"Jangan ambil motor ini, ini punya almarhum ayah saya. Tolong, jangan ambil ini."
Suara gadis yang memohon itu terdengar menyakitkan, tetangga yang sudah masuk ke rumah berbondong keluar melihat keributan sore itu. Mereka berbisik melihat tetangganya yang sedang memohon agar harta bendanya tak disita pihak bank.
"Kalau barangnya tak mau kena sita, bayar hutangnya. Motor ini merupakan jaminan sesuai persetujuan dari ibu Ira sebagai nasabah."
Alana hanya bisa terkejut, mendengar nama ibunya yang ternyata mnjadikan motor sang ayah jaminan hutangnya. Dengan wajah pasrah, gadis itu menatap harta benda peninggalan sang ayah satu-satunya yang telah meninggal tiga tahun lalu.
"Bu, kok bisa ibu tega. Motor itu benda yang punya banyak kenangan dengan ayah. Kenapa ibu jadikan itu jaminan, lalu uang hasil hutangnya buat apa?" Tanya Alana dengan nada tinggi, membentak ibunya yang hanya berdiri acuh walau anaknya menangis.
Para tetangga yang tadinya menyaksikan hal itu, akhirnya memilih masuk ke dalam rumah mereka. Apalagi sekitaran kontrakan yang pastinya lebih tahu perihal keributan antara ibu dan anak ini.
"Kamu gak pernah tahu betapa kesulitannya ibu membesarkanmu, membayar uang sekolah dan juga makanmu itu. Sudah seharusnya dari dulu motor butut itu dijual," jawab sang ibu membentak keras Alana.
Alana tak membantah, baginya kesulitan hidup yang mereka berdua rasakan sepeninggal ayahnya bukanlah kesalahan sang ibu.
Gadis itu duduk di atas tikar tipis, diam dengan tatapan kosong. Tak tahu harus bicara mulai darimana, karena hari ini pun dia kehilangan pekerjaannya.
"Masa kontrak ku di pabrik sudah habis dan gak di perpanjang. Besok aku mau siapkan CV buat lamaran kerja."
Ibunya hanya menatap sinis Alana setelah mendengar pengakuan anak gadisnya.
"Sudah ibu bilang sekolah sampai SMP saja, bantu ibu di rumah majikan. Gak ada itu yang namanya kontrak kerja segala macam. Setelah ini kamu mau cari kemana? Kemarin saja, upahmu tak bisa menutupi hutang ibu."
Alana berlalu mengacuhkan ucapan sang ibu. Gadis itu melangkah pergi ke kamar mandi, membersihkan tubuhnya dari peluh selepas bekerja.
"Makan malamnya gak ada, ibu belum masak karena gas di rumah habis," ketus sang ibu saat melihat Alana keluar dari kamar mandi.
Alana hanya bisa menghela nafas panjang, terbiasa menghadapi sikap ibunya yang berubah setelah kematian sang ayah.
Tengah malam, suara perut Alana berbunyi keras. Rasa lapar mengganggu mimpinya yang indah, dan harus terbangun di kehidupan nyata yang membuatnya muak. Kehidupan miskin memang bukan pilihannya, namun ibunya yang selalu berhutang membuat Alana semakin tak bisa menghindari kemiskinan.
Sudah beberapa kali dia melunasi hutang sang ibu, namun kebiasaan buruk itu terus diulang wanita paruh baya tersebut. Dan Alana yang menjadi samsak tinju, bekerja tak henti bahkan di hari minggu mencari uang lembur tambahan. Dirinya yang babak belur, selalu dijadikan alasan atas hutang ibunya.
Gadis itu mencari sesuatu yang bisa di makan dalam rak penyimpanan makanan yang ada di dapur. Ada beberapa mie instan yang bahkan dia sama sekali tak pernah memakannya.
"Mana gas habis, uang juga sisa sedikit. Cari kerja kemana yang upahnya gak sebulan sekali," keluhnya sambil memakan mie instan mentah. Tak peduli apa yang dia makan, asalkan perutnya yang keroncongan terisi penuh dan tak mengganggu tidur ibunya.
•••
"Alana, kamu makan mie instan di rak dapur kan? Kemarin ada 5, sekarang sisa 4," teriak sang ibu yang membuat Alana terbangun dari tidurnya.
