Aliya berdiri membeku. Matanya menatap lurus ke arah Haris, pria yang selama ini ia yakini akan menjadi pasangan hidupnya. Suara yang baru saja meluncur dari bibir Haris bagaikan petir di siang bolong, menghantam seluruh pertahanannya hingga luluh lantak.
“Apa, Mas? Kamu batalin pernikahan kita?” suara Aliya bergetar, nyaris tak terdengar.
Haris menundukkan kepala, sorot matanya tidak berani bertemu dengan mata Aliya. “Maaf, Aliya… tapi hatiku tidak bisa berbohong. Aku mencintai adikmu, Lisa.”
Sejenak dunia seakan berhenti berputar bagi Aliya. Telinganya berdengung, dadanya seperti ditindih batu besar. Ia menggelengkan kepala, berusaha menepis kenyataan yang baru saja ia dengar.
“Tidak mungkin…” bisiknya lirih. “Kamu bercanda, kan, Mas? Katakan kalau ini cuma lelucon bodoh…”
Namun Haris tetap diam, wajahnya penuh penyesalan sekaligus keyakinan.
“Tolong restui kami, Al,” ucap Haris akhirnya, suaranya terdengar memohon. “Lisa bilang, dia tidak akan mau menikah denganku jika kamu tidak merestui.”
Tatapan Aliya langsung berubah. Mata yang semula berkaca-kaca kini dipenuhi api kebencian. “Kamu gila, Haris! Bagaimana bisa aku merestui kalian? Kamu itu tunanganku! Dan Lisa itu adikku… ADIKKU, Haris!”
Nada suaranya meninggi, penuh luka sekaligus marah. Ia tidak tahan lagi berdiri di depan Haris. Dengan langkah tergesa, Aliya pergi meninggalkan restoran tempat mereka bertemu sore itu.
⸻
Udara malam menusuk kulit saat Aliya keluar dari mobil dan melangkah masuk ke rumah. Jiwanya kacau, pikirannya berantakan. Baru seminggu lagi ia akan menikah, gaun pengantin sudah siap, undangan sudah disebarkan. Tapi kini semuanya runtuh hanya dalam hitungan menit.
Begitu ia membuka pintu rumah, aroma masakan hangat menyambutnya. Dari dapur, ia melihat Lisa tengah menyiapkan makan malam bersama Ibu Dini. Wajah Lisa tampak tenang, seakan tidak ada dosa yang membebaninya.
Sementara itu, Ayah Rudi dan Bimo, kakak tertua mereka, duduk di ruang tengah sambil bermain catur. Suasana rumah begitu hangat dan damai—berbanding terbalik dengan badai yang sedang melanda hati Aliya.
“Aliya,” panggil Ayah Rudi ketika melihat putrinya berjalan masuk dengan wajah kacau.
Aliya terhenti. Langkahnya terasa berat. Ayahnya kemudian bangkit, mendekat ke arahnya. “Ada apa denganmu, Nak?”
Pertanyaan itu membuat Ibu Dini menghentikan aktivitasnya di dapur. Ia segera menghampiri putrinya dengan wajah penuh kekhawatiran. “Ya Tuhan, Al… kamu kenapa?”
Namun Aliya tidak langsung menjawab. Tatapannya justru terarah pada Lisa, yang masih berdiri di sisi meja makan dengan wajah sedikit kaku. Amarah membuncah dalam dirinya.
“Tanya saja pada putri bungsu Ibu itu,” ucap Aliya dengan nada tajam.
Lisa terdiam, wajahnya mendadak pucat.
“Lisa?” Ibu Dini menoleh ke arah putri bungsunya. “Ada masalah apa? Apa yang terjadi?”
Aliya tidak mampu lagi menahan dirinya. Air matanya jatuh, bercampur dengan suara parau yang pecah dari bibirnya. “Lisa mengkhianatiku, Bu. Di belakangku, Lisa dan Mas Haris berselingkuh. Bahkan mereka sudah merencanakan pernikahan. Haris sendiri yang mengakuinya padaku barusan.”
Seisi ruangan terdiam. Suasana yang tadinya hangat kini berubah mencekam.
“Ya Tuhan…” desah Ibu Dini, nyaris tidak percaya dengan apa yang ia dengar.
“Lisa, apa itu benar?” suara Ayah Rudi tegas, matanya menatap lurus pada putri bungsunya.
Bimo ikut berdiri, menatap adik-adiknya dengan raut bingung. “Al, kamu nggak salah dengar? Kamu yakin?”
