NovelToon NovelToon

Pelacur Ini Adalah Ibu Terbaik

[PIAIT] Bab 1 : Target baru

Di tengah kelamnya malam yang dibelah gemerlap lampu disko, sebuah klub bar berdiri angkuh. Bukan sekadar pelepas dahaga dengan minuman beralkohol, tempat ini juga menawarkan pesona wanita-wanita menggoda.

Di salah satu kursi dekat pintu masuk, seorang pria berusia senja menjadi pusat perhatian para wanita berpakaian minim.

Salah satu yang paling dekat dengan pria itu adalah Lucianna Forger. Seorang wanita dengan lekuk tubuh menggairahkan, wajah rupawan, tatapan mata hazel yang memikat, dan bibir mungil yang terpoles lipstik merah menyala.

'Andai saja para klienku datang malam ini, aku tak perlu bersusah payah merayu pria tua renta ini,' batinnya sambil menghela napas lirih.

Lucianna adalah seorang pelacur premium. Ia hanya melayani para pria lajang kaya raya. Bukan sekadar kaya, melainkan teramat kaya. Klien Lucianna hanya berjumlah empat orang, namun keempatnya masih muda, tampan, dan bergelimang harta.

Lucianna enggan meniduri pria uzur seperti yang duduk di sampingnya. Ia hanya akan menemani pria itu hingga ia merasa bosan. Kendati klien tetapnya tak datang, ia harus tetap bekerja agar gajinya tak dipotong.

Lucianna memiliki standar tinggi dalam memilih klien. Teman-temannya kerap mencibirnya karena terlalu pilih-pilih. Padahal, Lucianna mampu meraup lebih dari seratus juta rupiah per bulan hanya dengan empat kali kencan.

Ketika kebosanan mulai melanda, mata Lucianna tertuju pada seorang pria yang baru memasuki bar. Tubuh kekar dan tegapnya terbalut dalam jas abu-abu yang elegan. Rambut cokelat gelapnya tersisir rapi ke belakang, sorot matanya memancarkan kelelahan.

'Sepertinya dia orang baru di sini,' batin Lucianna yakin. Ia bangkit dari kursinya, meninggalkan pria tua itu, dan menghampiri pria tampan tersebut.

Ekspresi pria itu tampak tegas, namun Lucianna dapat merasakan bahwa ia merasa tidak nyaman berada di tempat ini. Lalu, apa yang membawanya ke sini?

Pria itu memilih duduk di kursi yang cukup jauh dari keramaian. Tanpa ragu, Lucianna segera mendekatinya dan duduk di sampingnya.

Tebakan Lucianna tepat sasaran. Pria itu jelas merasa tidak nyaman. Bahkan, begitu Lucianna duduk, ia langsung menatap tajam ke arahnya, seolah tidak menyukai kehadirannya.

Hal ini sudah menjadi makanan sehari-hari bagi Lucianna. Ia sudah terbiasa merayu pria-pria yang asing dengan dunia prostitusi.

Lucianna mendekat dan melingkarkan tangannya di lengan pria itu.

"Maaf, aku tidak membutuhkan layanan seperti ini," ujar pria itu sambil melepaskan pelukan Lucianna.

"Lalu, mengapa Anda datang ke tempat ini?" tanya Lucianna, tak henti menatap pria itu dengan tatapan menggoda.

"Aku ada urusan, jadi mohon tinggalkan aku," usir pria itu dengan halus. Ia tampak fokus pada laptop yang ada di hadapannya. Namun, penolakan itu tidak membuat Lucianna menyerah.

Ia kembali mendekat, kali ini tidak melingkarkan tangannya, melainkan menempelkan dadanya di lengan pria itu. "Apa yang sedang Anda kerjakan?"

Berpura-pura penasaran dengan aktivitas pria itu, Lucianna mulai menggesekkan dadanya secara perlahan di lengan pria itu. Pria itu mulai merasa kesal dan tidak nyaman dengan tindakan Lucianna. Akhirnya, ia mendorong tubuh Lucianna hingga hampir terjatuh dari kursi.

