NovelToon NovelToon

Kau Sewa Aku, Ku Dapatkan Cintamu

Part. 1- KSA, KDC

Hidup memang tak pernah memberi peringatan sebelum merenggut apa yang paling berharga.

Begitu pula dengan hidup seorang gadis bernama Keira Prameswari.

Usianya baru delapan belas tahun, baru saja lulus SMA dengan prestasi yang cukup membanggakan.

Keira dikenal sebagai gadis cantik dengan wajah manis, kulit bersih, dan senyum ceria yang selalu berhasil menularkan semangat pada orang di sekitarnya.

Namun di balik keceriaan itu, tersimpan luka yang dalam, sebuah kehilangan yang tak pernah benar-benar pulih.

Sejak kedua orang tuanya meninggal dalam sebuah kecelakaan sepuluh tahun lalu, Keira tinggal bersama keluarga pamannya.

Pamannya tidaklah jahat, hanya… terlalu sibuk dengan pekerjaan dan rumah tangga, sehingga seringkali Keira merasa dirinya seperti “penumpang” di rumah itu.

Ada atap untuk berteduh, ada makanan untuk dimakan, tapi kasih sayang yang hangat seperti orang tua, itu sesuatu yang tak lagi ia dapatkan.

Namun, Keira bukan tipe gadis yang suka mengeluh. Kesepian itu justru membuatnya tumbuh menjadi sosok yang mandiri.

Setiap sore, setelah pulang sekolah dulu, ia biasa menyibukkan diri dengan pekerjaan paruh waktu: menjaga toko kue, melayani di minimarket, atau menjadi kasir di kafe kecil dekat rumah. Semua ia jalani dengan ikhlas, demi satu hal, biaya kuliah.

“Kalau aku berhenti di sini, aku cuma akan jadi gadis biasa yang hidup numpang. Tapi kalau aku kuliah, aku bisa mengubah masa depanku sendiri.”

Itulah tekad yang selalu ia genggam erat.

Kini, setelah kelulusan SMA, semangat itu semakin berkobar. Keira tahu, jalan menuju mimpinya tidak akan mudah. Pamannya tidak sanggup menanggung biaya kuliah, dan tabungan hasil kerja paruh waktunya masih jauh dari cukup. Meski begitu, ia tidak mau menyerah.

---

Suatu malam, Keira duduk di meja belajarnya yang sederhana. Lampu belajar kecil menerangi wajahnya yang letih, tapi matanya tetap berbinar penuh harapan. Di tangannya ada brosur tentang beasiswa dan universitas.

“Entah bagaimana caranya… aku pasti bisa masuk kuliah,” gumamnya lirih, sambil menatap langit-langit kamar yang sempit.

Dari luar, terdengar suara anak-anak pamannya tertawa riang di ruang keluarga. Keira tersenyum tipis. Ada rasa hangat sekaligus getir yang di rasakannya.

Hangat karena ia masih punya tempat pulang, getir karena ia tahu, ia harus berjuang sendirian untuk masa depannya.

---

Keesokan harinya, Keira kembali sibuk. Ia bekerja sebagai pramuniaga di sebuah toko pakaian. Dengan senyum ramah, ia melayani pembeli, mengatur pakaian yang berantakan, hingga berdiri berjam-jam tanpa mengeluh.

“Keira, kamu nggak capek? Dari tadi berdiri terus,” tanya seorang pegawai senior dengan wajah prihatin.

Keira pun tersenyum sambil merapikan gantungan baju. “Capek, Kak. Tapi aku ingat, kalau aku berhenti sekarang… aku juga berhenti mengejar mimpi. Jadi ya, nggak boleh manja," Balasnya.

Jawaban itu membuat pegawai lain terkagum. Seorang gadis muda, yatim piatu, tapi masih bisa tersenyum cerah dengan beban sebesar itu, Keira memang berbeda.

---

Malam harinya, ketika ia berjalan pulang melewati jalan sempit yang sepi, pikirannya dipenuhi rencana-rencana besar.

Ia membayangkan dirinya duduk di bangku kuliah, memakai jas almamater, bahkan mungkin suatu hari bisa membahagiakan orang-orang yang ia sayangi dengan hasil kerja kerasnya.

