinggi berjas putih khas dokter segera memberi isyarat. Bu Hasna langsung dibawa masuk ke ruang gawat darurat, diiringi beberapa perawat yang sigap membantu.
Cantika berhenti di depan pintu, napasnya tersengal, dada naik turun. Jantungnya berdegup kencang, seolah menunggu vonis yang bisa merenggut separuh hidupnya. Ia masih syok, tak percaya ketika tetangganya memberi kabar bahwa ibunya pingsan saat membeli sayuran di pasar.
Detik jam berjalan bagai cambuk, menambah kegelisahannya.
Hingga pintu itu terbuka.
Muncul seorang dokter muda dengan wajah yang sudah sangat familiar. Dokter Arkana. Dokter yang selama ini menangani ibunya.
"Dokter, bagaimana keadaan ibu saya? Beliau baik-baik saja kan?" tanya Cantika dengan wajah penuh cemas.
Arkana tidak langsung menjawab. Ia hanya menatap Cantika sebentar, lalu berkata pelan, "Ikut saya ke ruangan, Cantika."
Cantika mengangguk, meski langkah kakinya terasa lemas. Ia mengikuti dokter Arkana, sosok yang sering jadi buah bibir karena ketampanannya, tapi bagi Cantika, ia hanyalah harapan terakhir untuk menyelamatkan ibunya.
"Silakan duduk," ujar Arkana begitu mereka tiba di ruangannya. Suaranya lembut, tapi sorot matanya ragu.
Cantika duduk pelan, jemarinya meremas ujung baju kerja yang sudah basah keringat.
"Kondisi ginjal ibu Hasna... semakin parah." Arkana menghela napas panjang. "Beliau harus segera melakukan cuci darah. Minimal empat kali dalam sebulan. Kalau kondisinya memburuk, bisa lebih sering."
Seluruh tubuh Cantika bergetar. Air matanya luruh tanpa bisa ditahan.
"A... apa? Semakin parah?" suaranya nyaris pecah.
Arkana menatapnya dengan iba. Ia tahu betul perjuangan Cantika, gadis muda yang rela banting tulang demi kuliah dan pengobatan ibunya.
"Biayanya... mahal, ya Dok?" tanyanya lirih, meski sudah tahu jawabannya.
"Sekitar dua juta... setiap kali cuci darah."
Duaaarrrr.
Kepala Cantika serasa pecah. Uang sebanyak itu... gajinya saja hanya empat juta sebulan. Belum kontrakan yang harus dibayar besok. Belum tunggakan kuliah tiga bulan terakhir.
"Dok, apa nggak ada cara lain selain cuci darah?" suaranya bergetar.
Arkana menggeleng tegas. "Tidak ada, Cantika. Kalau terlambat, nyawa beliau bisa melayang."
Air matanya makin deras. Dunia seperti runtuh menimpa pundaknya yang rapuh.
"Apa... mau saya yang bayarkan biayanya?" tawar Arkana dengan tulus.
Cantika buru-buru menggeleng. "Nggak usah, Dok. Saya... saya akan coba pinjam sama bos saya."
"Saya bisa pinjamkan ke kamu," ulang Arkana.
Sekali lagi Cantika menggeleng, kali ini lebih tegas meski air matanya masih jatuh. "Saya sudah banyak hutang sama Dokter. Saya nggak mau merepotkan lagi."
Arkana menghela napas. "Padahal saya sama sekali nggak merasa repot, Cantika. Saya ikhlas membantu kamu. Saya kasihan... melihat kamu terus banting tulang, bahkan rela mengorbankan waktu istirahatmu demi uang."
Cantika tersenyum getir, "Orang miskin seperti saya memang harus kerja keras, Dok. Karena... bagi saya, satu detik waktu saja sangat berarti."
Ia bangkit, menghapus air mata dengan kasar. "Saya titip ibu sebentar, Dok. Saya... harus mencari pinjaman."
Tanpa menunggu jawaban Arkana, Cantika melangkah pergi. Langkahnya berat, tapi tekadnya lebih berat lagi, menjadi benteng terakhir untuk ibunya, meski harus hancur sendiri.
***
Tok... tok... tok...
“Permisi...” suara Cantika terdengar ragu, tangannya gemetar saat menyentuh gagang pintu.
“Masuk.”
Suara datar itu terdengar dari dalam.
