NovelToon NovelToon

Ambil Saja Suamiku, Kak

Bab 1

Dulu, Riana begitu bersyukur bisa menikah dengan Septian, lelaki mapan dan rupawan yang menjadi incaran banyak perempuan di ibu kota. Namun kini, rasa syukur itu berubah menjadi beban yang terus menyesakkan dada. Bagaimana tidak, ia sempat percaya Septian benar-benar mencintainya, tapi ternyata lelaki itu menikahinya hanya untuk bisa dekat dengan sang kakak, Liliana.

Keyakinan itu semakin kuat sejak dua bulan lalu, tepat ketika Liliana menyandang status janda dengan seorang bayi berusia enam bulan. Dengan alasan iba, Septian memintanya tinggal bersama mereka. Dalih itu terdengar manis, tapi di mata Riana, semuanya justru bukti bahwa hati sang suami tak pernah benar-benar menjadi miliknya.

“Riana, ini uang belanja untuk minggu ini. Jangan lupa, kulkas harus selalu terisi makanan. Kakakmu masih menyusui, dia butuh asupan bergizi dan nggak boleh makan terlambat. Dan kamu juga harus berhemat," ucap Septian sembari menyodorkan segepok uang merah ke tangannya.

Satu kata hemat itu terasa menusuk jantung Riana. Dari semua perintah suaminya, mengapa kata itu harus ditujukan kepadanya, sementara hampir semua kebutuhan justru diprioritaskan untuk sang kakak?

“Hemat, Mas?” ulang Riana pelan.

“Iya. Perusahaan akhir-akhir ini sedang pailit. Lagi pula, kamu kan ibu rumah tangga, nggak ke mana-mana, jadi nggak perlulah beli macam-macam atau ikut arisan,” tandas Septian, semakin memperdalam luka di hati istrinya.

Padahal sebelum menikah, wanita berusia 29 tahun itu lulusan dokter berprestasi dengan nilai cumlaude. Namun, demi cintanya pada Septian, ia rela meninggalkan kariernya dan memilih menjadi ibu rumah tangga. Ia menganggap pengorbanan itu layak demi menyandang status sebagai istri Septian Prawira. Sayangnya, kini semua itu terasa sia-sia.

“Lalu uang itu untuk apa, Mas?” tanya Riana dengan nada kesal setelah menerima uang pemberian sang suami. Matanya sempat melirik dua gepok uang lain yang masih tersusun rapi di atas meja.

Septian membenarkan kacamatanya sejenak, lalu melirik uang tersebut. Senyum tipisnya terbit sebelum ia menjawab, “Itu untuk kakak ipar. Kamu tahu sendiri kebutuhannya banyak, kan? Harus beli baju, mainan anak, susu, popok, dan masih banyak lagi.”

“Tapi Mas…”

“Riana, jangan pelit. Kamu tahu kakakmu itu janda. Kalau bukan aku adik iparnya yang memenuhi kebutuhannya, siapa lagi? Aku nggak mau berdebat lagi, ini sudah sering kita bahas,” ucap Septian dengan nada dingin sebelum lelaki itu melenggang pergi sambil membawa uang yang sudah disiapkan tadi.

Riana hanya bisa menatap punggung Septian yang perlahan menghilang ditelan tembok putih. Tatapannya kosong, seolah berharap lelaki itu kembali padanya. Namun, semua itu hanya angan. Sudah satu jam berlalu sejak suaminya pergi, dan tak juga kembali ke kamar mereka.

“Apa benar sudah tak ada harapan untukku, Mas? Kita sudah menikah bertahun-tahun, tapi kamu gak pernah mengizinkanku tidur di sisimu, kecuali saat ingin melakukan hubungan suami istri…” gumam Riana lirih, dengan air mata yang mulai berurai.

Sebagai seorang dokter, Riana paham betul bahwa suaminya mengalami gangguan tidur akibat trauma masa lalu. Karena itu, ia berusaha memaklumi alasan Septian tidak pernah mengizinkannya tidur di sisinya. Ia mencoba menanamkan pengertian dalam hati, bahwa semua itu bukan karena dirinya.