Namun, Keira tak pernah tahu… bahwa langkah-langkah sederhana itu justru akan membawanya pada persimpangan hidup yang tak pernah ia bayangkan sebelumnya.

Sebuah pilihan sulit yang kelak akan menjeratnya dalam perjanjian paling gila dalam hidupnya, 'sebuah pernikahan kontrak'

Dan malam itu, di bawah sinar lampu jalan yang redup, Keira berjanji pada dirinya sendiri:

“Aku nggak akan berhenti. Bagaimanapun caranya, aku akan melangkah.”

_____

__________

Pertemuan tak terduga.

Pagi itu, matahari bersinar cerah. Burung-burung berkicau di sepanjang jalan yang dilalui Keira dengan sepedanya.

Seperti biasa, ia mengayuh dengan semangat menuju toko tempatnya bekerja. Rambutnya yang dikuncir sederhana bergoyang tertiup angin, sementara wajahnya tampak segar meski belum sempat sarapan.

“Semoga hari ini lancar,” gumam Keira sambil tersenyum penuh semangat.

Namun, tak sampai lima menit kemudian, sebuah suara klakson motor yang kencang membuatnya kaget.

“Woi! Hati-hati, Mbak!” teriak pengendara motor yang melaju kencang, dan nyaris menyerempet sepedanya.

“Eh—!” Karena terkejut Keira tak sempat mengendalikan sepedanya. Roda depannya pun menabrak batu kecil di pinggir jalan, hingga membuat tubuhnya oleng dan—

Brak!

“Aww!” Keira terjatuh, lututnya tergores aspal, dan sepedanya terlempar ke samping. Rantai sepeda langsung terlepas, pedalnya pun bengkok.

"Aww!! Aduh!!." Keira mengerang pelan sambil mengusap lututnya. “Ya ampun, kenapa harus pagi-pagi begini sih?”

Beberapa pejalan kaki sempat menoleh, tapi segera berlalu dan tidak memperdulikannya. Dengan terpaksa, Keira mendorong sepedanya yang kini tak bisa dinaiki lagi.

Beberapa ratus meter kemudian, ia menemukan sebuah bengkel sepeda kecil di pinggir jalan. Bau oli dan suara besi beradu langsung menyambutnya.

“Pak, bisa benerin sepeda saya?” tanya Keira sambil menunjuk rantai yang lepas dan pedal bengkok.

Montir tua di bengkel itu menoleh, lalu mengusap keringat di dahinya.

“Bisa, Neng. Tapi agak lama ya, ini mesti diganti pedalnya. Duduk aja dulu, nanti saya kerjain.”

Keira menghela napas lega. “Iya, Pak. Terima kasih.”

Ia melirik sekeliling. Tak jauh dari bengkel itu, ada sebuah taman kota. Pohon-pohon rindang, bangku kayu berjejer, dan suara kicau burung membuat suasana begitu teduh.

“Daripada nunggu di bengkel, mending duduk di sana aja,” gumam Keira.

Keira pun melangkah ke taman itu. Ia lalu di salah satu bangku sambil menikmati udara pagi yang sejuk. Pandangannya terarah pada anak-anak kecil yang berlari-larian, melihat tawa mereka membuat hatinya terasa ringan.

Namun, ketenangan itu tiba-tiba terusik oleh suara percakapan yang tak jauh dari tempatnya duduk.

“Aku serius, Rani. Aku benar-benar mencintaimu. Tolong terima cincin ini.”

Suara seorang pria yang terdengar penuh harap.

Keira spontan menoleh, dan melihat seorang laki-laki yang berpenampilan rapi dengan jas mahal, tengah berlutut sambil menyodorkan sebuah cincin pada gadis bergaun elegan di hadapannya. Adegan yang mirip di drama televisi.

Melihat adegan itu, Keira pun menahan tawanya. "Wah, ada yang melamar pagi-pagi begini?" Batinnya.

Namun, tak lama kemudian, jawaban si gadis membuat Keira terperangah.

“Maaf, Arga. Aku… nggak bisa. Aku ingin mengejar karirku dulu." Nada suara gadis itu terdengar tegas, tanpa ragu sedikit pun.

