Hai, selamat datang dicerita baruku. Selamat membaca yaa, pasti kalian suka! Hihi
.
.
.
Udara di depan gedung pengadilan pusat terasa begitu panas. Elsheva tidak peduli, dadanya sudah terlalu sesak oleh rentetan kejadian beberapa hari ini. Kejadian lima belas menit yang lalu terputar lagi di kepalanya, sebuah batu yang ia tendang asal, suara alarm mobil yang meraung, dan seorang pria botak yang menuntut ganti rugi lima juta rupiah. Uang yang bahkan tidak ia miliki sama sekali. Jangan kan lima juta, lima ratus ribu saja tidak ada.
“Aku butuh wanita dan kamu butuh uang. fix! Tuhan sudah mempertemukan kita lewat jalur bebas hambatan,” suara berat itu memotong lamunannya. Di depan ruang sidang. Di sampingnya, seorang pria tampan berbalut setelan formal duduk dengan santai. Pakaiannya rapi, gesturnya berwibawa, tapi kalimatnya... seperti sampah.
“Aku bukan wanita seperti itu!” tukas gadis muda bernama Elsheva, dia sudah duduk di sana sejak setengah jam yang lalu. Penampilannya biasa saja, hanya mengenakan celana jeans dan blouse hitam polos. Usianya sekitar dua puluh tahun. Tepatnya sedang berkuliah jurusan kedokteran yang mengandalkan beasiswa.
Apa gadis itu tampak seperti seorang wanita murahan?
Pria itu tersenyum tipis, sorot matanya tajam. Ia sedikit mencondongkan tubuhnya, hingga Elsheva bisa melihat betapa mulus wajah pria di depannya? Bahkan lebih mulus darinya. “Wanita seperti apa yang kamu maksudkan?” tanya pria itu lagi.
“Ya itu, aku bukan wanita murahan yang bisa anda beli. Mentang-mentang banyak uang gampang banget ngeremehin orang lain,” gerutu Elsheva kesal. Ia melipat kedua tangannya di dada, bibirnya mengerucut.
“Hei," pria itu mencondongkan tubuh. "Saya pun bukan laki-laki bejat seperti yang kamu kira. Saya cuma lihat kamu sedang kesulitan, kan? Saya dengar tuduhan dan tuntutan orang tadi padamu.” gadis itu menunduk, ia teringat dengan kejadian yang ia alami barusan. Pria botak yang dimaksud adalah pemilik mobil yang menuntut ganti rugi di luar nalar dan mengancamnya. Padahal mobilnya hanya lecet sedikit.
Dalam perjalanan kaburnya tadi, Elsheva yang sedang dalam keadaan hancur dan putus asa terus berjalan kaki dengan perasaan yang kacau. Nafasnya pendek, kepala penuh riuh amarah yang tak punya tempat. Sepatu ketsnya menendang kerikil sekenanya—clang! Sebuah batu melesat, menghantam kap mobil hitam berkilat.
Alarm meraung, memecah senyap jalan. Orang-orang menoleh. Elsheva menahan napas, jantungnya berdegup makin kencang.
Seorang pria paruh baya berjas rapi berlari tergopoh-gopoh, wajahnya merah padam. "Lihat apa yang kamu lakukan!" teriaknya, suara pria itu bahkan lebih kencang dari sirine. Ia menuding goresan tipis di cat mobil bagian sampingnya. Sangat kecil menurut Els, reaksinya berlebihan sekali. Ia bahkan menuntut ganti rugi yang sangat tidak masuk akal bagi Elsheva.
Bagaimana bisa, hanya untuk memperbaiki goresan di body mobil itu ia di minta ganti rugi sebesar lima juta rupiah?
Elsheva kabur dari rumah tidak membawa banyak uang, Hanya ada seratus lima puluh ribu saja uang didompetnya, itu pun sisa uang yang akan ia gunakan untuk bertahan hidup.
Bapak pemilik mobil kebetulan salah satu pegawai di pengadilan, yang akan mengawal jalannya persidangan. Dia menyuruh Elsheva ikut dengannya, dan akan membahas perihal ganti rugi usai sidangnya nanti.
"Kenapa? Tidak punya uang?" bentaknya lagi. Els menelan ludahnya, mulutnya sudah terbuka ingin menjawab tapi urung. "Ikut saya." katanya. tatapan matanya meluncur, memindai tubuh Els dari ujung rambut sampai ujung kaki.