"Apa kau tidak menyadarinya sejak tadi? Aku merasa jijik terhadap wanita penghibur sepertimu. Aku hanya ingin bekerja dengan tenang, jadi pergilah, sebelum kubuat bar ini berhenti beroperasi," bentak pria itu dengan nada dingin.

Bentakan itu tidak membuat Lucianna gentar sedikit pun. Dari intonasi suaranya, Lucianna dapat menyimpulkan bahwa pria itu sebenarnya berhati lembut. Ia memutuskan untuk meninggalkan pria itu.

Bukan untuk menyerah, melainkan untuk menyusun strategi. Lucianna akan menggunakan teknik memancing. Ia tidak boleh terus menarik, tetapi juga harus sedikit mengulurkan tali pancing agar targetnya tidak lepas.

Lucianna berjalan menuju meja bar yang tidak jauh dari tempat duduk pria itu. Sesampainya di sana, seorang pria berpakaian rapi menghampiri pria tampan itu. Pria itu adalah bosnya. Mungkinkah pria tampan itu seorang investor? Semoga saja ia tidak mengadukan perlakuan yang ia terima selama beberapa menit di bar ini kepada bosnya.

Alih-alih merasa khawatir, Lucianna justru semakin bersemangat untuk menaklukkan pria itu. Lagipula, bosnya—pemilik bar—juga tidak akan berani memarahinya, karena Lucianna sudah menjadi aset berharga bagi bar ini.

Saat kedua pria itu sedang berbincang, seorang pelayan datang untuk mencatat pesanan mereka, lalu menghampiri meja bar. Saat pesanan mereka siap, Lucianna menghentikan pelayan itu.

"Pria berjas abu-abu itu, apa yang ia pesan?" tanya Lucianna. Pelayan itu menunjuk pada segelas jus jeruk yang ada di sebelah kiri nampan.

Lucianna mengeluarkan selembar kertas putih yang terselip di belahan dadanya. Ia menaburkan bubuk perangsang ke dalam minuman jeruk itu. Pelayan itu sudah terbiasa melihat aksi Lucianna, jadi ia hanya diam saja.

Minuman itu segera diantarkan ke meja pria itu. Sekarang, Lucianna hanya perlu menunggu.

Setelah tiga puluh menit berlalu, kedua pria itu menyelesaikan percakapan mereka. Akhirnya, mereka meminum minuman masing-masing. Mereka berjabat tangan, dan pria tampan itu bergegas menuju pintu keluar.

Lucianna berlari ke ruang loker dan mengambil tasnya. "Bos, aku ada pekerjaan!" serunya.

Ia mengejar pria itu menuju area parkir. Dari kejauhan, Lucianna dapat melihat bahwa obatnya mulai bereaksi. Pria itu berjalan sempoyongan. Sesampainya di mobil, ia tidak langsung masuk, melainkan menyandarkan kepalanya di atap mobil.

"Kenapa terasa sangat panas?" gumam pria itu sambil membuka kancing jas dan melonggarkan dasinya.

'Aku akan menunggu sekitar tiga menit lagi, agar obatnya bereaksi sempurna,' batin Lucianna sambil bersembunyi tak jauh dari pria itu.

Deru napas pria itu terdengar jelas di parkiran bawah tanah yang sepi ini.

Setelah merasa cukup, Lucianna segera menghampiri pria itu. "Apa Anda membutuhkan bantuan, Tuan?" tanyanya dengan nada lembut.

Pria itu tidak merespon. Penglihatannya mulai kabur, dan ia tidak menyadari bahwa wanita di hadapannya adalah wanita yang mengganggunya tadi.

