Di bawah tumpukan mayat, seorang pria terbaring gemetar, tubuhnya berlumuran darah.
Ia hampir tak bisa lagi mengendalikan tubuhnya. Hanya bisa menyaksikan para pemuda berjubah emas membantai penduduk desa tanpa belas kasihan.
Tak jauh dari sana, pria itu melihat seorang wanita yang sangat ia kenal berdiri anggun dengan gaun hijaunya.
Wanita yang telah menghabiskan waktu bersamanya cukup lama—wanita yang dulu ia selamatkan dari cengkeraman binatang buas—berdiri tenang, tersenyum puas di tengah tragedi.
“Kenapa…harus….kamu?” bisiknya serak.
Pembantaian terus berlanjut, satu per satu para penduduk desa mulai berlarian ke segala arah, kekacauan terjadi, teriakan minta tolong bergema, namun pria itu hanya melihat wanita itu.
Akhirnya, kesadaran pria itu jatuh kedalam kegelapan.
***
Di medan perang yang sunyi, terlihat pemandangan sangat mengerikan: tanah dipenuhi mayat manusia dan binatang iblis, sungai mengalir merah oleh darah.
Dari ribuan jiwa yang gugur, kini hanya tersisa dua yang masih bernapas—seorang marsekal muda yang sekarat dan seorang prajurit biasa yang kondisinya jauh lebih baik.
“Pergilah…sampaikan pada Kaisar bahwa aku tidak mengecewakannya. Kuharap beliau merawat keluargaku,” bisik marsekal lemah.
Prajurit itu mendengus. “Marsekal, kau terlalu naif. Gelombang binatang yang tidak biasa ini hanyalah rekayasa untuk menyingkirkan mu—seorang marsekal muda dari keluarga biasa yang sedang naik daun. Saat ini orang-orang tua dari keluarga besar itu pasti sedang membahas pembagian aset milikmu.”
"Kamu hanya alat yang bisa diganti kapan saja." lanjut prajurit itu.
Marsekal muda terdiam, pikirannya mulai tenggelam dalam ingatan masa lalu, menyadari rentang hidupnya mulai habis, ia perlahan menyadari arti posisinya dari pandangan para penguasa.
Dengan sisa tenaga, ia menyerahkan sebuah kunci dan gulungan,
“Ambil ini…kuharap, kamu memberikan setengah harta tersebut jika terjadi sesuatu pada keluargaku” Setelah itu, ia menghembuskan nafas terakhir.
Disisi lain, prajurit itu menatapnya dengan iba, lalu menguburkan jasadnya di bawah pohon. Tanpa menoleh, ia melepas seragamnya, membawa kunci dan gulungan, lalu pergi meninggalkan medan perang.
***
Pagi itu, kota kecil yang semula cerah perlahan diliputi kegelapan. Dari langit turun energi pemusnahan yang menutup rapat setiap jalan keluar.
Di tengah pesta pernikahan, kegembiraan berubah jadi jeritan; orang-orang berlarian tanpa arah, mencari harapan di tengah kehancuran.
Sang pengantin pria menatap langit dengan putus asa, lalu berbalik menatap wanita di sisinya. Dengan tangan gemetar, ia mengeluarkan token pemecah batas, harta yang ia simpan demi hidupnya—dan tanpa ragu, ia memaksa pengantin wanita mengambilnya.
“Pergilah” ucap pengantin pria dengan senyum hangat menghiasi wajah.
Wanita itu menatap calon suaminya, dengan nafas panjang, ia mengambilnya tanpa ragu. Segera, wanita itu menghilang.
BOOM!
Seketika suara ledakan bergema, segera, kehidupan dalam radius dua puluh kilometer musnah tanpa jejak.
***
Di sebuah ruangan sempit bercahaya lampu minyak redup, seorang cendekiawan duduk bersandar di meja kayu penuh dengan gulungan naskah yang berantakan. Wajahnya muram, tangannya gemetar saat menuang minuman ke cawan lalu diteguknya.