Elsheva bisa tahu kalau pria tua itu bukan hanya sekedar meminta ganti rugi berupa uang. Tatapan menjijikan, dari matanya membuat Els bergidik ngeri.
______________
“Gimana? Mau saya bantu?" Suara pria itu tenang, nyaris seperti godaan. Elsheva tidak mempunyai pilihan, keduanya menjebak.
"Kamu tahu kan, kalau pria botak itu, pasti menginginkan tubuh kamu untuk ganti rugi karena kamu tidak bisa membayarnya? Saya cukup mengenal pria tua, dia adalah pemburu wanita muda.”
Elsheva mendongak. Ia mencebik kesal, “Ck, aku bisa bayar kok. Tapi nicil, aku nggak bakal menyerahkan tubuhku untuk om-om genit kayak gitu!” serunya tidak terima.
Pria di depannya tergelak, sebenarnya ia gemas dengan raut wajah Els. Gadis kecil yang polos, menurutnya.
“Kamu lihat saya, bandingkan saya dengan pria botak itu. Siapa yang akan kamu pilih? Kamu tidak tahu kan sudah berapa kali dia celap celup miliknya itu keberapa perempuan? Itu akan beresiko tertular penyakit. Sedangkan aku? Aku bisa jamin aku sangat bersih dan hanya akan melakukannya denganmu.”
“Ishh,, mesum sekali!” Elsheva mendesis, pipinya memanas. Pria dewasa itu sudah membuat otaknya terkontaminasi dunia seputar permesuman.
“Realistis saja," ujarnya santai. "Faktanya begitu kan? Saya cuma memberi sedikit gambaran saja.” pria itu menatapnya lama, terlalu lama sampai Els melempar pandangannya acak, salah tingkah.
Entah kenapa, pria yang penampilannya sangat kharismatik danberaura pejabatitu matanya tertahan dengan Elsheva yang penampilanya awut-awutan. Wajahnya bahkan tanpa make up, lingkaran hitam membingkai mata sembapnya.
Bukannya, pria seperti itu biasanya akan tertarik dengan wanita yang berdandan heboh dengan gaya lenggak lenggok dan suara yang mendayu-dayu? Atau mungkin karena sedang ada masalah pelik yang tengah menjerat pikiran membuat ia kehilangan akal.
“Sudah kubilang aku bukan wanita murahan seperti itu,” suara Elsheva melemah. Wajahnya tertunduk, pundaknya merosot, seolah tak lagi mempunyai semangat untuk hidup. Semesta senang sekali becanda dengannya. Persoalan di rumah saja sudah cukup membuat dia depresi. Eh, sekarang ketemu pria asing yang terang-terangan ingin membayar tubuhnya. Setelah ini kewarasannya pasti terkikis habis.
Tawaran pria itu memunculkan bayangan lain yang tiba-tiba saja melintas, ingatan yang masih segar dan teramat menyakitkan. Ruang kerja ayahnya yang remang, suara-suara hohor seorang wanita yang jelas bukan ibunya, dan bantahan dari kakak dan saudara lain yang menyebutnya "pembohong" juga "anak durhaka."
Semuanya menapar sekaligus.
Lalu, wajah kekasih yang selama ini ia puja-puja, ia bangga-banggakan ternyata bisa juga mengkhianatinya teramat dalam. Dalam waktu yang bersamaan, dengan mata kepalanya sendiri, Els melihat sang pacar sedang bercumbu mesra dengan sahabatnya. Di appartemen miliknya, di sofa yang biasa ia gunakan untuk nonton film Bersama. Bisa dibayangkan hatinya sudah lebur tak berbentuk. Sejuta kalimat maaf pun tak akan sanggup untuk menyatukannya kembali.
.
.
.
.
.
.
“Aku bayar mahal! Aku akan menjamin kehidupan kamu berjalan dengan sangat baik sesuai yang kamu inginkan. Dengan satu syarat, be my partner in bed.” ucapnya dengan sedikit penekanan.
Elsheva terkesiap, pria didepannya ini ngotot sekali. Tanpa basa basi apapun. Padahal mereka baru bertemu dan Elsheva pun berpenampilan ala kadarnya, tidak menarik sama sekali.
