Naia terbangun dengan terengah, keringat dingin membasahi pelipisnya. Dadanya terlihat naik-turun seolah baru saja dari berlari marathon.
“Astaghfirullahaladzim, untungnya ini hanya mimpi,” gumamnya sambil menyeka keringat yang bercucuran membasahi pelipisnya hingga dagunya.
Mimpi itu masih menempel kuat di ingatan dan kepalanya bahkan mimpi itu baginya terlalu nyata untuk sekedar hanya bunga tidur saja.
Dalam mimpi itu, ia mendapati dirinya dikurung di sebuah ruangan gelap pekat, tanpa jendela, tanpa pintu tanpa pentilasi udara apapun.
Hanya keheningan yang menekan, membuatnya kesulitan untuk bernapas. Lalu, suara berat tiba-tiba terdengar entah dari mana menggema, menusuk ke indra pendengarannya.
“Selamat datang, Naia… di neraka kehidupanmu.”
Suara itu begitu dingin, menyeramkan, seolah menandai awal dari sebuah petaka yang tak pernah dibayangkan oleh perempuan muda berusia 25 tahun itu. Kata-kata samar yang masih terngiang di telinga Naia membuat dadanya berdegup kencang.
Dengan nafasnya yang terengah, ia mengusap dadanya yang bergetar tak karuan. Mimpi aneh itu seolah sangatlah nyata, seperti peringatan akan neraka kehidupan yang telah lama menanti kedatangannya.
Naia mencoba menenangkan dirinya sendiri, memaksa pikirannya harus berfikir lebih jernih. Namun begitu membuka mata dan memperhatikan sekeliling, tubuhnya sontak kaku.
Pandangannya berkeliling, menelusuri dinding megah dengan hiasan mahal, lampu kristal yang berkilauan, dan ranjang besar dengan selimut tebal halus yang membungkus tubuhnya.
“Ya Allah…” bisiknya tercekat. “Bukannya tadi aku masih dalam perjalanan ke Jakarta bareng Mas Aryasatya? Kok sekarang aku sudah ada di kamar mewah begini? Apa mungkin ini kamar hotel tempat Mas Arya menyiapkan malam pertama kami?”
Rasa heran dan was-was bercampur jadi satu. Ia buru-buru mencari sosok suaminya, pria yang dua tahun ini dipacarinya dalam hubungan jarak jauh LDR-an
Pagi tadi mereka menikah secara sederhana disaksikan langsung oleh kedua orang tuanya dan beberapa kerabat dekat, lalu Arya memboyongnya ke Jakarta dengan janji indah tentang masa depan.
“Mas Arya… kemana? Kok nggak ada?” tanyanya pelan, seolah berharap suaminya akan muncul dari balik pintu.
Dengan hati-hati, Naia menyibak selimut yang menutupi tubuhnya. Namun seketika ia tertegun, matanya membelalak. Ia mendapati dirinya tak lagi mengenakan hijab, melainkan hanya gaun tidur satin tipis yang lembut membalut kulitnya.
Tangannya spontan meraba kepala yang biasanya selalu tertutup. “Astaghfirullah… siapa yang mengganti pakaianku? Apa… Mas Arya yang melakukannya?”
Wajahnya memanas, malu sekaligus takut. Namun pikirannya mencoba menenangkan diri, meyakinkan kalau mungkin benar Arya lah yang mengganti bajunya, menyiapkan segalanya untuk malam pertama mereka. Senyum kecil muncul di wajahnya, penuh harap sekaligus gugup.
“Aku janji akan jadi istri yang baik, Mas. Aku akan berikan yang terbaik buatmu. Karena membahagiakan suami itu ibadah yang besar pahalanya…” gumamnya lirih, matanya berkaca-kaca.
Namun harapan itu runtuh seketika. Suara dehaman berat terdengar dari sudut ruangan, disusul suara lantang seorang pria.
“Akhirnya putri tidur bangun juga. Selamat datang, Naia Seora.”
Naia menoleh dengan cepat. Seorang pria berbalut kimono tidur berdiri santai sambil memainkan gelas berisi minuman beralkohol. Tatapan matanya menusuk, seperti elang lapar yang siap menerkam. Aura keangkuhannya begitu kuat hingga membuat bulu kuduk Naia berdiri.