Aliya menggeleng, matanya sembab. “Aku dengar sendiri dari mulut Mas Haris.”
Kini semua sorot mata beralih ke Lisa.
Ibu Dini melangkah mendekat, suaranya gemetar. “Lisa… benarkah apa yang dikatakan kakakmu?”
Lisa menggigit bibir, tubuhnya kaku. Air mata perlahan mengalir di pipinya. “Aku… aku nggak bermaksud menyakiti Kak Aliya. Tapi aku… aku mencintai Mas Haris.”
Plak!
Tamparan keras mendarat di pipinya, membuat semua orang terkejut. Aliya berdiri di hadapannya, tangan masih bergetar.
“Kamu tega, Lis?” suara Aliya serak, penuh kepedihan. “Aku selalu melindungi kamu, aku selalu membela kamu… tapi ini balasanmu? Merebut calon suamiku sendiri?”
Lisa terisak, wajahnya tertunduk. “Aku nggak bisa mengendalikan perasaan ini, Kak…”
“Cukup, Lisa!” suara Ayah Rudi menggelegar. “Kamu sadar nggak apa yang kamu lakukan? Kamu mempermalukan keluarga ini!”
Lisa menangis semakin keras. “Aku nggak mau seperti ini, Yah… tapi aku juga nggak bisa membohongi hati aku.”
“Kalau kamu masih punya harga diri, kamu harus putuskan semua ini sekarang juga,” sahut Bimo dingin. “Kamu udah bikin Aliya hancur.”
Aliya tidak sanggup lagi berada di sana. Dengan langkah gontai ia kembali ke kamarnya, menutup pintu dengan keras.
⸻
Di dalam kamar, tangis Aliya pecah tanpa bisa dibendung. Ia memeluk bantal erat-erat, mencoba meredam suara isaknya. Semua kenangan bersama Haris kini terasa seperti luka yang menusuk hati.
“Kenapa harus aku, Tuhan…” bisiknya lirih. “Kenapa harus adikku sendiri yang menghancurkan hidupku?”
Setiap detik terasa menyiksa. Rencana pernikahan yang sudah ia bayangkan, masa depan yang sudah ia rangkai, kini lenyap begitu saja. Yang tersisa hanya kehancuran.
⸻
Di ruang tengah, Lisa masih menangis di hadapan orang tuanya. Ibu Dini duduk di sampingnya, wajahnya penuh kekecewaan. “Kenapa kamu bisa tega, Nak? Dia kakakmu sendiri…”
Lisa mengguncang kepala, suaranya lirih. “Aku nggak tahu, Bu… semua ini terjadi begitu saja. Mas Haris bilang dia juga mencintaiku.”
“Cinta?” Bimo mendengus. “Cinta macam apa yang tega menghancurkan keluarga sendiri?”
Ayah Rudi menghela napas panjang. Sorot matanya dingin, suaranya penuh wibawa. “Mulai malam ini, tidak ada lagi hubunganmu dengan Haris. Ayah akan bicarakan dengan keluarganya besok. Ayah tidak mau keluarga kita hancur karena kebodohan ini.”
Lisa terdiam, hanya mampu menangis.
⸻
Malam itu rumah keluarga Rudi tidak lagi hangat seperti biasanya. Ada dinding yang retak, ada hati yang hancur, ada kepercayaan yang runtuh.
Dan di kamar, Aliya menatap langit-langit dengan mata bengkak, berbisik lirih pada dirinya sendiri:
“Kalau cinta bisa sekejam ini, lebih baik aku tidak pernah mengenalnya…”
Malam itu seisi rumah keluarga Rudi masih diselimuti suasana tegang. Setelah pertengkaran besar yang pecah beberapa jam lalu, masing-masing orang memilih diam di kamar mereka. Hanya suara jam dinding yang terdengar, berdetak pelan memecah keheningan.
Aliya masih terisak di balik pintu kamarnya. Mata bengkaknya menatap langit-langit dengan kosong. Sementara itu, di kamar lain, Lisa berbaring gelisah. Pipinya masih perih bekas tamparan Aliya, tetapi hatinya lebih perih lagi membayangkan kemungkinan berpisah dari Haris.
Waktu terus berjalan. Jarum jam menunjuk pukul sebelas malam ketika Lisa tiba-tiba duduk tegak di ranjangnya. Ia tidak tahan lagi. Rasa takut, sesal, dan cinta bercampur menjadi satu, membuatnya memberanikan diri untuk keluar diam-diam.
