Pagi hari setelah menyelesaikan pekerjaan rumah, wanita berkaca mata keluar dari rumah besar dan mewah dengan tergesa-gesa. Tentu saja khawatir terlambat kuliah. Begitulah keseharian gadis 21 tahun yang bernama Shindy. Walaupun tinggal di rumah bude, tapi diperlakukan seperti pembantu.
"Jika pekerjaan rumah tidak selesai, kamu tidak boleh berangkat kuliah!" Tandas bude kakak ipar almarhum bapak Shindy. Kata itu masih terngiang di telinga Shindy ketika berjalan di depan komplek. Wanita yang bernama lengkap Shindy Alta Finisa itu akhirnya tiba di pinggir jalan raya menunggu angkutan umum.
"Ya Allah... lama sekali sih? Bagaimana ini?" Shindy menatap jam di handphone kurang sepuluh menit lagi masuk kuliah. Shindy bingung, jika uang sakunya ia gunakan untuk numpang ojek online otomatis tidak bisa membeli sesuatu jika ada kebutuhan kuliah mendadak.
"Lebih baik aku naik ojek saja daripada terlambat" gumamnya setelah berpikir beberapa menit ia ambil keputusan. Shindy mengetik handphone memesan ojek online.
"Mbak Shindy ya?" Tanya Kang ojek yang sudah berhenti di depannya.
"Benar Bang, cepat sedikit ya" jawabnya sembari naik ke atas motor.
"Siap... Mbak"
Ngeeennng....
Kang ojek pun melaju kencang, tibalah Shindy di depan fakultas ekonomi. Tiba di kelas tampak sepi, Shindy sudah paham jika teman-teman nya itu biasanya nongkrong di kantin sebelum jam kuliah masuk.
Shindy memutuskan untuk ke toilet dulu, karena masih ada waktu lima menit lagi. Untuk menyingkat waktu ia berlari kencang.
Bruk!
"Jalan lihat-lihat, woi!" Tandas seorang pria, rupanya Shindy menabrak Arkan teman sekelasnya. Arkan yang jatuh terduduk mendongak menatap Shindy tajam.
"Maaf..." hanya itu jawaban Shindy lalu melanjutkan perjalanan. Tidak menoleh lagi walaupun Arkan mengatainya dengan kata-kata yang kurang enak di dengar.
Selesai dari toilet, Shindy kembali ke kelas. Di dalam kelas hanya ada satu orang, yaitu Dila sahabatnya.
"Kak Dila tumben, baru tiba?" Tanya Sindy karena biasanya Dila datang paling awal.
"Aku berangkat dari Bogor Shy, makanya kesiangan" Dila mengatakan sejak hari sabtu menginap di rumah orang tuanya.
Shindy yang masih berdiri di depan Dila badannya hampir terjungkal karena tiba-tiba saja seorang pria berjalan dan sengaja menabrak bahu Shindy. "Astagfirullah..." Shindy hanya Istigfar saja sambil menatap Arkan yang tengah meledek, menjulurkan lidah ke arahnya. Tentu saja mata Shindy mendelik di balik kaca matanya.
"Hihihi... kalian ini bertengkar terus, nanti lama-lama jadian loh" Dila tertawa melihat tingkah dua remaja itu.
"Dih, nggak lah, Kak" Arkan tersenyum miring.
"Siapa juga yang mau sama pria rusuh sepertimu!" Sungut Shindy, lalu melengos.
"Apa kamu bilang? Siapa yang rusuh? Enak saja!" Arkan yang sudah duduk di bangku pun berdiri mendekati Shindy.
"Sudahlah Arkan..." Dila melerai pertengkaran dua orang itu hampir setiap hari.
Arkan duduk kembali, tidak ada yang ia ditakuti di kelas itu selain Nadila kerena istri pemilik kampus.
Mahasiswa yang lain pun masuk kelas karena jam kuliah pagi ini akan segera dimulai, dan diisi oleh dosen yang bernama Arya Wiguna yang biasa dipanggil pak Gun.
Dosen tampan, kharismatik dan baik masuk ke dalam kelas. Maka tidak heran jika digandrungi para siswi. Walaupun tidak jarang berubah galak apa bila ada siswa yang tidak taat. "Kumpulkan tugas yang saya berikan kemarin" titah pak Gun. Pak Gun mengedarkan pandanganya ke seluruh Siswa yang membuka tas masing-masing.
