NovelToon NovelToon

Pengganti Yang Mengisi Hati

Bab 1: Bayangan Terindah

“Bentar lagi kita udah nikah aja, ya. Nggak kerasa,” ucap Tiny sambil menatap langit sore yang mulai memerah.

Andika tersenyum. Tatapan matanya teduh, menenangkan, seperti punya cara sendiri untuk meredakan dunia yang gaduh.

“Cepat banget ya waktunya,” jawabnya singkat, tapi hangat.

Fitur wajah Andika memang menenangkan. Ada sesuatu di sana yang membuat Tiny betah berlama-lama menatap.

Tiny bersandar pelan di bahu Andika. “Nanti kalau udah nikah, kamu nggak akan sendirian lagi, lho,” katanya lirih.

“Udah ada aku. Mungkin... nanti juga ada anak kita. Bayangin deh, kamu bangun pagi, terus ada suara kecil manggil ‘Papa...’ Gimana?”

Andika tertawa kecil. Tangannya naik, mengacak lembut rambut Tiny seperti biasa. “Iya. Nanti bakal ada versi mini kita. Yang suka ngomel kayak kamu, atau kalem kayak aku.”

Tiny tertawa pelan, lalu mendongak. “Kamu pede banget anak kita mirip kamu.”

“Emang kenapa?” Andika menoleh, pura-pura serius. “Aku kan paket lengkap. Ganteng, sabar, dan... tahan godaan.”

Tiny mencubit pelan lengan Andika. “Awas ya. Godaan apaan tuh maksudnya?”

Andika Cuma tertawa. Tapi Tiny masih menatap serius, sebelum tiba-tiba berucap, “Aku senang sih. Kamu... anak baik. Sendirian dari kecil tapi hatimu hangat.”

Andika diam. Tatapannya lurus ke depan.

Tiny melanjutkan dengan suara yang lebih lembut. “Nanti aku bakal nemenin kamu terus. Nggak akan kamu sendirian lagi,Ndi.”

Andika tersenyum pelan, tapi dalam. “Janji?”

Tiny mengangguk, sambil mengangkat kelingking. “Janji. Kita bakal bareng, sampai rambut kamu putih semua.”

Andika terkekeh pelan. Ada-ada saja yang diucapkan calon istrinya ini—selalu saja bisa membuat suasana jadi ringan dan hangat.

Tiny bangkit dari bangku taman, lalu menarik tangan Andika pelan.

“Jalan yuk?” ajaknya sambil menengadah, matanya berbinar.

Andika hanya tertawa kecil. Tangannya kembali terulur, mengacak rambut Tiny seperti refleks alami yang sudah sering ia lakukan. Rambut Tiny jadi agak berantakan, tapi tetap saja manis dan imut tentunya.

Tiny pura-pura manyun. “Ih... rambutku...”

Padahal dalam hati? Sudahlah. Kalau yang membuat berantakan itu Andika, Tiny pasti selalu memaafkan.

Tanpa banyak kata, Tiny langsung menggamit lengan Andika.

Langkah mereka seirama menyusuri jalan taman yang dipenuhi cahaya jingga sore hari.

Andika, yang biasanya tak terlalu nyaman disentuh orang lain, tak berkata apa-apa. Justru sebaliknya—ia menikmati gesture manis dari Tiny.

Baginya, itu bukan hal sepele. Ia tumbuh sebagai anak tunggal yang sepi sejak remaja. Kedua orang tuanya meninggal dalam kecelakaan saat ia masih duduk di bangku SMP. Dan sejak saat itu, hidupnya berubah.

Andika tak sempat merasakan remaja yang riang atau masa muda yang santai. Ia mewarisi perusahaan milik orang tuanya.

Menjadi CEO sejak usia yang belum genap 20 tahun. Berdiri di atas tanggung jawab, bukan kebebasan.

Dan kini, ketika ada perempuan seperti Tiny yang hadir dengan tawa, gombalan receh, dan perhatian tulus...

Ia tahu, hatinya sudah terlalu dalam untuk mundur.