"Iya bu, aku gak kuat lapar. Jadi aku makan apa aja yang ada di sana."
"Dasar kamu ya, gak bilang dulu sama orang tua. Gak ada kesopanan sama sekali, katanya sekolah belajar adab. Ini malah kurang ajar," ketus sang ibu yang tak di gubris Alana. Sudah terbiasa gadis itu mendapat kata kasar dari ibunya, yang membuatnya semakin mati rasa.
"Ya gak apa-apa dong bu, kalaupun itu ibu yang beli uangnya kan dari aku. Aku juga punya hak untuk makan makanan di rumah ini. Lagipula ibu simpan mie itu buat siapa kalau bukan buat kita berdua?"
"Ah kamu ini melawan terus kalau ibu kasih tahu. Bukan buat siapa-siapa juga. Mandi sana, terus lamar kerja. Ibu juga mau pergi ke rumah majikan. Atau kamu ikut ibu dulu sampai kamu dapat pekerjaan layak," ajak sang ibu yang membuat Alana terdiam.
Gadis itu berpikir sejenak menerima tawaran sang ibu. Dia tahu betapa sulitnya mencari pekerjaan saat ini. Tapi menjadi pembantu juga bukanlah pekerjaan yang dia mau.
"Malah bengong, cepat mandi terus ikut sama ibu. Jangan sampai kamu nganggur, nantinya keenakan diam di rumah."
Tanpa berpikir panjang, Alana segera menuruti ibunya. Tak mau dia memperpanjang masalah setelah kejadian kemarin yang menyakiti hatinya.
Ibu dan anak itu pun berjalan menuju rumah tempat sang ibu bekerja. Para tetangga yang kemarin menyaksikan keributan di rumah kontrakan Alana, saling berbisik dan tertawa. Ada juga beberapa yang menyindir, seolah bahagia dengan kesulitan yang di alami keluarga miskin itu.
"Kenapa mereka kaya gitu bu, selama ini kita gak punya musuh kan?" Tanya Alana yang kebingungan melihat tingkah tetangganya. Sementara sang ibu terlihat gugup, namun kembali bersikap biasa seolah menutupi sesuatu.
"Namanya juga tetangga. Sudahlah gak usah digubris, sekarang yang penting kamu bisa kerja di rumah majikan ibu. Apalagi kemarin ada yang pulang kampung, pasti Bu Yuniar sedang butuh pembantu baru," jawab ibunya sambil menunjuk rumah sang majikan yang sudah dekat.
Alana menatap rumah itu dengan kagum. Rumah megah yang elegan, dengan warna hitam dan putih. Di tambah halaman depan yang di tanami dengan beberapa bunga menambah kesan cantik rumah tersebut.
"Selamat pagi Nyonya," sapa Bu Ira pada majikannya yang sedang duduk di teras depan rumahnya. Dengan secangkir teh hijau dan juga roti panggang selai kacang di meja kecil yang ada di sampingnya.
"Ya, selamat pagi. Hari ini tugas kamu cuci piring dan juga bersihkan seluruh ruangan, dan kamar anak saya juga sekarang harus di bersihkan. Katanya dia mau menginap di sini."
Suaranya yang berwibawa membuat orang segan menolak perintahnya. Alana melihat ibunya yang mengangguk dan menuruti perintah majikan.
"Nyonya, kebetulan kan kemarin Marni pulang kampung. Saya bawa anak saya buat bantu-bantu di sini. Anak saya ini bisa semua lho, cuci, pel, masak," jelas Bu Ira mencoba merayu majikannya.
"Katanya anak kamu kerja di pabrik. Kenapa sekarang mau kerja jadi pembantu di sini?"
"Kebetulan anak saya gak di perpanjang kontrak di sana. Jadi daripada dia nganggur, saya bawa kesini saja buat bantu-bantu. Bagaimana Nyonya, apa boleh anak saya bantu di sini?" Jelas Bu Ira sedikit memaksa.
"Baiklah, anak kamu tugaskan di kamar anak saya. Bersihkan dan juga rapikan kamar tersebut," tegas Bu Yuniar dengan tatapan yang cukup tajam.