Semua siswa mengeluarkan kertas yang sudah mereka buat mengumpulkan ke depan kelas. Namun, Shindy kebingungan karena tugasnya di dalam tas tidak ada.
"Kamu lupa membawa tugas, Shy?" Tanya Dila yang sudah mengumpulkan tugas, tapi begitu kembali Shindy masih membongkar tas.
"Seingatku sebelum berangkat tadi sudah aku masukkan ke dalam tas Kak, tapi kok tidak ada" Shindy menatap Dila cemas.
"Kamu lupa kali Shy..." Dila kasihan menatap wajah Shindy yang tampak ketakutan.
"Mana tugas kamu?" Tiba-tiba saja pak Gun sudah berdiri di depan Shindy.
"Anu Pak, tugas saya hilang" Shindy menjawab dengan bibir gemetar.
"Alasan saja kamu. Sekarang buat yang baru lagi" pak Gun menyuruh Shindy mengerjakan tugas saat itu juga.
"Baik Pak" Shindy meninggalkan kelas kemudian ambil flashdisk di dalam tas. Bukan waktu yang lama bagi Shindy karena tinggal print saja lalu kembali ke kelas.
Shindy sebenarnya bukan anak kuliahan yang banyak fasilitas seperti teman-temannya yang rata-rata orang kaya. Bisa masuk ke kampus tersebut karena beasiswa. Jika ia punya laptop pun pemberian Dila. Walaupun laptop tersebut bekas, tapi sangat bagus karena benda tersebut milik Tristan yang dibeli dengan harga mahal. Tentu saja Shindy sangat terbantu dengan laptop tersebut.
"Permisi Pak" Shindy memberikan tugasnya kepada pak Gun yang sedang membaca satu persatu tugas para siswa.
Pak Gun ambil kertas dari tangan Shindy tanpa berkata-kata.
Shindy kembali ke tempat duduknya hendak mengerjakan tugas yang baru, setelah mendapat bocoran dari Dila.
"Shindy! Maju kamu!" Tegas pak Gun.
Shindy yang baru saja duduk, mau tak mau berdiri lagi, kemudian maju dengan hati bertanya-tanya. Kesalahan apa lagi yang ia buat?
"Kapok lu, dasar cupu!" Sindir Arkan ketika Shindy melewati Arkan yang selalu membencinya. Namun, Shindy tidak terpengaruh dengan kata-kata pria yang menurutnya sudah biasa.
Mahasiswa yang làin pun menatap ke arah Shindy yang berjalan mendekati dosen.
"Saya Pak" Shindy mengangguk sopan.
"Kenapa tugas kamu bisa sama dengan tugas Arkan?" Wiguna menunjukkan tugas Arkan dan tugas Shindy yang memang sama persis.
"Tugas ini memang saya yang membuat Pak" Shindy membaca tugas itu merasa aneh. Otak cerdasnya seketika berpikir bahwa Arkan telah mencuri tugasnya ketika ia tinggal ke toilet.
"Kamu menjual tugas kamu kepada Arkan?" Pak Gun berpikir begitu, karena sering kali mendengar curhatan Shindy kepada Dila masalah sulitnya keuangan.
"Tidak Pak, saya yakin jika Arkan mencuri tugas saya."
"Arkan, maju kamu!" Pak Wiguna beralih ke arah Arkan yang tengah tersenyum senang karena Shindy dimarahi.
"Saya Pak?" Arkan menunjuk dadanya tidak yakin jika pak Gun memanggilnya.
"Maju kamu, tunggu apa lagi!" pak Gun pusing dengan ulah dua mahasiswa itu.
Dengan perasaan kesal, Arkan pun maju, lalu bertanya ada apa ia dipanggil.
"Benar, kamu mengerjakan tugas ini sendiri?" Pak Gun masih yakin jika Shindy menjual tugasnya.
"Tentu saya buat sendiri, Pak" Arkan membandingkan tugasnya dengan tugas Shindy. "Cupu, kamu mencuri tugas saya kan?" Tuduh Arkan dengan tatapan skeptis.
"Enak saja, kamu yang mencuri tugas saya."
Shindy dengan Arkan tidak ada yang mau mengalah, pertengkaran di depan dosen pun terjadi.