“Eh, kamu nyadar nggak sih?” Tiny bersuara lagi, masih menggandeng erat lengan Andika. “Sebulan lagi kita akad, loh.”

Andika melirik sebentar. “Nyadar kok.”

Tiny menyipitkan mata, pura-pura curiga. “Tapi kayaknya kamu nggak heboh-heboh amat, ya? Mana antusiasmu, Pak CEO?”

Andika terkekeh pelan. “Kalau aku heboh, yang rem siapa?”

Tiny menjulurkan lidah, gemas sendiri. “Ya udah, kamu diem aja deh. Nanti biar aku yang heboh. Soalnya... ini kan nikah pertama dan terakhirku.”

Langkah Andika sempat melambat. Kata-kata Tiny tadi terasa sederhana, tapi ada sesuatu yang mengguncang halus di dalam dadanya.

“Nikah pertama dan terakhir?” ulang Andika pelan, suaranya nyaris tenggelam dalam suara dedaunan tertiup angin.

Tiny menoleh, menyeringai. “Lah iya, masa nikah berkali-kali? Gila aja.”

Andika tertawa juga, meski matanya diam-diam menatap wajah gadis di sampingnya itu lebih lama dari biasanya.

Tiny lalu berseru pelan, “Eh, nanti waktu akad, kamu jangan tegang ya. Senyum tuh. Masa cowok ganteng mukanya kayak dosen killer.”

Andika menoleh cepat. “Dosen killer?”

“Banget,” jawab Tiny yakin. “Kamu tuh kalau diem dan nunduk, auranya kayak mau marah padahal aslinya enggak. Makanya nanti aku yang handle salam-salaman sama tamu ya, kamu cukup senyum. Udah cukup modal sih muka kamu.”

“Terima kasih...?” balas Andika bingung, tidak yakin itu pujian atau sindiran.

Tiny tertawa lepas. Suaranya cempreng, memantul di antara pohon-pohon taman yang mulai redup ditelan senja. Tapi buat Andika, suara itu... justru terasa menyenangkan.

“Eh, makan dulu yuk. Lapar nih,” ujar Tiny sambil mengelus perutnya pelan. Suara cemprengnya terdengar renyah di tengah suasana taman yang mulai temaram.

Andika kembali terkekeh. Memang sudah jadi kebiasaan—setiap jalan berdua, ujung-ujungnya pasti mampir makan. Bukan karena makanannya istimewa, tapi karena Tiny memang punya jiwa ngemil yang luar biasa.

Andika memandangi wajah di sampingnya.

Wajah bulat itu, dengan pipi tembam yang selalu mengundang gemas. Kalau bisa dicubit, pasti empuk. Kalau bisa dimiliki selamanya, tentu tak akan dilepas.

Nama panggilannya saja Tiny, artinya kecil.

Sesuai. Tingginya tidak lebih dari 155 sentimeter. Tapi entah mengapa, segala yang kecil darinya justru membuat Andika merasa besar—besar untuk melindungi, besar untuk menyayangi, besar untuk menjaga.

Kalau harus memilih, Andika lebih ingin punya anak perempuan dulu.

Bukan tanpa alasan. Ia ingin ada satu versi kecil dari Tiny di rumahnya nanti. Seseorang dengan suara cempreng yang manja, pipi bulat yang gampang merah kalau marah, dan tawa nyaring yang bisa memecah sunyi.

Versi mini dari sosok yang kini sedang menarik-narik tangannya sambil berkata, “Yuk ah, makan cepetan. Aku udah lapar dari tadi. Kamu sih bengong mulu.”

Andika tertawa pelan, membiarkan dirinya ditarik pelan seperti biasa. Dan di balik tawanya, terselip doa dalam hati—

Semoga besok, bulan depan, tahun-tahun setelah ini… Gadis ini masih tetap ada di sampingnya.

“Kenapa ngelamun?” tanya Tiny sambil memiringkan kepala, menatap Andika dengan ekspresi penasaran.

Andika tersadar dari pikirannya. Ia hanya menggeleng pelan, tersenyum. “Enggak apa-apa. Yuk makan, udah lapar kan?”