“Maaf… Anda siapa?” tanyanya tergagap, tubuhnya kaku menahan gemetar.
Pria itu meneguk minumannya dengan santai lalu melangkah mendekat. “Aku Atharva Aldric Dirgantara. Pria yang telah membeli kebebasanmu dari suamimu, Aryasatya Wijaya. Mulai detik ini… kamu adalah wanitaku. Dan kamu wajib memenuhi apa pun yang aku inginkan.”
Naia membeku. Kata-kata itu bagai petir yang menyambar di tengah siang bolong. “A-apa maksud Tuan? Saya tidak paham…”
Atharva tersenyum tipis, matanya melirik ke arah pintu. Detik berikutnya, pintu kamar terbuka, dan masuklah sosok yang paling Naia percaya—suaminya sendiri, Aryasatya.
Namun yang terlihat bukanlah wajah seorang suami penuh kasih. Melainkan wajah seorang pengkhianat.
“Arya…” suara Naia bergetar, penuh harap bercampur takut. “Apa yang mereka bicarakan? Tolong jelaskan, Mas…”
Atharva menyandarkan diri di kursi, suaranya dingin. “Jelaskan pada istrimu, Arya. Katakan padanya… mulai malam ini, dia adalah wanitaku. Karena aku sudah membelinya darimu. Dua miliar rupiah, lunas.”
Naia membeku, tubuhnya serasa kehilangan tenaga. “Itu… tidak mungkin. Mas Arya nggak mungkin tega menjualku. Mas Arya cinta sama aku… aku yakin itu! Katakan, Mas… katakan kalau ini bohong!”
Arya tersenyum miring, senyum yang asing, menusuk hati Naia. “Sayangnya, aku nggak pernah jatuh cinta sama kamu, Naia. Dari awal, aku hanya mencintai uang. Kamu cuma alat. Korban berikutnya. Kamu bahkan bukan yang pertama… dan aku sudah tak sanggup menghitung berapa banyak yang sudah jadi korban naif seperti kamu.”
Air mata Naia langsung tumpah. Tubuhnya bergetar hebat. Malam yang seharusnya jadi malam penuh cinta, justru berubah jadi malam penuh nestapa.
“Mas…” suaranya parau, nyaris tak terdengar. “Bagaimana tega kau lakukan ini ke aku? Aku menyerahkan seluruh hidupku… aku percaya sama kamu…”
Tangisnya pecah. Lalu dengan keberanian yang tersisa, Naia bangkit. Air matanya mengalir deras, namun tangannya mengepal kuat.
“Dasar iblis bertopeng manusia!” teriaknya, sebelum tinjunya mendarat keras di dada Arya. Ia memukul, menampar, meninju, menyalurkan seluruh sakit hatinya.
Arya hanya tertawa sinis, menatapnya tanpa rasa bersalah.
Sementara Atharva memperhatikan dari kejauhan, dengan tatapan penuh minat… seolah tragedi itu hanyalah awal dari drama panjang yang akan menjerat Naia dalam kehidupan barunya—sebuah kehidupan neraka yang tak pernah ia bayangkan sebelumnya.
Naia terhuyung, tubuhnya bergetar hebat, dadanya naik turun tak terkendali. Air matanya bercucuran, tapi kali ini bukan sekadar tangis, melainkan jeritan jiwa yang tercabik.
“Jadi… benar semua yang aku dengar? Mas Arya…” suaranya pecah, tangannya menunjuk dengan gemetar. “Kau… menjual aku? Istri sahmu sendiri! Malam pertama kita… kau jadikan aku barang dagangan!?”
Arya hanya mengangkat alis, senyum sinis masih melekat di bibirnya. “Akhirnya kau paham juga, Naia. Cinta itu cuma topeng. Uanglah segalanya.”
Kata-kata itu menyulut bara dalam dada Naia. Tiba-tiba tubuhnya serasa dipenuhi kekuatan yang lahir dari luka. Ia menjerit sekeras-kerasnya, “PENGKHIANAT!”
Tanpa ragu ia meninju dada Arya, menampar pipinya hingga berbunyi nyaring saking kuatnya tenaga yang dikeluarkan oleh Naia karena berselimut amarah.
Plakk!!
“Aku meninggalkan keluargaku demi percaya padamu bajingan!” Tamparan kedua mendarat lebih keras.