"Kalian berdua saya hukum, kerjakan tugas ini tidak lebih dari satu jam!" Pak Gun memberikan tugas yang baru yakni menganalisis keuangan. Mengetes dua remaja itu tidak mau dibantah.
"Baik Pak" Shindy yang memang cerdas tidak takut ketika diberi tugas. Ia kembali ke ruang kelas multimedia yang lengkap dengan komputer, LCD proyektor dan peralatan lain.
"Gara-gara kamu! Saya disuruh mengerjakan tugas kembali!" Arkan mendelik gusar ketika tiba di ruang tersebut.
"Kenapa Anda menyalahkan saya? Bukankah Anda yang sudah mencuri tugas saya?!" Shindy tak kalah kesal.
"Heh, kamu pikir saya orang bodoh, tidak bisa mengerjakan tugas lalu mencuri milik kamu? Dih, ogah amat seorang Arkan sampai mencuri tugas wanita sepertimu?! Kamu pikir, kamu itu wanita jenius?" Arkan semakin kesal karena merasa di remehkan.
"Baiklah, daripada ribut terus, sebaiknya kita cek cctv sekarang juga" Tantang Shindy, tidak takut sedikitpun.
"Jika kalian ribut terus, kapan tugas yang saya berikan selesai?"
Tiba-tiba pak Gun berdiri di belakang mereka.
...~Bersambung~...
Pertengkaran di ruang multimedia pun berhenti ketika dosen datang memberi peringatan. "Jika kalian bertengkar terus, kapan tugas yang saya berikan selesai?"
"Baik Pak" Shindy meninggalkan pak Gun dan Arkan. Benar kata dosen, lebih baik ia segera mengerjakan tugas daripada bertengkar dengan pria sombong yang hanya akan menambah dosa. Bukan hal yang sulit bagi Shindy, mengerjakan tugas seperti yang diberitakan pak Gun.
Ia bangkit dari kursi menoleh ke kanan, tampak Arkan masih mengetik di depan komputer. Shindy tidak mau mengurusi pria itu, lebih baik kembali ke kelas.
Mendengar langkah sepatu Shindy yang berjalan keluar sembari membawa kertas, Arkan mengejar. "Tunggu!"
"Mau apa?!" Ketus Shindy.
"Kamu mengerjakan tugas cepat sekali, pasti minta bantuan Google kan?" Arkan meremehkan.
"Tidak ada urusan sama kamu!" Shindy menyeret sepatutnya menjauh dari Arkan.
"Tunggu dulu" Arkan menahan tangan Shindy. "Sebaiknya kita berdamai" Arkan tersenyum.
Shindy melepas tangan Arkan, matanya menyipit. Seorang Arkan mengajaknya berdamai? Pasti ada maksud tertentu.
"Jika kamu mau, saya akan membuktikan kata-kata pak Gun. Bagaimana jika tugas kamu itu saya beli?" Arkan lagi-lagi tersenyum. Ia yakin jika Shindy tidak akan menolak uang.
"Tak usah ya" Shindy melengos dan benar-benar pergi.
"Sial!" Arkan membanting bokongnya di kursi dengar kasar. Sebenarnya hari ini ia sedang malas mengerjakan tugas seperti itu, tapi tidak mau dimarahi pak Gun.
Arkan duduk bersandar di kursi ingat tadi pagi, gara-gara main game semalaman hingga lupa mengerjakan tugas. Dalam keadaan mood buruk, ia tetap berangkat kuliah. Tetapi begitu tiba di kampus si cupu justru menabraknya hingga jatuh. Tentu saja Arkan kesal. Dalam perjalanan ke kelas, ia menyusun rencana bagaimana caranya membalas perlakuan Shindy. Di kelas masih sepi, tatapan Arkan tertuju ke tempat duduk wanita yang selalu ia panggil cupu. Sebuah ransel berwarna coklat berada di atas kursi "Sebaiknya aku ambil saja tugas si cupu, walaupun hasilnya jelek, tapi lumayan, daripada dimarahi pak Gun" batin Arkan membuka tiga lembar kertas hvs yang sudah berisi angka-angka lalu meneliti. "Ternyata pintar juga si cupu" batin Arkan, yakin jika tugas Shindy bagus, ia membawa kertas tersebut ke tempat duduknya, kemudian menulis namanya bagian atas. 'Arkana Ivander.