Lucianna melirik ke arah bawah pinggang pria itu. Tampaknya, celana pria itu sudah tidak mampu lagi menahan gejolak yang ia rasakan. Dengan sigap, Lucianna mengambil kunci mobil yang sedari tadi digenggam pria itu. Ia membuka pintu kursi belakang dan mendorong pria itu masuk. Lucianna ikut masuk ke dalam mobil dan menutup pintu rapat.

Ia melepaskan jas dan dasi pria itu, lalu perlahan membuka kancing kemejanya. Dada bidang pria itu tampak kekar dan berisi. Lucianna semakin tidak tahan melihat tubuh besar pria itu.

"Tidak masalah untuk melakukannya di mobil."

...ΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩ...

...Bersambung...

[PIAIT] Bab 2 : Kegiatan panas di mobil [WARNING]

Setelah puas memandang dada bidang pria itu, Lucianna mulai menciumnya. Pria itu berusaha melepaskan diri dari ciuman tersebut, namun tangan Lucianna menahan kepalanya agar tak beranjak. Hingga akhirnya, ciuman itu mulai disambut dan dibalas oleh pria tersebut.

"Mmmhhh," desah mereka, saling melumat bibir satu sama lain. Bahkan pria itu menunjukkan gairah yang lebih buas, bibirnya kini berpindah ke leher Lucianna.

Merasa tak puas hanya dengan ciuman, Lucianna mulai membuka ikat pinggang pria itu. Ia menarik ritsleting celananya dan mengusap benda yang mulai membesar di balik kain.

Lucianna mengeluarkan benda itu. Sebuah benda besar dan tegang menyembul keluar. Lucianna belum pernah melayani pria dengan ukuran yang sebesar ini. Ia mengelusnya, merasakan potensi benda itu untuk membesar lebih lanjut.

Lucianna kemudian mengambil pengaman yang terselip di belahan dadanya dan memakaikannya pada milik pria itu. Sedikit sulit karena ukurannya yang begitu besar.

Lucianna juga mengarahkan tangan kiri pria itu untuk meremas dadanya. Tangan kanan pria itu menyusup ke dalam celana dalam Lucianna.

"Anda seharusnya tahu apa yang harus dilakukan," ucap Lucianna menggoda. Ciuman panas itu tak berhenti. Tangan pria itu mulai bergerak menyusup ke dalam bagian dalam Lucianna.

"Ssstt, Ahhh," desahnya tak tertahankan. Lucianna hampir saja terlonjak karena terkejut. Bagaimana mungkin seseorang memiliki jari sebesar itu? Tangan pria itu bergerak dengan lihai, dan Lucianna pun tak mau kalah.

Gaun Lucianna yang semula menutupi dadanya kini melorot, memperlihatkan dua buah dada besar miliknya. Tangan kiri pria itu tak berhenti meremas dan memainkan manik-manik di dada Lucianna.

Pria ini seolah perpaduan sempurna bagi Lucianna: tubuh besar dengan dada bidang, tangan yang terampil, dan si kecil yang perkasa.

"Sepertinya ini sudah cukup longgar," Lucianna melepaskan tangan pria itu yang masih asyik menjelajahi bagian dalamnya. Tampaknya gairah mereka sudah tak tertahankan.

Lucianna melepaskan celana dalamnya. Kemudian menyalakan pendingin udara. Lucianna membungkuk ke depan untuk menyalakan lagu di radio. Untuk apa ia menyalakan lagu? Jelas, untuk menutupi suara desahan yang akan segera memenuhi mobil.

Menggunakan kesempatan dalam kesempitan, milik pria itu berhasil masuk ke dalam miliknya. "AAaahhh!!!"

Lucianna merasa bagian dalamnya sudah cukup longgar. Namun, saat benda itu masuk secara tiba-tiba, ia merasakan perih. Bahkan, sedikit darah menetes dari miliknya.

Ini terasa seperti pengalaman pertamanya.

