Arvano Nathaniel Putra Dinata, anak tunggal dari keluarga terpandang di kotanya. Papanya seorang pengusaha terkenal yang memiliki banyak perusahaan yang begitu disegani oleh kompetitor.
Arvan, orang memanggil nya. Memiliki kepribadian tertutup dan terkenal anti dengan perempuan.
Ada trauma dimasa lalu yang membuat Arvan begitu menjaga batas dengan lawan jenis.
Arvan hanya tinggal berdua dengan sang papa. William Henry Dinata. Hanya berdua karena sang ibu telah meninggal saat Arvan masih berusia lima tahun. Dan sampai saat ini papanya masih setia dengan cinta yang dia miliki untuk sang mama. Sama sekali tak ada niat untuk mencari tambatan hati yang lain.
Bagi beliau, jatuh cinta hanya sekali dan menikah pun hanya sekali. Sisanya hanya melanjutkan hidup menjaga cintanya yang masih abadi didalam hati sampai suatu saat ajal menjemput.
Saat ini Arvan masih berkuliah, disalah satu universitas terkenal di Jakarta. Dikampus, Arvan menjadi incaran para wanita karena parasnya yang tampan. Tapi sayang, dari banyaknya wanita yang mendekati pria tampan yang memiliki gummy smile itu dan menginginkan dia untuk menjadi kekasihnya, Arvan sama sekali tak menunjukkan ketertarikannya.
Arvan memilih cuek dan tak menggubris perempuan-perempuan itu. Bagi Arvan, tak ada waktu untuk meladeni mereka. Perempuan hanya akan membuat hidup nya susah dan ribet.
Meski begitu, Arvan memiliki dua orang sahabat yang begitu setia dengan nya. Dia adalah Narendra Adiwiyata, atau sering dipanggil Naren dan Arga Satra Megantara biasa dipanggil Arga.
Naren memiliki sifat yang bertolak belakang dengan Arvan. Dia memiliki kepribadian yang ceria dan gampang bergaul. Kalau Arvan hanya memiliki dua teman sekaligus sahabat yaitu Naren dan Arga, berbeda dengan Naren. Pria itu memiliki banyak teman-teman selain Arvan, meski begitu hanya Arvan yang menjadi sahabat terbaik nya.
Tak hanya pertemanan, cerita cinta keduanya juga bertolak belakang. Naren memiliki banyak perempuan disisinya. Meski begitu, tetap saja Naren belum memiliki perempuan mana yang akan dia jadikan sebagai pacar. Naren hanya bersenang-senang dengan mereka.
Arga pun memiliki sifat yang tak beda jauh dengan Naren, yang membedakan hanya Arga tak suka mengumbar cinta seperti Naren.
Orang bilang Arvan kesepian, tapi Arvan rasa tak begitu. Ada dua sahabat yang selalu membuat hidup nya berisik.
Bayangkan, Arvan yang cuek diberikan sahabat yang super duper berisik seperti Naren dan Arga.
Tapi itulah hidup. Meski sering dibuat kesal oleh dua orang itu, tetap mereka adalah sahabat terbaik bagi Arvan. Mereka yang selalu ada disaat Arvan membutuhkan mereka.
Perbedaan sifat yang bertolak belakang tidak menjadi penghambat untuk bersahabat bukan?
______
"Woi Van, sendirian aja lo." Arga menghampiri Arvan yang tengah duduk di bawah pohon yang ada di taman kampus. Membaca buku dengan headphone yang menempel di kedua telinga nya adalah kebiasaan Arvan.
Arvan menoleh sebentar lalu kembali fokus dengan bukunya.
"Emang susah sih punya teman yang pacaran sama buku." Arga melepas headphone ditelinga Arvan.
"Bisa nggak usah ganggu gue?." Ucap Arvan dengan tatapan mengintimidasi. Cowok itu memang memiliki mata dengan sorot yang tajam.
"Gitu banget sih lo Van sama teman sendiri."
"Naren mana?." Tanya Arvan. Biasanya tom and Jerry itu selalu berdua.
"Nggak tau gue. Sama cewek-ceweknya itu kali. Van, kantin yok, laper nih gue." Begitu menoleh, ternyata Arvan kembali memasang headphone nya. "Nasib nasib. Nggak ada yang beres gue punya teman. Yang satu playboy yang suka menebar cinta, yang satu kulkas seratus pintu."
Arga tak lanjut mengganggu Arvan, dia tau teman nya yang satu itu kalau sudah berteman dengan buku dan headphone kesayangannya tak akan ada yang bisa mengganggu.
"Ke kantin sendiri lah gue. Dari pada disini jadi nyamuk." Arga akhirnya memilih ke kantin sendiri.
"Woi bro. Makan nggak ngajak-ngajak lo." Naren datang bersama seorang wanita. Sepertinya sih masih teman satu kampus sama mereka.
"Dari mana aja lo?." Tanya Arga.
"Biasalah." Naren merangkul cewek yang datang bersama nya.
"Hai Arga." Sapa cewek yang bersama Naren.
"Oh, hai." Arga balas melambaikan tangan, lalu kembali fokus dengan makanan nya.
"Naren, aku gabung sama teman-teman aku yang disana dulu ya." Ucap cewek itu menunjuk kearah meja lain yang sudah ada beberapa teman nya disana.