Kembali termenung, Els tidak bisa membayangkan nasib buruk apa yang sedang menantinya di depan sana?
“Gimana saya bisa percaya? Nanti kalau anda kabur setelah menjebolku? Anda kan, orang kaya pasti bisa membeli hukum, jadi percuma saja kalau saya akan melaporkan anda nantinya,” tantang Elsheva, suaranya sedikit bergetar, dalam hatinya menciut. Berani sekali dia menantang pria yang baru ditemuinya. Yang, kalau dilihat dari penampilannya jelas-jelas dia bukan pria biasa.
Pria itu tertawa.“Hahahaha.. Kamu cerdas juga. Katakan apa yang kamu inginkan sekarang? Selama kamu masih segel saya akan penuhi semua maumu,” tegasnya.
Apa urusannya begitu darurat? Sampai berusaha keras mendesak Els. Gadis itu sampai kehabisan kata untuk membantahnya lagi. Pada dasarnya,dia memang sedang tidak bisa berpikir jernih.
Di sisi lain dia jelas butuh uang, untuk bertahan selama masa kaburnya. Namun, apa tidak terlalu gila kalau sampai menjual tubuhnya?
“Aku bisa menjamin kalau semua asetku masih tersegel. But, Everything that I want?”
“Everything you want, dengan catatan, turuti semua keinginan pribadiku.” tampak berpikir sejenak, Elsheva beralih menatap ruang sidang, di mana di dalamnya ada seorang pria tua yang tadi menuntut ganti rugi dalam jumlah besar padanya.
Memikirkan untuk kabur juga sepertinya tidak mungkin, ia harus bertanggung jawab setidaknya.
Els, terus bergidik ngeri membayangkan kalau keperawanannya harus diterobos oleh pria botak di dalam sana. Di bandingkan pria muda di depannya jelas Elsheva lebih memilihnya. Matanya masih cukup normal untuk menilai orang.
Tapi itu juga bukan lah pilihan yang bagus, seperti keluar dari mulut buaya masuk ke mulut singa. Mudah-mudahan singa ini bukan singa yang hyper.
“Ok deals!” kata Elsheva, ragu-ragu ia mengulurkan tangannya untuk berjabat tangan.
“Okay deals.” Tangan Els disambut dengan jabatan yang erat, panas. Membuat sekujur tubuhnya merinding.
“Panggil aku Heksa.”
“Aku Elsheva. Mm... pak Heksa bukan mau jual saya kan? Saya nggak berbakat menjadi wanita malam soalnya pak.” tanya Els lagi penuh selidik. Meskipun butuh uang ia tetap waspada, siapa tahu pria di depannya adalah seorang mucikari.
“Untuk apa saya jual kalau saya juga mau, Elsheva???” jawab Heksa, suara beratnya mengudara tepat ditelinga Els. Membuat gadis cerewet itu meremang,
Elsheva mengangkat kepala, menatap mata pria itu. Ia melihat ketenangan yang ironis di sana. Apa pria itu sungguh menginginkannya? Hati dan pikiran Els, masih menebak-nebak di planet mana nanti kehidupan konyolnya akan dimulai.
‘Bodo amat. Aku tau ini salah, tapi kenapa terasa benar? Ah! Sebelum ini juga hidupku sudah hancur, hancur aja sekalian.’ Batin Els.
***
Seorang wanita muda berpakaian serba hitam berlari menghampiri Heksa dan Elsheva.
”Pak Heksa, mobil sudah siap!” katanya.
“Baik. Gwen, kamu urus masalah Elsheva sebentar. Pak Agus masih di dalam, dia yang membawanya kemari karena Elsheva membuat lecet mobilnya, kamu tahu kan? Yang diincar pak Agus pasti tubuh gadis ini bukan perkara ganti rugi. Kamu bereskan, saya tunggu di mobil.”
Wanita yang di panggil Gwen tersebut mengangguk patuh.
Heksa menuntun Elsheva berjalan menuju mobilnya, sembari menunggu Gwen membereskan masalah yang ia buat pada hakim bernama Agus tersebut.
