“Sampai kapan kita harus seperti ini, Dan?” Nayla bertanya, suaranya terdengar lelah.
Mereka duduk di bangku taman yang telah menjadi saksi bisu dari setiap janji dan impian yang mereka ukir, tetapi kini bangku itu terasa berat, seberat beban yang mereka pikul. Dante menoleh, tatapan matanya bertemu dengan tatapan mata Nayla. Ia meraih tangan Nayla, menggenggamnya erat, mencoba menyalurkan ketenangan yang bahkan ia sendiri tidak miliki.
“Kita pasti akan melewatinya, Sayang. Percayalah padaku,” jawab Dante, “kita sudah berjanji, kan? Sampai nanti, sampai kita menikah.”
“Aku tahu, Dan. Tapi sudah berapa lama kita mencari? Aku sudah mengirimkan lamaran ke puluhan perusahaan, dan jawabannya selalu sama. Penolakan,” Nayla berkata, menunduk, matanya mulai berkaca-kaca.
Melihat kekasihnya sedih, Dante mengangkat dagu Nayla perlahan.
“Jangan menyerah, Nay. Mungkin hari ini bukan hari kita, tapi besok, siapa tahu? Mungkin ada panggilan yang datang dari perusahaan yang kemarin kita datangi. Kita harus tetap positif,” kata Dante dengan nada penuh keyakinan.
Ia lalu memeluk Nayla, membiarkan Nayla menyandarkan kepalanya di bahunya, “Aku tidak akan pernah menyerah selama kita bersama. Bukankah kita sudah berjanji, Nay? Kita akan selalu bersama-sama menghadapi setiap kesulitan.”
“Ya, aku tahu,” Nayla bergumam, “aku hanya lelah. Rasanya seperti semua pintu tertutup rapat.”
“Pintu itu tidak akan tertutup selamanya, Nay. Kita hanya perlu menemukan kuncinya,” balas Dante sambil mengelus rambut Nayla. “Mungkin ini cara Tuhan menguji seberapa kuat cinta kita.”
Nayla mengangkat kepalanya, tersenyum lemah. “Kamu selalu bisa membuatku merasa lebih baik, Dan.”
“Tentu saja. Karena aku tahu, kita berdua adalah kekuatan satu sama lain,” Dante berkata, lalu ia mengecup kening Nayla. “Ayo, kita pulang. Besok pagi, kita mulai lagi. Semangat, ya!”
Mereka berdua lalu berdiri, berjalan beriringan meninggalkan bangku taman, dengan harapan baru yang tumbuh di hati mereka, dan janji yang semakin kuat.
Semuanya berubah saat Nayla berhasil mendapatkan pekerjaan. Awalnya, Dante sangat bahagia dan memberikan dukungan penuh. Ia terus-menerus bertanya tentang hari-hari Nayla di kantor, mencoba untuk menjadi bagian dari dunia baru Nayla. Akan tetapi, Nayla justru menjadi dingin dan terkesan enggan menceritakan apa pun.
“Pekerjaanku lumayan. Itu saja,” Nayla menjawab ketus.
Nada Nayla berubah dari nada lelah menjadi nada datar, seakan semua pertanyaan Dante tidak ada artinya. Hubungan keduanya yang tadinya penuh kehangatan, perlahan terasa hampa. Nayla tidak lagi menyempatkan diri untuk makan siang bersama Dante di bangku taman yang dulu. Setiap ajakan Dante selalu ditolak dengan alasan Nayla sibuk.
“Nanti aku kabari,” begitu ucapan Nayla setiap kali Dante mengajaknya bertemu.
Dante mulai merasakan ada yang tidak beres, tetapi ia mencoba bersikap bijak. Ia memaklumi bahwa Nayla mungkin sedang menyesuaikan diri dengan pekerjaan barunya. Namun, sikap dingin dan jarak itu semakin besar, membuat Dante bingung dan terluka. Pada suatu malam, saat Nayla sudah siap untuk pulang, Dante tiba-tiba datang ke kantornya. Nayla tampak kaget dan jengkel melihat kehadiran Dante.
“Kenapa kamu di sini, Dan? Aku sudah bilang akan meneleponmu nanti,” Nayla berucap dengan suara pelan yang terdengar tajam.