Alana dan ibunya pun masuk ke dalam rumah tersebut, namun satu hal yang membuat gadis itu terkejut. Foto keluarga yang terpajang di dinding membuat gadis itu menunjukan ekspresi tak biasa.
Sambil membersihkan kamar anak majikan ibunya, Alana memikirkan hal lain yang membuatnya harus segera mendapat pekerjaan baru.
Pria tua yang bahkan rambutnya hampir memutih, terpampang jelas di foto keluarga kaya di kampungnya ini. Bos besar pabrik tekstil dan juga garmen, tempat dia bekerja kemarin.
"Pak Bara, jadi dia suami Bu Yuniar. Selama ini majikan ibu, bos di tempat kerjaku," ucapnya dengan suara gemetar. Kejadian di tempat kerja yang bahkan tak bisa dia lupakan, hal yang membuatnya harus berakhir dengan pemecatan karena menolak menjadi selingkuhan dari bosnya.
"Tua bangka tak tahu diri, aku yang sepantasnya jadi anaknya malah di minta jadi istri ketiganya. Walau miskin, aku tak mau melakukan hal itu hanya karena uang," gerutunya yang masih kesal, mengingat betapa memaksanya pria tua itu ingin menikahinya.
Alana dengan cekatan membersihkan kamar yang bahkan lebih luas dari rumah kontrakannya. Sambil meregangkan ototnya, gadis itu keluar membawa mop dan juga vacum cleaner dan meletakkannya di gudang.
"Cepat juga kerjamu, bagaimana kalau kamu cuci piring juga. Ibumu yang sudah tua sedikit lambat dan belum selesai melakukan pekerjaannya."
Alana hanya bisa mengangguk, walau dia selalu kesal pada ibunya tapi dirinya tak ingin melakukan hal yang membuat malu sang ibu.
Gadis itu berjalan ke dapur mengikuti sang majikan. Melihat cucian piring di wastafel, Alana yakin jika alat makan tersebut berharga mahal. Dengan hati-hati dia mencucinya satu persatu. Mencoba menghindari kesalahan fatal yang mungkin bisa berakibat buruk pada pekerjaan ibunya.
"Umur kamu berapa?" Tanya Yuniar sambil menatap Alana dari atas ke bawah.
"19 tahun, nyonya."
"Masih sangat muda, biasanya gadis seumuran kamu gengsi bekerja sebagai pembantu. Ya, mungkin kamu tak punya kesempatan selain di sini kan. Aku suka cara kerjamu, cepat dan juga teliti," puji Yuniar dengan suaranya yang penuh wibawa.
Alana hanya mengangguk, tak mengimbangi aura yang dimiliki wanita yang usianya hampir menginjak kepala lima. Wajahnya yang cantik dan tegas masih terlihat meski kerutan di bawah mata dan juga garis senyum nya jelas nampak.
"Setelah ini, kumpulkan pakaian kotor di kamar mandi kami. Ada wadah khusus di sana, sebentar lagi tukang laundry akan ambil ke sini."
Alana hanya mengangguk kembali, tanpa mengatakan sepatah katapun. Pikirannya masih tertuju pada Bara, pria tua yang hampir melakukan tindakan tak senonoh padanya.
Beban yang dia pendam dan tanggung, tak pernah di sampaikan pada sang ibu. Dengan beberapa kejadian yang dia alami, dia tak mungkin mendapat dukungan moril dari ibunya.
Gadis itu menyelesaikan semua pekerjaannya, Yuniar yang terus memperhatikan memintanya untuk bekerja tetap di rumahnya.
"Tapi nyonya, saya..."
"Aku akan beri kamu upah minimum, jam kerjamu sekitar 7 jam. Juga ada upah lemburan jika kamu pulang melebihi jam kerjamu," tawar Yuniar yang membuat Alana memikirkan kembali rencananya.
Selama ini upah di pabrik tidak sebesar yang di tawarkan oleh Yuniar. Apalagi dia sebagai karyawan magang, yang tentunya hanya mendapat upah sebagai harian lepas.
"Tak apa, jam kerjanya pun lebih singkat dan juga aku belum tentu bertemu dengan pria tua keladi itu," gumam Alana dalam hatinya. Dengan meyakinkan diri, dia pun mengangguk, menyetujui tawaran dari Yuniar.
