"Om Burhan kenapa berada di gerbang sekolahku?" tanya Intan heran melihat saudara dari mamanya itu berada di depan sekolahnya.
"ahh mungkin om Burhan lagi ada keperluan di sekolahku," ucap Intan dalam hatinya.
Intan pun berjalan menuju gerbang hendak menunggu angkot untuk pulang.
"Selamat siang om," sapa Intan kepada omnya.
"Siang juga Intan," jawab om Burhan sambil tersenyum.
"Kok tumben om berada di depan sekolah ku, apa om ada keperluan di sekolahku?" tanya Intan.
"Oh tidak Intan om kebetulan lewat saja dan kebetulan melihatmu dari kejauhan jadi om putuskan untuk berhenti agar kamu bisa pulang bersama dengan om, hitung-hitung kamu bisa menghemat uang angkot mu," jawab om Burhan sambil tersenyum.
"Tumben om melewati jalur sekolahku? Kan tidak biasanya om melewati jalur ini untuk menjual dagangan om?" tanya Intan heran menatap wajah omnya.
"Iya itu anu em om ada keperluan disekitar sini, jadi om melewati jalur ini," ucap om Burhan sambil menggaruk kepalanya yang ku tebak tidak gatal tapi sengaja dibuat gatal.
Intan pun semakin bingung dan heran dengan tingkah om nya yang tidak seperti biasanya. Intan masih bertanya tanya dalam hati nya dan sedikit curiga dengan om nya ini.
"Hmm aku mencium sesuatu yang mencurigakan, mungkinkah om Burhan sedang bermain api di belakang bibi ku," monolog Intan dalam hatinya.
Semua tebakan mulai muncul dalam pikirannya namun iya tidak berani mengungkapkan langsung kepada om Burhan, iya takut om nya akan tersinggung.
"Hei Intan, kok malah ngelamun sih awas nanti kesambet loh siang-siang gini juga banyak setannya. Jadi kamu mau pulang bareng om atau nggak nih, kalau nggak mau biar om jalan aja?" tanya om Burhan.
Intan pun tersentak dari lamunannya.
"Ehh mau lah om nebeng yah, gratiskan om," jawab Intan sambil cengengesan salah tingkah.
"Ya udah ayo naik, sudah makin siang ini emangnya kamu nggak kepanasan," ucap om Burhan.
"Iya om," jawab Intan sambil berjalan mendekati motor omnya dan menaikinya.
"Pegangan yang erat Intan awas nanti kalau kamu jatuh kan bisa bahaya, nanti om juga yang akan di salahkan oleh ayah dan ibumu," ucap om Burhan.
Intan pun hanya menganggukkan kepalanya dan menuruti perintah dari omnya itu.
Om Burhan pun menyalakan mesin motornya dan melaju menuju rumah.
Sepanjang perjalanan pun tidak ada percakapan antara Intan dan om nya itu. Intan pun tidak mengajak om nya untuk berbicara karena ia takut akan mengganggu konsentrasi om nya.
Setelah setengah jam perjalanan gerbang menuju desa pun terlihat. Yah sebuah tugu yang bertuliskan "SELAMAT DATANG DI DESA LODO IRENG," yang artinya desa hitam atau desa yang gelap. Karena desa ini di kelilingi hutang yang sangat rimbun serta pepohonan tua yang menjulang tinggi.
Desa Lodo Ireng merupakan desa yang diapit oleh dua bukit dan hutan yang sangat lebat. Hutan tersebut merupakan salah satu sumber mata pencarian warga baik mencari kayu untuk di jual atau pun berburu hewan liar.
Namun tidak semua wilayah hutan bisa di masukin sesuka hati. Bagian terdalam hutan lindung terdapat tempat yang bernama wongge Ireng, di tempat tersebut di tumbuhi pohon rimbun dan semak belukar yang sangat tebal namun di tengah hutan tersebut terdapat dataran tanah yang luas namun tidak di tumbuhi oleh pepohonan mau pun semak belukar seperti lainnya. Masyarakat percaya kalau tempat tersebut merupakan tempat terkutuk yang harus di jauhi. Di ujung tanah tersebut terdapat sebuah batu yang ukurannya sangat besar dan berwarna hitam pekat, di bawah batu tersebut terdapat beberapa alat dan bahan pemuja, masyarakat percaya tempat tersebut di jadikan tempat pesugihan bagi mereka yang ingin mempunyai ilmu hitam mau pun menginginkan kekayaan.