Dengan langkah perlahan agar tidak terdengar, Lisa membuka pintu kamarnya. Koridor rumah gelap, hanya diterangi cahaya redup dari lampu taman yang masuk melalui jendela. Ia menahan napas setiap kali lantai kayu berderit. Setelah memastikan aman, Lisa segera keluar rumah dan menutup pintu pelan-pelan.
Udara malam terasa dingin menusuk, tapi Lisa tidak peduli. Ia melangkah cepat menuju tikungan jalan, tempat Haris sudah menunggu dengan mobilnya.
“Haris…” panggil Lisa lirih saat pintu mobil terbuka.
Haris segera berdiri, lalu memegang tangan Lisa erat-erat. “Kamu baik-baik saja, kan? Aku khawatir sekali.”
Begitu melihat wajah Haris, tangis Lisa pecah. Ia langsung memeluk pria itu, membiarkan air matanya jatuh di bahu yang selama ini selalu ia idamkan. “Kamu tahu nggak, Mas… semua orang marah sama aku. Kak Aliya, Ayah, Kak Bimo… bahkan Ibu pun kecewa. Semua karena kita.”
Haris mengusap punggung Lisa dengan lembut. “Tenang, Lis… jangan takut. Aku di sini buat kamu. Aku nggak akan mundur. Aku akan tetap perjuangkan cinta kita.”
Lisa menggeleng dengan wajah basah. “Tapi Kak Aliya sakit hati banget. Ayah juga murka. Mereka nggak akan pernah setuju, Mas. Aku takut kehilangan kamu.”
Haris menangkup wajah Lisa dengan kedua tangannya, menatapnya dalam-dalam. “Dengar aku baik-baik. Kita sudah sejauh ini. Aku nggak peduli omongan orang, aku nggak peduli penolakan siapa pun. Satu yang aku tahu, aku cinta sama kamu. Jadi, kamu jangan pernah lepasin aku, ya.”
Lisa menatap mata Haris yang penuh keyakinan. Meski hatinya goyah, kata-kata pria itu seperti suntikan keberanian. Ia mengangguk kecil, masih terisak.
“Aku bakal bujuk Ayah dan Ibu kamu,” lanjut Haris. “Kalau perlu, aku temui mereka langsung. Tapi kamu juga harus berani bicara. Tunjukin kalau perasaanmu tulus. Jangan biarkan mereka memutuskan hidupmu.”
Lisa menarik napas panjang, mencoba menguatkan diri. “Baik, Mas. Aku akan bicara sama mereka besok. Tapi kalau mereka tetap nggak setuju… aku rela pergi dari rumah.”
Haris terdiam sesaat, menatap Lisa penuh kebanggaan sekaligus khawatir. Ia kemudian menarik Lisa ke dalam pelukan hangatnya. “Aku janji, Lis… apa pun yang terjadi, aku nggak akan ninggalin kamu.”
⸻
Keesokan harinya, pagi rumah keluarga Rudi tidak lagi sama. Aliya duduk termenung di meja makan, wajahnya pucat dan lelah. Ia hampir tidak tidur semalaman, terlalu sibuk memikirkan penghianatan yang menyesakkan.
Ibu Dini mencoba bersikap biasa saja, menyiapkan sarapan seperti biasanya. Namun tangannya gemetar ketika menyendok sup ke mangkuk. Ayah Rudi membaca koran, meski jelas matanya tidak benar-benar fokus. Sementara Bimo duduk dengan wajah kaku, suasana hatinya masih gelap.
Lisa baru turun dari kamarnya, melangkah dengan wajah tegang. Semua mata langsung tertuju padanya. Aliya menunduk, menolak melihat adiknya.
“Ayah, Ibu…” suara Lisa terdengar pelan, namun tegas. Ia berdiri di ujung meja, kedua tangannya saling menggenggam. “Aku mau bicara sesuatu.”
Ayah Rudi menurunkan koran, menatap tajam pada putrinya. “Apa lagi yang mau kamu katakan, Lisa?”
Lisa menelan ludah, lalu memberanikan diri. “Aku… aku mencintai Mas Haris. Dan aku ingin kalian merestui hubungan kami.”
Suasana meja makan langsung menegang. Sendok di tangan Ibu Dini jatuh menimbulkan bunyi keras. Aliya menegang, lalu menatap Lisa dengan mata penuh amarah.