Tiny mengangguk cepat, penuh semangat. “Iya! Buruan deh. Nanti keburu menguap-ngantuk perut aku.”

Andika tertawa kecil. Respons gadis itu selalu spontan dan penuh warna. Mereka pun mulai melangkah menuju tempat makan yang biasa mereka datangi.

Dalam perjalanan, Tiny mulai bersenandung kecil. Nadanya ringan, ceria, khas dirinya—tapi tak asal. Meskipun suara bicaranya cempreng, saat bernyanyi, suaranya berubah... jadi jernih dan enak didengar. Andika sempat menoleh, memperhatikan gadis di sampingnya yang masih saja menyanyi sembari berjalan pelan.

Memang begitu adanya Tiny—tak bisa diam, penuh ide, dan selalu membawa hal-hal kecil menjadi hidup.

“Aku udah pernah bilang belum?” tanya Andika tiba-tiba.

Tiny menghentikan nyanyiannya sejenak, melirik. “Apaan?”

“Kalau kamu bikin lagu sendiri, pasti bisa bagus. Suara kamu tuh... beda kalau nyanyi. Serius.”

Tiny cengar-cengir, lalu menyikut pelan lengan Andika. “Ih, pujian nih ceritanya? Kamu mau minta traktir ya?”

Andika mengangkat alis, berpura-pura tak paham. “Enggak juga. Aku serius ngomongnya.”

Tiny menggembungkan pipi sebentar, lalu nyengir. “Ya udah, doain aja aku bisa bikin lagu beneran. Masih coba-coba bikin lirik nih.”

Andika tersenyum. Dalam diam, ia bangga. Di balik sikap supel dan candanya, Tiny punya sisi yang dalam—yang tak banyak orang tahu. Dan itu, bagi Andika, adalah bagian dari keindahan gadis itu.

Bab 2: Bahagia Yang Terlalu Indah

Ruangan itu dipenuhi cahaya putih yang lembut. Cermin besar di sisi kanan memantulkan sosok-sosok yang sedang berdiri berhadapan, dikelilingi beberapa hanger berisi gaun dan jas pengantin.

Tiny berdiri di atas podium kecil, mengenakan gaun putih sederhana dengan potongan A-line. Wajahnya berbinar, dan ia memutar pelan tubuhnya di depan cermin.

“Eh, cantik nggak?” tanyanya, meski jelas-jelas sudah tahu jawabannya.

Andika yang sedang merapikan dasi tuxedo di depan cermin lain menoleh sebentar, lalu tersenyum. “Banget.”

Tiny langsung nyengir lebar. “Ih, kamu liatin terus sih. Ntar aku GR loh.”

“Ya memang sengaja biar kamu GR.”

Tiny terkekeh geli. Ia lalu memandang bayangannya sendiri di cermin. Gaun itu tampak pas di tubuh mungilnya. Lengan panjang, detail renda di bagian dada, dan potongan leher berbentuk hati. Tidak berlebihan, tapi tetap manis. Sesuai dengan kepribadiannya.

Penata rias mendekat, memperbaiki bagian pinggang gaunnya. “Ini perlu dikencangkan sedikit ya, Kak Tiny. Biar lebih ngepas.”

“Boleh. Tapi jangan terlalu ketat. Aku mau makan habis ini,” celetuk Tiny cepat.

Andika tertawa. “Jangan bilang kamu udah lapar lagi.”

“Ya iyalah!” Tiny mendengus. “Aku fitting, kamu fitting. Tapi perut aku doang yang bener-bener kerja keras nahan laper.”

Andika menggeleng pelan. Sekilas, ia memandangi Tiny diam-diam lewat pantulan cermin. Tatapan itu... penuh makna.

Sekilas, ia membayangkan hari itu—hari akad nanti. Tiny duduk di pelaminan, tersenyum, memakai gaun seperti ini. Di sampingnya... dirinya. Bersama. Sah.DaAndika menghela napas dalam-dalam. Tak disadari, ada rasa haru yang mulai merayap diam-diam.