Setelah melewati tugu selamat datang, intan tampak gelisah ia tampak melihat sesuatu yang sedang duduk diatas tugu tersebut. Intan mengucek matanya beberapa kali guna memastikan apa yang dilihatnya, mungkin kah ia salah lihat siapa yang berani duduk di atas ujung tugu yang begitu tinggi ataukah itu setan yang duduk disana. Tapi mana mungkin setan bergentayangan di siang bolong begini, intan berpikir keras namun ia cepat-cepat menepis nya, mungkin karena terlalu lapar ia sampai melihat hal-hal yang aneh.
Sampailah mereka di depan rumah Intan, iya pun turun dan mengucapakan terimakasih untuk tumpangan yang di berikan oleh adik dari ibunya itu.
"Terimakasih om sudah memperbolehkan Intan untuk menumpang," ucap Intan.
"Ah kamu ini Intan kaya sama siapa aja, santai aja," ucap om Burhan.
"Eh Intan udah pulang kamu nak, sama siapa kamu?" tanya bu Wati yang muncul dari dalam rumah.
"Selamat siang Bu, itu Intan sama om Burhan kebetulan tadi ketemu di jalan jadi sekalian aja Intan menumpang," jawab Intan sambil menyalami tangan ibunya.
"Oh sama Burhan to, terus dimana om kamu panggil masuk dong," ucap Bu Wati sambil berjalan menuju teras untuk memanggil adiknya itu.
"Burhan sini singgah dulu sebentar, ini istri dan anakmu juga ada disini," ucap Bu Wati.
"Lah mereka ngapain disini mba?" tanya om Burhan sambil melangkahkan kaki nya memasuki rumah.
"Bapak," anak-anak dari Burhan pun berlarian memeluknya.
"Kalian ini ngapain disini coba, bukannya jagain rumah kok malah keluyuran!" ucap Burhan memarahi anak-anaknya.
"Kenapa to Burhan kalau mereka kesini, aku loh yang manggil mereka untuk temani aku di rumah, soalnya mas mu dan anak-anak lagi sibuk di toko, kamu ini kebiasaan ya nadanya selalu tinggi sama anak dan istrimu," ucap Bu Wati.
"Enggak marah kok kak cuman negur aja, kan nanti jadi kebiasaan," ucap Burhan sambil menggaruk kepalanya.
"Alah alesan aja kamu," ucap Bu Wati.
Intan pun menuju ruang makan setelah selesai berganti pakaian. Disana sudah ada ibunya, om Burhan, Tante Desi dan kedua anak mereka.
"Ayo kita makan sama-sama," ucap Bu Wati.
"Eh enggak usah kak, kita udah makan kok dari rumah," ucap Burhan.
"Kamu ini Burhan istri dan anak mu itu pasti belum makan, mereka aja dari tadi sama aku terus kok. Nggak ada yang boleh menolaknya sekarang kita makan bersama," ucap Bu Wati.
"Desi kamu ambilin makanan buat kedua anak mu yah," ucap Bu Wati.
Desi pun menoleh kearah suaminya seperti meminta persetujuan dari suaminya itu, seperti mengerti dengan apa yang di lakukan oleh istrinya itu Burhan pun menganggukkan kepalanya menyetujui apa yang di ucapkan oleh Bu Wati.
Desi pun mengambilkan makanan untuk kedua anaknya. Mereka semua mulai menyantap makanan dalam diam hanya dentingan piring dan Senduk yang terdengar.
Meraka telah selesai menyantap makan siang, Burhan dan istrinya pun berpamitan untuk pulang.
Setelah kepergian om dan keluarga kecilnya itu, Intan memilih beristirahat sejenak untuk memulihkan tenaganya.