"Oke baby, nanti aku telpon ya." Ucap Naren.
"Cewek mana lagi tuh?." Tanya Arga begitu cewek itu sudah pergi.
"Masih dekat-dekat sini kok. Nggak jauh." Ucap Naren tak pernah serius. "Mana teman lo satu lagi?." Naren menyomot kentang goreng yang sedang dimakan Arga.
"Ada."
"Mana?."
"Dimana lagi teman lo yang satu itu kalau bukan ditaman. Pacaran sama buku-buku dia itu." Ucap Arga. "Habis kentang gue ege. Kalau mau beli sana." Arga menepuk punggung tangan Naren yang tak berhenti menyomot kentang goreng nya.
"Ya elah Ga, pelit banget jadi teman. Dikit doang padahal."
"Dikit dari mana? Hampir habis nih."
"Orang pelit kuburan nya sempit." Ucap Naren.
"Bodo amat. Lagian ukuran kuburan mah segitu-gitu aja. Nggak yang lega."
Seperti itulah contoh kecil keributan dua sahabatnya yang setiap hari dihadapi Arvan.
______
Jika Arvan hanya tinggal berdua dengan sang ayah, beda halnya dengan seorang gadis cantik bernama Ellena Anasya Dirgantara,dia hanya tinggal berdua dengan sang bunda. Ellen, adalah panggilan akrabnya.
Ayah Ellen, meninggal tiga tahun yang lalu akibat sebuah kecelakaan. Dalam kejadian itu mereka sekeluarga sedang dalam perjalanan menuju luar kota, pulang kampung ke kediaman nenek Ellen.
Sayangnya dalam kecelakaan itu hanya ayah Ellen yang tidak selamat.
Setelah kecelakaan itu, Ellen dan bundanya memutuskan untuk tinggal di kampung sang nenek. Dan melanjutkan masa SMA nya di kampung tersebut. Meninggalkan perusahaan sang ayah dan mempercayakan kepada orang kepercayaan keluarga Dirgantara.
"Ellen, duduk sini nak. Bunda mau ngomong sesuatu sama kamu." Bunda Dian. Satu-satunya orang tua yang Ellen punya.
"Iya bunda." Ellen duduk di sofa ruang keluarga bersama bundanya.
"Gimana nak, kamu udah ambil keputusan mau lanjut kuliah dimana?." Tanya bunda Dian.
"Ellen ikut keputusan bunda aja. Kalau bunda mutusin untuk pulang ke Jakarta, Ellen ikut. Lagian disini nenek juga nggak ada. Nggak mungkin kita ninggalin perusahaan ayah terlalu lama. Kak Arya pasti juga butuh bantuan bunda." Ucap Ellen. Arya adalah orang kepercayaan keluarga Dirgantara yang dipercaya melanjutkan perusahaan selama bunda Dian dan Ellen memutuskan tinggal di kampung.
Satu tahun yang lalu nenek Ellen sudah meninggal dunia. Setelah dipertimbangkan, mereka memutuskan untuk kembali ke kehidupan mereka yang lama. Hidup menjadi keluarga konglomerat Dirgantara.
"Kalau kamu setuju sama keputusan bunda, satu minggu lagi kita pulang ke Jakarta. Bunda bakal kasih tau kak Arya buat ngurus kuliah kamu di sana." Ucap bunda Dian.
"Bunda udah siap buat ingat kenangan bersama ayah, setelah kita pulang ke Jakarta?." Tanya Ellen. Tujuan utama mereka pindah ke kampung adalah untuk meninggalkan kenangan indah yang tak mungkin mereka lupakan di rumah sebelum nya bersama almarhum ayah nya.
"Siap nggak siap kita harus siap nak. Nggak mungkin selamanya kita disini. Rumah kita yang sesungguhnya adalah kediaman Dirgantara." Ibu dan anak itu saling berpelukan.
Saling menguatkan dan mempersiapkan diri untuk kembali ke kehidupan yang telah lama mereka tinggalkan.
______
Disini, dikampung sang nenek, Ellen memiliki seorang teman. Teman yang selalu ada untuk nya. Dia adalah Zean, laki-laki yang selalu ada untuk Ellen. Dengan Zean, Ellen selalu bercerita banyak hal tentang kehidupannya.
Zean juga tau, kalau Ellen tak akan selamanya tinggal didesa itu. Dan suatu saat akan kembali ke kehidupan nya yang lama. Menjadi Ellena Anasya Dirgantara, anak pengusaha terkenal yang memiliki kekayaan yang berlimpah.
"Tumben ngajak ketemuan, ada apa?." Tanya Zean. Ellen sengaja mengajak Zean untuk bertemu, memberitahu kalau satu minggu lagi Ellen akan pulang ke Jakarta.
"Zean, aku mau ngomong sesuatu." Ucap Ellen.
"Apa sih, kelihatan nya serius banget?." Tanya Zean.
"Aku mau pulang." Ucap Ellen.
"Pulang? Kamu baru aja sampai, masa udah mau pulang aja." Ternyata Zean belum mengerti kalau kata pulang yang Ellen maksud adalah kembali ke Jakarta.
"Bukan Zean. Aku mau pulang kerumah aku. Rumah yang di Jakarta." Beritahu Ellen.