Tiny menangkap tatapan itu. “Eh, kamu kenapa sih? Kok jadi melow?”

Andika mengalihkan pandangan sejenak, lalu menjawab pelan, “Nggak apa-apa. Cuma... bahagia aja.”

Tiny menatapnya sebentar. Suaranya lebih pelan kali ini. “Aku juga, Ndi.”

Keduanya kembali diam. Hanya suara gesekan halus kain dan bunyi jarum jahit yang sesekali terdengar.

Saat fitting hampir selesai, Tiny kembali bersuara, kali ini sambil mengayunkan gaunnya pelan. “Nanti kita foto-foto ya. Mumpung lagi pake baju kayak gini. Biar bisa pamer ke anak cucu nanti.”

Andika tersenyum. “Biar mereka tahu mamanya cerewet dari dulu?”

Tiny mencibir, “Biar mereka tahu papanya dulu ganteng. Sekarang juga masih sih, tapi... ya gitu.”

Andika tertawa. Tiny ikut tertawa juga, meski dalam dadanya... ia merasa ini semua terlalu indah. Terlalu hangat. Terlalu lengkap.

Seolah-olah… Kebahagiaan ini terlalu sempurna untuk bertahan lama.

Tiny turun perlahan dari podium, dibantu sang penjahit. Gaunnya sudah dilepas, kini ia mengenakan dress santai berwarna pastel. Wajahnya masih tampak cerah, pipinya memerah karena terlalu sering tertawa tadi.

Ia berjalan menghampiri Andika yang kini duduk di sofa panjang, masih mengenakan setelan jas yang tinggal sedikit lagi pas di tubuhnya.

“Bisa nggak sih kamu jangan ganteng-ganteng banget?” ucap Tiny sembari duduk di sampingnya, menyenderkan kepala di bahu pria itu.

Andika tersenyum simpul. “Aku juga mau bilang gitu ke kamu barusan.”

Tiny tergelak pelan, lalu mengelus dadanya sendiri. “Aduh... jantung aku nggak kuat denger itu. Manis banget.”

Andika hanya memandangi gadis di sampingnya, lalu berkata pelan, “Aku suka banget liat kamu tadi di cermin.”

Tiny mengangkat wajahnya. “Yang pake gaun pengantin tadi?”

Andika mengangguk. “Iya. Rasanya kayak... mimpi yang jadi kenyataan.”

Tiny menatapnya sejenak, sebelum akhirnya berkata pelan, “Kalau mimpi, jangan bangun ya. Aku betah di sini.”

Andika tak menjawab. Hanya meraih tangan Tiny dan menggenggamnya erat. Sentuhan yang mungkin biasa, tapi kali ini terasa lebih dalam.

Seorang staf butik datang menghampiri, membawa dua botol air mineral. Tiny langsung menyambarnya satu.

“Haaah... ini dia penyelamatku. Pantesan pusing. Haus banget ternyata,” ucapnya sambil meneguk cepat.

Andika berkata pelan. “Kamu itu makhluk paling jujur sedunia kalau soal makanan dan minuman.”

Tiny mengangguk santai. “Ya iyalah. Hidup terlalu singkat buat pura-pura kenyang.”

Setelah semuanya beres, keduanya kembali berdiri. Andika membetulkan bagian lengan jasnya, sementara Tiny merapikan poni yang mulai acak-acakan.

“Setelah ini kita ke mana?” tanya Andika.

Tiny berpikir sejenak, lalu menjawab dengan cepat, “Ke tempat makan dong. Aku udah mikir menu apa dari tadi.”

“Padahal baru minum tadi,” cibir Andika.

“Minum mah beda. Itu buat nyelamatin nyawa. Ini buat nyenengin hati,” Tiny menimpali dengan nada sok serius.

Andika tertawa lagi. Entah kenapa, setiap candaan Tiny—meskipun absurd—selalu berhasil membuat dadanya lebih ringan.

Sebelum keluar dari butik, Tiny sempat menatap gaun yang tadi ia kenakan. Tatapannya lembut, agak dalam.