Plak!!
“Aku menjaga kehormatanku hanya untukmu seorang suamiku pria yang sangat aku cintai! Tapi ternyata aku salah besar!” teriak Naia sembari kembali melayangkan kepalan tinju kecilnya menghantam dada bidang Arya lagi, dengan bertubi-tubi dan membabi-buta.
“Tapi kau balas semua dengan menjualku seperti barang tak bernilai! Dasar manusia tak punya hati, kamu bukan manusia Aryasatya Wijaya!” geramnya Naia.
Arya hanya meringis menahan rasa sakit yang terkena pukulan, dia masih sempat tertawa di sela rasa perihnya.
“Hahaha… puaskan hatimu, Naia. Semakin kau marah, semakin aku tahu kau tak berdaya. Kau sudah milik Atharva sekarang dan bersiaplah untuk terima takdirmu.” ucapnya Arya dengan enteng tanpa memikirkan perasaan Naia.
“Diam!” jerit Naia, wajahnya memerah oleh amarah. “Kau bukan manusia! Kau iblis berkedok suami!”
Naia menendang, memukul sekuat tenaga meski tangannya kecil dan lemah dibanding tubuh Arya. Tangis dan murkanya bercampur jadi satu, meledak tak terbendung.
Atharva yang sedari tadi duduk sambil menyeruput minumannya, hanya tersenyum tipis.
“Cukup menarik,” cicitnya.
Ia menatap Naia dengan tatapan penuh minat, seolah gadis yang sedang hancur itu hanyalah tontonan menarik dalam permainan hidupnya.
“Cukup, Naia…” ucap Atharva akhirnya, suaranya berat namun tenang. “Habiskan saja amarahmu pada pria tak berguna itu. Karena mulai malam ini, duniamu bukan lagi miliknya. Kau… milikku.”
Naia menoleh ke arahnya dengan tatapan tajam, matanya sembab namun berkilat api amarah penuh kebencian.
“Aku bukan milik siapapun! Jangan pernah kau samakan aku dengan barang dagangan, Tuan! Aku ini manusia, aku punya harga diri!” bentaknya Naia.
Suaranya Naia bergetar hingga tangannya gemetar menunjuk ke arah Atharva dan Arya secara bergantian.
“Dengar baik-baik dan perlu kalian ingat, kalian berdua sudah merampas segalanya dariku. Tapi aku bersumpah kalau aku tidak akan menyerah begitu saja!”
Tangisnya kembali pecah, namun kali ini diiringi ketegasan. Luka hatinya memang dalam, tapi kobaran api yang lahir darinya baru saja menyala.
Hingga pintu kamar hotel terbuka lebar dan masuklah seorang perempuan yang cantik dan seksi memakai gaun malam berwarna merah.
Nafas dan suaranya Naia tercekat, tubuhnya beringsut ketakutan, punggungnya menempel erat ke dinding dingin. Matanya membelalak, napasnya memburu tak beraturan.
Saat perempuan itu mengeluarkan glock hitam dari balik gaunnya dan menodongkannya tepat ke pelipis Naia, dunia seakan berhenti berputar.
“Jangan coba-coba melawan,” bisik perempuan itu dingin, jemarinya menekan pelatuk.
Keringat dingin bercucuran deras dari pelipis Naia, mengalir hingga membasahi leher jenjangnya yang tak tertutup hijab. Kedua tangannya gemetar hebat, lututnya lemas hampir tak mampu menopang tubuhnya.
Rasa ketakutan menguasai hatinya, membuatnya hanya bisa berdoa lirih dalam hati sambil menahan tangis yang siap pecah kapan saja.
“Ya Allah... lindungi hamba-Mu. Jangan biarkan aku mati dengan cara seperti ini. Ampuni segala dosaku, ya Rabb. Jika memang ajal menjemput, kuatkan aku... tapi jika masih ada kesempatan hidup, selamatkan aku dari perempuan ini dan tuan Atharva...”
Air matanya menggenang di pelupuk mata Naia, dan perlahan jatuh bersama rasa pasrah yang bercampur dengan harapan tipis akan mukjizat menolongnya.
Arya sama sekali tidak peduli dengan nasib malang yang dialami oleh sang istri wanita yang baru dalam hitungan jam dinikahinya.