Suasana pun hening sejenak. Si pria, yang ternyata bernama Arga, kini terdiam dengan wajah yang pucat, sedangkan cincin mahal itu masih tergenggam di tangannya.

Keira yang masih asyik menyaksikan kini menutup mulutnya, karena berusaha menahan geli. Tapi semakin ia tahan, semakin lucu rasanya. Hingga akhirnya—

“Pfft… hahahaha!”

Arga langsung menoleh ke arah Keira. Begitu juga dengan gadis bernama Rani itu. Keduanya menatapnya dengan tatapan kaget sekaligus tidak percaya.

Sadar akan situasi, Keira buru-buru berdiri dan melambaikan tangan. “A-aku nggak bermaksud ikut campur, sumpah! Cuma… cara nolaknya itu… terlalu kocak.”

Rani mendengus lalu pergi meninggalkan Arga yang masih terdiam dengan wajah memerah karena menahan malu.

Keira yang melihatnya pun semakin tak bisa menahan tawanya. "A haha...ya ampun, kayak drama banget sih. Kasihan juga sih, tapi… lucu!”

Namun tawa itu segera terhenti ketika Arga berjalan mendekat dengan wajah yang dingin. Tatapan matanya menusuk, hingga membuat Keira refleks menegakkan tubuhnya.

“Kamu…” suara Arga terdengar berat dan tajam. “Kau tau tidak, baru saja kau membuat harga diriku jatuh lebih dalam daripada penolakan itu sendiri?”

Glek!

Keira menelan ludahnya karena gugup tapi tetap mencoba membela diri. “Eh… maaf, aku cuma… ya, spontan aja. Nggak nyangka ada adegan live kayak gitu di depan mataku.”

Arga lalu mendekat selangkah lagi, hingga jarak mereka begitu dekat.

“Aku tidak tahu siapa kamu. Tapi, mulai hari ini… kamu adalah orang yang akan selalu kuingat.”

BERSAMBUNG...

Part. 2 - KSA, KDC

Dalam hitungan detik, mata Keira dan Arga saling bertautan. Keira merasakan semacam aura dingin yang langsung menusuk dari cara pria itu menatap.

"Astaga, orang macam apa ini? Dari tadi wajahnya kayak es batu. Nggak ada ramah-ramahnya sedikit pun," batin Keira, sedikit merinding.

Arga sendiri hanya diam, seolah sedang mengukur-ukur gadis di depannya. Hanya sesaat, tapi bagi Keira, tatapan itu terasa seperti menelanjangi isi kepalanya.

Keira segera menghela napas, lalu mengalihkan pandangannya.

“Ah, sudah cukup. Hari ini sudah cukup sial. Jangan sampai aku tambah gila karena orang asing dingin macam ini,” gumamnya pelan, lalu memalingkan wajahnya.

Tanpa sepatah kata pun, ia pun berbalik. Langkahnya sangat cepat dan tergesa-gesa. Namun, sebelum benar-benar jauh, Keira menoleh sekali lagi ke belakang dan melihat Arga masih berdiri di tempat yang sama, dengan ekspresi nyaris tak berubah. Diam dan Beku.

“Duh, ngapain juga aku lihat lagi?!” Keira mendesis kesal, lalu mempercepat langkahnya.

Sepanjang jalan di sekitar taman itu ia terus mengomel. “Hari ini benar-benar komplit! Sepeda rusak, ditolak kerja lembur, dan sekarang harus ketemu manusia sedingin freezer. Apa aku salah lahir hari ini, ya?”

Keira menendang kerikil kecil di jalan untuk melampiaskan rasa jengkelnya. “Ya ampun, kalau terus-terusan begini, jangan-jangan aku dikutuk jadi magnet sial! Huh!”

Sambil terus mendumel, Keira mengibaskan tangannya, seolah ingin membuang segala sial yang menempel di tubuhnya.

Sementara itu...

Arga melangkah dengan langkah yang lebar dan wajah yang mengeras. Sesuatu di dalam dadanya seperti mendidih, kesal, marah, juga kecewa. Sedangkan tangan kanannya masih menggenggam cincin yang tadi ditolakkan begitu saja.