“Semoga aku beneran bisa pake itu di hari H nanti...” gumamnya lirih.

Andika yang berdiri di sampingnya hanya menatap sejenak, lalu meraih jemari Tiny. “Kamu pasti pakai itu. Aku yang dampingin.”

°°°°

Setelah keluar dari butik, langit sudah mulai redup. Sore perlahan berubah menjadi senja. Udara cukup sejuk, cocok untuk berjalan santai berdua.

Tiny menggandeng lengan Andika dengan ringan. “Kita ke mall, yuk? Aku pengen jalan-jalan aja. Cuci mata.”

Andika melirik, tersenyum. “Cuci mata? Emang kamu kotorin di mana?”

Tiny mencibir. “Ih, maksudnya tuh biar refreshing. Otakku tuh udah panas gara-gara fitting, deg-degan, dan lapar semua jadi satu.”

Andika tertawa kecil. “Ya udah, yuk. Aku ikut aja.”

Mereka berdua pun meluncur ke pusat perbelanjaan yang tidak terlalu jauh dari butik. Begitu masuk ke dalam, Tiny langsung menunjukkan antusiasmenya seperti anak kecil diajak ke taman hiburan.

“Liat deh! Toko aksesoris itu lucu banget. Eh eh, itu ada baju yang lucu juga!” Suara Tiny melengking pelan, penuh semangat.

Andika hanya mengikuti dari belakang. Matanya tak pernah jauh dari sosok gadis mungil di depannya yang terus menunjuk-nunjuk sana-sini.

Mereka berhenti di sebuah toko stationery kecil. Tiny langsung masuk, matanya berbinar melihat pulpen warna-warni, buku catatan lucu, dan stiker menggemaskan.

“Aku mau beli ini deh buat nulis lirik,” ujarnya sambil mengangkat buku kecil berwarna ungu muda.

“Udah mulai nulis?” tanya Andika, mendekat.

Tiny mengangguk. “Baru coret-coret dikit sih. Tapi temanya tentang jatuh cinta sama orang yang... awalnya biasa aja, tapi lama-lama bikin candu.”

Andika menaikkan alis. “Kayak kamu ke aku?”

Tiny pura-pura jijik. “YAKH, ge-er banget sih.”

Andika tertawa kecil. “Ya bener, kan?”

Tiny tidak menjawab. Tapi pipinya yang memerah pelan sudah cukup jadi jawaban.

Setelah membeli beberapa barang lucu, mereka melanjutkan jalan ke lantai atas untuk mencari tempat makan. Tiny memilih tempat yang cozy, tidak terlalu ramai, dan punya lighting hangat.

Mereka duduk di dekat jendela kaca, memandang lalu lintas yang mulai padat di luar sana.

Tiny membuka menu dengan mata bersinar. “Aku pesan spaghetti! Sama kentang goreng. Sama es teh manis. Sama—”

“Pelan-pelan,” potong Andika. “Lambung kamu belum tentu seluas daftar pesananmu.”

Tiny nyengir. “Tapi hatiku luas buat kamu.”

Andika terdiam sejenak. Senyumnya pelan, tapi dalam.

“Udah yuk, makan,” ujar Tiny tak sabar sambil menutup menu. “Perut aku udah demo dari tadi.”

Tak butuh waktu lama, makanan datang. Mereka makan sambil sesekali tertawa. Tiny tak henti-henti mengomentari rasa makanan, plating, bahkan sendoknya. Andika hanya mendengarkan, terkadang menimpali. Tapi yang pasti—ia menikmati setiap menit bersama gadis itu.

Setelah selesai makan, mereka tak langsung pulang. Mall masih ramai, dan lampu-lampu di lorong terasa hangat. Tiny kembali menarik tangan Andika, mengajaknya berjalan keliling.

“Liat deh, lucu banget tuh boneka!” katanya, menunjuk etalase toko mainan.

Andika mengikuti arah tunjuknya, lalu mengangguk. “Lucu, kayak kamu.”