Bau arak bercampur debu buku. Matanya merah, tawanya getir, seolah menertawakan hidup yang terlalu berat. Ia berteriak, “Begitu beratnya hidup ini…hahaha.. padahal aku tak melakukan kesalahan apapun. Kenapa ini terjadi padaku?..kenapa ” Ia berdiri terhuyung, bahkan cawannya hampir terlepas.
Dengan pikiran kabur, ia meraih botol minuman baru, menuang, lalu meneguk lagi. Namun rasa pahit asing menusuk lidahnya, dadanya sesak, pandangan buram. Tubuhnya gemetar, cawan pecah di lantai, nafas mulai terputus-putus, lalu terbaring tak bangkit lagi—mengakhiri hidupnya dalam kesunyian.
***
“Crukk!”
Suara pedang menembus dada seorang pria itu, darahnya memercik membasahi bilah. Tubuhnya berlumuran darah segar, ia menatap adik angkatnya sambil tersenyum tipis.
“Hiduplah dengan baik”
***
Di sebuah ruang serba putih. Pemandangan monokrom membentang tanpa batas, hanya ada sebuah ayunan sederhana dan gelembung-gelembung yang memproyeksikan segala sesuatu.
Di atas ayunan duduk seorang wanita anggun. Ia hanya mengenakan jubah putih sederhana. Rambut panjangnya tergerai hingga pinggang, memantulkan kilau lembut. Kehadirannya seakan menyatu dengan ruang tak berbatas itu.
Gelembung-gelembung di sekelilingnya menari perlahan, menampilkan tak terhitung banyaknya peristiwa. Perlahan, ia melepaskan kesadarannya.
Segera, beberapa gelembung berhenti di hadapannya. Ia menarik nafas panjang, lalu berkata : “Sembilan puluh delapan kehidupan…enam puluh tiga berakhir karena wanita, sisanya...Aihh...konsep hubungan terlalu rumit untuk dipahami"
Begitu kata-katanya selesai, aura besar dan agung memancar dari tubuhnya. Di ruang itu, sebuah mata raksasa muncul, menatapnya dengan rasa penasaran.
“Mari lakukan pertukaran,” ucap wanita itu datar.
“Bantu aku menemukan tempat dan waktu kelahirannya. Sebagai gantinya, aku akan memberimu ini” Lanjutnya, lalu Ia mengeluarkan sebuah benda bercahaya dan menawarkannya.
Sekejap ruang dan waktu bergeser sebagai tanggapan. Segera, sebuah pemandangan kelahiran seorang anak laki-laki diproyeksikan didepannya.
“Jadi, di sana,” ucapnya lirih. Segera, benda bercahaya itu kemudian melayang ke depan mata tersebut, lalu keduanya menghilang bersama.
Kesunyian kembali menyelimuti ruang tanpa batas itu. Wanita itu segera membentuk sebuah segel tangan, sekejap, tiruan mirip dirinya dalam jumlah besar segera tercipta.
Sosok-sosok itu bergerak menembus ruang dan tiba diatas langit berbintang, kemudian mereka berpencar ke segala arah, meninggalkan dirinya seorang diri yang mulai terlelap di atas ayunan sederhana.
...ΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩ...
Tahapan kultivator (sementara)
Mortal Realm (Fana / Manusia Biasa)
Physical Body Realm (Tahap Penyiapan Tubuh)
Treasure Realm (Pengumpulan Energi Organ Internal)
Spiritual Sea Realm (Tahap Lautan Spiritual)
Divine Palce Realm (Tahap Istana Ilahi)
True Spirit Realm (Tahap Lahirnya Roh Sejati)
Di sisi barat Benua Awan, terbentang Hutan Iblis. Hutan purba yang dihuni binatang-binatang primitif yang masih membawa garis darah keturunan dari zaman kuno.
Siang hari di hutan terasa sunyi, namun angin yang menembus celah-celah daun membawa gema auman, mengguncang tanah dan menakut-nakuti siapa pun yang berani menapaki jalannya.
ROARR!!