Untuk sepersekian detik, Zean tak mengucapkan apa-apa. Zean tau Ellen akan pulang ke Jakarta, tapi tidak sekarang.
"Zean..." Ellen membuyarkan lamunan Zean. "Kamu dengerin aku kan?."
"Kapan?." Hanya satu kata itu yang berhasil lolos dari mulut Zean.
"Satu minggu lagi." Ucap Ellen.
"Satu minggu? Dan kamu baru kasih tau aku sekarang." Kesal Zean.
"Mendadak Zean. Kak Arya butuh aku sama bunda disana. Dan kita juga udah lulus SMA. Kan kamu tau setelah lulus SMA aku mau lanjutin kuliah di Jakarta."
"Kenapa nggak kuliah disini aja. Banyak kok universitas yang nggak kalah bagusnya dari Jakarta. Selama tiga tahun ini juga kak Arya sendiri yang ngurus perusahaan ayah kamu." Zean belum ikhlas kalau Ellen harus pergi sekarang.
"Nggak bisa Ze. Mau gimanapun aku yang akan melanjutkan perusahaan itu. Aku anak satu-satunya yang ayah punya."
"Ooh, yaudah. Kalau itu sudah keputusan kamu. Aku nggak bisa apa-apa. Sebagai teman aku cuma bisa mensupport keputusan yang kamu ambil." Ucap Zean. Meski bilang nggak apa-apa, Ellen bisa melihat raut kecewa diwajah Zean.
"Zean. Maaf." Ellen menundukkan kepalanya.
"Nggak perlu minta maaf Len. Disana kehidupan kamu yang sesungguhnya." Ucap Zean, meski berat dia harus bisa menghargai keputusan Ellen.
"Zean." Panggil Ellen.
"Hmm, apa Len?." Zean menoleh, menatap wajah Ellen.
"Satu minggu lagi aku pulang. Kamu masih belum mau jawab pertanyaan aku?." Tanya Ellen.
Zean menunduk, seolah berat untuk berbicara.
"Zean... aku butuh jawaban kamu."
Zean sahabat yang baik dan selalu ada untuk Ellen. Sejak awal kepindahan Ellen ke desa itu, Zean lah orang pertama yang mengajak Ellen untuk berteman. Jika Ellen membutuhkan bantuannya, Zean pasti selalu siap.
Diperlakukan istimewa seperti itu, cewek mana yang tak baper. Perasaan yang awalnya hanya sekedar sahabat kini berubah jadi cinta. Kata orang, tidak ada persahabatan yang murni antara laki-laki dan perempuan. Dan itulah yang terjadi diantara mereka.
Bukan Zean yang menyatakan perasaan nya, tetapi Ellen. Bagi Ellen lebih baik mengungkapkan dari pada memendamnya. Tapi sampai sekarang, Zean belum menjawab pernyataan cinta nya itu.
"Maaf Len, aku nggak bisa." Ucap Zean.
Tau apa alasan Zean menolak cinta Ellen?
Zean tau latar belakang keluarga Ellen seperti apa. Dia merasa tak pantas bersanding dengan gadis seperti Ellen, karena dia hanya berasal dari keluarga sederhana.
Ibu dan bapak Zean hanya seorang petani yang bekerja menggarap ladang dan sawah orang.
"Nggak, aku nggak mau dengar sekarang. Simpan jawaban kamu nanti dihari aku pulang ke Jakarta." Ellen sengaja menutup kuping nya sebelum Zean menjawab pertanyaan nya. Ellen berlari meninggalkan Zean sendiri.
"Maaf Len, sekarang atau nanti jawaban aku tetap sama." Ucap Zean, menatap punggung Ellen yang terus menjauh.
~~~
Setiap orang ada masanya. Setiap masa ada orang nya. People come and go.
~~~
Satu minggu kemudian......
Hari ini adalah hari keberangkatan Ellen ke Jakarta. Barang-barang yang akan Ellen dan bundanya bawa pun sudah siap dan juga sudah diangkat keatas mobil yang nanti akan membawa barang-barang mereka.
"Ellen, udah siap sayang?." Tanya bunda Dian. Menghampiri Ellen yang sejak tadi berdiri di teras rumah. Matanya menatap kearah jalan didepan rumah. Menunggu sang sahabat yang menjelang keberangkatannya ini belum kunjung datang.
"Udah bun." Ellen celingak-celinguk mencari keberadaan Zean.
"Belum datang Zean nya?." Tanya bunda Dian. Dia tau Ellen pasti menunggu sahabat nya itu.
Ellen menggeleng lesu. "Belum bun, mungkin Zean nggak bakal datang."
"Atau mau di susul aja kerumah nya? Bunda tungguin kok." Bunda Dian mengusap lembut rambut putrinya itu.
"Nggak usah bun. Kalau Zean mau ketemu Ellen sebelum pergi, pasti dia datang. Ellen udah kasih tau kok kalau hari ini kita mau berangkat." Ucap Ellen. Meski bilang tak mau, tapi Ellen sangat berharap kalau Zean akan datang. Ini pertemuan terakhir mereka, nggak mungkin kan Zean nggak datang?
"Yakin? Nggak nyesel nih?." Tanya bunda Dian memastikan.
"Nggak bun. Kita berangkat sekarang aja." Ucap Ellen. Berjalan lesu masuk kedalam mobil yang didalamnya sudah ada Arya yang menunggu.