“Katakan, apa yang kamu inginkan?” kata Heksa tenang, setelah mereka berada di dalam mobil. Begitu pintu tertutup hawa sejuk seketika memanjakan tubuh keduanya. Karena cuaca di luar sangatlah panas. Sepanas otak Elsheva yang hampir mendidih,
Els menarik nafas panjang, mengembuskannya perlahan sebelum menjawab. ”Pertama, aku kabur dari rumah. Duniaku serasa sudah hancur di sana, aku butuh tempat tinggal baru untuk memulai hidupku yang baru. Aku juga ingin tetap kuliah.”
“Hanya itu?”
Elsheva menelan ludah. “Tentu aku butuh pekerjaan juga, beri aku pekerjaan untuk bisa memenuhi kebutuhanku. Kalau kuliah aku mendapat beasiswa sebenarnya, tapi itu di kampusku yang dulu entah bisa pindah kesini atau tidak program beasiswanya,” tuturnya lesu.
Hatinya sudah hancur tak berbentuk. Katakan, ia sampai tidak bisa berpikir jernih karena otak dan hatinya sudah dipenuhi luka dan trauma yang begitu mendalam pada kata cinta.
Elsheva bahkan sudah mengutuk segala macam cinta dalam berbagai bentuk, banyak yang memuja kata itu termasuk dirinya sendiri, namun kini semesta tidak lagi berpihak pada Els. Cinta hanya berakhir menyesakkan, semua impian dan harapannya hancur lebur karena kata-kata tak bermoral itu.
Gadis itu ingin marah. Marah pada dunia yang begitu kejam padanya, ia ingin berteriak sekencang-kencangnya dan menghancurkan apa saja yang ada di depannya. Tapi ia tidak tahu harus melampiaskannya pada siapa?
Masih teringat jelas dalam ingatan Elsheva, malam ketika gelas berisi teh mint di tangannya bergetar. Udara malam itu tidak terlalu dingin, tapi keringat dingin justru membasahi keningnya. Dari celah pintu ruang kerja sang ayah, suara-suara aneh terdengar bersahutan. Suara tawa renyah yang bukan milik ibunya. Dan ada suara desahan lirih tanpa malu, yang membuat isi perut Elsheva bergejolak.
Tangannya meremas kenop pintu, ragu. Napasnya tersangkut di tenggorokan. Otaknya berteriak untuk tidak membuka pintu itu, tapi tangannya bergerak sendiri. Pintu terbuka.
Dunianya runtuh dalam hitungan detik. Tangan ayahnya, yang seringkali selalu menggandeng ibunya ke masjid, kini melingkari pinggang seorang wanita lain.
Wanita dengan rambut pirang dan gaun yang sudah terbuka di bagian atasnya itu tertawa kecil, tubuhnya terduduk santai di pangkuan sang ayah. Pria cinta pertama Elsheva, yang selama ini dikenal sebagai sosok paling bijak, paling taat, dan paling mencintai keluarganya.
Bayangan lain melintas, ingatan yang masih segar dan tak kalah menyakitkan. Satu-satunya tempat lari Els saat itu adalah sang kekasih. Sayangnya, semesta benar-benar sedang ingin mengujinya. Wajah kekasih yang selama ini ia puja-puja, ia bangga-banggakan ternyata bisa juga berkhianat, bercinta dengan sahabat Els sendiri. Bahkan apa yang sedang mereka lakukan jauh lebih menjijikan daripada ketika memergoki ayahnya.
Belum cukup sampai di situ, Elsheva harus menghadapi cemoohan dan bantahan dari kakak dan saudara lainnya. Ketika Els mencoba mengutarakan kebusukan ayahnya pada keluarga, yang ia dapat justru amarah dari kakaknya, mengatakan dia seorang pembohong dan anak durhaka. Begitu juga dengan anggota keluarga lain seperti om dan tantenya juga tidak ada yang percaya.
Sosok alim namun bejad itu sudah berhasil merebut hati seluruh keluarga dengan tameng ayah idaman. Kalau tidak melihat kelakuannya sendiri, Els juga tidak akan percaya. Saat itu juga muncul rasa benci, jijik dan kecewa yang memaksa Els untuk memilih jalan… kabur.
Ia pikir dengan kabur, bisa menemukan sedikit ketenangan. Tapi bahkan jalanan pun menertawakan nasibnya.
Elsheva tidak sanggup terus berada di sana. Apalagi membayangkan bagaimana perasaan ibunya nanti, dadanya serasa ditikam bertubi-tubi.
.
.
.
.
.
.