Namun, beberapa waktu lalu, kenyataan pahit justru menamparnya. Dengan mata kepalanya sendiri, ketika hendak membawa segelas susu hangat, Riana melihat sang suami bisa terlelap dengan pulas di ranjang kakaknya. Sejak malam itu, pengertiannya perlahan runtuh.

Kilas balik itu kini terus menghantuinya. Riana duduk di tepi ranjang dengan wajah sembab, air mata masih mengalir tanpa henti. Luka di hatinya semakin dalam seolah pengorbanannya selama ini tak pernah dianggap.

“Aku sudah berusaha mengerti, Mas… tapi ternyata yang kamu butuhkan bukan aku,” bisiknya lirih.

Air mata Riana semakin deras, membasahi pipi hingga jatuh ke bantal. Malam ini terasa begitu panjang dan sunyi, hanya isakannya yang terdengar di dalam kamar. Ia memeluk dirinya sendiri, mencoba mencari kehangatan yang tak pernah ia dapatkan dari suaminya.

Dulu Riana pernah membayangkan, hidup penuh cinta, kebersamaan, dan kebahagiaan, nyatanya hanya fatamorgana. Setiap hari ia harus berhadapan dengan kenyataan pahit, bahwa keberadaannya hanyalah pelengkap.

Dering ponsel membuat Riana menyudahi kesakitannya. Ia melihat pemanggil itu berasal dari salah satu dosen sekaligus dokter pembimbingnya dulu. Ia segera menghapus sisa air mata lalu menetralkan emosinya.

“Halo, Dok,” sapa Riana pelan.

“Riana, saya sudah membaca surat pengajuanmu untuk ikut sebagai relawan di Sorong. Apa kamu sudah memikirkannya baik-baik?” tanya dokter Alif, suaranya tegas namun lembut.

“Iya, Dok. Saya rasa sudah cukup selama lima tahun ini menyia-nyiakan gelar saya. Jiwa saya sebagai dokter terpanggil lagi, lebih dari sekadar rasa bersalah. Di sana banyak yang butuh bantuan medis dasar, dan saya ingin berguna lagi,” jawab Riana, suaranya sedikit kencang, seolah meyakinkan dirinya sendiri.

Dokter Alif terdiam sesaat, lalu bertanya dengan hati-hati, “Kamu paham konsekuensinya? Jauh, berat, dan mungkin memakan waktu lama. Bagaimana dengan keluargamu?”

Riana menutup mata sekejap. Pikiran tentang Septian dan Liliana berkecamuk, namun jawabannya tegas, “Saya paham, Dok. Justru karena itu saya harus pergi. Bukan lari, tapi mencari kembali siapa saya. Kalau bukan sekarang, kapan lagi?”

“Aku menghargai keputusanmu,” jawab Dokter Alif. “Baiklah, ada proses seleksi dan pelatihan singkat. Kalau lulus, keberangkatan mungkin bulan depan. Siapkan dokumen, rapid test, dan surat izin dari pihak keluarga bila memungkinkan. Kalau butuh bantuan administrasi, datang saja ke rumah sakit, saya bantu urus.”

Riana merasa ada sesuatu hangat merayap di dadanya, sebuah harapan. “Terima kasih, Dok. Saya akan datang minggu ini.”

Setelah menutup telepon, Riana duduk sejenak menatap jendela. Ia ingat seminggu lalu, setelah melihat suaminya begitu dekat dengan sang kakak, ia langsung memutuskan ikut menjadi relawan. Ia tak ingin lagi menyiksa diri, jika Septian memang tidak mencintainya, melepaskan mungkin satu-satunya jalan menuju kebahagiaan.

Lagipula, untuk apa ia harus berebut cinta yang tak akan pernah menjadi miliknya? Selain itu, wanita yang dicintai suaminya adalah sang kakak. Dan ia berhak bahagia!