Cantika melangkah pelan. Di balik meja besar, Bu Yola menatapnya dengan kening berkerut.
“Kenapa? Kamu bikin masalah lagi?” tanyanya sinis.
Cepat-cepat Cantika menggeleng. Ia paksa bibirnya melukis senyum tipis, senyum palsu yang berusaha menutupi luka hatinya.
“Bukan, Bu... Saya ke sini... ingin meminjam uang. Ibu saya... sedang dirawat di rumah sakit. Dokter bilang harus segera cuci darah.” Suaranya merendah, hampir terputus di ujung.
“Ck! Sudah saya duga,” potong Bu Yola ketus, matanya menyipit. “Kalau bukan minta izin, ya pasti pinjam uang. Gaji bulan ini aja sudah kamu ambil separuh. Hutang bulan lalu pun belum kamu bayar. Kamu kira mau bayar pakai apa, hah?”
Cantika menunduk semakin dalam, hatinya teriris. “Bu... saya mohon. Tolong sekali ini saja. Saya sangat butuh uang itu.”
“Gak ada!” bentak Bu Yola sambil menyilangkan tangan di dada. “Kamu pikir saya bandar uang apa? Seenaknya datang pinjam!”
Air mata Cantika mulai menggenang. “Hanya ibu saya harapan saya, Bu... saya mohon...”
Bu Yola tertawa miring. “Keenakan kamu, Cantika. Pinjam uang terus! Kerja aja gak becus, kebanyakan izin. Dikasih hati, malah minta jantung. Pergi! Kalau nggak, saya pecat kamu sekarang juga!”
Cantika membelalakkan mata. “Jangan, Bu! Saya mohon... saya butuh pekerjaan ini. Kalau saya dipecat, bagaimana saya bisa bayar rumah sakit?”
Namun Bu Yola justru menatapnya jijik. “Kalau nggak mau dipecat, keluar dari ruangan ini sekarang juga. Saya muak lihat muka menyedihkan kamu.”
Kata-kata itu menusuk seperti pisau. Mata Cantika basah, tubuhnya lemas. Dengan langkah gontai, ia keluar dari ruangan itu. Harapannya pupus seketika. Satu-satunya peluang yang ia pegang... kini lenyap begitu saja.
Cantika terus berjalan dengan pikiran melayang, memikirkan kemana lagi dia harus mencari uang.
"Ya Tuhan, kenapa cobaan yang aku alami sangat berat," isaknya pelan. Tubuh kurusnya terus berjalan.
"Ibu adalah orang satu-satunya aku punya, aku gak mau kehilangan ibu," batinnya lagi.
"Apa aku harus pinjam sama dokter Arkana lagi?"
Dia merasa semakin bingung, dia benar-benar dilanda rasa bingung. Hutang-hutang yang semakin menggunung, bahkan hari-hari yang terkuras habis karena harus bekerja dan bekerja terus.
"Aku gak boleh ngerepotin dokter Arkana lagi. Aku malu, hutangku udah terlalu banyak."
Cantika terus berperang dengan pikirannya, hingga tiba-tiba dia teringat satu nama, yaitu Jesika, teman campusnya yang selalu bergaya dengan glamour.
"Jesika, siapa tahu dia punya uang."
Cantika tersenyum. Dengan langkah cepat Cantika berjalan, tak peduli lagi dengan kakinya yang mulai pegal dan sakit karena terlalu lama berjalan.
Langkah kaki Cantika membawanya ke sebuah alamat yang pernah dikatakan Jesika dulu. Hingga dia berada di alamat tersebut, sebuah hunian apartemen mewah membuat Cantika menatap tak percaya, karena sahabatnya tinggal di tempat mewah ini.
"Wahhh, ternyata kehidupan Jesika sekarang jauh lebih baik. Aku yakin dia pasti mau meminjamkan aku uang," dengan langkah penuh percaya diri, Cantika mengetuk pintu apartemen. Hingga tak lama sosok yang ingin dia temui keluar.
Kening Jesika mengernyit. "Lho, Cantika?"
Cantika tersenyum, menatap penampilan Jesika dari ujung rambut hingga kaki. Pakaian yang melekat di tubuhnya merk terkenal semua.
"Tumben kamu datang ke sini? Emangnya kamu gak kerja?"
Cantika menggeleng. "Enggak, Jes."
"Yaudah yuk masuk, aku buatin minum."
