NovelToon NovelToon

SCRIPT SWEET

20 TAHUN

Barakallah fii umrik Mbak Aluna Sayang 🎂🎂. Duh anak mama sudah 20 tahun saja, padahal mama merasa baru kemarin melahirkan dan menggendong Mbak Aluna, eh sekarang sudah mau lulus kuliah saja. Sehat selalu ya Mbak, lancar usahanya, mama siap diajak jalan-jalan dan ditraktir Mbak Aluna nih. Love you Sayang 😍.

Bangun tidur, buka ponsel pertama kali, ternyata chat mama, papa, dan sang adik masuk secara berurutan.

Kado ulang tahun buat aku jangan lupa ya mama Mbi-ku yang paling cantik dan cetar membahana.

Setelah membalas pesan dari sang mama, Aluna bergeser ke pesan sang papa. Aluna tersenyum saja melihat pesan yang dikirim sang papa, singkat, padat dan jelas. Selamat ulang tahun putri papa.

Berbeda dengan mama yang penuh kalimat plus emoticon, sang papa cukup satu kalimat saja dan Aluna tetap merasa bahagia, karena perhatian dari papa inilah Aluna sampai sekarang jomblo. Belum ada laki-laki yang effort sang papa, kebanyakan modusnya.

Terima kasih papaku Sayang, kalau Aluna pulang papa dan mama aku traktir. Tapi Aluna mohon gak usah bucin sama mama, jiwa jomblo Aluna meronta nih.

Aluna tersenyum saat mengetik pesan balasan untuk sang papa. Teringat saat papa dan mamanya sok asyik saling jahil ala anak SMA, berujung papa yang memeluk mama manja begitu, tentu Aluna paham sebagai gadis remaja yang pernah tertarik pada lawan jenis. Kadang Aluna sampai kesal dan aura dih nya kuat sekali saat mama bermanja dengan sang papa.

Lanjut pesan ketiga dari sang adik, ah sebenarnya Aluna malas baca chat dari Bintang, palingan tuh anak minta duit. Padahal uang Bintang lebih banyak dari Aluna.

Weker. Met ultah, traktiran gak usah banyak-banyak ya. Usia lo plus juta deh, gue ikhlas banget.

Aluna mendengus saja setelah membaca pesan dari sang adik, benar kan gak jauh dari uang, mana panggil weker lagi. Maklum, Aluna lebih galak dari Arimbi sehingga Bintang menyebut Aluna seperti jam weker, berisik.

🤛🤛🤛🤛, hanya emoticon tonjok sebagai balasan untuk Bintang. Over all Aluna bahagia, orang terdekatnya sudah mengucapkan selamat ulang tahun untuk dirinya, sangat perhatian dan Aluna bersyukur sekali mendapat keluarga seperti ini.

Ia pun segera mandi, dan menunaikan sholat shubuh, ada kuliah pagi kali ini, sekaligus nanti siang ada bimbingan proposal skripsi. Sudah masuk semester 6 akhir, kegiatan Aluna semakin padat, minggu depan sudah pembekalan KKN, lanjut bulan depan sudah pembagian lokasi PKL plus pembekalan. Aluna berniat, saat PKL sekaligus ambil data untuk skripsi, sehingga dia kebut menyelesaikan proposal skripsi plus segera seminar proposal.

"Mbak Lun, ada paket, dari kemarin!" ucap adik kos Aluna saat berpapasan di depan jemuran. Aluna penasaran, ia langsung menuju pos penerimaan paket. Kos Aluna termasuk kos elit, kamar sendiri dan kamar mandi dalam plus AC, soal keamanan kos pus terjamin, ada satpam khusus dan juga ruang tamu kos yang lebar sekaligus parkir. Di kos Aluna juga dilarang membawa tamu ke dalam kamar kos, meski teman atau pun keluarga. Benar-benar steril dari orang luar.