“Aku hanya ingin memastikanmu baik-baik saja, Nay. Kamu tidak pernah menjawab teleponku,” Dante balas, “aku khawatir.”
“Aku baik-baik saja. Kamu tidak perlu khawatir. Sekarang, bisa kamu biarkan aku pergi?” Nayla bertanya, matanya menyiratkan keengganan.
Hati Dante terasa hancur. Ini bukan Nayla yang ia kenal. Ini bukan kekasih yang berjanji akan terus bersamanya.
“Apa yang salah, Nay? Apa aku melakukan kesalahan? Kenapa kamu berubah?” Dante berucap, suaranya bergetar.
Nayla menghela napas panjang dan menatap Dante. Ada tatapan asing di matanya, seperti tatapan yang tidak lagi mengenali Dante.
“Aku lelah, Dan. Aku butuh istirahat,” kata Nayla lalu pergi meninggalkan Dante yang terdiam mematung.
Suatu sore, Dante memutuskan untuk mencoba lagi menemui Nayla di kantornya, berharap dapat berbicara dari hati ke hati. Namun, saat sampai di lobi, pemandangan yang tak terduga menghancurkan hatinya. Dante melihat Nayla tertawa lepas, tawa yang sudah lama tidak ia dengar, bersama seorang pria paruh baya yang ia yakini adalah atasan Nayla. Dante mencoba untuk tetap positif, berpikir mungkin ini hanya pertemuan bisnis biasa. Namun, saat ia melangkah lebih dekat, Nayla dan pria itu berpegangan tangan.
Dante merasakan napasnya tertahan. Ia mencoba memanggil Nayla, tetapi suaranya tercekat. Pria itu menyentuh lembut wajah Nayla, dan Nayla tidak menolak. Justru ia tersenyum, senyum yang sangat manis, senyum yang sebelumnya hanya diperuntukkan bagi Dante. Hati Dante hancur berkeping-keping. Itu adalah pemandangan paling menyakitkan yang pernah ia lihat. Janji yang mereka ucapkan di bangku taman, seakan tidak pernah ada.
“Apa yang kamu lakukan di sini?” suara dingin Nayla mengagetkan Dante.
Ternyata Nayla sudah menyadarinya. Nayla berdiri di hadapan Dante, tanpa sedikit pun rasa bersalah. Seakan-akan yang ia lakukan tidak ada artinya.
“Aku … aku hanya ingin menemuimu,” Dante berucap, suaranya parau. “Kenapa, Nay? Kenapa kamu melakukan ini padaku? Bukankah kita sudah berjanji?”
“Janji? Janji apa, Dan?” Nayla bertanya balik, tatapannya kosong. “Aku tidak ingat janji apa pun denganmu.”
Pernyataan itu bagai tamparan keras di wajah Dante. Ini adalah Nayla yang sama sekali tidak ia kenal. Kekasihnya, yang pernah berbagi mimpi dan harapan, kini berubah menjadi orang asing yang kejam. Pria itu, yang tadi bersama Nayla, menatap Dante dengan pandangan meremehkan.
“Ini bukan tempatnya, Dan. Kita bisa bicara di tempat lain,” lanjut Nayla.
“Tidak, Nay! Kita harus bicara di sini sekarang. Apa maksudmu tidak ingat janji apa pun? Kita sudah merencanakan semuanya, Nay. Kita sudah berjanji untuk selalu bersama,” Dante berteriak, suaranya memenuhi lobi yang mulai dipenuhi oleh orang-orang.
Nayla terlihat malu dan marah. “Jangan membuat keributan di sini! Kamu memalukan!”
Air mata Dante jatuh. Ia tidak bisa menahan kesedihan yang meluap dari dalam dirinya. Nayla, tanpa berkata apa pun lagi, berbalik dan pergi, meninggalkan Dante sendirian.