•••
"Kau tak datang dengan istrimu?" Tanya pria paruh baya yang sedang menyantap makan malam di atas meja yang mewah. Bara, suami dari Yuniar terlihat menatap putra semata wayangnya yang nampak muram karena tak datang bersama sang istri.
"Dia sibuk dengan pekerjaannya, apalagi ada photoshoot untuk brand make up miliknya di US. Aku tak mungkin mengganggunya hanya untuk menginap di sini."
Bara mengangguk memahami kondisi rumah tangga sang putra. Pernikahan yang sudah di jalani selama 3 tahun belum dikaruniakan seorang anak yang sudah di nantikan Bara sebagai cucu pewaris perusahaan miliknya.
"Kapan kau akan punya anak jika menuruti kemauan istrimu. Tanpa sadar kau akan menumbuhkan sikap egois, dan juga melewatkan hal penting dalam hidup. Anakmu kelak yang akan mewarisi usaha ku dan juga perusahaanmu," ujar Arya memanasi putranya.
Yuniar hanya bisa diam diantara obrolan dua pria yang memiliki aura dominan. Namun dia juga menyetujui ucapan suaminya walau terkesan memaksa.
"Papamu benar Vind, sebagai seorang wanita yang sudah menikah harusnya mengutamakan keluarga dan suami. Apalagi hadirnya seorang anak akan memberikan kebahagiaan yang berlipat ganda bagi keluarga kecil kalian."
Aravind hanya bisa tersenyum mendengar ucapan sang ibu, dia ingat betul dengan permintaan sang istri untuk tak memiliki anak dalam rumah tangga mereka. Apalagi Jecelyn, istrinya yang sedang mengepakkan sayap di dunia kecantikan yang kini sedang naik daun tak ingin dia ganggu dengan keegoisannya.
Aravind masuk ke dalam kamarnya, melihat setiap inchi sudut ruangan yang sudah tertata rapi dan juga wangi. Pria itu tersenyum, dia senang karena ibunya masih mengingat pewangi ruangan favoritnya.
Krekk!
Kakinya tak sengaja menginjak sebuah benda kecil berbentuk tabung. Pria itu membaca tulisan pada benda kecil itu.
"Lip balm? Punya siapa? Apa punya mama? Tak mungkin dia punya barang murahan seperti ini."
Pria itu keluar dari kamarnya, menemui sang ibu. Dia ingin bertanya perihal benda kecil yang ada di kamarnya. Aravind yakin jika itu bukan milik ibunya apalagi sang istri.
"Itu, sepertinya milik pembantu baru kita. Kau tahu jika Ira memiliki putri yang sudah remaja, dia akhirnya bekerja di sini mengikuti ibunya."
Aravind hanya mengangguk, sementara Bara langsung menyahut mendengar gadis remaja yang disebut istrinya.
"Benarkah itu, apa dia yang akan menggantikan Marni di sini?" Tanya Bara yang mendapat anggukan dari istrinya.
"Mama juga gak paham kenapa Marni mendadak pulang kampung. Dia beberapa hari sebelumnya mengeluh selalu sakit kepala dan sakit perut. Semoga saja dia sehat dan bisa mendapat pekerjaan layak di sana."
Bara hanya bisa menggelengkan kepala, sementara Aravind menatap tajam sang ayah seolah tahu sifat dari pria tua itu.
Pagi sekali, Ira dan Alana harus pergi ke rumah sang majikan. Hari ini mereka harus menyiapkan sarapan yang biasanya selalu Yuniar siapkan sendiri. Belum lagi, kedua ibu dan anak itu harus pergi ke pasar membeli beberapa bahan masakan yang nantinya harus di sajikan untuk putra semata wayang Bara dan Yuniar.
"Masak besar hari ini, biasanya kita bisa bawa sisa makanannya. Lumayan kan buat isi perut," ucap ibunya dengan senyum lebar karena melihat Alana yang murung sejak subuh.
"Malasnya, nanti bagaimana kalau ketemu sama Pak Bara. Aku masih takut," gumam Alana sambil menunjukan senyum pada sang ibu agar tak curiga. Walau tangannya gemetar, mengingat kejadian buruk yang tak pernah dia bisa lupakan seumur hidupnya.