Cantika mengangguk, dia segera berjalan masuk. Matanya semakin membelalak saat melihat isi apartemen milik sahabatnya, yang penuh dengan barang-barang mahal.
"Kehidupan kamu beda banget ya, Jes, gak kayak dulu lagi," kata Cantika menatap bangga.
Jesika tersenyum. "Aku bekerja keras, Tika, untuk membalas ucapan orang-orang yang sombong," jawab Jesika, dengan tangannya yang tetap sibuk membuat jeruk peras untuk Cantika.
"Usaha kamu membuahkan hasil, sedangkan aku..." Cantika tersenyum getir, membayangkan nasibnya yang tak seindah sahabatnya.
"Jangan bicara kayak gitu dong, Tika. Aku yakin suatu hari nanti kamu juga pasti akan hidup bahagia."
Jesika mendekat, lalu menyodorkan es jeruk peras ke hadapan Cantika yang nampak haus. Keringat bercucuran di keningnya. Dengan cepat Cantika meneguknya, sehingga membuat Jesika menelan saliva karena Cantika minum begitu rakus.
"Jes, sebenarnya kedatangan aku ke sini mau meminjam uang. Ibu aku dirawat di rumah sakit, dan harus melakukan cuci darah," ucap Cantika langsung.
Jesika menghela napas panjang. "Cantika, kamu kan tahu sendiri aku harus membiayai sekolah adikku. Belum lagi bayaran kuliahku, kenapa kamu gak pinjam sama bos kamu aja?" kata Jesika.
Cantika menunduk. "Aku udah coba tadi, tapi Bu Yola gak kasih aku karena aku masih punya hutang, Jes. Dan harapan aku hanyalah kamu."
Jesika mengusap punggung tangan sahabatnya. "Cantika, kamu masih muda. Selalu banting tulang tapi belum juga tercukupi. Kalau kamu meminjam uang lagi tandanya kamu akan semakin memperbanyak hutang. Lalu dengan apa kamu akan membayarnya?"
"A-aku gak punya cara lain lagi, Jes, selain meminjam uang."
"Jujur aku kasihan liat kamu, Tika. Kalau kamu terus-menerus meminjam uang gak akan ada ujungnya."
"Terus apa yang harus aku lakukan, Jes? Jalan aku udah buntu."
Jesika tersenyum. "Kamu mau kerja sama aku?"
"Kerja?" kening Cantika mengerut.
"Iyah, kerja sama aku dijamin gajinya besar. Kamu gak usah capek-capek pinjaman lagi, dan hutang-hutang kamu pasti akan lunas."
Cantika menelan saliva, tawaran yang sangat menggiurkan baginya yang saat ini benar-benar butuh uang.
"Kerja apa, Jes?"
"Kerja di klub malam."
Deghh...
Mata Cantika membelalak tak percaya, jantungnya berdetak tak karuan.
"A-apa di klub malam? Kamu gak salah, Jes?"
"Haha, nggak lah, Tika. Dengan bekerja seperti ini kamu akan mendapatkan uang banyak, dan biaya pengobatan ibu kamu akan terpenuhi tanpa harus meminjam ke sana-sini."
"Tapi aku..."
"Nggak usah takut, kamu cuma perlu menemani para om-om minum. Berjoget bersama mereka, lalu kamu akan diberi tips. Tentunya tips beda dengan gaji, Cantika. Bukannya ini tawaran yang menarik?"
"Berjoged?"
"Iyah, berjoged santai," kata Jesika sambil mempraktikkan jogedannya.
"Tapi aku takut, Jes." Wajah Cantika terlihat murung.
"Apa yang kamu takutkan, Cantika? Kamu cuma menemani mereka minum. Dan kamu gak usah takut mereka macam-macam, karena kamu bisa menolaknya," jelas Jesika lagi. "Tapi pilihan ada di tangan kamu sih, aku cuma ngasih opsi aja biar hidup kamu berubah."
Lagi-lagi Cantika hanya mampu menelan saliva dengan kasar. Ajakan Jesika memang sangat menggiurkan, apalagi dengan posisinya yang sangat butuh uang. Tapi apakah ibunya tidak akan kecewa jika mengetahui pekerjaannya nanti?
"Cantika, ayolah jangan lemah. Ubah kehidupan kamu jadi lebih baik," rayu Jesika terus.