Bunda Dian tau kok kalau putri kesayangannya itu menaruh hati dengan sahabatnya itu. Ellen memang tipikal anak yang menceritakan apa saja dengan bundanya.
"Ya udah ayo, kita berangkat sekarang. Mas Arya udah nunggu di mobil."
Mendapat kabar kalau Ellen dan bunda Dian akan pulang ke Jakarta, Arya sangat antusias, dan dia sendiri yang menjemput mereka ke kampung.
"Nggak dateng nih pangeran nya?." Tanya Arya, begitu Ellen dan bunda Dian sudah masuk kedalam mobil.
"Nggak." Jawab Ellen sambil cemberut.
"Jangan manyun dong. Mungkin dia lagi sibuk." Ucap Arya. Melihat anak majikan yang sudah dia anggap sebagai adik sendiri itu dari kaca spion mobil.
"Sibuk apaan. Dia tau Ellen mau pergi hari ini, kenapa nggak luangin waktu nya." Ucap Ellen dengan nada kesal.
"Benar kata mas Arya. Mungkin Zean ada urusan yang nggak bisa ditinggal." Ucap bunda Dian dengan nada keibuan nya.
"Tau deh bun, Ellen kesel sama Zean." Ellen menyilangkan tangan nya di dada. Memalingkan wajah melihat kearah kaca jendela mobil.
"Tuh orang nya datang noh." Arya menunjuk kearah depan mobil. Terlihat disana seorang laki-laki tengah berlari kearah mereka. Dan memang itu adalah Zean.
"Buruan turun." Ucap Arya.
"Nggak mau. Siapa suruh datang telat." Ternyata Ellen masih merajuk.
"Ellen, sayang nggak boleh gitu. Itu Zean nya udah nungguin kamu." Ucap bunda Dian memberikan nasehat.
"Iya iya..." Ellen akhirnya mau turun menemui Zean. Dengan bibir yang manyun beberapa centi.
"Maaf aku telat datang." Ucap Zean begitu Ellen turun dari mobil.
"Kamu lupa aku pergi hari ini?." Tanya Ellen kesal.
"Nggak Len. Mana mungkin aku lupa." Ucap Zean lembut. Zean memang tak pernah bisa ngomong dengan nada keras dengan Ellen.
"Trus kenapa telat?." Tanya Ellen dengan mata yang berlinang.
"Aku nyiapin ini buat kamu." Zean mengeluarkan sebuah gelang dari sakunya.
"Gelang?."
"Iya, suka nggak?." Zean memasangkan gelang itu di pergelangan tangan Ellen.
"Kamu beli atau buat sendiri?." Tanya Ellen, kini sudah senyum lagi.
Segitu doang ngambek nya Len?
"Buat lah. Biar ada effort nya. Kita couple-an." Zean menunjukkan gelang yang sama yang ada di pergelangan tangan nya.
"Jaga baik-baik ya. Ini gelang persahabatan kita." Ucap Zean.
"Cuma sebatas persahabatan?." Tanya Ellen.
"Len, maaf aku nggak bisa terima perasaan kamu. Kita cukup sahabatan aja ya." Ucap Zean. Menggenggam tangan Ellen.
"Kamu beneran nggak bisa balas perasaan aku?."
"Maaf Len. Hargai keputusan aku ya."
Meski berat, tapi Ellen tetap mencoba tersenyum. Hari ini perpisahan mereka, nggak mungkin dia meninggalkan Zean dengan air mata. "Ya udah, nggak apa-apa kok. Tapi kamu janji ya, harus terus jadi sahabat terbaik aku."
"Pasti." Zean mengusap lembut rambut Ellen.
"Kalau aku libur kuliah, pasti aku main kesini." Ucap Ellen.
"Iyaa, aku tunggu kamu disini. Kalau ada waktu dan aku ada uang, aku yang nyusul kamu ke Jakarta."
"Boleh minta peluk nggak?." Tanya Ellen.
"Boleh dong." Keduanya saling berpelukan.
Kebersamaan mereka selama tiga tahun ternyata telah berakhir.
Apakah dimasa depan memang Zean yang akan menjadi pemilik hati Ellen, atau ada laki-laki lain yang pantas memenangkan hati putri tunggal Dirgantara itu?
______
Berat rasanya kedua kaki melangkah masuk kedalam rumah yang telah lama mereka tinggalkan. Rumah yang penuh kenangan indah bersama yang tercinta.
Ellen dan bunda Dian berdiri didepan rumah mewah kediaman Dirgantara yang sudah tiga tahun mereka tinggalkan.
Rindu, sedih, haru semua perasaan bercampur aduk.
"Ayo bun." Ellen dan bunda Dian bergandengan melangkah masuk kedalam rumah mewah itu.
Tangan bunda Dian sampai bergetar saat hendak membuka gagang pintu.
Begitu pintu dibuka, tak ada yang berubah. Semua masih sama seperti dulu. Satupun interior rumah tak ada yang berkurang atau pun bertambah, posisi nya pun masih seperti terakhir mereka meninggalkan rumah itu.
Diruang depan, ada sebuah banner bertuliskan Welcome home, dan sudah pasti itu Arya yang menyiapkan.
"Selamat datang lagi dirumah yang penuh kenangan indah ini." Ucap Arya.