Pria itu mulai menggoyangkan pinggulnya. Desahan demi desahan keluar dari mulut mereka berdua. Suara hentakan keras tubuh mereka juga bergema di dalam mobil.

Parkiran ini adalah parkiran umum. Siapa pun bisa datang ke sini. Jika mereka melihat sebuah mobil berguncang cepat, siapa yang akan menyangka ada aktivitas panas di dalamnya? Mungkin saja ada orang yang sedang berjoget di dalamnya.

Berharap saja mereka yang melihatnya akan berusaha berpikir positif.

"Ah-Ah-Ah, angghhh, nikmat sekali," desah Lucianna. Ini mungkin pengalaman terbaik yang pernah ia rasakan.

Pinggul pria itu tak berhenti bergerak, bahkan semakin cepat. Tiba-tiba saja, pria itu berhenti.

'Ada apa?' batin Lucianna. Saat Lucianna menoleh ke belakang, pria itu langsung menciumnya. Ia juga memutar tubuh Lucianna agar menghadap ke arahnya. Kemudian, ia kembali menggerakkan pinggulnya, dan kali ini lebih cepat.

Lucianna merasakan panas yang diciptakan benda itu di dalam rahimnya. Ciuman mereka masih tak terlepas. Milik pria itu juga selalu menekan tepat pada titik terbaik Lucianna.

Guncangan di mobil terlihat semakin kuat. Pria itu sangat bersemangat menusuk rahim Lucianna. Hingga akhirnya, mereka mencapai klimaks bersama.

"Ahhh..." desah mereka serentak, merasakan kelegaan.

Biasanya, Lucianna mampu melayani pria hingga beberapa ronde. Namun kali ini, baru satu kali saja sudah membuat Lucianna kewalahan. Saat Lucianna ingin melepaskan milik pria itu dari miliknya, pria itu malah kembali menggerakkan pinggulnya.

"Ah-ah-ah, tunggu," sebelum Lucianna merasakan kenikmatan lagi, ia segera melepaskan milik pria itu. Pria itu sepertinya belum merasa puas. Tangannya menahan pinggang Lucianna agar tidak pergi.

"Jika Anda ingin melanjutkan, mari kita lakukan di rumah Anda. Aku mulai merasa lemas di dalam mobil yang pengap ini," ucap Lucianna. Ia merogoh jas pria itu dan mengambil dompetnya.

Bukan untuk mencuri, melainkan mencari kartu identitas. Lucianna ingin mencari alamat rumah pria itu, juga untuk memastikan apakah pria itu benar-benar kaya atau sangat kaya.

Lucianna menemukan kartu identitasnya. "Daniel Radcliffe."

Itu nama pria itu. Lucianna merapikan sedikit pakaiannya, kemudian pergi ke kursi pengemudi. Ia menjalankan mobilnya dan membawa mereka menuju alamat di kartu identitas.

Selama perjalanan, Lucianna tidak bisa fokus. Tangan pria itu menyusup ke depan dan meremas dadanya. Pakaian yang sudah ia rapikan juga kembali melorot, membuat salah satu buah dadanya menyembul keluar dari gaunnya.

"Cih, dia bilang aku menjijikkan, tetapi ternyata dia jauh lebih bernafsu dariku. Seperti sudah lama tak pernah melakukannya," ucap Lucianna, berusaha fokus pada jalanan.

Akhirnya, mereka sampai di wilayah perumahan pria itu. Lucianna hanya perlu mencari di mana rumah pria itu—Daniel Radcliffe. Ia sempat berputar di sekitar perumahan, hingga ia melihat sebuah rumah yang ukurannya jauh lebih besar dari rumah-rumah di sekitarnya.

Saat ia berhenti di depan rumah itu, di temboknya terdapat tulisan 'Kediaman Radcliffe'. Lucianna yakin itu rumahnya.

Lucianna berhenti di depan gerbang, sedikit gugup, kemudian membunyikan klakson. Beberapa detik kemudian, gerbang terlihat dibuka oleh seorang satpam. Lucianna masuk ke dalam rumah tanpa ragu.