Aluna bergegas mengambil paket yang diberi tahu adik kosnya, senyumnya sumringah setelah mengetahui pengirimnya. "Om Dewa!" sebut Aluna, meski sudah menjadi gadis remaja, Om Dewa selalu mengingat hari ulang tahun Aluna. Maklum ponakan pertama begitu loh, pastinya menjadi tahta tertinggi di keluarga.

"Om, makasih. Aku suka," Aluna mengirim pesan pada Sadewa sembari memotret paketan yang merupakan kado ulang tahunnya. Sebuah sepatu sneakers berwarna putih dengan logo singa gunung. Langsung dipakai Aluna kuliah pagi itu, tak lupa ia memotret sepatu tersebut dan dikirim ke sang paman.

"Langsung dipakai cuy," balas Dewa pada sang ponakan.

"Harus dong. Hari istimewa semua outfit new!" jawab Aluna sesuai kebiasaan kalau ulang tahun pasti dari mulai atas hingga pakaian dalamnya semua pakai yang baru. Menurutnya hari ulang tahun akan menjadi hari permulaan untuk melewati sepanjang tahun berikutnya, sehingga dibutuhkan vibes positif untuk menyambutnya termasuk dengan outfitnya.

"Dasar anaknya Arimbi, sok kecakepan!" ledek Dewa. Aluna tertawa, omnya ini masih saja sering berdebat kecil dengan sang mama, mirip dirinya dengan Bintang begitulah.

"Turunannya Mama Arimbi jelas cakep dong," balas Aluna sebelum naik motor menuju kampus. Selama perjalanan menuju kampus, Aluna tersenyum bahagia, tak menyangka usianya sudah menginjak angka 2. Banyak hal yang sudah ia dapatkan selama ini. Meski tidak menjadi putri kampus, Aluna juga banyak dikenal mahasiswa maupun dosen lantaran prestasinya menjadi enterprenuer muda, sampai menjadi nominasi seller tiktk tahun lalu berkat jualan aksesorisnya.

Yah, sejak kecil Aluna sudah familiar dengan dunia konten. Bahkan ia dan sang mama memiliki konten tentang mainan yang diteruskan olehnya dengan berganti niche menjadi tutorial membuat aksesoris. Sampai sekarang akun itu masih menghasilkan dan masuk langsung ke rekening Aluna. Sedangkan aksesorisnya dijual di marketplace dan juga tiktk, yang menjadikan dia masuk ke dalam nominasi seller of the year.

Jiwa bisnisnya menurun dari kedua orang tuanya. Bahkan Aluna kuliah dan bayar kos juga hasil dari kerja kerasnya, ia ingat betul pesan sang mama dulu jadi anak cewek kudu giat semuanya. Pekerjaan rumah, dan cari uang, biar gak diinjak laki-laki. Pesan itu sudah menancap betul dalam benak Aluna, dan membentuknya menjadi gadis tangguh no menye-menye club. Meski jualan dan kontennya menghasilkan, dia tetap diajarkan untuk hidup sederhana, dan down to earth karena belum tentu teman suka dengan pencapaian Aluna.

"Selamat ulang tahun, baby!" ucap Nyimas, teman dekatnya satu kelas. Begitu Aluna masuk kelas, langsung disambut pelukan oleh gadis cantik itu.

"Makasih," balas Aluna menyambut pelukan sang sahabat.

"Traktirannya ya Bu Bos," bisik Nyimas jahil, Aluna langsung melepas pelukan itu dan mendengus kesal.

"Boleh deh, habis kelas langsung meluncur ke Bakso Mang Mamad depan Gedung Sasana," ujar Aluna merasa sangat baik dengan mentraktir sahabatnya itu.

"Dih apaan, bakso Mang Mamad, receh cuy!" omel Nyimas tak terima. "Uang loh tiga digit, ya kali traktir cuma ceban!"

"Eits, rezeki itu. Meski kecil," dasar Aluna sembari tertawa, lalu menggeret sang sahabat untuk segera duduk karena Pak Yos sebentar lagi akan datang, dosen ter-on time di jurusan mereka. Aluna dan Nyimas seperti biasa akan duduk di depan, sebagai tumbal oleh mahasiswa lain karena mereka tak mau duduk di depan pada mata kuliah Pak Yos.