Baginya, selama tubuh Naia bisa menghasilkan uang, diperlakukan sekejam apapun tak jadi masalah. Cinta, kehormatan atau perasaan semua itu baginya tak lebih dari angka dan keuntungan.
Dengan langkah santai namun penuh aura pengkhianatan yang terpatri di raut wajahnya, Arya menoleh pada pria kaya yang duduk di hadapannya.
“Tuan Atharva,” ucapnya santai, seakan tak menanggung dosa apapun, “silahkan menikmati malam indah ini bersama istriku. Dua minggu lagi aku akan datang menjemputnya. Tapi kalau Tuan puas dengan pelayanannya, kita bisa bernegosiasi lagi dan tentu saja dengan kesepakatan dan harga baru. Saya yakin Tuan takkan kecewa, sebab istriku ini masih sangat polos, bahkan belum tersentuh.”
Kata-kata itu menusuk hati Naia lebih dalam dari belati mana pun. Baginya, itu bukan sekadar penghinaan tapi pembunuhan atas harga dirinya.
Naia terperangah, darahnya mendidih, air matanya jatuh tanpa bisa dibendung.
“Arya! Kau tega melakukan ini padaku? Aku ini istrimu! Seharusnya kau menjagaku, bukan menjualku seperti barang murahan!” suaranya bergetar, parau oleh isak tangisannya dan kemarahan yang bercampur dalam hati dan pikirannya.
Claudia masih menodongkan glock dingin ke pelipisnya, tapi dengan sisa tenaga dan keberanian, Naia memberanikan diri berontak.
Naia berjalan cepat ke arah suaminya yang hanya tersenyum tipis. Tangannya terangkat, menampar Arya dengan cukup keras, lalu memukul dadanya Arya berulang kali meski tubuhnya lemah tapi tak menyurutkan kemarahannya.
“Kau lelaki keji! Aku lebih baik mati daripada diperlakukan begini!” teriaknya di antara suaranya yang serak karena menahan isak tangisnya.
Arya hanya terkekeh sinis, wajahnya sama sekali tak menunjukkan penyesalan.
“Naia… kau masih terlalu naif. Dunia ini tidak butuh air matamu. Kau milikku berarti aku bisa melakukan apa saja yang aku inginkan, termasuk menjualmu.” Ucap Arya dingin tanpa sedikitpun rasa kasihan yang terbersit dalam hatinya.
Tubuh Naia merosot ke lantai, bahunya bergetar, air matanya jatuh tanpa bisa ia tahan. Namun di sela tangisnya, ia menatap Arya dengan sorot mata penuh luka bercampur perlawanan.
“Ya Allah…” bisiknya serak, “kenapa di malam pertamaku sebagai istri, aku justru dijual oleh suamiku sendiri? Harusnya aku tersenyum karena menikah penuh cinta, tapi yang kurasakan hanyalah duka.” batinnya.
Arya menatapnya dengan tatapan merendahkan. “Kau terlalu polos, terlalu gampangan. Mudah sekali percaya kata-kata manis. Makanya jangan salahkan siapapun kalau nasib kau berakhir begini.”
Naia menggertakkan giginya, meski tubuhnya masih gemetar. “Kalau aku terlalu polos, itu karena aku percaya padamu, Aryasatya Wijaya! Suamiku, orang yang kupikir akan menjagaku. Tapi ternyata yang kukejar hanyalah ilusi dan kebohongan. Kau tidak lebih dari pedagang murah yang bahkan tega menjual kehormatan istrinya sendiri.”
Senyum sinis tersungging di bibir Arya. “Hormat? Kau pikir harga dirimu begitu tinggi? Jangan bermimpi, Naia. Kau hanyalah barang. Dan barang tidak berhak memilih kepada siapa dia diberikan.”
Naia menyeka air matanya dengan tangan gemetar, tapi sorot matanya mulai terlihat tegas.
“Kalau aku barang, maka kau lebih rendah dari pedagang pasar gelap. Karena pedagang masih tahu cara menghargai dagangannya. Sedangkan kau bahkan tak tahu arti harga diri seorang istri.” ucap lantang Naia sembari menunjuk ke arah Arya.
Kata-kata itu menusuk, membuat wajah Arya mengeras. Tapi Naia melanjutkan dengan suara lirih yang terdengar getir tapi tetap berusaha untuk terlihat tegar.