Disela tidur siangnya, Intan pun bermimpi ia di kejar oleh makhluk yang sangat menyeramkan, tubuhnya tinggi dan besar serta tubuhnya penuh dengan bulu-bulu hitam, wajahnya hancur penuh darah.
Intan pun berlari sekencang mungkin memasuki hutan, tanpa ia sadari kini ia telah memasuki hutan terlarang. Ingin rasanya ia kembali menuju rumah namun di belakang terdapat makhluk menyeramkan yang terus mengejarnya, tidak ada pilihan lain intan pun memasuki tanah terkutuk. Kini ia berdiri tempat di tengah-tengah tanah tandus tersebut, tubuhnya kaku tidak bisa di gerakan, keringat dingin bercucuran membasahi tubuhnya.
Dalam hati nya Intan terus memanggil nama ibu dan ayahnya, mulutnya terkunci tidak bisa mengeluarkan suara hanya tetasan air mata yang terus mengalir deras.
"Aaaakkkhhh," satu tebasan membuat tangan kanan intan terpisah dari tubuhnya. Sakit yang teramat ia rasakan, darah bercucuran mengalir membasahi tanah tersebut. Air mata nya semakin mengalir dengan hebatnya merasakan sakit.
"Tangan ku, sakit..,ibu, bapak, Abang tolong aku" ucap Intan dalam hatinya, ia tetap tidak bisa mengeluarkan kata-kata dari mulutnya.
Kemudian makhluk tersebut pun muncul tepat berdiri di hadapan Intan. Aroma khas daging busuk dan darah menyebar memasuki area penciuman milik intan, ingin rasanya ia memuntahkan isi perutnya namun ia seperti patung yang tidak bisa melakukan apa-apa.
"Akhhhkkhh aku akan membunuhmu. Mencabik-cabik tubuhmu Intan," ucap makhluk tersebut mengangkat tangannya Ingi menebas leher intan dan....
"Aaaaa," teriak Intan dengan kencangnya membuat ibunya yang berada di ruang tv pun terlonjak kaget dan terburu-buru menghampirinya.
Dengan cepat Bu Wati membuka pintu kamar anaknya, ia mendapati anaknya tengah dalam keadaan tertidur namun terus berteriak histeris.
Tubuh Intan pun berkeringat hebat hingga membasahi seluruh tubuhnya. Bu Wati pun berusaha membangunkan putrinya itu dengan terus memanggil serta menggoyangkan tubuh anaknya agar segera bangun.
Intan pun tersadar, langsung memeluk ibunya sambil menangis ketakutan.
"Nak apa yang terjadi, kamu mimpi apa anak?" tanya Bu Wati.
"Ibu intan takut Bu, intan mimpi buruk di kejar oleh makhluk menyeramkan wajahnya penuh dengan darah, makhluk itu memotong tangan intan Bu," ucap Intan sambil terus menangis.
"Ya sudah itu cuma mimpi nak, mungkin kamu kecapaian saja. Sekarang lebih baik kamu bangun dan mandi biar tubuhmu segar, sebentar lagi bapak dan abang-abang mu akan pulang," ucap Bu Wati mencoba menenangkan putrinya.
Intan pun mengikuti saran dari ibunya, mungkin karena terlalu beraktifitas di sekolah tadi sehingga membuat ia kecapaian dan bermimpi hal yang buruk.
Setengah jam pun berlalu, Intan keluar dari kamar nya dalam keadaan segar setelah mandi tadi. Intan pun memilih bergabung dengan ibunya menonton tv namun pikirannya masih terbawa tentang mimpinya tadi.
"Sudahlah Intan jangan memikirkan soal mimpimu tadi, mimpi itu hanya bunga tidur belaka," ucap Bu Wati.
"Iya Bu, hanya saja bayang tangan Intan yang di potong masih terlintas jelas di benak intan Bu," ucap intan.
"Ibu tau nak, lebih baik kamu coba untuk melupakan saja mimpi tersebut," ucap Bu Wati.