Sepertinya satpam itu sangat mengantuk. Ia bahkan tidak merasa waspada. Mungkin karena yang datang adalah mobil majikannya. Berarti ini benar rumahnya.

Lucianna memarkirkan mobilnya. Ia kembali merogoh pakaian Daniel untuk mencari kunci rumah. Saat ia membopong tubuh Daniel dari mobil, satpamnya sudah terlihat kembali tidur di posnya.

Siapa juga yang tidak mengantuk pada pukul 2 pagi.

Lucianna membawa Daniel masuk. Ia langsung disambut dengan ruangan besar dan megah. Ada tangga di dekatnya. Dari pengalamannya, kamar utama selalu berada di lantai atas. Tanpa berpikir panjang, Lucianna segera membopong pria itu menaiki tangga.

Tubuh pria ini memang berat, tetapi Lucianna tidak sabar untuk meneruskan aktivitas panasnya.

Sesuai dengan perkiraannya. Setelah sampai di atas, Lucianna langsung disambut dengan pintu ruangan. Lucianna membawanya masuk ke ruangan yang tidak terkunci itu.

'Kamar ini besar dan mewah. Jelas ini kamar utama,' batin Lucianna. Ia menjatuhkan pria itu ke kasur. Lucianna menutup pintu kemudian naik ke atas tubuh Daniel.

Tangan Daniel masih bergerak meremas bokong Lucianna, menandakan bahwa Daniel masih bersemangat untuk melanjutkannya.

Mereka melanjutkan aktivitas panas itu. Kali ini lebih leluasa karena kasur yang besar dan empuk.

...****************...

Keesokan paginya, pukul 6, Lucianna terbangun. Ia segera mandi di kamar mandi tanpa merasa canggung.

Anggap saja rumah sendiri.

"Aku tidak mungkin memakai gaun ini lagi," Lucianna melihat gaun yang sudah sobek dan kini terlihat seperti kain biasa. Lucianna kemudian membuka lemari dan mencari pakaian.

Lucianna mengambil sebuah kaus dan celana pendek. Bajunya kebesaran, tetapi tidak masalah. Lucianna menatap ponsel Daniel yang tergeletak di bawah.

Mungkin saat sedang beraktivitas, mereka tidak menyadari ponselnya jatuh. Lucianna mengambilnya. Ponsel itu tidak memiliki sandi, jadi Lucianna mengoperasikannya. Ia memasukkan nomor miliknya ke kontak Daniel. Kemudian menelepon sebentar untuk memastikan nomornya benar.

Lucianna meninggalkan pesan teks di ponsel Daniel. Tertulis seperti ini: "Jika Anda menyukai pelayanan saya, Anda bisa menghubungi saya lagi. Ini kontak saya. Silakan kirimkan uangnya ke sini. Lucianna Forger."

Lucianna merasa sangat bahagia. Ia menjinjing tasnya untuk pergi. Saat membuka pintu, Lucianna terkejut.

"Aaa!"

...ΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩ...

...Bersambung...

[PIAIT] Bab 3 : Berpura-pura menjadi pengasuh

"Aa!" Lucianna terkejut hingga sedikit melompat.

Tiga anak kecil berdiri di balik pintu. Mereka tampak sedang menunggu seseorang.

"Siapa kalian?!" tanya Lucianna dengan nada terkejut.

"Seharusnya kami yang bertanya. Siapa kau?" tanya balik salah satu anak yang berada di tengah. Lucianna terdiam, tak mampu menjawab.

"Apakah kau pengasuh baru kami?" tanya seorang anak.

"Pengasuh? K-kalian anak siapa?" Lucianna berharap ini bukan kenyataan yang ia bayangkan.

"Kami anak Papa, Papa Daniel Radcliffe," jawab mereka serempak.