Tanpa pikir panjang, ia melempar cincin itu dengan sekuat tenaga. “Hhh—!” suara desis tertahan pun lolos dari bibirnya.

Tuiiinnnngggg...

Cincin itu pun melayang, dan berkilau karena terkena cahaya matahari, lalu… cling! jatuh tepat di depan kaki Keira yang baru saja keluar dari taman.

“Eh?” Keira terlonjak kaget.

Matanya membesar melihat benda mungil yang berkilau itu. Ia pun membungkuk cepat, lalu memungutnya.

“Cincin?!” katanya setengah berbisik.

Ia mengangkat cincin itu ke arah cahaya sehingga batu kecilnya memantulkan sinar yang menawan.

Keira buru-buru menoleh ke sekeliling namun nampak kosong. Hanya ada dirinya dan… pria dingin tadi yang berjalan cepat ke arah berlawanan.

“Jangan bilang… cincin ini dia yang buang?” gumam Keira seraya mengerutkan dahinya.

Ia memandang cincin itu lagi, lalu ke arah Arga.

“Gila, apa dia kaya banget sampai cincin segini cantiknya dibuang gitu aja?!” dumel Keira.

Sambil menggenggam cincin itu erat, ia melangkah beberapa langkah dan masih menatap punggung Arga yang menjauh.

“Apa aku balikin aja? Tapi… ah, dasar cowok aneh! Baru juga ketemu, udah bikin hari aku makin ribet!”

"Hah!!." Keira mendesah berat. “Ya ampun, Keira, hati-hati. Jangan sampai cincin ini malah bikin masalah baru buat hidupmu. Cukup sepeda rusak aja deh hari ini, jangan ditambah drama sinetron segala!”

Namun, entah kenapa, kakinya enggan membuang cincin itu.

Keira menggenggamnya lebih kuat, lalu memasukkan ke saku bajunya sambil menatap sekali lagi ke arah Arga.

“Hmmm… pria dingin itu, sebenarnya siapa, sih?”

____

_________

Beberapa saat kemudian...

Setelah sepedanya selesai di perbaiki, Keira mengayuh sepeda tersebut dengan terburu-buru.

Wajahnya masih kusut, apalagi jarum jam sudah lewat dari waktu masuk kerja. Begitu tiba di toko tempat ia bekerja, ia langsung menunduk-nunduk sambil mengatur napasnya yang tersengal.

“Keira! Kamu telat lagi?” tegur Bu Ratna, pemilik toko yang galak tapi sebenarnya cukup sayang padanya.

Keira pun tersenyum kecut, lalu menangkupkan kedua tangannya. “Maaf, Bu. Ada insiden kecil di jalan… sepedanya rusak.”

"Hhhh....." Bu Ratna mendesah panjang. “Lain kali jangan ada alasan lagi ya, Keira. Kamu tau sendiri toko ini butuh pegawai yang tepat waktu.”

“Siap, Bu… janji!” ucap Keira, lalu cepat-cepat masuk ke dalam toko.

Jam pun bergulir, pelanggan datang silih berganti bagaikan tiada henti. Hingga akhirnya suasana toko pun kini agak sepi.

Keira duduk sebentar di kursi belakang kasir, lalu teringat sesuatu. Ia merogoh sakunya dan cincin berkilau itu muncul di telapak tangannya.

Keira menatap benda berharga itu dengan kagum. “Cantik banget…” bisiknya. Matanya berbinar. Sejenak ia lupa bahwa cincin itu bukan miliknya.

Merasa tak tahan, ia pun menyelipkan cincin itu di jari manisnya. “Wah…” Keira terkekeh kecil. “Nggak salah kan kalau aku cuma nyobain sebentar? Lagipula… siapa juga yang tau," gumamnya.

Ia menatap bayangannya di kaca etalase. Wajah lelahnya seakan hilang, tergantikan dengan senyum yang malu-malu.

**

Sementara itu…

Di sebuah rumah megah bergaya klasik, suasana ruang utama sedang panas.

Seorang pria tua dengan tongkat di tangannya menghentak lantai marmer lalu bicara dengan suara yang berat dan bergetar oleh usia dan emosi.