"Ini mas Arya yang nyiapin?." Tanya Ellen.
"Iya, tapi mas nggak sendiri. Ada mereka yang bantuin." Ucap Arya. Menunjuk kearah sudut lain ruangan, disana ada dua orang perempuan yang berlari mendekati Ellen.
"Elleeeen......" Dua orang perempuan berlari menghampiri dan memeluk Ellen. Mereka adalah Zelin dan Laura, sahabat Ellen.
"Zelin, Laura.. Kangeeeeen." Mereka bertiga berpelukan melepas rasa rindu.
Selama tiga tahun ini Ellen benar-benar menghilang. Sama sekali tak memberikan kabar kepada teman-temannya yang berada di Jakarta, termasuk Zelina dan Laura.
"Kangen tau. Jahat banget lo, ganti nomer nggak kasih tau kita. Semua sosial media lo juga nggak aktif." Ucap Zelina.
"Tau nih. Emang dikampung sana nggak ada libur sekolah? Sombong banget." Omel Laura.
"Sorry guys. Janji deh, mulai hari ini dan seterusnya gue nggak akan kemana-mana. We will always be together, girls."Ketiga nya kembali berpelukan.
"Sama bunda nggak kangen nih?." Tanya bunda Dian.
"Kangen dong tante, kangen banget banget banget pokoknya." Kini gantian Zelin dan Laura memeluk bunda Dian.
"Tante tau nggak, kita berdua tanya sama mas Arya dimana kampung nenek Ellen, tapi nggak mau kasih tau." Ucap Zelina.
"Iya tan, pelit banget." Ucap Laura.
"Salah sendiri. Katanya sahabat Ellen, tapi kampung nenek nya aja nggak tau." Ucap Arya.
"Ellen nggak pernah bilang." Ucap Laura.
"Iya, benar tuh." Zelin mengangguk.
"Tante tau nggak. Setiap ketemu nih sama mereka berdua, pasti nanyain Ellen mulu. Udah kayak diteror aku." Ucap Arya.
"Nggak apa-apa. Yang penting sekarang bunda sama Ellen kan udah pulang."
Setelah makan bersama, Arya kembali ke kantor dan bunda Dian istirahat dikamarnya. Sementara Ellen dan kedua sahabatnya itu lanjut ngobrol di kamar Ellen. Kamar yang sudah tiga tahun ini Ellen tinggal kan.
"Lo jadi nggak kuliah di kampus kita?." Tanya Zelin.
"Jadi dong. Mas Arya udah urus semuanya, jadi gue tinggal masuk aja." Jawab Ellen.
"Enak banget lo nggak perlu ikut ospek. Tinggal kuliah. Kita kemaren dikerjain habis-habisan sama senior tau." Ucap Laura.
"Siapa suruh kalian kuliah duluan."
"Lo kali yang kelamaan. Lulus sekolah bukannya langsung pulang, malah masih nangkring lo disana." Omel Laura.
"Itu nggak penting. Yang penting, yang harus lo tau, di kampus kita banyak cogan nya. Pasti lo nggak nyesel kuliah disana." Ucap Zelin.
"Cogan aja yang ada di kepala lo. Belajar yang benar." Laura menoyor jidat Zelin.
"Ya ampun Lau. Ini namanya menikmati hidup. Kapan lagi kan kuliah sambil liatin cogan."
"Terserah lo deh Zel. Lo nggak usah dengerin Zelin, Len." Ucap Laura.
"Lebih ganteng dari dia nggak?." Ellen menunjukkan foto Zean kepada sahabatnya itu.
"Siapa nih Len?." Zelin sebagai pemburu cowok-cowok tampan tentu penasaran foto siapa yang ditunjukkan Ellen.
"Sahabat gue selama tinggal disana. Pokoknya dia baik banget sama gue. Nama dia Zean." Jawab Ellen.
"Sahabat atau pacar nih?." Tanya Laura.
"Maunya sih jadi pacar, tapi dia nolak gue."
"What? Ditolak? Seorang Ellen ditolak cowok?." Ucap Zelin heboh.
Kembali mendapatkan toyoran dari Laura. "Suara lo Zel. Ya ampun, heboh banget. Heran gue."
"Namanya juga penasaran Lau. Bisa-bisanya dia nolak Ellen."
"Tau deh gue. Padahal gue udah nurunin ego gue buat nembak dia, eh malah ditolak. Tapi nggak apa-apa deh, yang penting masih bisa temenan." Ucap Ellen
"Trus, dia lo tinggal?." Tanya Laura.
"Ya iyalah. Nggak mungkin kan gue ajak ke sini."
"Tenang Ellen ku sayang. Nggak dapat Zean, masih banyak para cogan di kampus. Lo tinggal tunjuk mau yang mana, pasti mereka langsung tertarik sama lo." Zelin merangkul Ellen.
"Nggak tertarik gue. Gue mau belajar, bukan berburu cowok kayak lo." Ucap Ellen.
"Nggak normal lo berarti."
"Bukan Ellen yang nggak normal, tapi lo yang stress. Kuliah itu belajar bukan cari cowok." Ucap Laura.
"Emang nggak bisa diajak kompromi kalian. Nggak asik."