Dari arah pusat Hutan Iblis, auman yang menggema berguncang di antara pepohonan purba, membuat seluruh penghuni hutan diam dan ketakutan.
Tidak jauh dari pusat hutan, seekor kera berlengan empat membawa seorang bayi manusia dengan tergesa-gesa.
Setelah berenang melewati danau, ia akhirnya tiba di sebuah pulau berukuran sekitar dua kilometer. Di sana seekor harimau bersayap hitam berbaring diatas batu, dibelakangnya ada sebuah pohon kuno yang memancarkan aura kehidupan yang begitu murni.
Kera berlengan empat itu berjalan menghampirinya. Setelah cukup dekat, kera itu meletakan bayi, lalu menunduk dengan hormat.
Waah!waaa!waaaa!
Suara tangisan bayi terdengar keras, perlahan mata harimau terbuka, ia menatap kera berlengan empat yang masih menundukkan dengan hormat.
“Jadi kamu ingin merawat anak manusia ini?” Tanya harimau itu, lalu menatap kera itu dengan tegas, “ Aturan tetap aturan, buang anak itu ke dunia manusia”
Waaaah!waaaaaaa!Waah!waaa!waaaa!
Suara tangisan semakin keras, harimau itu berjalan mendekati bayi tersebut. Langkah besarnya membuat tanah bergetar, segera, ia melihat paras bayi mungil tersebut. Ia mengulurkan cakarnya yang tajam, seketika, bayi itu berhenti menangis, wajahnya kembali tenang, manis, dan tak ternodai rasa takut.
"Seorang anak manusia…menarik? mereka memang gila meninggalkannya di hutan ini" pikir harimau itu, matanya tenang namun penuh tanya.
Bayi itu menatap harimau bersayap hitam tanpa rasa takut, lalu senyum yang begitu polos, menusuk jauh ke dalam hati siapapun. Senyuman itu bahkan hampir membuat harimau itu—Sang raja hutan bersimpati.
Harimau itu menatapnya, lalu berguman pelan : "Aneh…dengan aura ganas pada tubuhku, harusnya ia takut padaku.”
Tangan mungil bayi itu terulur, seolah memohon pelukan. Namun ketika tak ada reaksi, tangis pun pecah, nyaring memecah udara.
Waaaah!waaaaaaaaa!
Harimau itu merasa risih, lalu berkata : “ Kera berlengan empat, bawa keluar anak manusia itu dari hutan ini. Jika tidak—”
Suara harimau itu tiba tiba berhenti, ia merasakan aura kehidupan di sekitar pulau menjadi kacau, lalu menatap pohon kuno tidak jauh darinya.
Setelah mendapat penjelasan melalui akal spiritual, raja hutan itu terdiam kaku, berbalik, menatap kera berlengan empat itu, lalu berkata : “Tujuh tahun…raja ini memberikanmu restu merawat anak manusia ini selama tujuh tahun. Tapi dia tidak boleh meninggalkan pulau ini tanpa izin.”
“Setelah itu, lempar anak manusia itu ke dunia manusia” lanjut harimau itu.
Setelah mendengar keputusan raja, kera berkepala empat itu kegirangan, ia melompat lompat tak terkendali.
----
Dua tahun telah berlalu sejak kera berlengan empat itu menemukan bayi manusia.
----
Dalam hutan yang kacau, ia merawatnya dengan kesabaran dan ketulusan yang tak pernah pudar.
Pada usia satu tahun, bayi manusia itu baru mampu menapakkan langkah pertamanya dengan goyah, sambil perlahan belajar menelan makanan sendiri. Meskipun ada kemiripan antara manusia dan kera serta sejenisnya, jelas terlihat bahwa pertumbuhan bayi manusia itu jauh lebih lambat, apalagi dalam hal memanjat.
Saat ini, lengan bayi manusia itu sudah cukup kuat untuk menopang tubuhnya, ia sering berlarian dan bergelantungan di antara pohon-pohon kecil.
Disisi lain, hutan iblis cukup tenang, siklus seleksi alam terus berlanjut.