“Arga! Aku ingin menimang cicit sebelum aku mati! Apa susahnya buatmu menikah, hah?”

Adapun Arga, ia hanya duduk tenang dengan wajah yang datar. Namun bola matanya jelas menyiratkan rasa kesal.

“Aku sudah bilang, Kakek… pernikahan bukan sekadar untuk memenuhi keinginan orang lain.”

"Hmm!!." Sang kakek menggeram. “Mulutmu itu selalu keras! Kau pikir hidup ini milikmu sendiri? Kau pewaris keluarga ini, Arga! Tidak ada pilihan lain selain menikah dan meneruskan garis keturunan!”

Ayah dan ibu Arga yang juga berada disana hanya bisa saling pandang dan pasrah.

“Biarkan dulu, Yah… Arga belum siap,” ucap ibunya lembut.

Namun sang kakek tak mau mendengar.

“Belum siap? Sampai kapan? Aku tidak punya banyak waktu!”

Arga lalu berdiri perlahan, membungkuk sopan, lalu berkata pelan tapi tegas. “Dengan segala hormat, aku memilih jalan hidupku sendiri.”

Ia kemudian berjalan keluar ruangan, meninggalkan keluarganya yang masih terdiam.

🌿🌿🌿🌿🌿🌿🌿🌿🌿🌿🌿🌿🌿🌿🌿🌿

Prolog

Arga Mahendra. Pewaris tunggal keluarga konglomerat yang menguasai jaringan bisnis besar di negeri ini. Semua orang mengira ia akan duduk manis di kursi perusahaan, mewarisi kekayaan tanpa perlu bersusah payah.

Namun, kenyataannya berbeda.

Arga menolak dunia bisnis keluarganya. Ia lebih memilih mengajar, menjadi dosen muda di sebuah universitas ternama.

Bagi Arga, hidup bukan soal uang. Ia lebih menghargai ilmu dan ketenangan.

Tapi, sebagai satu-satunya pewaris, ia tak bisa lepas dari jerat tuntutan keluarga, terutama soal pernikahan.

BERSAMBUNG...

Part. 3- KSA, KDC

Penolakan gadis yang Arga cintai beberapa hari lalu masih membekas jelas di hatinya. Wajah itu, kata-kata dingin yang menusuk, dan cincin yang akhirnya terbuang begitu saja.

Namun, Arga bukan tipe pria yang meluapkan amarah dengan teriak atau mengamuk. Ia tetap tampak tenang, meski di dalam dadanya ada bara yang membakar.

"Kalau memang cinta harus dipaksakan, lebih baik aku simpan sendiri perasaanku."

Maka, seperti biasa, ia memilih kembali ke rutinitas.

Dosen muda itu berdiri di depan kelas, menjelaskan materi dengan suara rendah tapi sangat mudah di mengerti oleh para murid. Mahasiswanya mendengar dengan serius, beberapa mencatat, beberapa malah terkesima dengan karisma dinginnya.

Beberapa saat kemudian...

Di luar pagar kampus, Keira sedang berdiri sambil menuntun sepedanya. Pandangannya terpaku pada gedung tinggi dan halaman luas di depannya.

“Wah… ini toh rasanya kampus beneran,” gumamnya, kagum.

Ia berjalan pelan di sekitar area, meski hanya di jalur umum yang terbuka. Matanya berbinar penuh harapan, membayangkan menjadi salah satu mahasiswa kampus tersebut.

“Kalau aku kuliah di sini… gimana rasanya, ya? Duduk di kelas, pakai buku catatan baru, ketemu dosen-dosen pintar. Ah, pasti menyenangkan banget.”

Keira tersenyum sendiri sambil membayangkan hari itu tiba. Namun senyumnya hilang saat ia hampir menabrak seseorang di tikungan lorong kecil dekat taman kampus.

“Eh! Maaf—”

Ucapan Keira terhenti begitu matanya bertemu dengan sosok yang baru saja ia hindari.

Dialah Arga.

Mereka kembali saling menatap, untuk kedua kalinya.

Arga mengerutkan dahinya, tatapannya tajam seperti hendak menembus isi kepala Keira.