Mata Lucianna membelalak. Ia kemudian menoleh ke arah Daniel yang masih terlelap. 'Pria ini sudah memiliki anak?! Berarti dia punya istri?!' batinnya panik.

Inilah hal yang paling ditakuti Lucianna sebagai seorang pelacur, yaitu menjadi simpanan suami orang. Karena itulah, Lucianna selalu mencari pelanggan yang berstatus lajang. Ia tak ingin mengalami kejadian tak mengenakkan seperti digerebek istri sah.

Jika ada anak, pasti ada ibunya. Akan tetapi, di mana ibunya? Mungkin saja sedang bekerja di luar kota, sehingga mereka membutuhkan pengasuh.

Seharusnya, Lucianna mendengarkan perkataan Daniel yang tak ingin didekati olehnya.

Lucianna berpikir cepat, lalu menatap anak-anak manis itu. "Betul, aku pengasuh baru kalian," ujarnya berbohong.

"Kalau begitu, apa yang kau lakukan di kamar Papa?" tanya seorang anak.

"Aku sedang membahas hal-hal terkait pekerjaan, seperti apa saja yang harus aku kerjakan dan berapa gajiku di sini." Anak-anak itu mendengarkan tanpa curiga sedikit pun.

"Kalau begitu, kalian turun dulu ke bawah. Aku akan menyusul," pinta Lucianna. Anak-anak itu menurut dan langsung turun ke bawah.

Lucianna dengan cepat menutup pintu lagi. Ia menghampiri Daniel yang tidur tanpa busana. Lucianna segera mengambil pakaian dari lemari dan memakaikannya ke tubuh Daniel. Ia harus melakukan itu agar Daniel tak terlihat seperti orang yang baru saja bermalam dengan wanita lain.

Lucianna juga mengambil pakaian yang berserakan dan langsung memasukkannya ke keranjang cucian kotor. Ia juga membersihkan sampah kondom yang berceceran dan memasukkannya ke dalam tas. Kemudian, ia memeriksa sekeliling, berharap tak ada barang yang tertinggal. Di ruangan itu pun tak terlihat adanya kamera pengawas. Setelah merasa aman, Lucianna segera turun menghampiri anak-anak itu.

"Baiklah, sekarang apa yang harus kalian lakukan?" tanya Lucianna pada anak-anak yang sudah menunggu di bawah tangga.

"Kami harus bersiap ke sekolah," jawab salah satu anak. Lucianna harus berpura-pura menjadi pengasuh terlebih dahulu. Ia harus membantu anak-anak itu bersiap ke sekolah.

Lucianna sedang memandikan mereka di kamar mandi yang berada di kamar anak-anak itu. Ternyata, kamar anak-anak itu berada di lantai satu. Syukurlah kamar mereka tak berdekatan dengan kamar utama. Lucianna khawatir anak-anak itu mendengar suara-suara panasnya semalam.

"Siapa nama kalian?" tanya Lucianna sambil mengusap punggung salah satu anak dengan spons.

"Aku Devan."

"Aku Rehan."

"Aku Revan."

"Kau pasti tidak bisa membedakan kami," ucap Devan.

"Bisa. Aku bisa membedakan kalian," jawab Lucianna percaya diri. Anak kembar itu memiringkan kepala, seolah bertanya bagaimana caranya.

"Revan punya mata bulat dan besar seperti manik-manik. Rehan, matanya kecil seperti mata elang. Devan, matanya juga kecil, tetapi bulu matanya lebat seperti rubah," Lucianna menjelaskannya dengan detail. Lucianna adalah orang yang sangat terobsesi dengan tatapan mata manusia. Sampai-sampai, ia juga mempelajari arti dari setiap gerakan mata.

Tentu saja, mata tak pernah berbohong. Dengan cara inilah, Lucianna mencari pelanggan-pelanggannya. Sayang sekali, ia tak bisa membaca apakah seorang pria masih lajang atau tidak dari sorot mata mereka.