"Met ultah," bisik Abimanyu di tengah-tengah presentasi Pak Yos. Sontak saja Aluna menoleh dan mendelik pada teman kelasnya itu, berani-beraninya ngobrol di kelas Pak Yos, cari mati tuh anak. Hanya saja Aluna tak menanggapi dan kembali fokus pada penjelasan beliau.

Abimanyu tak kekurangan cara untuk menjahili Aluna, ia menyobek kertas, lalu menepuk pundak Aluna dan memberikan kertas itu pada Aluna. Sungguh, putri sulung Pak Sabda itu mendengus kesal, diganggu mulu.

Traktir gue dong! begitu kalimat yang ditulis Abimanyu untuk Aluna.

UNGKAPAN HATI

Awalnya sih nolak, tapi ujung-ujungnya juga mau. Abimanyu, Nyimas dan juga Aluna menuju ke kedai bakso Mang Mamad di sekitar gedung serba guna kampus. Banyak mahasiswa yang mengisi perut mereka di kedai murah ini. Abimanyu, Nyimas langsung pesan bakso campur, plus jus alpukat, tak lupa menambah dua lontong dan juga kerupuk rambak. "Bos aksesoris traktirannya cuma bakso doang ya Allah, pelitnya," sindir Abimanyu sembari menyeruput kuah panas bakso. Aluna tertawa saja.

"Katanya bisnis makin lancar bila ownernya rajin sedekah," tambah Nyimas sembari menuangkan 5 sendok sambal dan juga saos merah dalam mangkok baksonya. Aluna makin tertawa mendengar celotehan Nyimas.

"Sedekah tidak harus mahal kawan, hanya bermodal senyuman manis juga termasuk sedekah," ucap Aluna berlagak seperti ustadzah.

Abimanyu tersedak kuah, "Udah murah, gak ikhlas lagi," sahut Abimanyu kembali mengomentari. Aluna makin tertawa saja. Memang dia sengaja untuk bijak mengolah keuangan. Ingat kata Timothy Ronald, selagi kamu miskin gak usah banyak gaya.

"Lagian uang loh buat apa sih, Lun?" tanya Abimanyu kepo. Meski ngomel tetap saja lahap makan bakso.

"Buat ditabung lah. Modal nikah!" jawab Aluna asal saja. Apa katanya buat nikah? Abimanyu langsung tersedak, ya Allah rasanya gak enak sekali. Beruntung tidak sampai keselek baksonya. Nyimas menutup mulutnya, sembari menahan tawa melihat kelakuan absurd Abimanyu.

"Lun, tapi gue belum siap!" jujur Abimanyu serius, dengan ekspresi tak terima. Nyimas makin ngakak saja. Duh, punya teman kelas sengklek begini asli gak mau cepat lulus. Tiada hari tanpa tawa, pasti ada moment konyol di antara ketiganya.

"Ya yang mau nikah sama lo siapa juga," omel Aluna dengan menusuk satu bakso, dan hap masuk mulut.

"Ah, lo gak asyik ah!" protes Abimanyu pura-pura tak terima, dengan memalingkan muka. Aluna mana mau peduli.

"Yang satu cueknya setengah mampus, yang satu bapernya gak ketulungan. Kalian kayaknya jiwa yang tertukar deh, mana ada cowok gampang ngambek begini," omel Nyimas sembari menonyor pipi Abi.

"Emang lo beneran mau nikah muda, Lun. Ya Allah, Lun. Warisan dan saham rumah sakit jiwa belum di tangan gue. Lun, duh bukan jadi pemilik RSJ, malah jadi pasien RSJ gue nih," ucap Abi frustasi, kemudian melanjutkan makan baksonya.