Sedangkan Keira buru-buru menunduk lalu bergumam, “Ya ampun, kenapa aku harus ketemu dia lagi di sini?!”

Arga menatapnya beberapa detik. Tidak berkata apa-apa, tapi sorot matanya penuh tanda tanya. Seakan ia ingat sesuatu… atau seseorang.

Dengan wajah yang memerah, Keira segera melangkah mundur. “Maaf! Aku nggak sengaja…” ucapnya cepat, lalu berbalik hendak pergi.

Namun langkahnya terhenti saat ia merasakan sesuatu di jarinya. Cincin yang ia kenakan kemarin masih melingkar di sana dan mata Arga jelas melihatnya.

Keira pun langsung menunduk karena canggung, dan berusaha melewati Arga tanpa menimbulkan masalah.

Tapi tatapan dingin pria itu terarah tepat pada jemarinya. Cincin yang berkilau di jari manisnya sama persis dengan cincin yang sempat ia buang dengan penuh amarah.

Kemudian, Arga melangkah maju dan bertanya, “Dari mana kau dapat cincin itu?”

Keira terlonjak dan langsung menatap cincin di jarinya, lalu buru-buru menyembunyikan tangannya di belakang.

“A-apa? Cincin ini?” tanyanya gugup, sambil mencoba tersenyum untuk menutupi kepanikannya.

“Jawab,” tegas Arga, dengan tatapan yang menusuk. “Itu punyaku.”

Keira berkedip dengan cepat, otaknya berkeliaran mencari alasan. “Ehm… aku—aku hanya menemukannya. Beneran, aku nggak—”

Belum sempat ia menjelaskan, Arga langsung mengulurkan tangannya. “Kembalikan," serunya dingin dan kasar.

Keira terperangah, matanya pun membesar.

“Heh? Kembalikan gitu aja? Dasar aneh! Aku kan baru mau cerita, kamu malah main asal perintah,” balasnya kesal.

Arga melipat kedua lengannya, lalu menunduk dan menatap Keira dengan tajam. “Itu bukan hakmu. Tidak perlu penjelasan. Lepas, dan berikan sekarang.”

"Huh!" Keira mendengus kesal, sedangkan jari tangannya meremas cincin itu semakin erat.

“Eh, maaf ya, Tuan Dingin. Aku memang bukan siapa-siapa, tapi aku bukan pencuri! Aku cuma nemuin cincin ini nggak sengaja. Bukannya terima kasih, kamu malah marah-marah?”

“Terima kasih?” Arga menaikkan alisnya lalu membalas dengan suara yang meninggi. “Aku tidak perlu belas kasihan darimu. Yang aku butuh hanya cincin itu kembali!."

Keira melotot, lalu kedua tangannya berkacak di pinggang. “Ya ampun! Kamu tuh kenapa sih? Dikit-dikit nyuruh, dikit-dikit nada tinggi. Apa semua mahasiswa di kampus ini kelakuannya kayak gini?”

Arga tertegun sesaat, rahangnya mengeras lalu membalas, “Tidak semua orang punya waktu untuk bermain-main seperti dirimu.”

Keira merengut, hatinya panas mendengar ucapan merendahkan itu. “Main-main? Jadi menurut kamu aku sengaja pakai cincin ini buat apa? Buat gaya? Buat ngerampok?!”

“Cukup!," Bentak Arga, seraya menatapnya lebih tajam. “Lepas. Sekarang.”

Tidak mau kalah, Keira pun membalas tatapannya tanpa gentar. “Kalau kamu minta baik-baik, mungkin aku bakal kasih. Tapi kalau caranya begini? No way! Aku bukan budakmu, ngerti?”

Hening...

Dua kepribadian yang bertolak belakang saling beradu. Keteguhan Arga yang dingin melawan keberanian Keira yang spontan dan keras kepala.

Di tengah diam yang menegangkan itu, cincin mungil di jari Keira berkilauan, seolah menjadi saksi awal pertentangan panjang yang akan menyatukan dua dunia mereka.

Tanpa mereka sadari...

Suara debat antara Keira dan Arga makin lama makin meninggi. Beberapa mahasiswa yang lewat langsung berhenti, saling berbisik, dan mulai berkerumun.