Cantika semakin bingung. Pilihan berat ini membuatnya semakin gelisah. Di satu sisi dia ingin kehidupannya berubah, tapi di sisi lain dia takut ibunya akan kecewa jika tahu semua.
"Tika."
"Euhhh, Jes."
"Gimana?"
"Aku takut ibu kecewa nanti kalau tahu aku mengambil jalan yang salah ini."
"Heyyy, Cantika, kamu bukan mengambil jalan yang salah. Tapi kamu mengambil jalan untuk menyelamatkan nyawa ibu kamu," ucap Jesika. "Dan satu lagi, kalau kamu takut ibu kamu kecewa, kamu bisa menyembunyikannya. Jangan sampai ibu kamu tahu."
Cantika menghela napas berat, lalu tanpa pikir panjang dia mengangguk. Pikirannya sudah bulat bahwa dia harus menyelamatkan nyawa ibunya, orang tua satu-satunya yang dia punya.
Sebelum menuju tempat kerja barunya, Cantika meminta Jesika agar mereka singgah dulu di rumah sakit. Ia ingin melihat kondisi ibunya sebelum melangkah lebih jauh. Sepanjang perjalanan, tatapan Cantika kosong menatap keluar jendela taksi, pikirannya penuh dengan pertanyaan dan rasa bersalah.
“Hey, jangan melamun dong, Tik,” tegur Jesika sambil menyikut pelan lengannya. “Enjoy aja, jangan tegang gitu. Lama-lama kamu pasti terbiasa kok. Apalagi kalau udah lihat uang kamu banyak, yakin deh, kamu bisa ketagihan.”
Cantika tersentak dari lamunannya, lalu berusaha tersenyum tipis. “Nggak kok, aku cuma kepikiran ibu aja.”
Jesika mengangkat alisnya, lalu terkekeh kecil. “Apa yang kamu pikirin? Ada uang, ibu kamu pasti sehat lagi. Itu udah pasti.”
Cantika menghela napas berat. Benar kata Jesika, semua butuh uang. Dan untuk itu, ia harus nekat menempuh jalan yang baru saja dipilihnya.
Tak lama kemudian, taksi berhenti di depan rumah sakit. Jesika cepat-cepat membayar ongkos, sementara Cantika masih melamun sesaat sebelum akhirnya ikut turun.
Mereka berjalan beriringan melewati lobi rumah sakit. Namun pemandangan keduanya sungguh kontras: Jesika tampil anggun dengan pakaian rapi serba glamour, sementara Cantika tampak sederhana, wajahnya kusut dan penuh beban. Sekilas, orang yang melihat mereka akan mengira Jesika seorang majikan, sedangkan Cantika hanyalah pembantunya.
Saat tiba di depan ruang rawat, Cantika segera membuka pintu tanpa ragu. Di dalam, seorang wanita paruh baya terbaring lemah, wajahnya pucat dengan selang infus menempel di tangannya.
“Cantika…” suara itu lirih, namun penuh rasa lega begitu melihat putri semata wayangnya.
“Ibu udah bangun.” Cantika langsung berlari kecil dan memeluk ibunya erat. Air matanya jatuh begitu saja. Jesika menyusul masuk, langkahnya santai namun tatapannya sedikit melunak melihat kondisi Bu Hasna.
“Ibu gimana keadaannya?” tanya Jesika seolah penuh perhatian.
“Je… Jesika?” Bu Hasna menatapnya tak percaya. Penampilan Jesika kini jauh berbeda dari terakhir kali ia lihat, lebih dewasa, lebih berkelas.
Jesika tersenyum tipis, lalu meraih punggung tangan Bu Hasna dan mengusapnya lembut. “Maaf yah, Jesika baru sempat jenguk.”
“Gak apa-apa, Nak,” jawab Bu Hasna lemah.
Jesika lalu duduk di kursi di sebelah Cantika, sementara Bu Hasna mengalihkan pandangannya lagi ke putrinya. “Kamu dari mana aja, Nak? Dari tadi ibu nyariin.”
“Aku tadi dari rumah Jesika, Bu.” Cantika menjawab dengan jujur, meski nadanya ragu.
Bu Hasna menghela napas berat. Ia sudah bisa menebak arah tujuan Cantika ke sana. “Kamu… pasti mau pinjam uang lagi, ya?” tanyanya, matanya mulai berkaca-kaca. “Nak, tolong… jangan pikirin ibu lagi. Ibu udah cukup ngerepotin kamu. Lebih baik kamu fokus kuliah, jangan biarin pengobatan ibu nambah beban kamu.”