Bu Wati pun bangkit dan berjalan menuju dapur meninggalkan Intan seorang diri di ruangan keluarga. Bu Wati pun mulai mempersiapkan bahasan makanan yang akan ia masak untuk makan malam nanti.
Sedangkan Intan saat ini masih duduk termenung memikirkan tentang mimpinya tadi.
"Ah mungkin benar kata ibu mimpi itu hanya bunga tidur ku saja karena aku sedang kelelahan, lebih baik sekarang aku bantuin ibu aja dari pada terus memikirkan mimpi itu hanya membuatku semakin takut," ucap Intan dalam hatinya, intan pun mematikan tv nya lalu beranjak menuju dapur untuk membantu ibunya memasak.
"Bu,ada yang bisa intan bantu?" tanya Intan.
"Ndak usah sayang, ini udah mau selesai kok, kamu bantu ibu membereskan dedaunan di halaman belakang aja, bisa nak?" tanya Bu Wati.
"Bisa dong Bu," jawab intan berlalu pergi menuju halaman belakang.
Intan pun mengambil sapu dan mulai membersih kan dedaunan yang jatuh memenuhi halaman belakang rumahnya itu.
"Sedang asik menyapu terlihat dari jauh mobil bapak nya memasuki halaman rumah mereka.
"Rajinnya anak bapak yang satu ini," ucap pak Bimo menggoda putri bungsunya itu.
"Alah modus itu pak, biasanya kan ia lebih memilih bantuin ibu di dapur ketimbang harus menyapu halaman seluas ini," ucap Dinda.
"Ishh kakak, apa-apa kan sih kan aku memang rajin dari dulu kali," ucap Intan protes.
"Alah modus aja kamu tan," ucap Dinda.
"Tolong...Tolong...Tolong...," suara seseorang memecah obrolan mereka bertiga.
"Eh bang Joni, ada apa pak?" tanya tanya pak Bimo menahan pak Joni yang berlari dengan panik.
"Itu pak...Itu..," ucap pak Joni.
"Itu apa pak, ngomong nya yang jelas dong pak, tarik nafas dulu dalam-dalam pak lalu di hembuskan pak jangan di tahan," ucap Dinda sambil menahan tawanya.
"Ish kamu ini din, masih sempat-sempatnya kamu bercanda," tegur pak Bimo.
"Pak Joni ada apa sebenarnya? Siapa yang membutuhkan pertolongan?" pak Bimo kembali bertanya.
"Itu pak, pak Gito istrinya mengalami kecelakaan pak, tertindih pohon di belakang rumah mereka dan kemukiman meninggal dunia pak," ucap pak Joni.
"Astagfirullah lazim," ucap mereka bertiga.
"Yang benar pak, kapan kejadiannya pak. Bukan kah itu istri barunya yang baru ia nikahi sebulan lalu pak?" tanya pak Bimo.
"Iya pak itu si Lely, istri ke empat pak Gito yang baru ia nikahi sebulan yang lalu," jawab pak Joni.
"Ya Allah, kasihan sekali. Ya udah pak ayo kita bantuin," ucap pak Bimo.
" iya ayo pak," ucap pak Joni yang berlalu pergi bersama dengan pak Bimo sambil terus meminta pertolongan warga lainnya.
Intan dan Kakanya pun masuk ke dalam rumah untuk memberitahu ibu nya tentang kejadian naas tersebut.
"Ibu," panggil Intan
Iya nak, ada apa kok kamu lari-lari kaya gitu sih, tadi sepertinya ibu dengar suara bapak dan kakak mu yah, terus mana sekarang orangnya kok nggak kelihatan?" tanya Bu Wati.
"Itu Bu, bapak sama pak Joni lagi cari bantuan Bu untuk pak Gito soalnya istrinya meninggal di timpa pohon yang tumbang Bu," jawab Intan.
"Astagfirullah lazim, kok bisa nak? Kapan kejadiannya," tanya Bu Wati sambil mengelus dada.
"Tadi Bu kejadiannya, makanya bapak nyuruh Intan buat ngasih tau ibu kalau bapak pergi ke rumah pak Gito," jawab Intan.