Riana menarik napasnya dalam setelah merasa tenang, ia ingin mengambil segelas air untuk membasahi kerongkongannya yang kering. Namun, sebelum ia membuka pintu terdengar suara ketukan pintu.

"Ada apa Kak?" tanya Riana saat mengetahui orang yang mengetuk pintu Liliana tengah menggendong bayi mungilnya.

“Riana… aku boleh tidur di sini? Bayiku rewel sekali, mungkin dia terganggu karena suamimu tidur di sana, terus ngorok kenceng banget,” ucap Liliana dengan wajah lelah.

Riana terdiam. Ada rasa getir kembali menyeruak. Bagaimana mungkin sang kakak bisa berkata demikian tanpa ada rasa enggan sama sekali, seolah semua adalah hal biasa?

“Oh..,” jawab Riana dengan suara serak. Ia berusaha tersenyum, meski hatinya terasa hancur.

Liliana tanpa dipersilahkan masuk, ia menyerobot lalu meletakkan bayinya di atas ranjang, kemudian duduk tenang sambil bertanya dengan polosnya, “Kamu kelihatan pucat. Kamu gak lagi cemburukan?”

Amarah Riana tersulut. Tenggorokannya tercekat, bibirnya mulai bergetar, siap melontarkan semua kata yang selama ini ia kubur.

Bab 2

"Riana, aku sayang banget sama Mas Irfan, jadi nggak mungkin aku bisa menduakannya. Apalagi sama suamimu, jadi jangan berpikir yang macam-macam ya," ucap Liliana, mematahkan niat Riana untuk bicara lebih jauh.

Itu sudah ketiga kalinya Liliana mengatakan hal serupa selama mereka tinggal bersama. Riana ingin percaya. Ia ingin meyakini bahwa kakaknya tidak mungkin jatuh cinta pada Septian. Namun yang membuatnya gelisah justru sebaliknya, perasaan Septian.

Apakah Liliana masih bisa meyakinkannya dengan kalimat itu jika tahu bahwa suaminya diam-diam menyimpan rasa padanya?

"Riana, jangan diam terus," ujar Liliana sambil menimang bayinya yang kembali menangis.

Sekilas hati Riana ikut mereda. Ia sadar, inilah alasannya selalu memilih bungkam. Kakaknya adalah satu-satunya keluarga yang tersisa. Apalagi Liliana kini seorang janda dengan bayi kecil. Kalau ia mengatakan kebenaran, bukankah itu hanya akan menimbulkan masalah, bahkan membuat kakaknya pergi dari rumah ini? Sebagai adik, mana mungkin Riana tega.

"Aku tahu, Kak… Kakak sangat mencintai Mas Irfan. Aku nggak cemburu, kok. Aku percaya Kakak pasti bisa menjaga batasan," ucap Riana selembut mungkin, meski di dalam hatinya ada luka yang masih mengaga.

Liliana tersenyum tipis, seakan merasa lega. "Terima kasih sudah percaya sama Kakak. Kamu itu harusnya fokus sama rumah tangga kamu sendiri, jangan terus mikirin hal-hal yang bikin negatif thinking."

Riana hanya mengangguk, meskipun hatinya tak terima. Bagaimana bisa ia fokus jika setiap kali Septian pulang, matanya selalu mencari Liliana? Bagaimana bisa ia tenang jika senyum yang dulu hanya miliknya, kini lebih sering terukir saat suaminya bicara dengan kakaknya?

Namun, sekarang Riana mencoba tetap tegar demi kebaikan bersama. Lagipula, ia akan pergi meninggalkan Septian, memberikan kesempatan pada lelaki itu untuk mengejar kebahagiaannya. Pemikiran ini memang bodoh sebenarnya, tapi bukankah ini lebih baik daripada ia terjebak di antara suami dan kakaknya?

"Biar aku gendong," ucap Riana sambil meminta bayi itu dari pelukan Liliana. Sang kakak menyerahkannya dengan lega, sementara Riana berusaha menenangkan Lira si kecil di pelukannya. Melihat Liliana mulai merebahkan diri, Riana memberanikan diri bertanya, "Kak, menurut Kakak… Mas Septian itu bagaimana?"