Lihatlah, tadi saja sok-sok an ngambek, tahunya bisa melanjutkan makan bakso. Emang kurang 100 wajar sih, gampang banget berubah pikirannya. Sedangkan Hawa dan Nyimas tertawa sampai ngik-ngik mendengar celotehan anak konglo satu ini.

"Sumpah gue lagi bayangin, misal nih ya Bi, misal gak usah masuk hati. Lo ke rumah gue, terus ditanya sama mama Mbi. Kerja apa? Terus lo jawab pemilik rumah sakit jiwa. Sumpah," Aluna tertawa sampai perut kaku, begitu juga Nyimas, sampai tak bisa meneruskan ucapannya. "Sumpah mama gue paling bilang gini: Mbak, kamu gak salah pilih suami nih? Jangan-jangan dia juga sakit jiwa," lanjut Aluna membayangkan ekspresi sang mama dengan tawa tak henti-hentinya.

"Omongan adalah doa," ucap Abimanyu serius, Aluna langsung berhenti tawa, takut juga kalau jadi kenyataan. Dia memang hanya menganggap Abi sebagai teman saja, tidak lebih. Abi tuh enak diajak berteman, bukan untuk pasangan. Aluna tak siap saja punya pasangan yang apa-apa kata mama. Sedangkan dirinya saja dididik untuk mandiri sejak remaja. Arimbi dan Sabda tidak pelit pada kebutuhan anak, tapi kedua orang tua Aluna mengajarkan soal tanggung jawab, mandiri, dan juga disiplin. Bahkan soal keuangan saja, Aluna sejak SD sudah diminta bijak menggunakan uang.

Setiap minggu dia diberi jatah jajan, mau kurang mau lebih pokoknya Arimbi hanya memberikan jatah itu, kecuali kalau ada kebutuhan seperti iuran kelas, atau kado untuk teman kuliah. Soal alat tulis kalau hilang saja harus wawancara dulu sebelum dibelikan Sabda. Semua itu dilakukan oleh kedua orang tuanya agar Aluna dan Bintang belajar menghargai serta menjaga rezeki yang telah diberikan oleh Allah, tidak boros dan berlebihan.

Soal mencuci piring dan baju juga, meski sempat ada ART, Aluna dan Bintang juga ada jadwal mencuci piring dan mencuci baju, didikan itu berlaku setelah mereka usia 9 tahun, benar-benar dipekerjakan oleh Arimbi. Apalagi saat Bik Asih mengundurkan diri, maka kebersihan rumah dikerjakan oleh semua anggota keluarga. Aluna, Bintang urusan menyapu dan mengelap perabotan serta menjemur baju, Arimbi urusan memasak dan dapur, sedangkan Sabda setrika.

Mendengar cerita Abi, Aluna hanya bisa menggelengkan kepala. Sejak kecil hanya diminta belajar, lomba, apa itu urusan rumah, bahkan pegang sapu saja tidak. Pernah Aluna bertanya, Kalau lampu mati? Siapa yang benerin? ART atau satpam. Terus kalau baju kotor siapa yang taruh ke mesin cuci? Dengan enteng Abi menjawab ya ART masuk ke kamar mandi aku lah, ambil keranjang baju kotor.

Sungguh hidup Abi bergantung pada ART, sangat tidak cocok dengan Aluna, kesenjangan sosialnya terlalu besar dalam hidup Aluna. Biarlah mereka berteman saja, tak ada urusan hati.

"Jangan dong, Bi. Lo pantas dapat perempuan kaya," ucap Aluna memohon, takut kalau omongan tadi diijabah oleh Allah.

"Bukannya lo kaya ya?" ini lagi si Nyimas jadi kompor, mana bawa jukukan kaya lagi.

"Kalau gue kaya, gue gak mungkin sabtu minggu diam di kamar kos, semedi bikin aksesoris!" sewot Aluna.

"Dan gue pastikan saat lo jadi istri gue, tak perlu capek-capek bikin aksesoris Aluna Sayang," ledek Abimanyu, Nyimas sudah cekikikan mendengar Abimanyu menggoda Aluna.