Di hutan iblis ini, kematian jauh lebih dekat daripada kehidupan di dunia manusia yang penuh intrik dan lika-liku yang sulit dipahami, disini kelemahan adalah dosa.
Saat ini, Sang raja hutan itu berbaring di atas batu pipih menikmati sinar matahari pagi, ia menutup mata, aura yang terpancar darinya cukup lembut, tubuh selalu dikelilingi oleh energi kehidupan yang murni.
“ Harimau….harimau….mamam…an” suara bayi manusia itu terdengar putus-putus, ia menepuk perut mungilnya yang keroncongan, tangannya meronta mencari sesuatu yang tidak ia mengerti.
Raja hutan itu membuka salah satu matanya, dengan gerakan ringan, ia melempar beberapa buah-buahan ke segala arah, namun tidak jauh darinya.
Bayi manusia itu yang melihat makanan yang bergerak menjauh, berlari mengejarnya dengan riang.
----
Tiga tahun berlalu, dengan energi kehidupan yang melimpah dari pohon kuno, bayi itu, yang sudah masuk ke fase anak-anak memiliki fisik yang cukup kuat daripada anak anak manusia pada umumnya .
Selama waktu ini, kera berlengan empat yang bertanggung jawab merawatnya jarang muncul. Sekalinya muncul, ia akan mengajarkan anak laki-laki itu tentang hukum rimba, yakni tentang cara kerja hutan iblis.
Saat ini, anak laki-laki itu sudah lancar dalam memanjat, berayun, berenang dan berburu beberapa hewan darat kecil, serta menangkap ikan. Selain itu, ia sudah memiliki rumah sederhana yang bisa digunakan untuk melindungi diri dari angin malam dan hujan badai.
Keesokan harinya,
kera berlengan empat itu melangkah masuk ke pusat hutan iblis. Sunyi mencekam, hanya suara dedaunan yang berdesir ketika ia mendekati singgasana alami tempat sang Raja Hutan berbaring.
Dengan gemetar, ia segera menunduk rendah. Lalu memulai memuji, “Salam hormat, wahai Raja Hutan. Engkau penguasa rimba, sumber kekuatan yang tiada tertandingi—”
“Cukup!” suara Raja Hutan menggelegar, membuat udara seakan bergetar, menetap tajam kera berlengan empat, “Jangan buang waktuku. Katakan, apa yang kau inginkan?”
kera itu menelan ludah, lalu memberanikan diri bersuara, “Raja… hamba mohon izin membawa bocah itu berkeliling hutan iblis.” Matanya melirik gugup ke arah anak laki-laki yang sedang berburu ikan di tepian danau, seolah takut permohonannya dianggap lancang.
Raja hutan itu melirik sekilas, dengan gerakan ringan, seorang anak laki-laki muncul tidak jauh dari seekor kera berlengan empat.
kera itu segera menghampirinya dan memaksanya menunduk hormat. Namun, tanpa ia ketahui, selama ini anak laki-laki atau bocah itu sering kali mengusik raja hutan mereka.
Saat ini, raja hutan tengah berkomunikasi dengan roh pohon kuno. Setelah keduanya mencapai sebuah kesepakatan, salah satu akar pohon menjalar perlahan ke arah kera berlengan empat. Seketika, beberapa bulu dari tubuh kera itu terlepas dan menempel pada tubuh anak laki-laki tersebut, seakan menyatu dengannya.
Dari atas sebuah batu, raja hutan menatap mereka dengan penuh wibawa. Pandangannya kemudian terarah pada anak laki-laki itu, lalu suaranya bergema, “Bocah kecil, mulai sekarang namamu adalah Hao. Semoga kamu selalu murni dan bebas menelusuri kebahagiaan sejati”
Mendengar itu, anak laki-laki itu terdiam kebingungan. Selama lima tahun terakhir, ia terbiasa hanya dipanggil bocah.
Melihatnya terdiam, kera berlengan empat itu segera menekan kepalanya hingga menyentuh tanah, lalu dengan nada canggung berkata: “Terima kasih, Raja… sampai jumpa tahun depan.”