"Ya udah, kalau gitu ibu mau nyusul kesana dulu, kamu di rumah aja sama kakak mu," ucap Bu Wati.
"Iya Bu," jawab Intan.
Bu Wati pun berjalan menuju rumah pak Gito hendak melihat apa yang sebenarnya yang terjadi.
"Bu Juwita," panggil Bu Wati ketika melihat tetangga sebelah rumahnya juga berjalan menuju rumah pak Gito.
"Eh Bu Wati, mau ke rumah pak Gito yah Bu ayo kita barengan aja, katanya istri ke empat pak Gito meninggal Bu tertindih pohon. Padahal yah Bu pak Gito kan baru aja nikah Bu bulan lalu masak ia sekarang harus menduda lagi," ucap Bu Juwita yang memang terkenal di kampung itu dengan sebutan ratu gosip.
"Namanya juga musibah Bu kita Ndak ada yang tau," ucap Bu Wati.
"Musibah kok keterusan sih Bu, pak Gito itu kan istrinya pada meninggal nggak wajar semua Bu, apa jangan-jangan pak Gito menjadikan istri-istrinya sebagai tumbal bu biar cepat kaya. Masak iya pak Gito merantau baru 2 bulan kok udah bisa bangun rumah gede dan beli mobil bagus Bu, kan Ndak wajar itu," ucap Bu Juwita.
"Husss, Bu Juwita jangan sembarangan kalau ngomong nanti kalau ada yang dengar bisa jadi masalah loh Bu. Yo kita ini jangan saling mencurigai Bu, mungkin saja memang pak Gito mendapat rejeki lebih makanya bisa bangun rumah dan beli mobil Bu," ucap Bu Wati.
"Iya Bu kan aku hanya mencurigai aja Bu," ucap Bu Juwita sambil cemberut.
"Sudah-sudah Bu, kita udah mau sampai di rumahnya pak Gito, mulutnya di jaga Bu awas di dengar sama pak Gito bisa berabe bu," ucap Bu Wati.
"Iya Bu," jawab Bu Juwita.
Saat ini mereka telah berada di rumah milik pak Gito ingin melihat kejadian tragis tersebut, ternyata rumah pak Gito sudah di penuhi oleh warga desa yang ingin melihat secara langsung.
Bu Wati dan Bu Juwita pun menerobos barisan warga untuk melihat lebih dekat. Betapa kaget nya mereka ketika melihat kondisi rumah pak Gito yang tertindih pohon. Na'as nya bagian yang tertimpa adalah dapur dimana saat itu istrinya tengah memasak sehingga ia pun menjadi korban dari peristiwa tersebut.
Namun yang mengherankan bagi masyarakat setempat ialah pohon jati tersebut ukurannya sangat besar bagaimana bisa pohon tersebut tumbang begitu saja karena siang tadi tidak terjadi angin ribut yang mampu membuat pohon tersebut tumbang.
Dari jauh mereka mendengar sirene kepolisian, Damkar dan Ambulance yang datang bersama menuju rumah pak Gito. Para warga pun membuka jalan agar mobil petugas tersebut dapat masuk. Dari dalam mobil keluarlah beberapa anggota polisi dan damkar.
"Halo selamat sore apa kah benar ini kediaman pak Gito yang tadi menelepon karena ada kejadian pohon besarnya tumbang dan memakan korban jiwa," tanya petugas polisi
"iya pak saya pak Gito yang tadi menelpon meminta bantuan," jawab pak Gito.
"Baik pak, maaf kami sedikit terlambat karena memang jalan menuju desa ini memerlukan waktu yang cukup lama dari kota," ucap petugas polisi tersebut.
"Terimakasih pak sudah mau datang, mari pak saya antarkan menuju tempatnya," ucap pak Gito.
"Baik pak silahkan," jawab petugas polisi.
Mereka pun menuju belakang rumah dimana pohon jati besar yang rubuh menimpa rumah mereka.
Betapa kagetnya para petugas ketika melihat kondisi dapur tersebut. Bagaimana tidak pohon jadi yang berukuran besar seketika rubuh menghancurkan area tersebut, bisa di pastikan jika ada yang tertindih ia tidak akan selamat.