"Dih, meski gue gak mau kerja kantoran, tapi bisnis aksesoris tetap jalan. Fix, lo bukan kriteria cowok buat gue. Gue tolak. Gue cari cowok yang tidak melarang bisnis gue!" ucap Aluna tegas, mana sambil ketok sendok ke mangkok, seolah ketok palu. Nyimas sudah tak kuat menahan tawa. Benar-benar sahabat sengklek.

Ketiganya pun balik ke kampus, karena ada jadwal bimbingan proposal. Abimanyu tampak lemas, sembari menyandarkan kepala di dinding. "Dih, Tuan CEO bukannya habis makan ya, kok lemes?" sindir Aluna duduk di samping Abi, ia sedang menata draft proposal yang baru saja dicoret oleh dosen.

"Gue males bimbingan, Lun. Pasti nanti dicoret, ditanya ini itu."

"Ya terus? Lo mau lulus gimana?"

"Gak usah skripsi gimana?"

"Kalau gue jadi kajur, tetap gue wajibkan skripsi buat mahasiswa, karena skripsi itu bukti kalau mahasiswa berpikir dan membaca. Gue yakin lo selama ini gak pernah baca materi kuliah," ceplos Aluna gemas dengan Abimanyu ini. Mentang-mentang masa depan terjamin, kuliah selama ini gak serius sama sekali. Nilai juga banyak yang C, dengan berprinsip asal lulus saja. Kalau saja Abimanyu adiknya, langsung ditonyor tuh jidat. Enak saja sudah menghabiskan banyak uang, tapi gak serius. Sedangkan di luar sana masih banyak anak yang serius kuliah, belajar tapi tidak punya biaya kuliah.

"Kalau lo mau nikah sama gue, gue bakal serius kuliah," ucap Abimanyu sembari menatap wajah Aluna serius.

"Ngomong sama tangan, dah gue balik!" pamit Aluna kembali tak menghiraukan penawaran Abimanyu.

"I love you!" teriak Abimanyu tak tahu malu padahal lorong ruang dosen ramai orang.

Aluna memejamkan mata kemudian balik badan, menghadap Abimanyu sembari tersenyum receh, "Hate you!" ucapnya dengan meringis, lalu melambaikan tangan pada Abimanyu.

Abimanyu tertawa, "Gadis aneh tapi gue sayang sih! Semangat proposal demi mengejar cinta Aluna," ucap Abi segera beranjak antri masuk ruang dosen.

ANCAMAN PAPA

Abimanyu pulang dalam keadaan lelah. Proposal skripsi dicoret begitu banyak oleh dosen pembimbing, semakin membuatnya frustasi saja.

"Bagaimana skripsi kamu?" tanya papa hanya melirik sekilas pada sang putra, sembari melihat kenaikan grafik saham sebelum penutupan pasar modal.

"Masih proposal, Pa!"

"Iya, sampai mana? Sudah kamu ajukan atau bagaimana?" tanya papa ingin tahu. Memang untuk jurusan psikologi ini, papa yang menentukan. Rencana papa, setelah S1 Abi akan dikirim keluar untuk mengambil jurusan manajemen bisnis. Semua dipilihkan oleh sang papa dan mama sebagai bekal memegang rumah sakit jiwa milik sang papa nantinya.

"Banyak coretan lah, Pa. Orang baru pertama bikin beginian," kesal sudah Abimanyu bila ditanya terus oleh sang papa. Dia tidak suka ditanya, biarlah proses dijalani Abimanyu tanpa laporan kepada sang papa. Cukup hasil yang akan diberikan kepada papa, prosesnya tak perlu ditunjukkan.

"Kalau kamu gak belajar dari dulu, bikin skripsi pasti sulit. Lebih tekun lagi buatnya, kamu nanti akan pegang rumah sakit besar, tentu dibutuhkan ketelitian juga dalam membaca laporan. Jangan malas."