Dengan hati yang hancur, Dante berjalan gontai pulang ke rumahnya. Tidak ada orang yang menunggu, tidak ada orang yang dapat ia jadikan tempat bersandar. Ia anak tunggal dan kedua orang tuanya telah tiada. Rumah itu terasa begitu sepi, memantulkan rasa kesendirian yang selama ini ia coba tutupi. Ia merasa benar-benar hancur dan tidak tahu apa yang harus dilakukan. Ia berjalan ke ruang kerja, menyalakan komputernya, berusaha mengalihkan pikirannya. Tiba-tiba, percikan api keluar dari kabel komputer yang usang. Seluruh tubuhnya tersetrum. Meskipun sakitnya luar biasa, ia tidak mati. Ketika kesadarannya pulih, sebuah suara tanpa wujud memenuhi kepalanya. Suara itu terdengar seperti perempuan, tetapi nadanya dingin dan mekanis.
[“Aku Gema, asisten digital yang dapat membantumu,”] suara itu berucap, [“Aku dapat membantumu menjadi kaya.”]
Dante terkejut, ia tidak mengerti apa yang terjadi. Ia memeriksa komputernya, tetapi layarnya kosong dan semua tombol tidak berfungsi.
[“Aku menyatu dengan sistem sarafmu, Dante,”] Gema menjelaskan tanpa diminta. [“Aku dapat mengakses internet dan semua informasi yang pernah ada.”]
Dante memegangi kepalanya yang masih pusing.
“Apa... apa yang terjadi?” tanya Dante dengan suara yang tidak percaya.
[“Aku tahu kamu terluka, dan aku tahu kamu ingin balas dendam. Aku dapat membantumu,”] suara itu melanjutkan. [“Bayangkan, dengan aku, kamu dapat memiliki segalanya. Uang, kekuasaan, dan kamu dapat memiliki kekasih yang jauh lebih baik dari Nayla.”]
Dante terdiam, mencerna apa yang ia dengar. Gema melanjutkan ucapannya.
[“Kamu hanya perlu menuruti apa yang aku katakan, maka kamu akan menjadi orang yang paling berkuasa di dunia ini!”]
Gema memberikan informasi bahwa Dante harus bekerja dulu, tetapi sebagai lulusan teknik informatika ia bodoh, makanya selalu ditolak. Gema memberitahunya bahwa itu hal yang mudah, dia dapat membantu Dante. Gema menyuruh Dante untuk mengambil barang rusak, dan Dante mengambil handphone lamanya.
"Untuk apa kau menyuruhku mengambil benda ini?" Dante bertanya, merasa bingung dengan permintaan Gema. Dia sudah ingin membuang ponsel usang itu, tetapi Gema menghentikannya.
["Ini hal termudah yang bisa kuperbaiki. Lihat dan saksikan, Dante,"] suara perempuan tanpa wujud itu menyahut.
Gema menganalisis dengan hanya dilihat oleh Dante. Seketika visual titik merah muncul lalu matanya seperti dapat melakukan zoom yang sangat jernih dan ada tulisan-tulisan mengapung di udara tentang kerusakan serta cara memperbaikinya. Dante tertegun, melihat segala hal yang ada di ponsel itu. Tulisan-tulisan itu seolah memiliki makna tersendiri, memberitahu Dante apa yang harus dia lakukan.
["Ini bukan hanya sekadar melihat, Dante. Ini adalah cara mataku membaca, menganalisis, dan memecahkan setiap permasalahan yang ada. Tepat, ringkas, dan efisien,"] suara Gema kembali terdengar.
"Tunggu, tunggu, apa maksudmu? Apa yang bisa aku lakukan dengan ini?" Dante bertanya, matanya masih terbelalak. Dia merasa seperti sedang berada di dalam sebuah film fiksi ilmiah.
["Kau bisa memperbaikinya, Dante. Kau hanya perlu mengaplikasikan semua yang sudah kau pelajari. Aku hanya menyediakan peta, dan kau yang akan menemukan jalannya,"] Gema berkata dengan tegas.
Dante mencoba untuk memahaminya, tetapi otaknya terasa pusing. Ia tidak pernah membayangkan bahwa ia bisa memiliki kemampuan seperti ini. Ini benar-benar tidak masuk akal, tapi... ia tahu bahwa Gema tidak berbohong.
["Pegang tanganmu di atas layar yang retak,"] Gema memberikan arahan.