“Mulai malam ini, aku mungkin tak bisa menolak takdirmu. Tapi satu hal yang pasti, aku tidak akan selamanya jadi korbanmu, Arya. Percayalah, waktumu akan tiba.” tegas Naia.
Begitu pintu kamar presidential suite itu tertutup dan langkah Arya menghilang, ruangan mendadak terasa hampa. Sunyi, tapi menyisakan ribuan retakan di hati Naia.
Tangannya gemetar, tubuhnya lemah, namun di tengah keputusasaan itu, seolah ada dorongan terakhir yang muncul.
Dengan sigap, ia meraih Glock hitam yang masih berada dalam genggaman Claudia. Gerakan itu cepat dan tak terduga. Senjata berhasil berpindah ke tangannya.
Claudia terperangah, Tuan Atharva pun sempat terkejut dengan keberanian mendadak itu.
Naia menodongkan Glock itu, bukan ke orang lain, melainkan ke kepalanya sendiri.
Air mata jatuh deras membasahi pipinya. Nafasnya tersengal, dada naik turun tak beraturan.
“Lebih baik aku mati daripada hidup ternoda begini,” ucapnya lirih namun tegas, suaranya bergetar tapi penuh ketegasan.
Tangannya gemetar hebat, jari telunjuknya sudah menyentuh pelatuk. Wajahnya pucat, matanya kosong antara pasrah dan ketakutan.
“Ya Allah… jika ini jalanku untuk menjaga kehormatanku, ambil saja nyawaku malam ini,” bisiknya lagi, matanya terpejam erat.
Claudia spontan berteriak panik, “Jangan bodoh, Naia! Turunkan senjatanya!”
Tuan Atharva berdiri kaku, antara kagum pada keberanian sang gadis polos itu sekaligus merasa tertantang.
Ia melangkah mendekat, nada suaranya dingin namun terdengar berat.
“Beraninya kau memilih mati daripada
tunduk padaku? Kau berbeda dari yang lain, Naia.” ujarnya.
Naia melebarkan kelopak matanya, kemudian menatap Atharva dengan sorot penuh luka.
“Aku bukan barang. Aku bukan budak. Aku ini manusia, Tuan. Dan aku lebih memilih mati dengan terhormat, daripada hidup tanpa harga diri!”
Suasana kamar seketika terasa sangat jelas ada ketegangan di dalam sana, waktu seolah berhenti. Senjata itu masih menempel di pelipisnya, sementara setiap detik terasa bagai pertaruhan antara hidup dan mati.
Naia masih menempelkan Glock itu ke pelipisnya, air matanya menetes tanpa henti.
Namun, sebelum ia sempat menarik pelatuk, gerakan cepat menyambar pergelangan tangannya. Dalam sekejap, senjata itu sudah berpindah ke tangan Tuan Atharva.
Gerakannya presisi, dingin, nyaris tanpa suara, buah dari latihan bertahun-tahun dan beberapa macam ilmu bela diri yang dikuasainya membuatnya tangguh dan tak terkalahkan.
Naia terbelalak, kaget sekaligus gemetar ketika pergelangan tangannya digenggam kuat, nyeri hingga membuatnya tak berdaya.
“Argh!” Pekik Naia yang terkejut hingga terlihat shock.
“Keberanianmu… luar biasa,” suara Atharva berat dan dalam, matanya menatap lurus ke dalam mata Naia. Ada ketertarikan yang tak bisa disembunyikan.
“Tapi kau lupa, Naia. Senjata hanya berguna di tangan orang yang cukup kuat untuk menahannya.”
Dengan gerakan halus tapi tegas, ia meraih dasi sutra yang tergeletak di atas meja. Hanya dalam hitungan detik, kedua tangan Naia sudah terikat rapi di belakang tubuhnya. Ia bergerak terlalu cepat, terlalu terampil, membuat Naia tak sempat untuk melawan.
Napas Naia memburu, tubuhnya bergetar hebat. “Lepaskan aku! Kau tak berhak menyentuhku!”
Atharva mencondongkan tubuhnya, suaranya berbisik dingin di telinga Naia.
“Berhak? Setelah suamimu sendiri menjualmu, aku punya semua hak malam ini, Naia. Tapi ingat aku sangat jelas berbeda. Aku tidak membeli tubuhmu. Aku membeli keberanianmu dan Kamu adalah wanita beruntung karena kamu adalah yang pertama dalam hidupku setelah istriku pergi.”