.
Siang harinya seperti biasa, para siswa siswi membeli makanan di kantin. "Sial, kenapa si cupu duduk di sana sih" Arkan kesal, tapi tidak berani menegur Shindy karena di sebelahnya ada Nadila.
"Loe kenapa sih, benci banget sama Shindy? Jangan-jangan Loe cinta sama Dia" Ujar Marsel sahabat Arkan tertawa ngakak.
"Dih, amit-amit. Loe kan tahu, gue sudah punya cewek" Arkan menyedot ice buah lalu meletakkan gelas hingga bunyi 'tak' karena kesal dan akhirnya batuk-batuk.
"Makanya, jangan marah-marah Ar, gitu-gitu Shindy itu bikin loe kewalat" Marsel lagi-lagi tertawa.
"Lagian loe, gue kan sudah punya cewek" Arkan tersenyum begitu ingat cewek cantik yang selalu ia ajak kencan online.
"Cewek online itu yang loe maksud?" Marsel tidak habis pikir, di kampus ini banyak sekali wanita yang suka kepada Arkan, tapi pria itu memilih wanita yang tidak jelas.
"Memang kenapa? Lihat dong cewek gue" Arkan memperlihatkan foto di galeri yang ia creeenshot dari facebook. Foto wanita yang sudah disempurkan oleh AI itu tampak luar biasa. "Dalam waktu dekat gue akan melamar Dia" Ujar Arkan tersenyum.
"Kok gue pernah lihat orang ini ya" Marsel memperhatikan foto tersebut familiar.
.
Malam harinya di dalam kamar masing-masing, pria dan wanita sedang ngobrol melaui chat dengan kata-kata romantis.
Pesatnya kemajuan teknologi modern nyaris menghilangkan sekat-sekat batas yang memisahkan ruang dan waktu. Praktis terciptanya teknologi handphone yang menjerat cinta penggunanya seperti yang dialami Arkana Ivander dan Shindy Alta Finisa.
Dua mahasiswa satu kampus yang saling bermusuhan itu, tidak mereka sadari jika menjalin cinta online hingga sudah ke arah yang sangat serius. Rindu begitu berat jika keduanya tidak saling kirim pesan.
Malam itu, Shindy tengah tengkurap di atas kasur, tangannya mengetik pesan dengan lincah, bibirnya pun tidak berhenti tersenyum.
"Bagaimana kalau minggu depan aku melamar kamu?"
Begitulah pesan yang ditulis oleh Arkan.
"Apa kamu yakin?" Shindy kaget, tapi juga senang. Gadis itu ingin segera pergi dari rumah budenya yang menurutnya semakin hari semakin diperbudak.
"Yakin kok, alamat kamu di mana? Aku ingin datang ke rumah kamu."
"Baiklah" Shindy mengetik alamat bude, boleh tidak boleh, ia besok akan minta restu. Puas chatting, Shindy pun akhirnya tidur.
Malam berganti pagi, Shindy kaget karena bangun kesiangan. Jika biasanya sebelum adzan subuh ia sudah mengerjakan ini itu, tapi sekarang baru mengisi mesin cuci dengan air.
"Shindy!" Panggil wanita paruh baya dengan kencang.
"Iya Bude..." Shindy cepat-cepat meninggalkan air yang ia kucurkan ke mesin cuci. Menghampiri budenya ke meja makan.
"Mana sarapan? Kenapa belum matang?!" Tandasnya dengan wajah murka, menatap Shindy yang berdiri di depannya.
"Maaf bude... saya kesiangan" Shindy pun ke dapur dengan perasaan menyesal. Kenapa juga harus kesiangan padahal biasanya sarapan sudah matang.
Jika sudah siang begini, Shindy bingung entah mau mengerjakan yang mana dulu. Sebab, jika tidak selesai, ia tidak boleh masuk kuliah sudah menjadi ancaman empuk bagi bude. Shindy menyalakan kompor hendak membuat sarapan lebih dulu daripada budenya mengaum seperti Harimau, atau menggonggong seperti Anjing rabies.
"Shindyyyy..." teriakan melengking dari tempat cuci pakaian.
"Saya bude..." Shindy berlari meninggalkan kompor yang sudah menyala.
"Lihat ini, air mesin cuci sampai luber begini! Pantas saja bayar listrik selalu mahal!" Semprot bude mendelik ke wajah Shindy.