Dengan langkah yang berat, Alana menginjakan kakinya ke pintu belakang rumah keluarga Bara. Sambil menyiapkan beberapa bahan masakan yang akan dia eksekusi bersama sang ibu, gadis itu melihat ke beberapa arah memastikan tak ada pria tua itu.
"Lirik-lirik apa? Kamu mau coba curi barang di sini?" Tanya ibunya ketus, yang curiga dengan gerak gerik Alana.
"Aku cuma penasaran sama anak nyonya Yuniar," jawab Alana agar ibunya tak curiga.
"Den Avind tuh ganteng, istrinya juga cantik. Tapi katanya mereka belum punya anak."
Alana tak menggubris ucapan ibunya yang berujung gosip. Dia pun mulai menyiapkan dan mengolah beberapa bahan masakan menjadi makanan sesuai pesanan sang majikan.
"Alana, kamu bisa bantu saya siapkan alat makan. Biarkan saja ibumu di dapur sendiri. Ambil piring di rak coklat sana, jangan lupa bersihkan dari debu dan juga kotoran."
Alana berusaha menolak, namun Yuniar menarik paksa gadis itu menuju ruang makannya. Dirinya pun terpaksa menuruti permintaan sang majikan, dan berharap tak berpapasan dengan suami Yuniar.
"Taruh serbet di atas meja sesuai posisi kursi. Lalu kamu tata piring dan juga sendok garpu di atasnya," perintah Yuniar sembari memberikan petunjuk pada Alana.
Gadis itu bergegas mengerjakan apa yang di perintahkan, dengan hati-hati karena takut barang milik majikannya pecah.
Tiba-tiba terlihat sosok yang berdiri di samping Alana. Gadis itu melihat dari sudut pandang matanya, nampak sepatu kulit dan juga celana semi wool yang biasa di pakai seorang pria. Alana nampak resah, berusaha menutupi sebagian wajah dengan rambut yang tergerai panjang.
"Ma, aku gak lihat papa. Kemana perginya pagi buta begini?"
Suara pria itu terdengar lebih muda, bukan suara khas bapak-bapak yang sudah berusia lima puluh tahunan. Alana sedikit demi sedikit mencuri pandang pada pria di sampingnya.
"Papamu ke bandara, jemput kakaknya yang di Aussie. Makanya sekarang mama buat acara makan kecil-kecilan. Selain menyambut kamu, juga menyambut keluarga papamu."
Mendengar percakapan ibu dan anak, Alana semakin merasa rendah. Ada jarak yang terpaut jauh antara mereka, apalagi dari status sosialnya.
"Oh ya Vind, lip balm yang kamu temukan kemarin coba bawa. Mungkin itu punya Alana," ucap Yuniar yang mengingat kejadian kemarin. Alana pun teringat kejadian semalam, saat dirinya mencari lip balm miliknya yang tak ada dalam tas make up nya.
Aravind segera ke kamar, dan kembali ke ruang makan sambil memberikan benda kecil itu pada ibunya.
"Ini milikmu kan?" Tanya Yuniar sembari menunjukan lip balm yang di temukan putranya.
Alana mengangguk sembari tersenyum, dan segera mengambil itu dari tangan Yuniar.
"Terima kasih nyonya dan juga tuan muda," ucap Alana sambil menoleh pada putra majikannya.
Tanpa sadar Aravind terus menatap gadis remaja di hadapannya, memperhatikan dari ujung kaki dan kepala. Gadis sederhana yang nampak menawan.
"Cantik," bisiknya mengagumi kecantikan Alana.
"Vind, kamu mau menginap di sini berapa lama? Mama harap kamu tinggal di sini saja," pinta Yuniar dengan raut wajah serius.
"Akan aku usahakan, yang paling sulit mungkin meyakinkan Elyn untuk tinggal di sini."
Alana pamit menuju dapur karena pekerjaan di ruang makan sudah selesai. Yuniar mengangguk, mengizinkan gadis itu membantu ibunya yang tengah bergelut memasak beberapa makanan yang cukup banyak.
•••
"Berapa lama kalian liburan di sini? Aku akan menyerahkan pekerjaanku pada Dani dan menemani kalian ke beberapa tempat," ucap Bara yang tengah menyantap makan siang bersama keluarganya.