Wajahnya menegang, sorot matanya bagai pisau yang bisa menusuk jiwa. Ia menoleh ke arah Lampard, bodyguard setianya, dan Claudia yang masih berdiri kaku di pintu.
“Keluar dari sini! Sekarang juga!”
Nada suaranya datar, tapi otoritas dan ketegasannya tak terbantahkan. Claudia sempat ingin protes, namun tatapan tajam Atharva membuatnya tak berkutik.
Lampard pun menunduk hormat sebelum menarik Claudia untuk keluar dari sana.
Pintu kembali tertutup rapat. Hening sesaat. Kini hanya ada Atharva dan Naia di dalam kamar presidential suite yang megah itu.
Atharva meletakkan Glock di meja, lalu menatap Naia dengan sorot mata yang sulit ditebak yaitu antara kagum, marah, dan terobsesi.
“Sekarang, kau milikku. Tapi jangan salah paham, Naia. Aku tidak akan memperlakukanmu seperti barang murahan, karena kau jauh lebih berharga dari itu.”
Naia menunduk, tubuhnya gemetar, namun dalam hatinya ia tahu malam ini adalah baru permulaan dari neraka yang jauh lebih gelap dari yang sanggup dibayangkan.
Atharva menatap Naia dengan sorot mata yang membakar, antara obsesi dan kekuasaan. Nafasnya berat, tubuhnya menegang menahan gejolak yang menguasai seluruh jiwa dan raganya.
Jemarinya menyambar kain piyama sutra mewah yang membalut tubuh Naia, lalu dengan gerakan kasar ia merobeknya.
Srak!!
Suara kain yang terbelah memenuhi kamar, membuat Naia menjerit kaget.
“Argh tidak!! Jangan!” Pekik Naia yang berusaha untuk menutupi tubuhnya yang sudah terekspos tanpa memakai pakaian apapun menutupi seluruh tubuhnya.
Naia berusaha mundur, tubuhnya bergetar hebat, wajahnya memucat saking panik dan ketakutan.
“Jangan… jangan lakukan ini! Tolong, aku mohon Tuan Atharva,” isaknya, matanya berkaca-kaca penuh ketakutan seraya menyilangkan kedua tangannya di depan dadanya yang tak tertutup cup pelindung.
Atharva mendekat, menunduk hingga wajahnya hanya sejengkal dari Naia. Sorot matanya dingin tapi penuh gairah penguasaan.
“Aku sudah katakan, Naia. Aku tidak membeli tubuhmu, tapi aku akan membuatmu tunduk. Sampai kau sendiri menyerahkan dirimu padaku, bukan karena paksaan, tapi karena kau tak mampu lagi melawan kekuasaanku.”
Tangannya mencengkeram dagu Naia, mengangkat wajahnya agar menatap lurus pada matanya. Naia meronta, tapi ikatan dasi di tangannya membuatnya tak berdaya dan sedikit perih.
Air mata jatuh, Naia menjerit lirih. “Aku bukan milikmu!”
Atharva hanya tersenyum tipis, senyum penuh misteri sekaligus ancaman. “Belum, Naia. Belum. Tapi malam ini akan mengubah segalanya termasuk hubungan diantara kita berdua.”
Kamar presidential suite itu bagai kurungan emas yang kini berubah menjadi neraka pribadi bagi Naia. Di balik cahaya lampu mewah, hanya ada tangisan dan rasa takut yang menelan habis hatinya.
“Ahh tidak! A-ku mohon lepas!”
Naia meronta sekuat tenaga, tubuhnya bergerak liar mencoba melarikan diri dari dekapan Atharva.
“Ahh sakit!! Ja-ngan!” Tolak Naia yang masih berusaha berontak ketika Atharva mencium dan menjilati seluruh wajah hingga ke leher putih jenjangnya Naia.
Air matanya bercucuran, suaranya serak karena terus berteriak meminta dilepaskan.
“Auh aahh hemph,” racaunya Naia yang ketika sekujur tubuhnya disentuh oleh tangan kekarnya Atharva.
Namun, tenaga Atharva terlalu kuat. Lengan kokohnya menahan setiap gerakan Naia dengan mudah, seolah kekuatan perempuan rapuh itu tak berarti apa-apa.