Liliana yang semula tampak rileks langsung tersentak. "Maksudnya bagaimana?"

"Ya, menurut Kakak, Mas Septian itu orangnya bagaimana?" tanya Riana lagi, dengan nada pelan agar bayi mungil itu tidak terbangun.

Liliana sempat berpikir sejenak sebelum menjawab, "Semua wanita tahu kalau Septian itu idola di ibu kota. Tampan, kaya, kharismatik. Dia itu… sama seperti Mas Irfan dulu. Seandainya perusahaan Mas Irfan nggak kolaps sampai meninggalkan banyak hutang dan kini meninggal dunia, mungkin mereka berdua akan jadi pesaing terberat."

Riana paham betul ucapan itu. Ia masih ingat, ketika kuliah dulu Liliana memilih jurusan bisnis, di sanalah ia bertemu dengan Irfan dan juga Septian. Sementara dirinya menempuh jurusan kedokteran. Meski mereka yatim piatu, orang tua sudah menyiapkan tabungan pendidikan hingga mereka bisa meraih gelar sarjana.

Dari situlah benih cinta mulai tumbuh. Sayangnya, Liliana hanya menaruh hati pada Irfan hingga akhirnya menikah dengannya. Sedangkan Septian, setelah Liliana resmi menjadi istri Irfan, ia masih sering berkunjung ke rumah hingga akhirnya meminang Riana. Saat itu Riana sama sekali tidak curiga karena ia pun menyukai Septian. Namun kini, jika dipikir kembali semua itu terasa seperti kesalahan besar.

"Jadi menurut Kakak… Mas Septian itu sama seperti Mas Irfan?" Riana kembali bertanya, kali ini dengan hati-hati.

Liliana tersenyum samar, lalu menatap langit-langit kamar. "Iya, kurang lebih begitu. Hanya saja ada satu hal yang berbeda."

Riana menelan ludah, hatinya mencelos. "Berbeda bagaimana, Kak?"

Liliana menoleh pelan ke arah adiknya. Sorot matanya teduh, namun mengandung sesuatu yang sulit diterka. "Septian itu punya tatapan yang susah dijaga. Kadang… bikin orang salah paham. Termasuk aku."

Jantung Riana berhenti berdetak mendengar penuturan sang kakak. Namun, di menit selanjutnya tawa kecil Liliana membuyarkan semuanya.

"Hahah, aku bercanda, Riana. Lagian kamu ini kenapa sih nanyanya aneh-aneh? Sudahlah, ini sudah malam. Sepertinya Lira nyaman tidur sama kamu. Aku balik dulu ke kamar, nitip ya…" Liliana langsung bangkit dan melangkah pergi tanpa menunggu jawaban.

"Ta… tapi, Kak," ucap Riana pelan, nyaris tak terdengar. Liliana sudah lenyap di balik pintu, menyisakan keheningan yang menekan dada.

Riana menatap wajah mungil Lira yang tenang dalam tidurnya. Jari-jarinya menyentuh lembut pipi bayi itu, seakan mencari sedikit penghiburan. "Lira… malam ini kamu tidur sama Tante, ya. Anggap saja… mungkin hari-hari terakhir kita bersama," bisiknya getir.

Perlahan ia merebahkan bayi itu di atas kasur, lalu ikut berbaring di sampingnya. Matanya terasa berat, hingga akhirnya ia terlelap dengan perasaan yang tak menentu.

***

Saat Adzan subuh baru saja berkumandang dan tangis Lira memecah keheningan. Riana terbangun dengan mata masih berat, lalu sigap meraih ponakannya. Ia menepuk-nepuk lembut punggung mungil itu dan memastikan apakah popoknya sudah penuh.

“Ponakan Tante haus ya? Ssst… ayo kita cari Mama dulu,” bisiknya pelan, berusaha menenangkan.