Ellen tersenyum, ternyata nggak ada yang berubah dari kedua sahabatnya itu. "Zel, lo emang berisik sih. Tapi itu yang buat gue kangen."
"Aaa, Ellen. Jadi terharu deh." Zelin memeluk Ellen.
"Len, besok ke kampus berangkat bareng ya. Biar gue jemput." Ucap Laura.
"Boleh. Gue juga pasti bingung kalau berangkat sendiri."
______
Bunda Dian berdiri disebuah foto besar yang terpajang didinding kamar nya. Foto keluarga kecil mereka.
"Yah, bunda sama Ellen udah pulang. Kita nggak akan ninggalin rumah ini lagi." Bunda Dian tersenyum sambil terus menatap foto itu.
"Ayah pasti bahagia kan disana? Bunda sama Ellen juga bahagia disini. Ada Arya yang akan bantu ayah jagain kita, ayah nggak usah khawatir." Tanpa sadar, air mata mengalir begitu saja.
Setelah puas menatap potret lama keluarga kecil mereka, bunda Dian memilih istirahat. Besok akan menjadi hari yang panjang baginya.
Mulai besok, bunda Dian akan bekerja di perusahaan, membantu Arya. Kedepannya, sampai Ellen siap memimpin perusahaan, bunda Dian lah yang akan membantu Arya.
Bukan hal baru bagi bunda Dian. Karena dia juga berasal dari keluarga ningrat. Sebelum menikah dengan almarhum suaminya, bunda Dian sempat memimpin perusahaan cabang milik keluarga nya sebelum Ellen lahir, dan almarhum suaminya meminta bunda Dian untuk berhenti bekerja.
Sekarang, perusahaan itu dipimpin oleh kakak kandung bunda Dian sendiri.
Pagi-pagi sekali, Zelin dan Laura sudah sampai dikediaman Dirgantara untuk menjemput Ellen. Mereka sudah janjian, kalau hari ini akan berangkat ke kampus bersama.
"Morning bestie...." Ellen menyapa kedua sahabatnya itu yang sudah menunggu didalam mobil. Mereka berangkat dengan mobil Zelin.
"Morning bestie. Siap menyambut hari baru?." Ucap Zelin.
"Siap banget. Let's go kita berangkat." Ucap Ellen. Sudah tak sabar menyambut hari pertama nya menjadi seorang mahasiswa.
"Pokoknya hari ini kita full happy-happy. Kemana aja lo mau, kita anterin." Ucap Laura.
"Gue mau keliling kampus dulu. Kan nggak lucu kalau gue sampe nyasar." Ucap Ellen.
"Itu aman. Keliling kampus adalah kesukaan gue." Ucap Zelin. Ikut menimpali obrolan tapi masih fokus dengan jalanan karena dia yang menyetir.
"Mau tebar pesona sama cowok-cowok kan lo." Tebakan Laura tak meleset.
"Tepat sekali. Lo emang sahabat terbaik gue sih Lau. Tau aja tujuan hidup gue."
"Hidup lo emang nggak jauh-jauh dari cowok sih Zel. Nggak heran gue." Saut Ellen.
"Tuh denger, Ellen yang tiga tahun aja pisah dari kita masih hapal tabiat lo, apalagi gue yang setiap hari ketemu lo." Ucap Laura.
"Nggak ada yang salah kan, mana tau salah satu dari cogan cogan itu mau sama gue. Secara gue kan cantik, imut, lucu, dan menggemaskan." Zelin tak lupa mengibaskan rambutnya.
"Mending lo fokus nyetir deh Zel, nggak lucu kalau lo sampai nabrak." Ucap Ellen.
Tiga tahun berpisah, tak ada yang berubah dari kedua sahabatnya itu, selalu saja heboh. Tapi itu yang membuat Ellen kangen sama mereka.
Dan benar, baru saja Ellen selesai ngomong mobil Zelin sudah berci*man dengan mobil pengendara lain alias menabrak bagian belakang mobil didepan nya.
"Zelin, apa gue bilang, fokus nyetir. Nabrak kan jadinya." Untung nya mereka bertiga tak apa-apa.
"Jidat gue Zel, benjol pasti nih." Laura mengusap jidat nya yang terbentur dasbor mobil.
"Itu nggak penting, sekarang lo bantuin gue hadapin dia." Ucap Zelin panik. Pemilik mobil yang tak sengaja mereka tabrak keluar dan menghampiri mereka. Tau siapa dia?
Dia Arvan. Dengan sorot matanya yang tajam Arvan mengetuk kaca mobil Zelin.
"Gimana nih, itu mobil kak Arvan. Bisa habis gue." Keluh Zelin.
Mereka satu kampus dengan Arvan. Siapa yang tak mengenal Arvan. Laki-laki berhati dingin dan tak berperasaan. Satupun mahasiswa di kampus tak ada yang ingin berurusan dengan Arvan.
"Keluar aja, minta maaf, beres kan. Lagian mobil dia nggak parah kok." Ucap Ellen.
"Gue berani kalau dia bukan kak Arvan, Len." Ucap Zelin.
"Kenapa sih, sama-sama manusia kok. Kenapa kalian takut." Tanya Ellen.
"Lo nggak tau aja kak Arvan itu gimana Len." Ucap Laura. Sama halnya dengan Zelin, Laura juga tak berani keluar dari mobil.