Setiap usaha Naia untuk bebas hanya membuat ikatannya semakin erat, membuatnya semakin kehabisan tenaga.
“Lepaskan aku! Aku tidak akan pernah menyerah padamu!” teriak Naia di antara tangisnya, suaranya bergetar namun penuh keberanian terakhir yang ia miliki.
Atharva menatapnya tajam, sorot matanya dingin tapi berkilat puas. “Kau boleh melawan, Naia tapi melawan hanya akan membuatmu semakin lemah. Pada akhirnya, kau akan mengerti kekuatanmu tak sebanding dengan kekuasaanku.”
Naia merosot, bahunya berguncang hebat, napasnya tersengal. Tenaganya terkuras, tubuhnya tak lagi mampu melawan.
Pandangannya kabur oleh air mata, hingga akhirnya ia hanya bisa menutup mata dan pasrah dalam kepungan bayangan pria dewasa itu.
“Ya Allah… lindungi aku…” lirihnya pelan, hampir tak terdengar.
Bagi Atharva, itulah tanda kemenangan saat seorang perempuan berhenti melawan dan tunduk dan tak berdaya dalam genggaman tangannya.
Tapi di balik pasrahnya Naia, ada api kecil yang masih tersisa yaitu sumpah dalam hatinya bahwa malam ini tidak akan menjadi akhir dari dirinya, melainkan awal dari perjuangannya untuk bangkit kembali.
Tubuh Naia menegang seketika, lalu perlahan bergetar tak beraturan ketika bibir Atharva menyapu lembut kulitnya. Ia menggelinjang, bukan karena sakit, melainkan karena rasa asing yang mengalir deras ke seluruh syarafnya.
Napasnya memburu, dadanya naik-turun dengan ritme tak terkendali. Sensasi itu membuatnya terperangkap di antara rasa kaget, malu, sekaligus geli yang tak sanggup ia pahami.
Pipinya memanas, telinganya berdesir, dan jari-jarinya mencengkeram sprei tanpa sadar, seolah mencari pegangan agar tidak larut dalam pusaran perasaan baru itu.
Di balik tubuhnya yang seperti tersengat listrik, air matanya jatuh, menyuarakan kegamangan hati seorang gadis yang untuk pertama kalinya disentuh sedemikian dekat.
Hatinya berbisik lirih antara ingin menjauh, tapi sekaligus tak kuasa mengingkari getaran yang membingungkan itu.
Atharva seperti orang yang menggila di atas tubuh perempuan yang masih suci dan tersegel.
“Kamu buat aku semakin tergila-gila cantik, tubuhmu buat aku semakin tertantang,” racaunya Atharva seraya menjelajahi setiap inci tubuhnya Naia dengan lidahnya.
Tubuh Naia terkulai di atas ranjang mewah itu, wajahnya basah oleh air mata, nafasnya tersengal, dan tubuhnya masih bergetar hebat. Seakan seluruh dunia runtuh menimpanya dalam satu malam.
Tangisannya pecah, tersedu, menyayat hati, mengisi keheningan kamar yang tadi hanya dipenuhi suara paksaan. Ia memeluk tubuhnya sendiri, menutupi bekas-bekas sentuhan yang baru saja merenggut kehormatannya.
“Ya Allah…,” lirihnya, suaranya parau, “mengapa Engkau biarkan aku ternoda begini? Bukankah aku baru saja menjadi istri? Mengapa bukan suamiku yang menyentuhku pertama kali, tapi pria lain yang bahkan membeliku dari tangannya?”
Tangannya gemetar, ia menampar dadanya sendiri berulang kali, seolah ingin menghukum dirinya yang tak mampu menjaga kesucian yang selama ini ia jaga rapat-rapat.
Tubuhnya digosoknya dengan kasar, mencoba menghapus jejak tangan dan bibir Atharva yang masih terasa panas di kulitnya.
“Pergi! Hilang! Aku tidak ingin ada yang tersisa darimu!” ratapnya serak, tangannya menyapu setiap inci tubuhnya, menyakiti dirinya sendiri demi ingin menghapus semua jejak sentuhan tangannya Atharva.
Namun, semakin keras ia menggosok, semakin jelas bayangan itu tertinggal di benaknya.