“Ibu jangan ngomong gitu.” Cantika menggeleng cepat, lalu meraih tangan ibunya dan menciumnya berkali-kali. “Ibu lebih penting dari apa pun. Lebih baik aku putus kuliah daripada harus kehilangan ibu. Aku udah janji sama almarhum ayah buat jaga ibu, dan aku akan tepati janji itu.”
Air mata Bu Hasna jatuh, hatinya remuk mendengar tekad anaknya. “Nak… kamu udah terlalu lelah. Semua yang kamu punya udah kamu korbankan buat ibu. Ibu pasrah…”
“Ibu cukup!” Cantika menatap ibunya dengan mata yang basah namun tegas. “Aku akan perjuangkan kesehatan ibu. Itu yang paling penting. Aku gak akan biarin ibu menyerah.”
“Tapi dengan cara apa, Nak?” suara Bu Hasna makin bergetar. “Hutang kita udah menumpuk, ibu gak mau tambah beban kamu.”
Jesika yang sejak tadi diam akhirnya ikut bicara, nada suaranya mantap. “Ibu, percayakan semuanya sama Cantika. Sekarang ibu gak usah mikirin apa pun selain kesehatan.”
“Tapi… Cantika mau dapat uang dari mana? Gajinya kecil.”
Jesika menoleh sekilas pada Cantika lalu tersenyum menenangkan. “Sekarang Cantika kerja sama aku, Bu. Jadi model. Bayarannya mahal, per hari bisa dapat tiga sampai lima juta.”
“Model?” Bu Hasna terlihat ragu. “Tapi penampilan Cantika…”
Jesika cepat-cepat menggeleng. “Kenapa dengan penampilan Cantika? Anak ibu cantik, punya postur bagus, jelas bisa lolos. Jangan ragukan anak ibu sendiri.”
Sementara itu, Cantika hanya bisa menunduk. Sesaat ia melirik Jesika, hatinya sesak. Ia merasa bersalah karena harus membiarkan kebohongan itu dipercaya ibunya. Jalan hidupnya kini buntu, satu-satunya pilihan hanyalah melangkah ke tempat yang penuh gelap, bekerja di klub malam demi menyelamatkan orang yang paling ia cintai.
“Yaudah kalau gitu… tapi kamu harus hati-hati ya, Nak. Jangan sampai terjerumus ke dalam dunia yang nggak baik.” Pesan Bu Hasna lirih, tapi tegas.
Glek.
Tenggorokan Cantika tercekat mendengarnya. Tangannya bergetar pelan, seolah semua kebohongan yang ia buat kini menghantam batinnya. Ia benar-benar merasa berada di titik terendah, rela menipu ibunya sendiri demi uang, demi harapan tipis agar ibunya bisa bertahan.
“Tenang aja, Bu… Cantika aman kok,” jawabnya, berusaha menenangkan meski suaranya terdengar bergetar.
Bu Hasna mengangguk pelan, lalu menoleh ke arah Jesika. “Ibu titip Cantika sama kamu ya, Nak.”
“Pasti, Bu,” sahut Jesika mantap, sama sekali tanpa rasa bersalah. Bibirnya tersenyum meyakinkan, padahal dalam hatinya ia tahu Cantika sedang diarahkan ke jalan gelap.
Suasana hening sejenak. Hanya suara monitor rumah sakit yang terdengar, berdetak pelan seperti mengikuti detak jantung Cantika yang tak karuan.
Jesika bangkit, meraih tasnya. “Yaudah, ayo Tik. Berangkat sekarang, tunggu apa lagi? Kamu udah ditunggu.”
Cantika terdiam. Kakinya terasa berat, seakan rantai tak kasatmata sedang melilit pergelangannya. Setiap langkah terasa seperti menambah beban di dadanya. Namun ia tahu, tak ada lagi jalan kembali.
Lampu kelap-kelip di klub malam menari liar, berpadu dengan dentuman musik yang memekakkan telinga. Kepala Cantika terasa berat, tubuhnya panas dingin. Ia belum pernah berada di dunia seperti ini, semua terasa asing, menakutkan, dan mencekik.
" Cepetan, Tika. Mami Viola udah nunggu di dalam," desis Jesika sambil menggenggam erat tangannya. Tarikan itu membuat langkah Cantika terseret, hatinya semakin kalut.