Ketiga anak itu terkejut sekaligus kagum karena Lucianna bisa membedakan mereka dengan cepat. "Bagaimana Kau bisa membedakan kami?" tanya Rehan.

"Itu sudah menjadi keahlianku. Kenapa kalian terkejut? Apa pengasuh sebelumnya tidak bisa membedakan kalian?" tanya Lucianna sambil mengeringkan tubuh mereka satu per satu dengan handuk.

"Tidak, mereka tidak bisa. Padahal, mereka sudah bekerja di sini lebih dari seminggu. Kau sangat hebat," ucap Revan.

Lucianna merasa bahagia ketika dipuji anak-anak itu. Padahal, ini sudah menjadi hal biasa baginya, sehingga tak terasa spesial.

"Oh, ya. Siapa namamu?" tanya Devan.

"Lucianna Forger. Biasa dipanggil Luci." jawabnya.

"Apa kami bisa memanggilmu Luci saja?" tanya Revan.

"Itu sedikit tidak sopan, tapi tidak masalah untukku" Luci merasa lebih baik dipanggil dengan namanya dibandingkan dipanggil Bibi atau Tante.

Selesai memandikan mereka, Lucianna membawa mereka ke ruang ganti. "Pakaian apa yang harus kalian kenakan hari ini?"

Devan menunjuk sebuah kertas yang menempel di lemari mereka. Di kertas itu tertulis pakaian apa saja yang harus mereka kenakan setiap hari sekolah. Lucianna kemudian melihatnya dan mencari pakaiannya.

"Di mana pakaian itu? Aku tidak menemukannya," ucap Lucianna bingung mencari pakaian sekolah si kembar.

"Mungkin masih ada di ruang cuci," jawab Devan. Setelah itu, Lucianna dan si kembar pergi ke ruang cuci. Lucianna akhirnya menemukan pakaian itu tertumpuk di antara pakaian lainnya, dan pakaian itu terlihat kusut.

"Apa kalian bisa menunggu? Aku harus menyetrika pakaian ini terlebih dahulu," pinta Lucianna. Anak-anak itu mengangguk paham. Mereka duduk menunggu Lucianna menyetrika.

Lucianna menyetrika baju atas terlebih dahulu. Setelah selesai menyetrika, ia memakaikan baju itu pada si kembar. Ia tak memasang kancing bajunya. Biarkan anak-anak itu yang memasang kancing sementara ia menyetrika bagian celana.

Akan tetapi, setelah selesai menyetrika celana, si kembar masih belum memasang kancing baju mereka.

"Kenapa kalian belum memasang kancingnya?" tanya Lucianna.

"Kami tidak bisa," jawab mereka serempak.

"Apa? Kalian sudah berumur enam tahun dan sebentar lagi akan memasuki sekolah dasar. Dan kalian masih tak bisa memasang kancing? Kalian harus belajar memasang kancing!" ucap Lucianna tegas.

"Tidak mau! Ini adalah tugasmu sebagai pengasuh untuk memasangkan kancing baju kami. Kenapa kamu yang menyuruh kami?!" Revan berucap sedikit berteriak.

"Apa kalian tak akan malu? Saat kalian sekolah dasar nanti, di jam olahraga, kalian harus berganti pakaian. Jika kalian tak bisa memasang atau melepas kancing baju sendiri, kalian akan meminta bantuan teman kalian?" ucap Lucianna berusaha menakuti si kembar.

"Kemudian, teman-teman kalian akan menertawakan kalian karena tak bisa memasang kancing sendiri. Hahaha," ejek Lucianna. Si kembar yang mendengar perkataannya langsung berusaha memasang kancing baju mereka sendiri.

Lucianna terkekeh melihat sikap mereka. Anak-anak itu terlihat kesulitan, dan Lucianna mengajarkan mereka cara memasang kancing baju. Setelah selesai bersiap, Lucianna membawa mereka ke dapur.