Sebelum bertemu dengan Heksa, Els sempat menimbang jalan terakhir yang bisa dikatakan konyol. Kabur tanpa tujuan, tidak punya uang, lalu bertemu pria botak mesum yang sialnya ia terjebak tanggung jawab, lengkap sudah alasan untuk mengakhiri hidupnya. Ia ingin menghilang dari kehidupan yang sudah sangat mengecewakannya.
Sama sekali tidak menyangka kalau niatnya tersebut justru akan berakhir seperti ini, menyeretnya masuk kedalam kehidupan mewah seorang Heksa Sulivan.
Heksa menatap gadis itu lama, lalu tanpa banyak kata ia merogoh dompet dan memberikan satu black card miliknya di pangkuan Els.
“Itu unlimited, beli semua kebutuhan kamu, apapun yang kamu perlukan, pastikan yang high class. Lakukan threatment seluruh badan tanpa ada yang terlewat. Gwen akan mengurus kuliahmu, mungkin dua atau tiga hari lagi kamu sudah bisa berkuliah di sini.”
Els terperangah menatap kartu itu. Namun, yang membuat jantungnya hampir berhenti berdetak bukanlah kartunya, melainkan kalimat Heksa berikutnya.
“Mulai hari ini kamu bisa tinggal di appartemen saya, saya jarang menempatinya karena tinggal di rumah bersama istri.”
Elsheva mengangkat wajah, kedua alisnya menyatu. “Sebentar, sebentar.. Anda punya istri??” sela Els seraya memicingkan matanya. Sementara Heksa menyandarkan tubuhnya, terlihat tenang.
“Iyaa, tadi saya di pengadilan untuk menghadiri sidang perceraian dengan istri saya. Tapi sidang itu berakhir dengan mediasi. Dia tidak bisa melayani saya sebagai istri itulah kenapa saya butuh kamu,” jawab Heksa enteng.
Els terdiam, benar-benar tidak tahu harus merespon seperti apa. Hanya jantungnya yang mendadak berdegub tak karuan. “Lalu pekerjaanku apa?” tanya Els masih belum mengerti, dengan polosnya ia mengira kalau Heksa itu pria lajang. Sepertinya Els kurang jauh mainnya selama ini, hidupnya hanya berkutat di sekitar tumpukan buku kedokteran, lab dan perpustakaan. Waktu untuk berpacaran saja ia batasi hanya ketika weekend.
Mata Heksa menatap lurus, tanpa basa basi ia menjawab. “Menjadi wanitaku. Merawat tubuhmu, belajar memuaskanku, dan menemaniku saat aku membutuhkan. Sebagai gantinya, aku akan memberimu hidup yang tidak pernah kamu bayangkan.”
Els sempat tercengang, kata-kata itu menghantamnya. Separuh hatinya ingin lari, tapi di sudut lain hatinya yang sudah penuh luka, nyaris tak mau ambil pusing. Sekarang sudah ada yang bisa menjamin kehidupannya, tidak mungkin ia sia-sia kan, meski harus mengorbankan harga dirinya. Daripada ia harus luntang-lantung tidak jelas di jalanan dan berakhir mengenaskan nantinya.
Anggap saja ini bentuk pertolongan yang disiapkan untuk Els.
“Kalau, kalau sampai ketahuan istri pak Heksa gimana?” tanya Els sangsi.
“Aku nggak mau yaa nanti diviralin terus muka aku muncul di mana-mana dengan julukan pelakor, ani-ani dan lain sebagainya, udah cukup aku banting harga diri aku di depan pak Heksa. Biar pak Heksa aja yang tau gimana jeleknya aku.” celoteh Els lagi panjang lebar. Ia banyak mendengar kasus wanita simpanan yang dilabrak dan dipermalukan oleh istri sah, dan dia sendiri masih amatiran dalam hal seperti ini.
Sejauh ini Els hanya mendengar kata wanita pelakor atau ani-ani, simpanan dan sejenisnya itu di linimasa media sosial. Sekarang ia sendiri harus berperan seperti itu, secara tidak langsung dia tidak berbeda jauh dengan wanita penggoda ayahnya juga sahabat yang mengkhianatinya. Wah! Kejutan apa lagi yang sedang semesta siapkan untuk Elsheva?