Usai mengucapkan itu, ia menyeret bocah bernama Hao tersebut pergi dengan kasar.
Melihat kepergian mereka, raja hutan atau harimau bersayap hitam itu menatap pohon kuno dengan penasaran. Ia lalu bertanya, "Roh pohon kuno, jika kami bertarung, berapa banyak gerakan yang bisa kutahan?"
Setelah menunggu cukup lama, roh pohon kuno akhirnya merespon, segera, sebuah cahaya melayang di depan harimau bersayap hitam itu. Kemudian, adegan demi adegan terlintas, ia mulai berkeringat dingin, tubuhnya lemas, dan akhirnya memilih tidur.
Setelah tiba di garis pemisah antara daratan dan perairan, kera berlengan empat itu melempar Hao dengan kasar ke dalam danau.
Kera itu berteriak, “Bocah, berenang ke arah matahari terbit!....semoga masih hidup”
Hao, yang dilempar dengan kasar, mulai ingin mengeluh. Namun ketika melihat kera berlengan empat itu berjalan di atas air, ia sontak terkejut.
Hao mendekat dengan bersemangat, lalu bertanya : “Ibu kera yang baik hati, ajari aku caranya berjalan di atas air”
Bugh!
Suara pukulan membuat Hao hampir tenggelam. Ia tidak bertanya lagi dan langsung berenang ke arah matahari terbit.
-----
Setelah satu jam berenang tanpa henti, ia akhirnya sampai di bagian lain hutan iblis. Sebelum sempat berbaring,
Plak! Thok! Plup!
Suara berbagai jenis buah-buahan mulai menghujani dan menabrak tubuhnya yang masih kelelahan. Tiba-tiba sebuah suara akrab masuk ke telinganya.
“Cepat makan, perjalanan kita masih jauh. Jangan terkejut… ini Ibu kera. Setelah selesai makan, pergilah ke arah utara.”
Setelah mendengar itu, Hao menghela napas panjang, lalu dengan rakus mulai melahap semua buah-buahan yang tersedia.
Setelah makan, ia mengamati lingkungan sekitar, namun tidak menemukan kera berlengan empat yang dikenalnya.
Hao sendiri bukan orang bodoh; ibu keranya pasti sedang mengamati dari kejauhan. Oleh karena itu, ia langsung melompat ke atas pohon. Dengan memanfaatkan ranting-ranting pohon, ia bergerak ke arah utara.
Sejak usia dua tahun, ia sering berlatih menggunakan tangannya untuk berayun dari satu cabang ke cabang lain seperti ibu keranya. Seiring bertambahnya usia, ia menghabiskan waktu berjam-jam setiap hari dengan melompat cepat di atas puncak pohon sendirian.
Selama proses latihan itu, Hao sering terluka, namun karena aura kehidupan yang pekat dan murni, lukanya cepat sembuh dan tubuhnya bertambah kuat dari hari ke hari.
Dalam perjalanan, Hao menyaksikan seekor serigala tengah mengejar kelinci—kejar-mengejar yang menegangkan antara predator dan mangsa. Di rawa-rawa, seekor buaya bersembunyi menunggu mangsa yang lengah. Tak jauh dari situ, pertarungan sengit terjadi antara ular dan macan. Sementara itu, burung-burung beterbangan panik, menyingkir dari ancaman di bawah mereka, memenuhi langit dengan kepanikan.
Hao menatap semua itu dengan mata terbuka lebar. Ia perlahan berhenti dan mulai mengamati setiap gerakan dan suara dengan seksama. Ia tampak terpaku oleh ketegangan dan keindahan alam yang terpampang di hadapannya. Setelah cukup puas, ia bergerak lagi ke arah utara.
----
Waktu berlalu, matahari mulai bergeser ke barat. Akhirnya, Hao tiba di puncak sebuah bukit. Setelah merasa cukup aman, ia duduk di atas batu, beristirahat, menunggu kedatangan ibu keranya.