Lucianna membuka-buka laci dan kulkas mencari bahan makanan. 'Sepertinya, aku bisa membuat sandwich,' batinnya.

Ia lalu memanggang roti dan mengisinya dengan daging ham, keju, selada, tomat, dan saus. Ukuran rotinya terlalu besar, jadi ia memotongnya menjadi berbentuk segitiga. Dari dua sandwich besar, kini ada empat potong sandwich.

'Satunya bisa dimakan oleh Daniel,' batin Lucianna sambil menghidangkan sandwich itu ke si kembar.

Entah kenapa, anak-anak itu terlihat bersemangat seperti belum pernah makan sandwich sebelumnya. Selagi mereka makan, Lucianna menyiapkan susu hangat untuk mereka.

Saat Lucianna berbalik, ia melihat Revan dan Rehan melepas selada dari roti isi mereka. Sementara Devan melepas tomatnya.

"Kenapa kalian mengeluarkan selada dan tomatnya?" tanya Lucianna sambil menghidangkan susu hangat mereka.

"Aku tidak suka tomat," ucap Devan.

"Dan kami berdua tidak suka selada," jawab Rehan dan Revan bersamaan.

"Kenapa? Ini adalah sayuran yang bagus untuk pertumbuhan kalian." Lucianna mengambil selada dan tomat itu kemudian memotongnya menjadi ukuran kecil.

"Apa kalian tak ingin menjadi kuat dan sehat seperti Papa kalian?" rayu Lucianna.

"Kami sudah kuat dan sehat," jawab Rehan.

"Iya, tetapi tubuh Papa kalian itu gagah dan besar. Coba lihat kalian, terlihat sedikit kurus dan lemas." Lucianna menyentuh pergelangan tangan Devan yang kecil.

"Dari mana kau tahu tubuh Papa kami besar dan gagah?" tanya Devan.

'Karena aku sudah melihatnya,' jawab Lucianna dalam batinnya.

"Bukankah sudah terlihat jelas dia sangat gagah?" Anak-anak itu mengangguk membenarkan perkataan Lucianna.

"Sekarang kalian harus memakan sayuran ini. Taruh satu potongan kecil sayuran ini di atas roti kalian, kemudian lahap bersama. Potongan sayur sekecil ini tak akan terasa dengan roti isi yang punya rasa kuat." Lucianna memberikan selada dan tomat yang sudah ia potong kecil-kecil.

Anak-anak itu sangat penurut. Mereka mengikuti saran dari Lucianna dan menghabiskan roti isi dan sayuran yang tadinya tak ingin mereka makan.

Lucianna tersenyum bahagia melihat anak-anak itu makan dengan lahap. Ini persis seperti bayangan dari impiannya. Impian yang konyol.

"Kalian sudah harus berangkat, kan? Siapa yang mengantarkan kalian?" tanya Lucianna.

"Papa!" jawab mereka serempak. Lucianna kemudian menyadari bahwa sedari tadi Daniel masih belum juga bangun. Dari tadi juga tak ada tanda-tanda kedatangan ibu dari anak-anak ini.

Sepertinya hari ini aman.

"Kalau begitu, kalian harus membangunkannya," ucap Lucianna. Anak-anak itu mengangguk. Selesai menghabiskan susu mereka, mereka segera pergi ke kamar Daniel.

Saat mereka pergi menemui Daniel, ini menjadi kesempatan bagi Lucianna untuk melarikan diri. Ia segera mengambil tasnya dan pergi melalui pintu depan. Apakah ini hari keberuntungan bagi Lucianna? Satpam itu masih saja tertidur di posnya. Pintu gerbangnya juga tak dikunci lagi.

'Sangat ceroboh,' batin Lucianna. Lucianna segera memesan taksi daring dan pergi dari sana sebelum dilihat warga sekitar.

...ΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩ...

...Bersambung...

Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!

Download Novel PDF
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!