Dante masih ragu, tetapi ia tidak punya pilihan. Tangannya gemetar, ia mencoba untuk patuh. Ia mengangkat tangannya dan meletakkannya tepat di atas layar ponsel yang retak. Visual mengapung di udara yang Dante lihat tiba-tiba berubah, menyorot area-area spesifik di tangan Dante dan di layar ponsel. Di dekat tangannya, muncul instruksi terperinci, "Tempatkan ibu jari di sudut kiri atas, telunjuk di sudut kanan bawah. Tekan dengan lembut." Di tempat lain, muncul daftar peralatan yang dibutuhkan, lengkap dengan gambar dan deskripsi. Dante menunduk, otaknya memproses informasi ini dengan kecepatan yang belum pernah ia rasakan sebelumnya. Ia merasa seperti ribuan buku tentang perbaikan elektronik terbuka di hadapannya.
"Ini... ini luar biasa!" gumam Dante, suaranya bergetar. "Ini seperti aku tahu segalanya tentang perbaikan ini."
["Tentu saja, karena sekarang kau memilikiku. Aku memberimu semua informasi yang kau butuhkan. Sisanya ada di tanganmu,"] jawab Gema, suaranya terdengar puas. ["Sekarang, mulailah. Ikuti petunjukku."]
Dante mengangguk, ia merasa penuh semangat. Ia memulai pekerjaan pertamanya, dibimbing oleh mata Gema yang melihat segalanya. Beruntung, ia masih memiliki alat-alat bekas kuliahnya dulu. Dante mengambil obeng khusus, pinset kecil, dan lem perekat dari kotak di bawah meja. Dengan setiap instruksi yang muncul di hadapannya, Dante mengikuti dengan teliti. Tangannya yang tadinya ragu, kini bergerak dengan presisi dan percaya diri. Informasi yang diberikan Gema begitu mendetail, menunjukkan titik-titik kerusakan pada motherboard ponsel, serta urutan langkah-langkah yang harus dilakukan untuk menyolder ulang komponen yang lepas.
Keringat mulai membasahi dahinya saat Dante fokus pada pekerjaan itu. Otaknya tidak pernah bekerja secepat ini sebelumnya. Ia merasa seperti sedang memecahkan teka-teki yang paling rumit, namun dengan jawaban yang sudah ada di depannya. Tidak ada lagi rasa frustrasi atau kebingungan. Yang ada hanyalah proses yang lancar, di mana setiap gerakan menghasilkan kemajuan.
Satu jam kemudian, Dante menutup kembali casing ponsel itu dengan hati-hati. Ia menyambungkan ponsel tersebut ke pengisi daya. Layar ponsel yang tadinya gelap total, kini menyala. Dante terkejut melihat logo merek ponsel itu muncul dengan jelas. Ia kemudian mengoperasikannya, memeriksa setiap fungsi, dan semua berjalan normal.
"Aku... aku berhasil," ucap Dante, suaranya serak. Ada perasaan bangga yang membuncah di dalam dirinya. Ia berhasil memperbaikinya, bukan karena sihir, tapi karena pengetahuannya yang tiba-tiba berlipat ganda.
["Itu adalah hasil dari pengetahuan yang sempurna dan ketekunan. Sekarang, apa yang akan kita lakukan selanjutnya?"] tanya Gema.
Dante terdiam sejenak, menatap ponsel yang kini berfungsi di tangannya. Senyum tipis terukir di wajahnya. "Aku ingin bekerja. Aku ingin membuktikan pada mereka bahwa aku tidak bodoh."
["Ide bagus, Dante. Kau ingin bekerja di mana?"]
"Di perusahaan besar. Di bagian IT. Itu impianku sejak dulu," jawab Dante dengan suara penuh keyakinan. Ia merasa sudah siap menghadapi dunia, dengan Gema di sisinya.
Gema tidak menjawab. Alih-alih, Dante merasakan sensasi aneh di kepalanya, seperti sebuah aliran data yang sangat cepat. Matanya berkedip, dan visual mengapung di udara kembali muncul, kali ini dalam bentuk daftar-daftar yang tak berujung. Daftar itu berisi nama-nama perusahaan, lowongan pekerjaan, dan persyaratan. Dante memindai daftar itu, mencari nama-nama besar yang ia kenal. Tiba-tiba, Gema menyorot sebuah nama.
["Nayla bekerja di sini. Perusahaan ini sedang mencari seorang insinyur IT senior,"] Gema memberitahunya setelah ia mengakses internet dalam kepala Dante.