----
Grrrr! Kruk-kruk!
Tiba-tiba perutnya menderu tanpa henti, seolah menuntut sesuatu yang nyata untuk diisi. Namun, setelah menunggu cukup lama, ibu keranya tidak kunjung datang.
Hao hanya bisa menghela napas, lalu berjalan menuruni bukit untuk mencari sesuatu yang bisa dimakan.
Setelah cukup lama mencari, ia tidak mendapatkan apapun berdasarkan kemampuan yang dimilikinya saat ini.
Dengan langkah berat, ia berjalan menghindari daerah-daerah yang dihuni beberapa binatang ganas dan akhirnya sampai di sebuah sungai kecil, lalu dengan rakus mulai meminumnya.
Setelah puas, ia kembali ke puncak bukit sebelumnya.
Sesampainya disana, ia akhirnya melihat ibu keranya yang duduk santai menikmati buah-buahan yang ia kumpulkan.
Mata Hao tiba-tiba memerah. Tanpa sadar, ia melompat ke dalam pelukan kera itu, lalu mulai mengeluh tentang betapa susahnya hidup di alam liar.
Mendengar keluhan-keluhan itu, kera berlengan empat hanya bisa menghela napas. Ia menyerahkan beberapa buah-buahan dan mulai menasihatinya.
“Bocah… tidak… Hao, bukankah aku sudah memberitahumu tentang cara bertahan hidup di hutan ini?”
“Tubuhmu memang lemah dan kecil, tapi kecerdasanmu berkembang lebih baik dari spesies lain. Lalu, kenapa tidak menyimpan beberapa makanan? Kenapa tidak memetiknya? Ketika ada seekor kelinci, kenapa tidak memburunya? Selama perjalanan, kamu tenggelam dalam hal-hal baru sampai lupa akan kebutuhanmu sendiri. Aku tidak bisa menyalahkanmu, mungkin ini sifat bawaan manusia, tapi ini hutan iblis, di mana kelemahan adalah dosa. Tidak ada baik dan buruk, hanya ada hidup dan mati. Paham?”
Hao mengangguk perlahan, meskipun mulutnya penuh dengan makanan. Ia menatap ibu keranya dengan mata yang mulai menyala, lalu berkata : “Paham,…Hao akan berusaha. Aku akan belajar bertahan hidup… untuk diriku sendiri” suaranya tegas dan penuh keyakinan.
----
Waktu berlalu, kegelapan mulai melahap cahaya. Kera bertangan empat itu membawa Hao yang tengah tertidur akibat terlalu banyak makan.
----
Setelah sampai di wilayah para kera, ia masuk ke dalam gua, lalu meletakkan Hao di atas batu dengan hati-hati.
Sejak hari itu, Hao dirawat dengan penuh perhatian dan pengawasan. Setiap pagi, ia dibangunkan dengan lembut oleh sinar matahari yang menembus celah-celah daun hutan, diiringi nyanyian burung yang seolah menyambutnya.
Hari-harinya diisi dengan perjalanan kecil menelusuri hutan yang rimbun, berburu, memetik buah-buahan dari wilayah lain, mempelajari suara angin di antara pepohonan, aroma tanah basah setelah hujan, dan kicau burung yang beraneka ragam. Selain itu, ia juga sering bermain dengan beberapa kera muda. Namun, ketika ia mengikuti kebiasaan kera muda tersebut, ibunya atau kera berlengan empat itu sering memukulnya dengan kasar, lalu memarahi nya.
Kini usia Hao hampir genap enam tahun.
Selama satu bulan terakhir, ia sering datang ke pinggiran hutan iblis, mengamati kehidupan manusia di sebuah desa kecil. Ia sangat tertarik terhadap seorang gadis kecil berusia lima tahun yang selalu ceria setiap hari.
Meskipun telah mengamati cukup lama, Hao hanya menganggap mereka musuh. Namun, ketika menatap wajah ceria gadis kecil itu, ada perasaan aneh yang muncul, membingungkan dirinya sendiri.