“Kamu gila, Lis!” bentak Aliya. “Setelah semua yang kamu lakuin, kamu masih berani minta restu?”
Lisa menatap balik kakaknya dengan mata berkaca-kaca. “Aku tahu aku salah, Kak. Tapi aku nggak bisa hidup tanpa dia. Aku mencintainya. Aku serius. Aku mohon, jangan halangi aku.”
“Cukup, Lisa!” potong Bimo dengan suara keras. “Kamu sadar nggak, apa yang kamu bilang ini? Kamu tega hancurin hidup kakakmu sendiri demi ego kamu?”
Lisa menggertakkan gigi, suaranya meninggi. “Kalau Ayah, Ibu, Kakak, bahkan Kak Aliya sekalipun nggak bisa mengerti, maka… aku lebih baik pergi dari rumah!”
Semua orang membelalak kaget.
“Lisa!” seru Ibu Dini. “Kamu bicara apa, Nak?”
“Aku serius, Bu.” Air mata jatuh di pipi Lisa, tetapi suaranya mantap. “Kalau aku nggak diizinkan bersama Mas Haris, aku akan pergi. Aku akan hidup dengan pilihanku sendiri.”
Hening. Tidak ada yang bersuara. Ancaman itu mengguncang hati semua orang, terutama Ibu Dini. Ia menatap putrinya dengan wajah sedih.
“Jangan begitu, Lis…” ucapnya lirih. “Ibu nggak sanggup kehilangan kamu. Kamu anak bungsu Ibu… kalau kamu pergi, bagaimana Ibu bisa tenang?”
Ayah Rudi menatap istrinya, lalu menutup mata sejenak. Wajahnya penuh dilema. Ia tahu memberi restu berarti menyakiti Aliya, tetapi menolak berarti mempertaruhkan Lisa pergi dari rumah.
Akhirnya ia menghela napas panjang. “Baiklah. Kalau itu yang kamu mau, Lisa… Ayah dan Ibu merestui hubunganmu dengan Haris.”
“Yah!” Bimo terkejut, nadanya penuh protes.
Aliya menoleh dengan mata membelalak, hatinya serasa ditikam berkali-kali. “Jadi… begitu mudahnya Ayah dan Ibu menyerah pada ancaman Lisa? Bagaimana dengan aku? Aku ini anak kalian juga!”
Air matanya jatuh deras. “Sejak dulu, aku selalu dipaksa mengalah. Waktu Kak Bimo butuh biaya kuliah, aku rela nggak masuk organisasi kampus. Waktu Lisa minta main ke luar kota, aku yang disuruh menjaga rumah. Dan sekarang? Sekarang aku harus mengalah lagi… bahkan untuk calon suamiku sendiri!”
Suasana meja makan pecah. Isak tangis Aliya menggema, membuat semua orang terdiam. Tidak ada yang mampu menjawab tuduhannya, karena memang itulah kenyataan yang selama ini terjadi.
Aliya berdiri, menatap orang tuanya dengan tatapan penuh luka. “Kalian nggak pernah adil. Seumur hidupku, aku selalu jadi bayangan. Anak tengah yang harus mengalah, anak tengah yang harus paham. Dan sekarang… aku bukan hanya kehilangan Haris, tapi juga kehilangan rasa percaya pada kalian.”
Ia berlari menuju kamarnya, membanting pintu dengan keras.
⸻
Di kamar, Aliya terisak tak terkendali. Hatinya hancur berkeping-keping. Bukan hanya dikhianati oleh tunangan dan adiknya, tetapi juga oleh kedua orang tuanya sendiri. Restu yang mereka berikan pada Lisa adalah pukulan terbesar bagi dirinya.
Sementara itu, di ruang makan, Lisa masih berdiri dengan air mata yang terus jatuh. Meski sudah mendapatkan restu, wajahnya tidak memancarkan kebahagiaan. Ada rasa bersalah yang menekan dadanya, tetapi ia memilih menutup mata.
Ayah Rudi menunduk, merasa gagal sebagai kepala keluarga. Ibu Dini terisak, memeluk Lisa sambil berkata lirih, “Ibu hanya ingin kamu tetap di sisi Ibu…”
Namun mereka lupa, di kamar ada seorang anak perempuan yang hatinya remuk karena selalu dijadikan pilihan terakhir.
Dan malam itu, Aliya bersumpah dalam hati:
Jika cinta dan keluarga hanya membuatnya hancur, ia akan berdiri sendiri, tanpa siapa pun.