Nampak Yuniar dengan senyum karirnya, dan juga Aravind dengan ekspresi datarnya.
"Kita di sini hanya satu minggu, lagi pula hanya urusan bisnis. Bukan untuk bersenang-senang."
Bara mengangguk mendengar penjelasan kakaknya, lalu menyantap kembali makan siangnya seolah merasakan sesuatu yang baru dia makan.
"Rasanya sedikit beda, tak seasin biasanya. Apa benar ini Bi Ira yang masak?"
"Anak Bi Ira juga bantu-bantu. Sepertinya itu masakan Alana, putrinya," jawab Yuniar yang juga setuju dengan pendapat suaminya.
Seketika Bara mengingat nama yang di sebut istrinya. Seolah pernah mendengarnya di suatu tempat.
"Ma, pa. Aku mau ke kamar dulu, ada zoom meeting. Dan untuk om, tante, selamat bersenang-senang di Indonesia."
Aravind meninggalkan keluarganya setelah menghabiskan makan siangnya. Alasannya memang masuk akal, namun bukan hal itu yang membuatnya masuk ke dalam kamar.
Sementara di dapur, Alana masih harus menyiapkan buah potong untuk majikannya. Sesuai permintaan Yuniar, gadis itu harus membagikannya 20 menit setelah jam makan siang. Dua puluh menit baginya yang terlalu cepat untuk bisa menghindari pertemuan dengan pria tua keladi yang hampir menghancurkannya.
"Bu, nanti antar buahnya ke meja makan sama ibu ya. Aku yang cuci alat masak juga piringnya," pinta Alana beralasan menghindari pertemuan dengan Bara.
"Ya sudah, kamu cuci ini. Soalnya panci sama wajannya lumayan berat juga. Ibu ke sana dulu ya antar buahnya."
Alana bernafas lega, dirinya bisa menghindari pertemuan dengan pria paruh baya itu. Pria yang sudah memecatnya karena telah dia tolak berkali-kali untuk menjadikannya istri ketiga.
"Apa nyonya tahu kalau Pak Bara punya istri kedua?"
Pertanyaan itu muncul di benaknya, mengingat Yuniar yang baginya cukup baik walau berwajah tegas. Namun, harus memiliki suami yang memiliki tabiat buruk dan tak cukup satu wanita.
Acara makan pun selesai, Bara dan keluarganya kini berkumpul di halaman belakang yang cukup luas. Ira seperti biasa menyajikan beberapa cemilan dan air teh untuk majikannya.
"Bi Ira, katanya anakmu ikut kerja juga di sini. Saya kok belum lihat," ucap Bara yang penasaran dengan putri Ira. Karena di matanya, Ira pun cukup cantik di usianya yang sudah tak muda.
"Ada tuan, dia sedang rapikan meja makan. Kalau begitu, saya permisi."
Bara mempersilakan pembantunya pergi, walau benaknya terpecah antara nama anak sang pembantu yang sama dengan gadis yang dia pecat dua hari lalu. Dan juga memikirkan keluarganya yang sedang berkumpul.
"Di saat penting seperti ini, aku harus mendengar nama gadis itu. Bagaimana kalau dia mengadukan tindakanku pada ibunya. Apa dia akan melaporkan ku pada pihak berwajib? Lagipula mereka miskin, tak bisa menjebloskanku ke jeruji besi semudah itu," gumam pria itu sembari menatap kosong arah taman.
Suara ponsel miliknya berdering, Bara meminta izin pada istrinya untuk mengangkat panggilan masuk. Yuniar mengangguk, walau nampak kecurigaan yang dia taruh pada gerak gerik suaminya.
"Sudah ku bilang buka rekening, kirim nomornya dan akan aku transfer setiap bulan!"
Bara menunjukan amarah setelah mematikan panggilannya. Raut wajah penuh kecemasan serta kebingungan, di tambah nama Alana membuatnya semakin tak karuan.
Naas, gadis itu harus berpapasan dengan Bara yang tengah berdiri depan pintu belakang dapur. Alana tak bisa lagi bersembunyi dari petak umpet yang dia ciptakan sendiri.
Sementara Bara, menunjukan seringainya seolah melihat mangsa di depan yang akan dia terkam.
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!