Badan capek, eh dibilang malas pula, rasanya Abimanyu semakin frustasi saja garap skripsi. Sebagai orang tua harusnya menenangkan dong ya, bukan menjatuhkan seperti ini. Kalau Abimanyu malas, mana mau dia garap skripsi. Lebih baik lewat joki saja, toh uang juga ada.

"Jangan sampai skripsi pakai joki. Ingat setelah sarjana kamu akan papa sekolahkan ke Ausie, jelas makin berat sekolah kamu! Gak usah manja."

Abimanyu mendengus sebal, rencana liciknya sudah terbaca oleh sang papa. Sial. Otak rasanya ingin meledak, malah ditambah rencana sekolah lagi, Abimanyu sudah tidak ingin sekolah lagi, otaknya tidak mampu. Kalau saja dia diizinkan untuk masuk ke teknik sesuai minatnya tentu dia akan enjoy saja kuliah, lah ini jurusan yang tak pernah dilirik Abi, hingga semester 6 akhir begini, ia tak punya chemistry di setiap mata kuliah. Tinggal datang, absen, presentasi seadanya malah sering ngelantur. Papa sendiri sudah tahu nilai Abi, beliau ngomel tapi Abi bisa apa kalau kemampuannya hanya sampai situ.

"Sekali kamu gak berubah, jangan salahkan rumah sakit nanti akan papa turunkan pada kakakmu!" ancam papa untuk kesekian kalinya.

Sampai usia 21 tahun ini, Abimanyu tak pernah tahu soal kakaknya, namun papa selalu menyebutnya, makin sebal saja. "Kakak, mana kakak Abi, Pa? Masa' iya papa halu." Omongan Abi tak dijaga, asal ceplos dan membuat papa menatapnya tajam.

"Kakakmu hidup dengan baik, kerja keras dan otaknya encer. Tidak seperti kamu."

Abimanyu tersenyum sinis, "Oh ya? Dia bisa kerja keras dan punya otak encer karena tidak hidup dengan papa. Dia bisa bebas menentukan pilihan sesuai minatnya. Bukan seperti aku yang harus menurut sama papa dan mama. Soal jurusan saja aku harus dipilihkan papa dan mama. Coba kalau papa mengizinkan aku masuk teknik, tentu otakku juga encer. Papa tahu gak sih, orang bisa sukses pada suatu bidang karena minat dari dirinya sendiri, bukan karena arahan atau paksaan dari orang tuanya. Lagian, kakak yang papa maksud itu belum tentu bisa mengolah rumah sakit jiwa kan? Jadi jangan bandingkan aku dan kakak itu, selagi bakat kita berbeda." Abi langsung mengambil jaket dan draft proposal pergi meninggalkan sang papa. Puas saja bisa memojokkan sikap papa selama ini.

Abi sendiri penasaran siapa kakak yang dimaksud sang papa, ia pun menuju ke ruang yoga sang mama, tampak wanita cantik itu sedang meditasi di pinggir kolam renang. Sudah cukup Abi penasaran dengan sang kakak, kali ini ia mau mencari tahu. "Siapa sih Ma, kakak Abimanyu itu?" tanya Abi sudah duduk di samping sang mama. Kakinya dicelupkan di dalam kolam.

Perlahan mata mama terbuka, tersenyum melihat putra kebanggaannya berada di depannya sekarang. "Kamu tanya apa?"

"Kakak Abi siapa? Dan di mana sekarang?" ekspresi kaget tertangkap Abi, pasti sang mama tahu. "Gak usah disembunyikan lagi. Abi muak sekali papa begitu membanggakan kakak tersebut."

"Kamu tidak tanya kepada papamu?"

"Mana mau dia terbuka sama aku. Oh ya Ma, kadang aku berpikir aku ini anak papa dan mama gak sih? Kok papa selalu saja memojokkan Abi."

"Perasaan kamu saja!"

"Enggak deh. Yang sayang sama Abi kayaknya mama doang, papa bawaannya temperamen terus sama aku."