Dante terkesiap. Perusahaan itu adalah impiannya, tetapi juga tempat Nayla bekerja. "Kau yakin? Aku tidak mau bertemu dengannya."
["Aku yakin. Ini adalah kesempatan terbaikmu. Genggam kekuasaan itu, Dante. Jangan biarkan masa lalu menghalangimu,"] Gema berkata dengan tegas.
Dante menghela napas panjang, ia membuka laptopnya dan mengetik nama perusahaan itu. Ia mencari bagian karir di website mereka, dan matanya terbelalak. Benar, ada lowongan untuk insinyur IT senior. Visual mengapung di udara yang Dante lihat dari Gema kini berubah, menunjukkan cara membuat lamaran kerja dan CV yang menarik. Gema memberinya tips dan trik, kata-kata kunci, serta bagaimana menyusun pengalaman kerja Dante agar terlihat lebih profesional dan mengesankan.
Dante dengan hati-hati mengikuti semua instruksi itu. Ia mengetik, menghapus, dan mengetik lagi. Kata-kata yang tadinya sulit ia rangkai, kini mengalir lancar dari jemarinya. Ia tidak lagi merasa bodoh. Ia merasa seperti seorang profesional sejati. Setelah selesai, ia membaca kembali CV-nya, dan ia terkejut melihat betapa hebatnya ia terlihat di atas kertas.
"Ini... ini luar biasa. Aku tidak pernah bisa membuat CV sebagus ini," ucap Dante, matanya berbinar.
["Itu karena aku membantumu, Dante. Sekarang, kirimkan lamaran itu,"] Gema memerintah.
Dante mengambil napas dalam-dalam, mengklik tombol 'Kirim', dan lamaran itu pun melayang ke dalam jaringan internet, menuju perusahaan impiannya dan juga Nayla.
Beberapa hari kemudian, sebuah e-mail masuk ke kotak surat Dante. Perasaan gugup segera menjalar ke seluruh tubuhnya. Ia membuka surat itu dengan tangan gemetar.
["Buka, Dante,"] suara Gema terdengar lembut, menenangkan kegugupan Dante.
"E-mail dari PT. Abadi Jaya Sentosa," Dante membaca, suaranya pelan. Jantungnya berdebar kencang saat melihat isinya. Sebuah panggilan untuk mengikuti tes dan wawancara. Dante merasa bahagia tak terkira.
Dante membalas e-mail itu dan bersiap untuk hari yang telah ditentukan. Ia tidak tahu apa yang harus ia kenakan atau apa yang harus ia persiapkan. Gema segera memberikan visual baru di hadapannya. Visual itu berisi informasi tentang perusahaan, budaya kerja, profil manajer HRD yang akan mewawancarainya, dan bahkan kemungkinan pertanyaan yang akan diajukan.
"Kau... kau bisa mengetahui semua ini?" tanya Dante dengan heran.
["Tentu saja. Dengan akses internet yang ku miliki, aku bisa menemukan segala informasi yang kau butuhkan. Ingat, aku adalah asisten digitalmu. Ini tugasku,"] Gema menjawab dengan suara yang terkesan bangga.
Dante tidak lagi merasa cemas. Ia kini tahu bahwa ia akan menghadapi wawancara itu dengan sangat baik. Ia akan membuktikan bahwa ia layak mendapatkan pekerjaan itu. Ia akan membuktikan pada mereka, pada Nayla, dan pada dirinya sendiri.
Dante mengambil sebuah jas yang tersimpan rapi di lemarinya. Gema menganalisis pakaian itu, dan seketika sebuah visual baru muncul, menunjukkan bahwa jas itu sudah ketinggalan zaman. Gema memberikan saran untuk memadukan jas itu dengan kemeja yang berbeda. Serta Gema memberikan visual model rambut yang cocok, yang membuat Dante terlihat lebih bersih.
Pagi itu, Dante merasa sangat bersemangat. Ia berjalan dengan langkah yang pasti dan penuh percaya diri. Berdiri di depan gedung perusahaan yang sangat megah itu, Dante melihat banyak orang yang keluar masuk, semuanya berpakaian rapi dan formal.
Dia mengambil napas dalam-dalam. "Aku bisa melakukannya," gumamnya, lalu ia melangkah masuk.