Tiny tersipu, tapi menutupinya dengan mendesis pelan. “Duh, gombalan kamu mulai nyelip-nyelip nih.”

Mereka terus berjalan sampai akhirnya di ujung lorong mall, sebuah suara ramai terdengar.

Bab 3: Momen Terakhir

Mereka terus berjalan sampai akhirnya di ujung lorong mall, sebuah suara ramai terdengar.

“Eh, itu Elvan sama Elvi, ya?” bisik Tiny, menyipitkan mata.

Benar saja—dua anak kembar beda gender yang berusia satu tahun itu sedang berlarian kecil sambil tertawa keras. Salah satu dari mereka menabrak kaki Tiny.

“Eh, bocil!” seru Tiny, tertawa sambil memegangi si kecil.

Tak lama, muncullah Gery dan Alicia, berjalan tergesa menyusul si kembar.

Tiny langsung menyapa, “Kak, ke sini juga?”

Gery yang lebih dulu menjawab dengan ekspresi sok coolnya yang khas, “Iya. Lo nggak nampak?”

Tiny mendelik. “Kan basa-basi,” sahutnya.

Andika yang berdiri di samping Tiny hanya tersenyum kecil, menyaksikan interaksi akrab kakak beradik ipar itu.

Ia lalu mengangguk sopan ke arah Alicia dan tersenyum.

Alicia membalas senyumnya hangat, meski sorot matanya masih setengah mengawasi kedua anaknya.

Gery yang berdiri tak jauh dari mereka, berdehem pelan. Tatapannya tajam ke arah Andika, lalu berpindah ke Alicia. Melihat istrinya membalas senyum pria lain saja sudah cukup membuat alarm posesifnya menyala.

Dengan nada santai tapi mengandung kode, Gery bertanya, “Udah fitting baju, Ndi?”

Andika mengangguk. “Udah. Barusan aja.”

Saat itu juga, Elvan dan Elvi mulai menangis bersamaan. Rupanya saling tarik mainan, dan seperti biasa—tak ada yang mau mengalah.

“Ya ampun... mulai deh,” ucap Alicia panik sambil menunduk ke arah anak-anaknya.

Gery hanya geleng-geleng, lalu berkata cepat pada Andika dan Tiny, “Udah ya, kita duluan. Bocil mode on.”

Alicia hanya sempat melambaikan tangan pelan. “Hati-hati pulangnya.”

“Siap, Kak,” jawab Tiny dengan cengiran lebar.

Setelah kepergian Gery dan Alicia, Tiny dan Andika kembali menyusuri lorong mall yang mulai sepi.

Tiny menoleh ke Andika, lalu berkata dengan nada khasnya, “Ribet banget ya ngurus bocil. Apalagi kembar. Aku baru liat aja udah capek hati.”

Andika terkekeh pelan. “Makanya, kita latih dulu dari boneka.”

Tiny memanyunkan bibirnya, pura-pura ngambek. “Aku nggak mau anakku nanti kayak boneka. Aku maunya... kayak kamu aja.”

Andika terdiam sejenak, lalu menatapnya dalam. “Aku bisa, kok... jadi ayah yang baik.”

Tiny menatap mata pria itu, lalu menggamit lengannya dengan senyum malu-malu. “Aku percaya.”

Tak lama kemudian, Andika menghela napas singkat. “Tiny, yuk ikut aku ke tempat lain. Aku mau tunjukin sesuatu.”

Tiny menaikkan alis. “Kemana? Udah malem, tau.”

“Dekat kok. Lima belas menit dari sini,” jawab Andika kalem. “Ayo ya? Sekalian angin-angin dikit.”

Tiny akhirnya mengangguk. Ia penasaran, dan dalam hatinya selalu saja ada rasa percaya penuh kepada Andika.

°°°°

Langit sudah gelap ketika mobil Andika masuk ke sebuah kawasan elite yang tenang. Pohon-pohon besar berjajar rapi di kanan-kiri jalan. Lampu-lampu taman menyala lembut, memberikan kesan damai.