---
Suatu pagi, saat Hao ingin mengamati desa dari kejauhan, ia menyadari ada kepulan asap tebal membumbung ke langit. Dengan cepat ia melompat dari pohon ke pohon, mendekati desa itu. Sesampainya di sana, pemandangan yang ia lihat membuatnya terhenti sejenak: rumah-rumah yang hancur, atap yang runtuh, dan orang-orang berlarian panik menghindari kehancuran yang baru saja menimpa desa.
Dengan hati-hati, Hao menelusuri reruntuhan tersebut. Bau debu dan asap menyengat hidungnya, namun hatinya menuntun untuk lebih jauh. Di antara puing-puing, terdengar banyak tangisan lemah anak-anak.
Hao segera melompat turun dan menemukan gadis kecil yang selalu ia amati terbaring di tanah, tubuhnya lemah dan berlumuran darah.
Mata gadis kecil itu terbuka lemah, ketika melihat tatapan Hao, ia merasakan sesuatu yang tidak asing.
Gadis itu menatapnya, “Perasaan ini… ternyata itu kamu… kera… tidak… kamu manusia,” suaranya hampir tak terdengar, terputus-putus di antara nafas yang tersisa.
Hao menunduk, menatap gadis itu. Ia tidak menangis, tidak ada rasa takut atau cemas seperti biasanya, karena hidupnya di hutan iblis telah membuatnya terbiasa dengan kematian. Tapi kali ini berbeda. Ada sesuatu yang bergerak dalam hatinya—sebuah rasa yang asing, getir, dan menekan dada.
“Bisakah kamu… membantuku?” suara gadis itu terdengar lemah, nyaris seperti bisikan.
Hao menatapnya, diam. Lalu ia mengangguk perlahan, penuh ketegasan.
Gadis kecil itu tersenyum tipis, meskipun nafasnya kian lemah, dan menunjuk ke arah jasad orang tuanya yang tergeletak tak bernyawa, “Tolong kubur aku… bersama ayah dan ibuku. Bisakan?”
Hao tidak mengatakan apapun. Ia hanya mengangguk dan terus menatapnya.
Gadis kecil itu perlahan menutup mata sejenak, menarik napas terakhir dengan lemah, lalu tersenyum lagi, seperti yang selalu ia lakukan setiap hari.
“Terima kasih… Namaku Su Liqing. Semoga… di kehidupan selanjutnya… kita bisa berteman. Selamat—” Suaranya tiba-tiba terhenti. Rasa sakit menjalar ke setiap bagian tubuhnya, membuat napasnya tersengal. Seketika, air mata mengalir di pipinya.
“Sakit…aku...takut… aku tidak ingin mati…” suara serak penuh penderitaan.
Hao masih menunduk, menatapnya dengan tenang. Meskipun hatinya terbiasa melihat kematian, ketika melihat ketakutan murni di mata Su Liqing, ia secara tidak sadar duduk disamping gadis kecil itu, lalu mulai mengusap kepalanya dengan lembut.
Su Liqing terus mengerang lemah, “Aku… aku takut… aku tidak ingin mati…sakit...aku....tida...mau” suaranya serak, dan air mata terus menetes di pipinya.
Hao menatap gadis kecil itu dengan datar, dan untuk pertama kalinya di berkata : “Tenanglah… aku di sini, kamu tidak sendirian.Pergilah” Suaranya ada sedikit kehangatan.
Mendengar itu, gadis kecil itu mulai tenang, lalu menutup mata sejenak, menarik napas panjang yang tersisa, lalu tersenyum samar di tengah rasa sakit yang mencekam.
"Terima kasih… semoga… kamu hidup… bahagia,” bisiknya pelan.
Detik berikutnya, cahaya kehidupan di matanya perlahan padam, dan tepat saat itu, hujan turun deras, seakan langit ikut berduka atas kemalangan manusia, perlahan tetesannya memadamkan api yang menghanguskan desa.
Disisi lain, Hao masih menatap kematian Su Liqing dengan perasaan campur aduk.
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!