"Maaf bude..." lirih Shindy menarik napas panjang. Padahal tinggal putar air kran saja tidak usah marah-marah seharusnya bude bisa, tapi memang sudah nasib Shindy, di mana-mana selalu dimarahi. Arkan yang super nyebelin, pak Gun yang main hukum tidak diselidiki dulu siapa yang salah main hukum saja. Di dunia ini menurut Shindy tidak ada orang baik selain Nadila sahabatnya.
"Bau apa ini?" Tanya Bude yang masih mantengin Shindy ketika sedang menuang deterjen ke mesin cuci.
Shindy pun berlari ke dapur, memandangi penggorengan yang sudah ngebul, menghasilkan ceplok telur yang sudah hitam.
"Shindyyyy... Keterlaluan! Kamu ya."
Begitulah hari-hari Shindy di rumah bude, jika sudah terlalu sakit hati hanya bisa menangis untuk mengurangi sakit di hati.
Tiga hari kemudian, tepatnya hari jumat. Sebelum berangkat kuliah, Shindy memberanikan diri menemui budenya yang sedang santai di ruang keluarga sambil menonton televisi. Ia mengatakan jika besok hari minggu akan ada pria yang melamarnya.
"Laki-laki mana yang suka sama kamu? Jika pria itu melarat, bude tidak setuju. Kamu saja sudah membebani saya kok. Kecuali calon suami kamu itu pria kaya raya, saya akan menyetujuinya."
...~Bersambung~...
Shindy diam berpikir, entah jawaban apa yang akan ia berikan kepada bude. Selama dua tahun menjalin hubungan online dengan pria yang bernama Ivan, jangankan tahu kaya atau miskin. Wajah calon suaminya seperti apa, itupun belum Shindy ketahui. Tetapi Shindy tidak mungkin bercerita jika pria yang akan melamarnya, ia kenal dari facebook. Jika budenya tahu pasti akan menolaknya mentah-mentah.
"Kenapa kamu diam Shindy, sudah cukup saya menampung kamu, jika sudah menikah nanti kamu harus pergi dari rumah ini."
"Masalah kaya atau miskin saya belum tahu bude" Shindy sebenarnya ingin mengatakan jika kaya atau miskin bukan jaminan hidup bahagia. Tetapi ia tidak mau budenya semakin marah.
"Nanti kita lanjutkan lagi bude, saya berangkat dulu" Shindy salim tangan bude lalu berangkat ke kampus.
.
"Kak, hari minggu besok, aku mau dilamar pria yang aku ceritakan waktu itu" Shindy menceritakan kepada Dila dengan hati berbunga-bunga ketika tiba di kampus.
"Semoga kamu bahagia Shindy..." Dila ikut senang jika sahabatnya bahagia. Walaupun Shindy belum pernah bertemu dengan calon suaminya, tentu bisa ambil dari sisi positif nya, anggap saja ta'aruf.
"Aamiin... semoga aku mendapat jodoh seperti suami Kak Dila."
"Kok seperti suami aku sih..." Dila melirik Shindy merasa aneh.
"Maksudnya bukan wajahnya Kak, siapa sih yang tidak mengagumi sosok Tuan Tristan" Shindy tentu mengidolakan pria seperti Tristan. Kaya raya, tapi tidak sombong.
"Awalnya aku setuju kamu menikah dengan pak Wiguna Shy, tapi yang namanya jodoh rahasia Allah."
"Kok bawa-bawa Pak Gun sih Kak" Shindy tidak mengerti.
"Kamu tidak peka sih, Pak Gun itu diam-diam mencintai kamu Shy" Dila seringkali memergoki tatapan Wiguna kepada Shindy yang sangat mengagumi.
"Halah... mana mungkin sih Kak... Pak Gun itu sebelas dua belas sama Arkan tahu nggak, benci banget sama aku, kalau kasih hukuman tidak mau melihat kebenarannya dulu" Sungut Shindy.
Dila tidak mau memaksa Shindy, masalah jodoh biar Shindy sendiri yang memutuskan. Mereka berdua masuk kelas karena sudah jam masuk kuliah.
Tiba di dalam kelas, Shindy senang karena kursi yang biasanya diduduki Arkan pun kosong. "Tumben, perusuh itu tidak masuk Kak?"