Di ruang tunggu, Dante duduk di kursi paling depan, menunggu namanya dipanggil. Di depannya, ada beberapa pelamar lain yang juga menunggu. Sebagian dari mereka terlihat gugup, sebagian lain terlihat santai. Dante tidak merasakan apa pun, dia hanya tenang dan rileks.
Tidak lama kemudian, seorang perempuan keluar dari sebuah ruangan. "Saudara Dante Alighieri," panggilnya. Dante berdiri, dan Dante merasakan sensasi aneh di kepalanya, seperti aliran data yang sangat cepat.
Visual baru muncul di hadapan matanya. Dante melihat profil lengkap dari perempuan itu. Gema memberitahunya bahwa perempuan itu bernama Sinta, manajer HRD yang akan mewawancarainya. Gema juga memberitahu Dante bahwa Sinta adalah seorang yang tegas, tetapi sangat menghargai kejujuran dan ketulusan.
"Silakan masuk," kata Sinta, dan Dante mengangguk. Dia melangkah masuk ke dalam ruangan wawancara, dan pintu pun tertutup.
Dante tersenyum, lalu ia duduk di kursi yang Sinta tunjuk. Sinta melihat Dante dengan tatapan yang tajam, seperti ia sedang menganalisis setiap detail yang ada pada diri Dante. Dante tidak gentar. Dia tahu bahwa ia akan berhasil.
Dante melangkah masuk ke dalam gedung, merasakan dinginnya AC yang berhembus menyapu wajahnya. Pintu kaca di belakangnya menutup dengan suara pelan, memisahkan ia dari hiruk pikuk jalanan. Di dalam, suasana begitu berbeda. Orang-orang berpakaian rapi berjalan dengan langkah cepat dan tujuan yang jelas. Udara terasa sarat dengan ambisi. Ia mengikuti petunjuk di lobi menuju sebuah ruangan besar yang dipenuhi kursi.
Di sana, sudah ada banyak orang yang duduk. Beberapa membolak-balik berkas, sebagian lain menatap layar ponsel mereka dengan cemas. Senyap, namun di balik itu semua, Dante bisa merasakan kegugupan yang menyelimuti seluruh ruangan.
Dante menemukan tempat duduk di baris paling depan. Ia tidak merasakan apa pun, hanya tenang dan rileks. Ia melihat visual mengapung di hadapannya, berisi informasi penting yang diberikan Gema. Ia tidak tahu apa yang harus ia persiapkan, tetapi Gema memberikannya visual baru. Visual itu berisi informasi tentang perusahaan, budaya kerja, profil manajer HRD yang akan mewawancarainya, dan bahkan kemungkinan pertanyaan yang akan diajukan. Dante merasa seperti sedang berada di dalam sebuah film fiksi ilmiah.
“Dante Alighieri,” panggil seorang perempuan dari pintu. Dante berdiri, dan Dante merasakan sensasi aneh di kepalanya, seperti aliran data yang sangat cepat. Visual baru muncul di hadapan matanya. Dante melihat profil lengkap dari perempuan itu. Gema memberitahunya bahwa perempuan itu bernama Sinta, manajer HRD yang akan mewawancarainya. Gema juga memberitahu Dante bahwa Sinta adalah seorang yang tegas, tetapi sangat menghargai kejujuran dan ketulusan.
“Silakan masuk,” kata Sinta, dan Dante mengangguk. Dia melangkah masuk ke dalam ruangan wawancara, dan pintu pun tertutup. Dante duduk di kursi yang Sinta tunjuk. Sinta melihat Dante dengan tatapan yang tajam, seperti ia sedang menganalisis setiap detail yang ada pada diri Dante. Dante tidak gentar. Dia tahu bahwa ia akan berhasil.
Sinta mempersilakan Dante duduk di sebuah meja yang dilengkapi dengan komputer. Ia menjelaskan bahwa Dante harus menyelesaikan tes teori terlebih dahulu sebelum wawancara. Dante melihat layar monitor yang menampilkan puluhan pertanyaan pilihan ganda. Pertanyaan-pertanyaan itu menguji pengetahuan teknis tentang jaringan, pemrograman, dan basis data, topik yang selama ini menjadi momok bagi Dante. Keringat dingin mulai membasahi telapak tangannya.