Namun, matanya menyapu seisi kamar tidak ada tanda-tanda keberadaan Liliana. Riana sempat mengecek suhu ranjang yang nyatanya begitu dingin, ia pun mengerutkan kening dan bertanya dalam hati, 'Apa Kak Liliana tidak kembali ke kamar semalam? Lalu di mana dia tidur?

Bayi itu menangis semakin keras, seolah ikut menambah kegelisahannya. Dengan langkah tergesa, Riana keluar, menelusuri lorong rumah. Hatinya diliputi rasa gundah yang semakin menekan.

Riana berhenti sejenak di depan dapur, dan kosong tidak ada tanda-tanda Liliana sedang menyiapkan susu atau apapun. Ruang tamu juga lengang, hanya cahaya lampu redup yang masih menyala sejak malam.

Rasa gundah itu berubah menjadi rasa takut yang sulit dijelaskan. Bayi kecil di gendongannya terus meronta, membuat Riana menempelkan pipi ke ubun-ubun mungil itu. “Tenang, Sayang… kita cari Mama ya,” bisiknya dengan suara bergetar.

Perlahan ia mendekati pintu kamar kakaknya. Nafasnya memburu. Jemarinya sempat ragu saat hendak mengetuk, namun akhirnya ia mendorong daun pintu itu perlahan.

Ciiiit—

Suara engsel berderit memecah keheningan, membuat jantungnya berdetak tak karuan. Dalam hati ia berdoa, semoga apa yang ia pikirkan tidak benar. Namun, ketika celah pintu semakin terbuka…

Riana terperangah melihat pemandangan di depan sana, seketika tubuhnya membeku. Ia hampir tak bisa bernapas. Tangannya yang memeluk Lira bergetar hebat, membuat bayi itu kembali menangis kencang. Tapi tangisan itu seakan lenyap di telinganya, kalah oleh suara hatinya yang remuk berulang kali.

Air mata mendesak keluar, namun tubuhnya terlalu kaku untuk bergerak. Ia hanya bisa berdiri di ambang pintu, menatap kenyataan pahit yang selama ini ia takutkan akhirnya nyata di depan mata.

“Mas… Kak…” bisiknya lirih, hampir tak terdengar.

Bab 3

Suara tangis Lira kian meninggi, menenggelamkan isak Riana yang tertahan di tenggorokannya. Tangisan itu sukses membangunkan Liliana yang tadi terlelap dalam pelukan Septian, begitu pun dengan Septian yang langsung tersentak. Keduanya membeku ketika mendapati Riana berdiri di ambang kamar, menggenggam Lira erat di dalam gendongannya.

“Rin… i–ini tidak seperti yang kamu pikirkan,” suara Liliana terdengar gemetar, panik, seolah sedang mencari alasan yang bisa menyelamatkan dirinya.

“Riana, jangan salah paham. Aku semalam cuma ketiduran di sini,” imbuh Septian, nadanya tergesa.

Riana menatap mereka bergantian. Lelaki yang ia sebut suami, dan kakak yang selalu ia percayai. Hatinya bergetar hebat, seakan tubuhnya tak lagi kuat menopang luka yang baru saja ia lihat. Ia ingin percaya… tapi bukankah jika ia percaya, ia sama saja sedang menertawakan dirinya sendiri? Menjadikan dirinya badut di dalam rumah tangganya sendiri.

“Tapi… aku jelas melihat kalian tadi…” suaranya pecah, lirih namun penuh dengan perih, cukup untuk membuat keduanya terdiam.

“Riana, aku tahu kamu pasti ragu, aku ngerti…” Liliana buru-buru menimpali, “Semalam setelah aku ganti baju, mataku nggak kuat lagi. Kamu tahu sendiri kan, aku gampang banget ketiduran. Dan soal yang tadi, kamu pasti juga tahu… kalau kita sudah di alam mimpi, mana mungkin sadar dengan sekitar.”

Melihat Riana masih ragu, kini giliran Septian melangkah maju mendekatinya. “Apa yang dikatakan kakakmu benar. Maaf, aku juga kelelahan semalam sampai tertidur setelah memberikan uang pada Liliana. Jangan salah paham lagi, Rin. Lagian… selain dia kakak iparku, dulu kita juga sahabatan. Tidur seperti ini sudah jadi hal yang biasa.”