Heksa terkekeh pelan, bagaimana bisa, dari puluhan deretan nama selebgram cantik yang siap menjadi wanitanya justru ia menjatuhkan pilihannya pada Els. Mahasiswa gen z dengan sejuta kerandomannya. Bukannya terpuaskan, sepertinya Heksa akan kewalahan menghadapi tingkahnya.
“Tenang saja, selama kamu menurut. Kamu akan aman.”
“Kalau gitu aku boleh minta untuk menutup semua informasi tentangku? Agar orang-orang yang mencariku nggak bisa mengerti keberadaanku sekarang?”
“Itu gampang, akan saya atur semuanya.” tampaknya Heksa sudah mempersiapkan semuanya dengan matang. Keinginan untuk terpuaskan membuat ia bisa melakukan banyak hal gila. Termasuk menjerat Elsheva.
Els menarik napas panjang, lalu menghembuskannya pelan. “Okay, satu lagi. Kita harus menikah, walaupun siri. Aku hanya ingin melaksanakan tugas berdosa itu dalam konteks halal. Tidak perlu pengakuan hukum, asal sah aja menurut agama,” kata Els. Sisa-sisa akal sehatnya masih berfungsi dan mampu berpikir jernih untuk hal itu.
Bagaimana pun juga sebelum ini Els berpacaran dengan sangat sehat, kebetulan ia mahasiswi kedokteran juga jadi pasti tahu konsekuensi apa yang akan ditanggung kalau sembarangan berhubungan badan. Tidak bisa mengelak ia pun tahu bagaimana konsekuensi secara agama.
Gwen yang sudah berada di balik kemudi menengok sekilas ke arah belakang, ikut menunggu jawaban dari atasannya tersebut.
“Baiklah, Gwen... Urus semuanya yaa?” Heksa menyetujuinya, dari awal ia tahu Elsheva bukanlah wanita murahan, yang akan dengan suka rela menjajakan tubuh padanya, jadi ia juga tidak ingin memperlakukannya secara rendah.
“Baik pak,” sahut Gwen tegas, dia adalah assisten pribadi yang merangkap sebagai penolong serba bisa untuk Heksa.
“Sekarang kamu antar saya ke kantor, lalu bawa Elsheva untuk threatment dan membeli segala kebutuhannya. Dan, bawa dia pulang ke appartemen ya?” lanjut Heksa.
“Baik pak,” Gwen menunduk patuh. Els sampai heran wanita itu nyaris tanpa ekspresi, selalu patuh melakukan semua perintah atasannya tanpa banyak membantah dan bertanya.
Gwen akan membawa Els untuk melalui hari yang paling melelahkan sekaligus membingungkan baginya. Mulai dari melakukan perawatan sebadan-badan, di sebuah salon kecantikan mahal. Spa, pijat, hair threatment, sampai kuku-kukunya juga dipoles hingga berkilau. Semua dilakukan oleh tenaga professional yang cekatan.
Els sampai tidak sempat menikmati semua pelayanan kelas atasnya karena sibuk untuk kaget. Berikutnya, Gwen menyeret langkah Els untuk mengelilingi mall, membeli semua yang gadis itu butuhkan.
Mulai dari semua kebutuhan pribadi, skincare, bodycare, haircare, perlengkapan kuliahnya, make up, dan aksesoris. Part akhir adalah ketika masuk ke butik, Els mulai kikuk di sana. Tumpukan gaun elegan, setelan rapi, sampai lingerie sutra terpampang di depannya. Gwen dengan tenang mencomot beberapa potong lingerie tipis warna hitam dan merah, sesuai request Heksa lalu menyerahkannya ke kasir tanpa banyak tanya.
Els tercekat. “Ka… Kak Gwen, itu… aku…”
“Pak Heksa yang minta.” Jawab Gwen datar, seakan tahu apa yang ada dalam pikiran Els. Dalam hatinya bertanya, ‘apa antara dia dan bosnya selalu blak-blakan seperti itu?’
Pipi Els memanas. Jantungnya berdegup kacau. Entah malu, entah marah, atau… takut. Lepas dari segala kerusuhan hari itu, Els masih memikirkan apa yang akan Heksa lakukan padanya malam nanti?
Ah! Membayangkan saja Els tidak sanggup. Berani sekali dia yang tidak punya skill dan pengalaman dalam dunia dewasa itu menerima tawaran konyol Heksa Sulivan.
.
.
.
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!