Hari-hari menjelang pernikahan itu tiba bagai pisau yang perlahan menusuk hati Aliya. Semua yang ia lihat di rumah kini hanya berkisar pada satu topik: pesta besar yang akan digelar untuk menyatukan Lisa dan Haris. Di ruang tamu, undangan pernikahan menumpuk di atas meja, sebagian sudah siap dikirim, sebagian lagi tengah diperiksa ulang oleh Ibu Dini. Di halaman rumah, beberapa orang vendor datang silih berganti untuk berdiskusi mengenai dekorasi, tata rias, dan menu makanan. Semua sibuk, semua bersemangat—kecuali Aliya.
Bagi Aliya, hiruk pikuk itu terasa seperti ejekan. Setiap kali ia melihat nama Haris berdampingan dengan nama Lisa di undangan, hatinya seperti diremas. Itu seharusnya namanya. Itu seharusnya menjadi hari bahagianya. Namun kini, takdir menjelma seperti perampok yang datang tiba-tiba, merebut kebahagiaan yang telah lama ia impikan.
Malam itu, ketika semua orang larut dalam pembicaraan tentang gaun pengantin dan daftar tamu, Aliya duduk di sudut kamarnya. Matanya menatap kosong ke arah koper besar yang telah setengah terisi pakaian. Tangannya gemetar saat melipat baju-bajunya. Setiap lipatan adalah tekad, setiap pakaian yang masuk ke dalam koper adalah doa kecil agar ia bisa meninggalkan semua luka di rumah itu.
“Aliya, kamu tidak boleh pergi.” Suara Ibu Dini terdengar dari ambang pintu. Wajahnya tampak tegang, matanya sedikit memerah. “Bagaimana nanti perkataan tetangga? Mereka akan bilang kamu lari dari rumah karena tidak merestui adikmu menikah dengan Haris.”
Aliya menahan napas. Dadanya terasa sesak. Ia menutup koper perlahan, lalu menoleh dengan mata yang basah. “Ibu…” lirihnya, suaranya nyaris pecah. “Ibu peduli dengan omongan tetangga, tapi Ibu tidak pernah peduli dengan perasaanku—anak Ibu sendiri.”
“Bukan begitu maksud Ibu,” sanggah Ibu Dini cepat, langkahnya maju mendekati Aliya. “Ibu hanya ingin semuanya terlihat baik-baik saja. Ibu ingin keluarga kita tidak jadi bahan omongan orang.”
Aliya tertawa miris, tawanya penuh getir. “Lalu apa, Bu? Apa Ibu pikir aku masih bisa berdiri di depan para tamu, menyaksikan adik kandungku sendiri menikah dengan lelaki yang seharusnya menjadi suamiku? Apa Ibu ingin aku tersenyum palsu di hadapan semua orang, sementara hatiku hancur berkeping-keping?”
Ibu Dini terdiam. Bibirnya bergetar, namun tak ada kata yang keluar.
“Ibu ingin aku terlihat baik-baik saja,” lanjut Aliya dengan suara bergetar, “tanpa pernah mau melihat bahwa aku hancur. Hancur karena Lisa, hancur karena Haris, dan lebih hancur lagi karena restu yang Ibu berikan. Ibu lebih peduli pada anak bungsu Ibu daripada aku.”
“Aliya, jangan bicara begitu,” ucap Ibu Dini pelan, seakan mencoba menenangkan. “Ini takdir, Nak. Harusnya kamu bisa legowo menerima takdir yang sudah Allah tentukan.”
Aliya menggelengkan kepalanya dengan air mata yang kini jatuh tanpa bisa ia tahan. “Takdir? Tidak, Bu. Ini bukan takdir. Ini pengkhianatan. Dan Ibu… Ibu memilih untuk menutup mata.”
⸻
Hari-hari berikutnya berjalan semakin menyiksa. Lisa tampak bahagia, berjalan ke sana kemari dengan wajah berseri. Ia mencoba beberapa gaun pengantin, tertawa bersama Ibu Dini, dan bahkan sesekali menggoda Bimo agar membantunya memilih meski Bimo terlihat acuh. Rumah yang dulu hangat kini terasa asing bagi Aliya. Setiap sudut rumah menjadi saksi bagaimana ia dilupakan.
Bimo, sang kakak, sebenarnya memperhatikan. Ia beberapa kali mengetuk pintu kamar Aliya, mencoba mengajak bicara. Namun Aliya terlalu lelah untuk menjelaskan luka yang terus terbuka. Ia hanya berkata singkat, “Aku baik-baik saja, Kak,” meski jelas-jelas ia tidak baik-baik saja.