Mobil berhenti di depan sebuah rumah mungil yang dikelilingi pagar kayu dan tanaman hijau. Desain rumah itu unik—bernuansa alam, dengan sentuhan rustic, banyak jendela besar, dan lampu-lampu kuning hangat yang menyala dari dalam.

Tiny membelalakkan mata. “Ih... ini tempat apa?”

Andika turun duluan, lalu membukakan pintu untuk Tiny. “Ayo turun dulu.”

Tiny turun, masih tak berhenti menatap ke sekeliling. “Aku... suka banget,” bisiknya, masih terpana.

Andika mengeluarkan kunci dari sakunya, lalu membuka pintu kayu mungil itu.

Begitu masuk, aroma kayu dan lavender menyambut mereka. Lantai dari parket, dinding sebagian besar dari jendela kaca lebar, dan langit-langit tinggi dengan lampu gantung berbentuk bola rotan.

Di sudut, ada rak buku kecil, bean bag, dan satu gitar akustik bersandar di dinding.

Andika memandang Tiny sebentar, lalu berkata pelan, “Ini rumah singgah. Tempat aku datang kalau butuh tenang. Tapi sejak kenal kamu, aku ngerasa tempat ini harus punya suara.”

Tiny menoleh cepat, matanya berkaca-kaca. “Kamu... mau tempat ini buat kita berdua?”

Andika mengangguk. “Buat kita. Buat kamu kalau mau nulis lagu, nyanyi, atau... nangis sesekali.”

Tiny tertawa kecil sambil menyeka sudut matanya. “Kok aku jadi terharu sih?”

Andika berjalan ke arah dapur kecil, lalu kembali dengan dua gelas cokelat panas. Ia menyerahkan satu ke Tiny.

Tiny duduk di bean bag, menatap sekeliling. “Ini tempat paling tenang yang pernah aku datangi. Apalagi bareng kamu, hehe.”

Andika ikut duduk di lantai, bersandar di sisi bean bag-nya. “Kalau suatu hari kita butuh kabur sebentar dari dunia... kita ke sini ya.”

Tiny menatap pria di sampingnya. “Janji ya?”

“Janji.”

Di luar, angin malam bergerak pelan, menggoyang dedaunan.

Dan di dalam rumah kayu kecil itu, dua jiwa sedang belajar mengabadikan rasa... Di antara diam, dan percaya.

Andika menyesap cokelat panasnya perlahan. Ia menoleh ke arah Tiny, yang masih menikmati aroma ruangan dan suasana tenang di sekeliling mereka.

Tapi tak lama kemudian, ia berkata lembut, “Keluar yuk. Nggak baik kelamaan berduaan di ruangan kayak gini.”

Tiny spontan menoleh, tersenyum jail. “Kamu takut aku ngegoda kamu ya?”

Andika mengerjap cepat. “Hah?”

Tiny tertawa keras, suaranya yang cempreng memantul lembut di antara dinding kayu. “Bercanda, Sayang. Ya udah, ayok. Jalan lagi gimana?”

“Ke mana?” tanya Andika sambil berdiri, meletakkan gelasnya ke meja kecil.

“Ke tempat pasar jajanan, dong. Yang waktu itu kita beli sate bakar itu lho,” ujar Tiny sambil berdiri juga, matanya berbinar. “Aku pengen jajanan yang pedes-pedes.”

Andika tersenyum. “Ayok. Di sana banyak banget jajanan. Tapi jangan nyari pedes doang. Nanti lambung kamu protes.”

Tiny memonyongkan bibir. “Duh, kamu tuh ya... dari calon suami udah mirip kayak calon dokter. Kan jadinya makin cinta~”

Mereka keluar dari rumah singgah itu. Tiny sempat menoleh sebentar sebelum masuk ke dalam mobil.

Ia berbisik pelan, nyaris tak terdengar, “Nanti aku tulis lagu tentang tempat ini...”

Mereka tertawa—seakan dunia ini hanya milik berdua. Seakan waktu akan selalu bersedia menunggu mereka...

Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!

Download Novel PDF
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!