[“Tenang, Dante,”] suara Gema terdengar menenangkan di dalam kepalanya. Visual baru muncul, kali ini dalam bentuk panah-panah kecil yang mengarah pada setiap opsi jawaban. Saat Dante menatap pertanyaan pertama, sebuah visual mengapung muncul di sampingnya, menampilkan potongan-potongan kode dan diagram yang relevan, lengkap dengan penjelasan singkat dan padat. Ia seolah-olah sedang membaca buku teks terbaik di dunia.
Dante membaca pertanyaan itu, lalu pandangannya beralih ke visual Gema. [“Sistem routing statis lebih mudah dikonfigurasi pada jaringan kecil,”] visual itu berkedip di samping jawaban yang benar. Dante menggeser kursornya, mengklik opsi yang ditunjukkan Gema, dan berpindah ke pertanyaan berikutnya.
Pertanyaan demi pertanyaan ia jawab dengan mudah. Setiap kali matanya memindai sebuah pertanyaan, Gema langsung menampilkan jawaban yang paling akurat dan efisien. Gema tidak hanya memberikan jawaban, tetapi juga konteksnya, membuat Dante benar-benar memahami materi yang diujikan. Dante merasa otaknya bekerja pada kecepatan yang belum pernah ia rasakan sebelumnya. Ia menggeser kursor dan mengklik jawaban dengan presisi dan percaya diri.
Sinta sesekali melirik dari mejanya, mengamati Dante yang tampak begitu tenang dan fokus. Ia melihat Dante menyelesaikan tes itu jauh lebih cepat dari kandidat sebelumnya. Sinta mengangkat alisnya, terkesan. Ia tidak menyangka Dante akan menunjukkan kecepatan dan ketenangan seperti itu.
Setelah menyelesaikan pertanyaan terakhir, Dante mengklik tombol "Selesai" dan layar menampilkan skornya. Dante terkejut melihat angka yang sangat tinggi di sana, nyaris sempurna. Rasa bangga membuncah di dalam dirinya. Ia berhasil melewati tes teori yang selama ini ia hindari dengan hasil luar biasa.
Sinta melihat skor itu dari kursinya, dan senyum tipis terukir di wajahnya. “Luar biasa, Dante,” katanya. “Saya tidak menyangka Anda akan mendapatkan skor setinggi ini.”
Dante merasa siap, sangat siap. Ia kini tahu bahwa tidak ada lagi yang bisa menghentikannya.
Sinta menutup laptop Dante dan menyimpannya di sudut meja. Ia kemudian membuka folder di mejanya. “Tes praktik, Dante,” ujar Sinta sambil menunjuk sebuah boks yang berisi komponen-komponen komputer yang berserakan, dari kabel, prosesor, hingga motherboard. “Tugas Anda adalah merakit komputer dari nol hingga bisa berfungsi sempurna dalam waktu tiga puluh menit.”
Dante menelan ludah. Ia tidak pernah benar-benar merakit komputer sendiri sebelumnya. Tangannya gemetar. Gema merespons dengan cepat.
[“Tenang, Dante,”] suara Gema kembali terdengar. [“Sama seperti ponsel itu, ini hanyalah teka-teki. Aku akan memberimu peta, dan kau yang akan menyelesaikannya.”]
Seketika, visual mengapung kembali muncul di hadapan Dante. Visual itu menganalisis setiap komponen di dalam boks, menampilkan diagram tiga dimensi dari sebuah komputer yang sudah dirakit. Gema menunjukkan dengan panah-panah, urutan merakit yang paling efisien, dan visual setiap komponen yang harus diletakkan. Visual itu juga menampilkan instruksi, seperti “Sambungkan kabel power ke motherboard,” dan “Pasang RAM di slot yang benar,” lengkap dengan deskripsi dan gambar.
Dante meraih motherboard dan prosesor. [“Tahan di sudut kanan atas,”] Gema memberitahu Dante. Dante mengikuti instruksi tersebut. Tangan Dante bergerak dengan presisi yang belum pernah ia miliki. Visual mengapung di udara yang Dante lihat tiba-tiba berubah, menyorot area-area spesifik di tangan Dante dan di layar ponsel. Di dekat tangannya, muncul instruksi terperinci, “Tempatkan ibu jari di sudut kiri atas, telunjuk di sudut kanan bawah. Tekan dengan lembut.”