Kata-kata itu menusuk dada Riana lebih dalam daripada apa pun. Tubuhnya kaku, seakan tak lagi sanggup berdiri. Ucapan Septian yang seolah meremehkan rasa sakitnya justru membuat air matanya jatuh tanpa kendali, membasahi pipi kecil Lira yang masih menangis di pelukannya.

Melihat tatapan Liliana dan Septian terarah padanya, Riana buru-buru menghapus sisa air matanya. Ia tidak ingin terlihat lemah, tidak ingin kedua orang yang ia cintai itu tahu betapa hancurnya dirinya saat ini. Padahal, ia sudah berusaha mengikhlaskan, sudah menyiapkan hati untuk kemungkinan terburuk. Tapi mengapa rasanya tetap begitu sakit, seolah ada belati yang berulang kali ditusukkan ke dalam dada?

“Rin…” suara Septian kembali terdengar, kali ini lebih lembut, seperti berusaha menenangkan. Namun bagi Riana, nada itu justru terdengar seperti penghinaan.

Ia menunduk, menatap Lira sejenak, lalu perlahan menyerahkan bayi itu ke dalam pelukan Liliana. “Iya, tenang saja. Sekarang Lira butuh asimu, Kak. Dari tadi dia tidak berhenti menangis.”

Liliana menerima Lira dengan wajah bingung, tapi ia tidak diam saja. Liliana sekali lagi ingin meyakinkan Riana, ia pun berkata, “Rin, tolong percaya sama aku. Aku nggak mungkin…”

Namun Riana segera mundur selangkah, menghindari sentuhan kakaknya. Sorot matanya basah, tapi kali ini ada ketegasan samar di balik air mata. “Kalian nggak perlu repot menjelaskan lagi. Aku sudah mengerti.”

“Syukurlah,” ucap Liliana pelan, sebelum membalikkan badan dan mulai menyusui Lira.

Sementara itu, Riana mengalihkan pandangan pada Septian. Suaranya terdengar datar, dingin, tanpa emosi, namun justru menohok lebih dalam. “Mas, masih mau di kamar ini dan membantu Kak Lili? Kalau iya, aku keluar dulu.”

Riana langsung berbalik, namun Septian segera mengejarnya. Begitu pintu tertutup, ia mencengkeram lengan istrinya. Saat Riana menoleh, jelas terlihat di matanya hanya ada kebencian untuknya. Septian sulit mempercayai hal itu. Bukankah selama ini Riana begitu mencintainya? Ia rela menjadi ibu rumah tangga, mengurus segala kebutuhannya tanpa bantuan pembantu, bahkan selalu menuruti setiap ucapannya.

Dengan kasar namun penuh rasa takut kehilangan, Septian menarik tangan Riana hingga tubuh kurus itu terperangkap dalam dekapannya. “Sayang, jangan marah lagi, ya. Aku sungguh tidak bermaksud begitu. Ini semua hanya salah paham.”

Dalam pelukan Septian, Riana tertawa hambar. Dulu, pelukan ini selalu ia nantikan. Namun kini, pelukan itu tak lagi memberi rasa hangat. Tubuhnya kaku, sama sekali tidak merespons. Air matanya justru jatuh tanpa suara, membasahi bahu Septian.

“Lepaskan, Mas…” bisiknya lirih, namun tegas.

“Kalau kamu masih marah, aku nggak akan melepaskanmu,” ucap Septian, suaranya bergetar, mencoba terdengar tegas padahal jelas diliputi cemas.

Namun, sikap Riana yang hanya pasrah justru membuat dadanya semakin sesak. Dengan berat hati, Septian akhirnya melonggarkan pelukan, lalu menangkup bahu istrinya. Kedua matanya menatap dalam, seakan ingin meyakinkan Riana dengan tulusnya cinta yang selama lima tahun ini ia buktikan.