Di luar, Ayah Rudi lebih banyak diam. Ia tampak tak kuasa menolak permintaan Lisa yang keras kepala, sementara hati kecilnya sebenarnya masih ingin melindungi Aliya. Namun ancaman Lisa untuk meninggalkan rumah jika tak direstui membuatnya menyerah. Ia memilih jalan aman—jalan yang bagi Aliya terasa paling kejam.
Malam itu, Aliya kembali duduk di depan koper yang kini sudah penuh. Ia tahu, waktunya semakin dekat. Ia tidak bisa lagi menunda. Ia tidak ingin menjadi saksi pesta yang hanya akan menorehkan luka baru di hatinya. Ia ingin pergi, jauh dari semua orang yang ia cintai namun juga menyakitinya.
Tiba-tiba pintu kamarnya diketuk. “Al…” suara Ibu Dini terdengar lagi.
Aliya menghela napas panjang, lalu membuka pintu. Wajah ibunya tampak letih, namun matanya masih sama—mata yang selalu melunak untuk Lisa.
“Aliya, tolong pertimbangkan lagi,” pinta Ibu Dini. “Kalau kamu pergi, apa kata orang nanti? Mereka akan menyangka keluarga kita tidak rukun. Lisa juga pasti merasa bersalah kalau kamu tidak hadir di pernikahannya.”
Aliya menatap ibunya dengan mata yang penuh luka. “Lisa merasa bersalah? Tidak, Bu. Kalau dia benar-benar merasa bersalah, dia tidak akan merebut Haris dariku. Dia tidak akan berdiri di depan Ibu sambil tersenyum, meminta restu untuk menikahi tunanganku. Jangan bilang Lisa akan merasa bersalah, karena kenyataannya dia bahagia, Bu. Bahagia atas penderitaanku.”
“Aliya…” suara Ibu Dini melemah.
“Kenapa, Bu?” suara Aliya meninggi. “Kenapa selalu Lisa? Sejak kecil aku selalu disuruh mengalah. Kalau aku bertengkar dengan Lisa, aku yang disalahkan. Kalau Lisa menangis, aku yang diminta minta maaf. Sekarang pun sama, Bu. Aku yang harus mengalah, aku yang harus legowo, sementara Lisa mendapatkan segalanya. Sampai kapan, Bu? Sampai aku mati?”
Air mata Ibu Dini jatuh, tapi Aliya tidak bisa lagi merasakan simpati. Hatinya terlalu penuh dengan kekecewaan.
“Ibu boleh tetap mendukung Lisa,” kata Aliya tegas, suaranya kini tenang namun menusuk. “Tapi aku tidak bisa tinggal di sini. Aku tidak bisa pura-pura bahagia melihat pernikahan itu. Aku akan pergi, Bu. Entah kemana, aku akan cari jalan sendiri.”
⸻
Malam semakin larut. Di luar, suara jangkrik menemani langkah Aliya yang menutup koper dengan rapat setelah memeriksa perlengkapannya kembali. Hatinya berat, namun keputusannya bulat. Ia menatap sekeliling kamarnya untuk terakhir kalinya—tempat ia tumbuh, tertawa, menangis, dan bermimpi. Kini semua itu hanya tinggal kenangan.
Di ruang tamu, Ibu Dini masih duduk sambil menutup wajah dengan kedua tangannya. Ayah Rudi berdiri di sampingnya, bingung harus berkata apa. Bimo hanya bisa terdiam, menatap kosong ke arah pintu kamar Aliya. Tidak ada yang benar-benar bisa menghentikan Aliya kali ini.
Sementara di kamar sebelah, Lisa sedang tersenyum sendiri, membayangkan hari pernikahannya yang semakin dekat. Ia tidak tahu, atau mungkin tidak peduli, bahwa kebahagiaannya dibayar dengan kehancuran hati kakaknya sendiri.
Dan di dalam kamar itu, Aliya berbisik pada dirinya sendiri, “Aku akan pergi. Aku harus pergi. Jika tidak, aku tidak akan pernah bisa sembuh.”
Dengan tekad yang bulat, Aliya menutup matanya, membiarkan air mata terakhir jatuh, lalu berjanji pada dirinya sendiri: esok, ia akan melangkah keluar dari rumah itu—dan tidak menoleh lagi.
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!