"Jes, tunggu dulu... aku—" suara Cantika bergetar, nyaris tak terdengar.
Jesika langsung menghentikan langkah, menoleh dengan tatapan tajam. "Apa lagi, Tika? Jangan plin-plan begini dong. Kalo kamu terus-terusan takut, kapan maju? Kapan bisa dapat banyak uang?"
Kata-kata itu seperti tamparan keras. Cantika terdiam, menunduk, jantungnya berdegup tak karuan.
"Ingat, Tika," lanjut Jesika, kali ini lebih lembut, "ibu kamu butuh biaya pengobatan. Kamu gak boleh mundur sekarang."
Nafas Cantika tercekat. Ia menggigit bibir, menahan gemetar di kakinya. Ternyata dirinya tak sekuat yang selama ini ia kira.
"Ayo cepat," Jesika kembali menarik tangannya. "Aku gak mau Mami Viola marah."
Dengan langkah berat, Cantika mengikuti tarikan Jesika. Mereka melewati lorong remang dengan aroma alkohol yang menusuk. Musik dari panggung utama makin jauh, berganti dengan alunan musik pelan di sebuah ruangan tertutup.
Pintu ruangan terbuka, memperlihatkan seorang perempuan paruh baya dengan gaun merah menyala. Wajahnya penuh make up tebal, senyumannya manis tapi sorot matanya tajam, dialah Mami Viola.
"Ahhh... ini yang baru itu, Jes?" suara Mami Viola serak, namun berwibawa.
Jesika mengangguk mantap. "Iya, Mami. Namanya Cantika."
Mami Viola berdiri, melangkah pelan mendekati Cantika. Tatapannya mengamati dari ujung rambut hingga kaki, seakan menilai barang baru. Cantika spontan menunduk, jantungnya berdentum kencang.
"Manis... wajah polos gini biasanya laris," ucap Mami Viola sambil menyentuh dagu Cantika, mengangkatnya agar berani menatap. "Tapi, sayang... keliatan masih takut. Kamu yakin mau kerja di sini, sayang?"
Cantika menelan ludah, tangannya gemetar. Lidahnya kelu.
Jesika cepat menyahut, "Dia siap, Mami. Dia cuma grogi."
Mami Viola terkekeh, lalu menepuk pelan bahu Cantika. "Kalau kamu bertahan, uang banyak bakal datang. Tapi kalau lemah... dunia ini bakal makan kamu habis."
Tatapan Mami Viola menusuk ke dalam mata Cantika. Untuk sesaat, Cantika merasa tak bisa bernapas, seolah pintu menuju dunia baru sudah terbuka di hadapannya, dan tidak ada jalan kembali.
Berkali-kali Cantika menelan saliva, tenggorokannya kering, seolah kata-kata terkunci di dalam mulut.
"Ayo ikut mami, sayang," ucap Mami Viola sambil menarik tangannya dengan lembut.
Cantika melangkah pelan, masih ragu. Jantungnya berdetak tak karuan, napasnya tersengal.
"Jangan takut, mami nggak akan gigit kok. Hahaha..." suara tawa Mami Viola renyah, tapi di telinga Cantika terdengar menakutkan.
Jesika cepat menyela, "Tolong dimaklumi ya, Mi. Cantika ini orangnya pemalu. Lagian... ini pengalaman pertamanya kerja di klub malam."
Mami Viola mengangguk santai, "Ohhh... nggak masalah. Justru itu yang bikin dia menarik."
Jesika menepuk lengan Cantika, berusaha menenangkan. "Udah, sana ikut sama Mami Viola. Aku mau kerja dulu."
Dengan senyum pamit, Jesika menatap Mami Viola. "Aku duluan ya, Mi."
"Oke, sayang." Mami Viola melambaikan tangan ringan, lalu kembali menatap Cantika dengan senyum penuh arti.
Kini hanya mereka berdua. Mami Viola menggiring Cantika masuk ke ruang dalam yang lebih sepi. Di sana ada sofa empuk, lampu temaram, dan aroma parfum bercampur asap rokok.
"Silakan duduk, sayang," ucap Mami Viola, lalu ia menjatuhkan tubuhnya di sofa seberang. Tatapannya tajam, penuh kalkulasi. "Mami cuma mau kenalan lebih dekat. Kamu tenang aja dulu, jangan bayangin yang aneh-aneh."