"Biar gue yang turun." Ucap Ellen lalu keluar dari mobil.
"Ellen..." Zelin dan Laura coba mencegah Ellen tapi dia sudah lebih dulu keluar dari mobil.
"Maaf kak, teman gue nggak sengaja nabrak mobil lo. Sorry banget ya. Kita bakalan ganti rugi deh." Ucap Ellen.
"Lo yang nyetir?." Tanya Arvan datar.
"Teman gue kak. Dia kurang fokus, jadi nggak sengaja deh nabrak mobil lo. Kita bakalan ganti kerusakan mobil lo kok."
"Gue nggak butuh uang lo. Kalau nggak bisa nyetir nggak usah sok-sokan bawa mobil lo." Sarkas Arvan.
"Trus lo maunya apa. Gue udah minta maaf, gue juga mau ganti rugi. Lagian mobil lo nggak terlalu parah rusak nya, cuma gores dikit doang." Ucap Ellen, mulai habis kesabaran nya.
"Cukup sekali gue ketemu sama cewek kayak lo." Arvan menunjuk tepat didepan wajah Ellen. Lalu tanpa berkata-kata lagi, Arvan kembali ke mobilnya lalu pergi begitu saja.
"Dasar cowok aneh." Gerutu Ellen lalu kembali masuk ke dalam mobil.
"Len, gue kasih tau satu hal sama lo. Jangan pernah berurusan sama dia." Ucap Zelin.
"Kenapa?."
"Tuh cowok dingin banget. Ganteng sih, gue akuin dia yang paling ganteng di kampus. Tapi hidup nya cuma sebatas dengerin musik pake headphone sama baca buku. Udah itu. Dikampus nggak ada yang berani cari gara-gara sama dia." Ucap Zelin.
"Jadi kita satu kampus sama dia?." Tanya Ellen.
"Iya. Dia kakak tingkat kita. Pokoknya lo dengerin aja kata Zelin tadi, jangan cari masalah sama dia." Ucap Laura.
"Gue juga ogah kali berurusan sama cowok modelan gitu." Ucap Ellen.
Setelah tragedi singkat itu mereka kembali melanjutkan perjalanan ke kampus.
Sesampainya dikampus, Zelin dan Laura terlebih dahulu mengantarkan Ellen ke kelas nya. Mereka bertiga memilih jurusan yang berbeda. Ellen bisnis, Laura kedokteran, dan Zelin psikologi.
"Nanti kita ketemu di kantin ya." Ucap Zelin, begitu mereka sampai didepan kelas Ellen.
"Kek nya nanti gue nggak ikut deh, gue ada kelas sampai siang." Ucap Laura.
"Yaah, nggak asik banget. Ya udah deh, kalau gitu nanti lo sama gue aja Len." Ucap Zelin.
"Oke aman. Kalian buruan ke kelas masing-masing gih, keburu dosen masuk." Ucap Ellen.
______
Begitu kelas usai, Ellen yang memang sudah lapar langsung menuju kantin untuk mengisi perut nya yang kosong.
Mencari meja yang kosong, kebetulan meja yang kosong ada di sudut paling ujung kantin. Ya sudah, daripada nggak dapat tempat makan, mending duduk disana aja.
Ellen membawa nampan makanan nya kemeja tersebut. Zelin akan menyusul karena kelasnya belum selesai.
Ellen menyantap makanan nya sambil scroll vidio di ponselnya.
"Hai cantik." Tiba-tiba tiga orang laki-laki menghampiri Ellen yang sedang asik makan.
Ellen menoleh sekilas lalu kembali fokus dengan makanan nya.
"Ekkhmm.... Kayaknya lo mahasiswi baru ya?." Tanya Naren. Ternyata ketiga laki-laki itu adalah Arvan, Naren, dan Arga. Sayangnya Ellen belum sadar kalau salah satu dari laki-laki itu adalah pria yang tadi pagi mobilnya tak sengaja ditabrak oleh Zelin.
"Iya. Ada apa ya kak?." Tanya Ellen.
"Pantes." Ucap Arga, duduk di bangku kosong dihadapan Ellen. Kalau Naren jangan tanya, sudah lebih dulu ambil start disebelah Ellen. Arvan sih masih betah berdiri dia, dengan headphone di telinga dan buku mata yang fokus dengan buku yang dia baca. "Ini meja kita. Jadi lo bisa cari meja yang lain." Lanjut Arga.
"Emang ada meja di kantin ini milik pribadi? Setahu gue nggak ada ya." Ucap Ellen, tanpa rasa takut dia terus menyantap makanan nya.
"Cantik, ini meja emang khusus buat kita. Kalau lo mau aman kuliah disini, mending cari meja lain deh." Ucap Naren.
"Kalian aja yang cari meja lain sana. Gue lagi makan." Enak aja nyuruh seenak jidat. Emang mereka siapa?
"Cewek aneh." Gumam Arvan, tanpa melihat kearah Ellen.
Ellen menoleh, seperti tidak asing dengan suara itu. "Lo lagi?. Ngapain lo disini?." Ellen berdiri dari duduknya, berhadapan langsung dengan Arvan.
"Bukan urusan lo." Jawab Arvan singkat.
"Dasar nyebelin." Ucap Ellen.