"Cieee... kangen..." Dila terkikik ketika meletakkan bokongnya di kursi..
"Ya ampun... yang ada, dada saya plong Kak. Pagi ini tidak ada pria rusuh yang mengganggu" Ucap Shindy. Ia tidak tahu jika di belakangnya, Arkan baru saja tiba masih menggendong ransel. Mendengar kata-kata Shindy telinganya panas. Arkan menatap dengan sorot tajam dari belakang dan muncul garis-garis di sekitar alis.
Kedipan mata Dila, membuat Shindy menoleh ke belakang. Saking kagetnya, muka Shindy membentur pundak Arkan.
Plok plok plok.
Tepuk tangan pria dan wanita teman-teman mereka pun terdengar ramai.
"Cieee... Cieee... uhui... tembak, tembak, tembak" Seru siswa yang dipimpin oleh Marsel merasa ada kesempatan untuk menggoda Arkan disertai suitan.
"Ada apa ini?" Pak Gun yang baru masuk pun terkejut melihat tingkah siswa yang seperti anak abg itu. Lalu berpaling ke arah Arkan dan Shindy yang berdiri berdekatan.
Tanpa diperintah, mereka kembali ke tempat duduk masing-masing dan mengikuti kuliah seperti biasa.
.
Waktu berganti, hari minggu pun tiba. Arkan bersama dua orang tuanya datang ke rumah bude menepati janjinya untuk melamar Shindy.
Sebelum acara dimulai, mereka perkenalan lebih dulu. Begitu melihat orang tua Arkan, bude Shindy menyambutnya dengan ramah. Siapa yang tidak kenal dengan Alexander pengusaha kaya raya yang terkenal walaupun selama ini hanya melihat di televisi.
Alexander sendiri sebenarnya belum setuju putra satu-satunya menikah. Mengingat Arkan sangat malas padahal sudah ia nobatkan sebagai Ceo di perusahaan miliknya. Namun, nyonya Adisty ibu kandung Arkan berharap putranya akan berubah setelah menikah..
"Saya menerima lamaran Nak Arkan, tapi tolong jangan sia-siakan Dia" bude seolah-olah menjadi orang tua pengganti Shindy yang baik hati.
"Memang kedua orang tua Alta kemana Mbak?" Tanya Adisty. Begitulah nama yang digunakan Shindy di akun medsos.
"Kasihan Keponakan saya itu Jeng, sejak bayi kedua orang tuanya sudah meninggal. Lalu saya asuh dari bayi. Penah juga Alta tinggal bersama Neneknya, tapi selalu dimarahi. Hu huuuu..." bude menangis sandiwara.
"Tentu saja Jeng, jika anak saya berbuat macam-macam saya yang akan menjewer" Adisty menoleh Arkan yang tersenyum lebar. Acara lamaran selesai, Adisty menanyakan Alta kenapa belum keluar.
"Saya panggilkan sebentar Jeng" Bude naik tangga mengetuk pintu kamar Shindy.
"Sebentar Bude..." Jawab Shindy yang tengah memoles wajahnya sedikit di depan cermin. Ingin bertemu calon suami ia tidak mau terlihat kucel. Baju gamis remaja, lengkap dengan kerudung. Kaca matanya ia buka, kali ini bukan seperti Shindy, tapi benar-benar Alta di facebook.
Dengan anggun, Shindy membuka pintu kamar. Rupanya bude masih menunggu. "Bude..." Shindy terkejut, selama tinggal di rumah ini baru pertama kali melihat bude tersenyum kepadanya.
"Ayo, calon suami kamu sudah menunggu lama loh, keponakan bude ternyata pintar memilih jodoh" Bude menggandeng tangan Shindy.
Shindy tahu, perubahan bude pasti karena calon suaminya kaya. Walaupun Shindy tidak berharap begitu, bagi Shindy pria itu tetap baik seperti di facebook.
Begitu menuruni anak tangga, Shindy memandangi tiga orang di ruang tamu. Dengan dada berdebar-debar. Dia mempercepat langkahnya ingin segera melihat seperti apa wajah asli calon suaminya.
Shindy rasanya ingin jatuh, lantaran kaget melihat siapa yang akan menjadi suaminya. Begitu juga dengan Arkan yang tak kalah keget menatap Shindy.
...~Bersambung~...
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!