Mama pun menghela nafas pendek, wajar sang suami bersikap pada Abi seperti itu, karena memang Abi bukanlah anak dari perempuan yang dicintai papa. Mama dan papa Abi menikah karena perjodohan, setelah Abi kawin lari dengan seorang perempuan yang berprofesi sebagai guru swasta. Perbedaan strata sosial inilah yang membuat papa Abi menceraikan istri pertamanya karena intervensi dari kakek Abi.

Diketahui istri pertama papa Abi membawa seorang anak laki-laki sekitar umur 3 tahun saat perceraian itu, sehingga usia Abi dan sang kakak terpaut kurang lebih 4 tahunan.

"Sabar ya, mungkin saja papamu ingin mendidik mental kamu agar seperti baja. Persiapan menjadi pemilik rumah sakit, gak mungkin doang mental pemimpin menye-menye."

"Abi gak gitu, Ma. Abi mandiri kok!"

"Kalau mama sih percaya, tapi tidak dengan papa, maka buktikan. Lagian apa kamu gak capek diremehkan papa kamu terus."

Abimanyu diam, otaknya mulai berisik, gengsinya tersentil dengan sikap papa. Hati kecilnya mulai tergerak untuk membuktikan bahwa dia anak yang hebat, dan bisa mandiri.

Abimanyu merebahkan diri di kamar, sedang berpikir kira-kira dia bisa membuktikan dengan cara apa. Sedangkan urusan kuliah saja dia tidak berminat.

Lun. longgar gak? Pada akhirnya Abimanyu mengirim pesan pada gadis cerewet itu. Aluna dianggap Abi sebagai gadis yang memiliki otak encer khususnya urusan bisnis. Abimanyu tiba-tiba mendapat ilham, cara membuktikan kalau dirinya mandiri dan tidak bisa diremehkan adalah dengan memiliki uang dengan kaki tangannya sendiri. Tapi Abi belum punya ide untuk mendapatkan uang dari mana. Solusinya adalah bertanya pada Aluna.

Sibuk dong. Perintis gituloh. Gak mungkin nganggur. Lagi mengejar cuan. Ada apa?

Lo nyindiri gue?

Dih baper amat bos RSJ ini.

Gue timpuk lo kalau panggil begitu lagi.

🤣🤣🤣🤣.

Lun bantu gue dong.

Apa?

Gimana caranya biar dapat uang banyak.

Ngepet.

Sumpah gue tonyor lo nanti ya.

😅😅😅😅. Kerja lah. Lagian bukannya uang situ banyak ya. Ngapain cari uang lagi?

Diremehkan bokap sendiri tuh nyesek tahu, Lun.

Baru tahu?

Sialan.

Lun

Lun

Lo sibuk apa sih? Jengkel rasanya Abi melihat pesannya yang tak dibalas Aluna, padahal gadis itu online.

Dih gue udah bilang sibuk, Aluna akhirnya membalas dengan menyertai sebuah video rekaman berupa cetak resi.

Waoooowww. Uang lo banyak dong ya.

Alhamdulillah.

Emang harga 7000 an gitu bisa kaya, Lun?

ini Abi sedang meremehkan harga jual aksesoris Aluna kah?

Otw kaya. Ya setidaknya gue gak pernah diremehin orang lain terutama orang tua gue. Balas Aluna sengaja, dia tak suka dengan gaya Abi yang sepertinya meremehkan usaha kecilnya. Standar kaya tiap orang tuh beda. Mungkin uang 7000 bagi Abi sangat kecil, tapi bagi Aluna enggak, karena bila orderannya sehari ada 100 biji, maka sehari Aluna bisa mendapatkan omzet 700ribu. Tentu saja omzet segitu untuk anak mahasiswa banyak, tanpa menyewa toko dan pegawai semua dilakukan Aluna sendiri. Merintis sejak SMP lagi, tentu Aluna tak terima lah dianggap emang bisa kaya oleh laki-laki yang tak pernah merasakan jadi perintis.

Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!

Download Novel PDF
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!