“Baiklah… anggap saja apa yang kamu lihat tadi memang bikin kamu ragu. Tapi, Riana, aku sungguh mencintaimu. Aku nggak mungkin ada apa-apa sama kakakmu. Kamu tahu sendiri kan, dulu kami memang dekat, sahabatan sejak lama.” Nada suaranya lembut, penuh harap agar istrinya mau percaya.

Riana tetap diam. Matanya kosong, menolak memberi celah bagi kata-kata itu.

Dengan tergesa, Septian mengangkat dua jarinya, seolah mengucap sumpah. “Aku janji, ini nggak akan terulang lagi. Kalau ngantuk, aku akan langsung kembali ke ruang kerja dan tidur di sana. Oke?”

‘Bahkan kamu nggak bilang kalau akan tidur di kamar kita. Apa benar itu cintamu, Mas?’ batin Riana, getir.

Melihat Riana masih terdiam, Septian kembali mencoba menggapainya. “Riana, kamu ingat kan… hari ini hari aku melamarmu dulu. Sebagai peringatan, ayo kita makan malam di luar. Aku pengen kita mengenang itu lagi.”

Riana terdiam cukup lama. Hatinya masih perih, luka itu masih menganga. Namun saat tatapannya bersirobok dengan mata Septian yang memohon, bayangan awal kebersamaan mereka perlahan muncul, masa di mana cinta itu begitu sederhana dan tulus.

Air matanya kembali jatuh. Bukan lagi karena amarah, melainkan kerinduan pada sosok Septian yang dulu.

“Mas…” bisiknya pelan. “Kenapa kamu selalu tahu cara bikin aku goyah?”

Septian segera meraih tangan Riana, menggenggam erat. “Karena aku nggak pernah ingin kehilanganmu, Sayang. Kamu duniaku. Percayalah, nggak ada yang bisa gantiin posisi kamu di hati aku.”

Riana menunduk. Hatinya berperang antara logika dan cinta. Namun akhirnya, ia mengangguk kecil, bukan karena pasrah, tapi karena ingin menguji Septian untuk yang terakhir kalinya.

“Baiklah…” ucapnya lirih, nyaris tak terdengar. “Aku ikut makan malam itu, Mas.”

Senyum lega langsung merekah di wajah Septian. Ia menarik Riana kembali ke dalam pelukannya, kali ini lebih lembut, seakan berjanji dalam diam untuk menjaga apa yang hampir berada di ujung tanduk.

"Terimakasih, Sayang," ucap Septian lalu melepas pelukannya dan mencium kening Riana.

Pagi itu semua nampak kembali seperti biasanya. Hingga waktu sarapan datang, Riana sudah selesai memasak nasi goreng menu kesukaan Septian dan menyajikan di atas meja.

“Nasi goreng dengan telur ceplok kesukaanmu, Mas,” ucapnya pelan.

Septian menatapnya sambil tersenyum, lalu mulai menyantap Sarapan itu. Riana ikut duduk di seberang, meski hatinya masih digelayuti rasa was-was yang sulit ia pahami.

Suasana meja makan begitu hening. Hanya denting sendok dan garpu yang terdengar, sampai tiba-tiba suara langkah mendekat dari arah lorong.

Riana menoleh, dan jantungnya seketika berhenti berdetak.

Liliana muncul dari balik pintu kamar dengan rambut masih acak-acakan, wajah tanpa riasan, namun yang paling membuat Riana terperanjat adalah pakaian yang dikenakannya, sebuah camisole tipis berwarna hitam yang jelas-jelas terlalu terbuka untuk dikenakan di depan iparnya sendiri.

Sendok di tangan Riana terjatuh membentur lantai.

Sementara Septian, alih-alih menoleh ke arah istrinya, justru buru-buru mengalihkan pandangan, seakan tak ingin terlihat terlalu memperhatikan Liliana.

Dalam hati Riana menjerit, “Astaga, Kak… apa maksudmu keluar dengan pakaian seperti itu?”

Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!

Download Novel PDF
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!