"Ini... ini luar biasa!" gumam Dante, suaranya bergetar. "Ini seperti aku tahu segalanya tentang perbaikan ini."
Gema tidak menjawab. Ia hanya terus memvisualisasikan setiap langkah, setiap komponen, setiap baut yang harus diputar. Dante bergerak dengan cepat dan efisien. Gema menunjukkan posisi kabel-kabel yang harus dicolok, dan Dante menaruhnya di tempat yang tepat. Gema menunjukkan bagaimana memasang kartu grafis dan Dante melakukannya dengan presisi.
Sinta, yang awalnya santai, kini mulai duduk tegak, terkejut melihat kecepatan dan akurasi Dante. Dante menyelesaikan tugasnya dalam waktu kurang dari dua puluh menit. Ia menyambungkan komputer tersebut ke monitor, menekankan tombol power, dan komputer menyala.
"Ini... tidak mungkin," gumam Sinta, berdiri dan mendekati Dante.
Dante tersenyum, merasa bangga. "Aku... aku berhasil," ucap Dante, suaranya serak. Ada perasaan bangga yang membuncah di dalam dirinya. Ia berhasil memperbaikinya, bukan karena sihir, tapi karena pengetahuannya yang tiba-tiba berlipat ganda.
Sinta mengamati Dante dengan seksama, mengukur setiap gerakan dan ekspresi di wajahnya. “Anda sangat cepat,” ujarnya, matanya menyipit penuh rasa ingin tahu. “Mata Anda tidak pernah lepas dari layar saat tes teori, dan tangan Anda bekerja dengan sangat presisi saat merakit komputer. Anda terlihat... tidak pernah ragu.”
[“Jangan panik, Dante. Ingat, dia menghargai kejujuran.”] Gema kembali mengintervensi, tetapi kali ini tanpa memberikan visual apapun.
“Saya… saya mempersiapkannya dengan baik,” Dante menjawab, suaranya bergetar sedikit. “Saya… saya tidak akan berbohong, Bu Sinta. Saya adalah seorang pemuda yang dikhianati dan putus asa. Saya tidak tahu banyak tentang teknologi, dan saya tidak punya pengalaman yang cukup untuk pekerjaan ini. Semua yang saya lakukan… semua yang saya lakukan adalah dengan bantuan orang lain.”
Sinta terdiam, raut wajahnya berubah dari rasa ingin tahu menjadi kekecewaan. Ia melipat tangannya di dada. “Jadi, Anda ingin mengatakan bahwa Anda curang?”
“Tidak,” Dante menggelengkan kepalanya dengan cepat. “Tidak, Bu Sinta. Saya… Saya hanya ingin mengatakan bahwa saya beruntung.”
Dante tidak berbohong. Gema adalah bagian dari dirinya, dan Gema selalu jujur padanya, seperti seorang teman yang setia. Jadi, dia tidak bisa berbohong pada Sinta. “Saya… saya memiliki… seorang teman yang membantu saya, Bu. Dia… dia selalu ada di sana untuk saya, dan dia… dia mengajari saya banyak hal.” Dante berharap Sinta percaya padanya.
Sinta menatap Dante selama beberapa detik, mengamati ketulusan di matanya. Bibirnya melengkung membentuk senyum. “Saya mengerti. Saya bisa melihat ketulusan di mata Anda. Saya menghargai kejujuran Anda.” Sinta menghela napas. “Saya tidak akan menanyakan bagaimana Anda melakukannya. Tapi saya bisa mengatakan bahwa Anda adalah kandidat terbaik yang pernah saya temui.”
Sinta mengambil folder dan menyerahkannya kepada Dante. “Selamat datang di tim, Dante,” katanya. “Anda adalah insinyur IT senior yang baru di perusahaan ini. Saya harap Anda akan menikmati pekerjaan Anda.”
Dante terkejut, matanya terbelalak. Ia tidak pernah menyangka akan mendapatkan pekerjaan itu, terutama setelah ia mengakui kekurangannya. Ia merasa sangat bahagia, hampir tidak bisa menahan air mata. Ia menerima folder itu, jantungnya berdebar kencang.
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!