Petugas damkar pun mulai mempersiapkan peralatan untuk memotong pohon tersebut menjadi beberapa bagian dan di bantu para warga.
Setelah beberapa bagian dari pohon tersebut di tebang, sesuatu yang mengerikan pun terlihat. Cairan merah menggenangi area tersebut dan tubuh korban pun tidak utuh lagi.
Tubuhnya terbelah menjadi dua bagian, organ dalam pun berserakan seperti pecahan kaca yang pecah berhamburan.
Para warga pun ramai-ramai berhamburan ingin melihatnya. Mual, muntah, pusing pun melanda ketika mereka melihat jantung, paru dan beberapa organ tubuh yang tergeletak begitu saja terpisah dari tubuhnya.
Bu Wati pun berjalan mendekat ingin melihatnya, kaget, ngeri dan kasihan yang tergambar di raut wajahnya.
Bagaimana tidak! Wanita yang baru di nikahi pak Gito harus berakhir dengan kematian yang sadis, entah bagaimana nasib orang tua nya nanti ketika melihat anaknya pergi meninggalkan mereka dengan kematian yang tragis.
"Astagfirullah, astagfirullah, astagfirullah," ucap Bu Wati dalam hatinya terus beristighfar.
Bu Wati pun yang merasakan hal yang sama seperti warga lainnya memilih mundur, ingin rasanya ia memuntahkan isi perutnya.
Kejadian yang sangat mengerikan, untuk pertama kalinya terjadi di desa mereka.
Karena tidak sanggup menyaksikan para petugas tersebut yang mulai bekerja memungut sisa-sisa tubuh dari istri pak Gito, Bu Wati pun memilih untuk pulang sedangkan para warga lainnya tetap memilih untuk membantu petugas membersihkan area tersebut.
Bu Erni pun berjalan pulang menuju rumah sedangkan suaminya masih bersama warga lainnya membantu pak Gito dan petugas.
Sesampai nya di rumah ia memilih memutar kearah belakang rumah nya menuju sumur guna mencuci wajahnya, saat hendak membasuh wajahnya ia mencium bau anyir darah segar, saat ia melihat air tersebut sudah berubah warna menjadi merah darah.
"Astagfirullah ya Allah apa ini," ucap Bu Wati membuang air tersebut.
Suasana sekitarnya berubah mencekam, angin kencang menerpa wajah Bu Wati disertai bau darah yang sangat menyengat.
Mata Bu Wati melirik sekitar rumahnya seperti ada sesuatu yang asing menatap dirinya.
"Tukkk, ibu," ucap Intan menepuk pundak ibunya.
"Astagfirullah, Intan kamu ini bikin kaget ibu aja loh, kalau ibu jantungan gimana coba," ucap Bu Wati kaget.
"Ibu lagi ngapain toh, dari tadi Intan panggil-panggil kok malah diam aja?" tanya Intan.
"Airnya," ucap Bu Wati.
"Air nya kenapa Bu?" tanya Intan.
Bu Wati pun bergegas melihat tumpahan air tadi yang tidak sempat ia basuh wajah ya, air nya seperti biasa jernih tidak berubah warna.
"Ya Allah apa tadi aku salah lihat yah, mungkin aku masih terbayang dengan kejadian yang menimpa istri pak Gito sehingga aku melihat air sumur ini berubah warna," monolog Bu Wati dalam hatinya.
"Ibu kok malah bengong lagi sih, air nya kenapa Bu?" tanya Intan heran.
"Itu emm, air nya nggak kenapa-kenapa kok tadi tangan ibu licin jadi tumpah deh, ya udah kita masuk aja kedalam biar nanti ibu cuci mukanya di dalam aja, udah Maghrib juga sebaiknya kita bersiap untuk sholat," ucap Bu Wati menarik anaknya untuk segera masuk ke dalam rumah, dalam hatinya masih menyimpan pertanyaan atas apa yang tadi terjadi dengan dirinya.
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!