"Ulang ucapan lo barusan." Arvan menutup buku nya, membalas tatapan Ellen yang tak kalah tajam nya dengan tatapan Arvan.
"Nye be lin." Ellen mengeja kalimat nya.
Kini jarak keduanya hanya beberapa centi saja, bahkan Ellen bisa merasakan hembusan napas Arvan. "Jaga ucapan lo kalau mau aman disini." Ucap Arvan, lalu pergi dari sana. Hanya membuang-buang energi saja meladeni perempuan itu.
"Emang lo siapa? Lo pikir gue takut sama lo." Tantang Ellen.
"Nama lo siapa?." Tanya Naren, mengulurkan tangannya. Biasalah, jiwa playboy nya sudah meronta-ronta ingat berkenan dengan cewek cantik itu.
"Sorry, gue nggak bisa kenalan sama sembarang orang." Ucap Ellen, lalu pergi dari sana. Mood makannya sudah hilang.
"Sombong banget tuh cewek. Kita lihat aja, sampai dimana dia bisa menolak karisma seorang Naren." Ucap Naren, menatap punggung Ellen yang sudah beranjak menjauh.
"Gue tebak, dia satu-satunya cewek yang nggak akan termakan rayuan lo." Arga merangkul bahu Naren.
"Lo meragukan kemampuan gue. Kita lihat aja, kurang dalam waktu satu bulan, gue pasti bisa mendapatkan dia." Diremehkan seperti itu, tentu Naren menjadi tertantang. Apalagi selama ini belum ada satupun cewek yang berani menolak nya. Malah cewek-cewek itu yang mengejar nya.
______
"Sok kegantengan. Dia pikir di siapa, seenaknya ngomong gitu. Tuh cowok tiga-tiganya nggak ada yang beres. Kok bisa ya cowok-cowok modelan mereka jadi incaran satu kampus. Buta kali mata cewek-cewek di kampus ini." Gerutu Ellen. Tujuan dia adalah taman. Disana lumayan sepi, jadi bisalah mengembalikan mood nya yang tadi berantakan.
"Ellen. Lo dari mana aja sih, gue cariin di kantin nggak ada. Malah ngomel-ngomel nggak jelas disini." Zelin datang menghampiri Ellen.
"Lo yang kemana. Katanya sebentar, hampir setengah jam gue di kantin lo nggak nongol. Malah ketemu tuh cowok-cowok rese." Gerutu Ellen.
"Cowok rese siapa?." Tanya Zelin.
"Nggak tau gue mereka siapa. Yang jelas salah satu dari mereka ada cowok yang tadi mobil nya lo tabrak." Jawab Ellen.
"Ya ampun Ellen. Lo ngapain lagi sama mereka? Nyari masalah lo ya?."
"Mereka kali yang nyari masalah sama gue." Ucap Ellen.
"Emang lo ngapain sih?."
"Makan."
"Kalau lo cuma makan nggak mungkin mereka datang gitu aja nyari masalah sama lo."
"Gue duduk di meja paling ujung di kantin. Tiba-tiba aja mereka datang nyamperin gue, nyuruh gue pergi nyari meja lain."
"Ya ampun Ellen. Pantesan mereka marah, orang itu meja mereka biasa duduk. Nggak ada yang boleh pakai meja itu selain mereka."
"Emang ada peraturan nya?."
"Nggak ada sih. Tapi dari awal gue kuliah disini juga udah gitu aturan nya. Lo ikutin aja Len. Jangan banyak komen deh." Ucap Zelin.
______
Pulang dari kampus, Ellen memilih untuk langsung pulang. Baru sehari kuliah rasanya sangat menguras emosi.
Ellen merebahkan tubuhnya diatas kasur, menghirup udara dikamar nya itu. Hari ini bunda Dian sudah mulai bekerja di perusahaan, jadi Ellen hanya sendiri dirumah. Ada bibi sih, tapi bibi sibuk dengan pekerjaan rumah nya.
Ellen mengambil ponselnya dari dalam tas. "Zean lagi ngapain ya." Ellen berencana untuk menghubungi sahabat nya itu.
Panggilan vidio menjadi pilihan Ellen. Tanpa menunggu lama, layar ponselnya sudah menampakkan wajah tampan Zean disana.
"Zean, aku kangen." Ucap Ellen begitu panggilan vidio nya diangkat oleh Zean.
"Aku juga. Gimana hari pertama kuliah kamu?."
"Biasa aja sih, malah lebih ke ngeselin. Untung nya ada Zelin sama Laura yang bisa ngembaliin mood aku."
"Kenapa sih? Apa yang buat mood seorang Ellen jadi buruk, hmm?."
"Nggak usah dibahas deh. Oh ya, kamu gimana kuliah nya?."
"Alhamdulillah lancar. Ini aku masih dikampus. Habis ini masih ada matkul."
"Sampai sore?."
"Iya. Hari ini aku kuliah siang. Tadi pagi ngajarin anak-anak les dulu." Zean memang memiliki kerja sampingan mengajar les anak-anak didesa nya.
"Len, nanti aku telpon lagi ya. Dosen aku udah masuk." Ucap Zean.
"Ya udah deh. Bye Zean."
Setelah panggilan itu berakhir, Ellen memilih tidur. Cukup lelah untuk hari ini. Memilih tidur sampai menunggu bunda Dian pulang dari kantor.
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!