Cantika duduk perlahan, lututnya saling bertemu menahan gugup. Jemarinya memainkan ujung rok, berusaha menyembunyikan rasa takut.
Mami Viola tersenyum samar, lalu mengambil rokok, menyalakannya, dan menghembuskan asap perlahan. "Coba ceritain ke mami... kenapa kamu mau kerja di sini?"
"A-aku... butuh uang untuk biaya pengobatan ibu," jawab Cantika jujur, suaranya nyaris bergetar.
Mami Viola tersenyum tipis, matanya berbinar seolah menemukan harta karun. "Itu hal yang sangat mudah, sayang. Dalam sebulan kamu bisa dapat puluhan... bahkan ratusan juta." Senyum khasnya semakin melebar.
Lalu ia mencondongkan tubuh, menatap Cantika lebih dalam. "Tapi... kamu masih perawan, kan?"
Glek.
Tenggorokan Cantika tercekat. Tangannya semakin kuat meremas ujung rok, wajahnya memanas. Perlahan ia mengangguk.
"Bagus sekali," Mami Viola menepuk tangan Cantika dengan penuh arti. "Artinya... harga kamu masih sangat mahal."
Cantika membelalakkan mata. "Ma-maksudnya...?" suaranya pecah, penuh rasa takut.
Mami Viola tertawa kecil, lalu menghembuskan asap rokoknya ke udara. "Keperawanan kamu bisa laku... ratusan juta. Bahkan kalau ada yang benar-benar kaya dan gila, bisa sampai miliaran."
Darah Cantika berdesir dingin. Ia tak percaya telinganya sendiri.
"M-miliaran...?" bibirnya bergetar.
"Ya," Mami Viola mengangguk mantap, wajahnya penuh keyakinan. "Tapi semua tergantung kamu. Kalau kamu berani melepas itu... hidupmu bisa langsung berubah. Ibumu bisa berobat dengan fasilitas terbaik, kamu bisa kuliah tanpa pusing biaya, bahkan punya tabungan besar. Tinggal kamu mau atau tidak."
Ruangan terasa semakin pengap. Detak jantung Cantika berdegup kencang, keringat dingin mulai membasahi pelipisnya. Ia tahu pilihannya kini berdiri di antara dua jurang: kehormatan atau masa depan ibunya.
"Ta-tapi, Mi... Jesika bilang aku cuma perlu menemani para tamu aja," suara Cantika lirih, matanya menatap lantai.
Mami Viola tersenyum samar, tatapannya tajam seperti menembus isi hati. "Yakin cuma mau itu? Kamu nggak tergiur dengan uang miliaran rupiah, sayang?"
Cantika buru-buru menggeleng. Dadanya sesak, rasa bersalah menggerogoti hatinya. Aku sudah salah karena masuk ke pekerjaan ini... jangan sampai aku tambah salah dengan kehilangan kehormatan, batinnya.
Mami Viola akhirnya menghela napas, lalu menyandarkan punggung di sofa. "Oke, nggak masalah. Tapi ingat, uang yang kamu dapat nggak akan sebesar itu."
Ia mencondongkan tubuh lagi, suara lembut tapi penuh tekanan. "Gaji di klub malam ini lima juta. Bonusnya, kamu dapat tips dari om-om yang kamu temani minum. Artinya, kamu harus pintar-pintar merayu mereka supaya tips yang kamu dapat lumayan banyak."
Cantika terdiam, lalu mengangguk pelan. Pilihan ini jauh lebih baik, meski tipis sekali bedanya dengan apa yang ia hindari.
"Bagus." Mami Viola tersenyum lebar, lalu menepuk tangan Cantika. "Mami percaya kamu bisa. Wajahmu polos, itu nilai jual. Om-om suka tipe kayak kamu. Malam ini... kamu coba dulu ya. Anggap saja latihan."
Detak jantung Cantika melonjak. "La-latihan?" ulangnya gugup.
"Ya," Mami Viola berdiri, meraih tangan Cantika lagi. "Ada tamu VIP di ruang sebelah. Tenang aja, kamu cuma duduk, ngobrol, temenin minum. Kalau gugup, biar Jesika dampingi."
Kaki Cantika mendadak lemas. Perutnya seperti diremas. Malam ini, jalan yang ia pilih akhirnya benar-benar dimulai.
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!