“Eh, itu kan Pak Arga, dosen killer yang super dingin itu?” bisik seorang mahasiswi.

“Iya bener! Astaga, siapa tuh cewek yang berani ngomelin dia begitu?” sahut yang lain, dengan mata yang berbinar penuh kepo.

Tak lama, sebagian mahasiswi lain langsung histeris.

“Aaaaa! Dia bisa bicara sedekat itu sama Pak Arga?!”

“Gila, aku aja kalau ketemu dosen itu gemeteran, ini malah debat?! Hebat banget ceweknya!”

Keira menoleh ke sekitar, wajahnya pun mulai panas karena disorot begitu banyak mata.

“Ya ampun… sekarang aku jadi tontonan, kan?!” desisnya sambil menutup wajah dengan sebelah tangan.

Dengan ekspresi dingin, Arga pun menyadari kerumunan yang semakin ramai itu. Lalu, pikirannya langsung terbayang pada satu hal, jangan sampai ada yang tahu tentang lamaran gagal dan cincin itu.

Tanpa banyak kata, ia meraih pergelangan tangan Keira. “Jangan banyak bicara. Ikut aku.”

Keira pun terperanjat dan berusaha melepaskan diri. “Eh, lepaskan! Kamu pikir aku boneka bisa seenaknya ditarik begitu aja?!”

Namun Arga tetap menyeretnya melewati kerumunan.

“Lepas, aku bilang! Hei! Sakit tau—!” Keira mencoba menepis-nepis tangannya, sementara wajahnya memerah penuh emosi.

Melihat kejadian itu, mahasiswa di sekitar pun malah makin heboh.

“Ya ampun, mereka jalan bareng!”

“Cowok dingin itu… narik cewek? Aku nggak percaya mataku!”

Di sepanjang jalan Keira terus mendumel dan mencoba melepaskan diri.

“Dasar pria menyebalkan! Aku udah telat kerja, malah ditarik-tarik kayak kriminal. Nanti kalau tanganku memar gimana, hah?!”

Tapi Arga tidak menjawab. Langkahnya malah semakin cepat dan penuh tekanan, hingga akhirnya mereka berhenti di depan mobil hitam mewah yang terparkir di dekat gerbang kampus.

Kemudian Ia membuka pintu mobil dengan kasar, lalu menoleh tajam ke arah Keira.

“Masuk.”

Keira pun melongo karena tak habis pikir dengan perlakuan Arga.

“Hah?! Kamu kira aku apaan?! Aku nggak mau!” seru Keira penuh emosi.

Arga pun menghela napas seraya menahan emosinya yang hampir meledak. “Kamu mau semua orang tahu soal cincin itu?” ujar Arga dengan suara yang merendah tapi tetap dingin.

Keira tidak menjawab, namun matanya melotot tak percaya.

“Jadi gitu ancamanmu?!” Ia mengepalkan tangannya sementara napasnya naik-turun karena jengkel. “Sombong banget sih kamu! Baru kali ini aku ketemu orang segila ini!”

Arga menatap Keira tanpa berkedip. “Aku tidak punya waktu berdebat di depan umum. Pilihanmu cuma dua, masuk… atau semua rahasia terbongkar.”

"Cih!." Keira mendesis, dan wajahnya pun kini merah padam.

Dengan kesal, ia pun menunduk dan melangkah masuk ke dalam mobil, lalu membanting pintu keras-keras.

BLUG!!

“Arrghh! Kalau bukan karena cincin bodoh ini, aku nggak akan pernah berurusan sama kamu, Tuan Dingin!”

Arga pun masuk dari sisi lain, lalu menyalakan mesin mobil tanpa ekspresi.

“Diam. Kita bicara di tempat lain.”

Keira menoleh dengan cepat, dan matanya menyipit. “Diam? Kamu pikir aku bisa diam setelah diperlakukan kayak gini?! Hah! Jangan mimpi!”

Mobil pun melaju, meninggalkan kampus yang masih gaduh oleh bisik-bisik mahasiswa yang baru saja menyaksikan pemandangan luar biasa itu.

BERSAMBUNG...

Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!

Download Novel PDF
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!