Air matanya jatuh tanpa henti, bercampur dengan rasa jijik, marah dan hancur yang tak tergambarkan. Ia menunduk, memukul-mukul dadanya dengan kedua tangannya yang masih terikat.
“Arya…” suaranya pecah, lirih penuh kepedihan, “kau suamiku tapi kenapa justru kau yang menyerahkan aku pada orang lain? Aku ini istrimu, bukan barang dagangan. Bukan benda murahan yang bisa diperjualbelikan!”
Ratapannya menggema, tubuhnya terhuyung jatuh dari tepi ranjang hingga bersimpuh di lantai dingin. Rambutnya berantakan, matanya bengkak, wajahnya pucat pasi.
“Lebih baik aku mati malam ini daripada hidup dengan noda ini seumur hidupku…” bisiknya sambil menekan wajahnya ke lantai, menangis sejadi-jadinya.
Namun, di balik ratapannya, ada api kecil yang masih menyala sebuah janji lirih yang lahir dari luka paling dalam.
“Arya… kau sudah merenggut semuanya dariku. Tapi ingat, aku tidak akan selamanya menangis. Aku akan bangkit. Dan saat itu tiba kau akan menyesali setiap tetes air mata yang jatuh malam ini.”
Tangisannya kembali pecah, mengguncang tubuh rapuhnya yang bergetar hebat, sementara cahaya lampu kamar itu seolah berubah jadi saksi bisu dari kehancuran seorang perempuan yang dikhianati cinta dan kepercayaannya sendiri.
“Ya Allah… ampunilah aku hamba-Mu yang telah ternoda dalam dosa,” lirih Naia, suaranya pecah di sela-sela tangis pilu.
Ia memeluk kedua lututnya, tubuhnya terguncang, air matanya jatuh tiada henti, seakan seluruh langit ikut menyaksikan ratapan penyesalannya.
Fajar baru saja menyingkap tirai langit ketika Naia membuka mata dengan tubuhnya yang gemetar.
Cahaya tipis matahari menembus jendela besar kamar presidential suite itu, namun baginya, cahaya itu tak membawa harapan hanya menyingkap luka yang tak bisa disembunyikan.
Tubuhnya terasa remuk, setiap inci raganya seakan dipaksa menanggung beban yang bukan miliknya.
Rasa perih dan nyeri menjalar, meninggalkan jejak menyakitkan bahwa malam itu adalah pengakuan pertamanya, tapi bukan dengan cinta, melainkan dalam paksaan dan pengkhianatan.
Naia meringkuk, menarik kakinya ke dada, tangannya yang terikat semalaman masih terasa panas bekas jeratan dasi sutra. Air mata kembali mengalir tanpa henti, membasahi pipinya yang pucat.
“Ya Allah… kenapa harus begini? Aku bahkan belum sempat merasakan indahnya menjadi istri, tapi yang kudapat hanyalah neraka dan kesakitan,” bisiknya parau, suaranya patah-patah.
Hatinya hancur lebur, seperti kaca yang dihempaskan ke lantai marmer. Bukan hanya kehormatan yang direbut, tapi juga kepercayaan dirinya sebagai seorang perempuan.
Dia merasa kosong, kotor, seakan semua cahaya dalam dirinya direnggut paksa oleh keadaan.
Setiap kali ia mencoba memejamkan mata, bayangan malam itu kembali menghantamnya, membuatnya ingin menjerit. Tubuhnya sakit, tapi lebih sakit lagi hatinya yang tercabik.
“Oh Tuhan seandainya aku bisa memutar balik waktu, aku nggak akan rela dan sudi menikah dengan Arya,” lirihnya.
Naia menggenggam selimut erat-erat, menutup tubuhnya yang terasa asing bagi dirinya sendiri. Ia merasa tidak lagi utuh. Ia merasa seolah-olah bagian terdalam dari dirinya sudah tercuri.
Namun, di tengah kehancuran itu, ada bisikan kecil dari dalam hatinya: bahwa ia harus bertahan. Bahwa meskipun malam itu mencuri segalanya, ia masih bisa memilih untuk tidak menyerahkan jiwanya sepenuhnya.
“Astaghfirullahaladzim, ampunilah segala salah dan dosaku ya Allah,” cicitnya Naia.
Pagi itu, kamar megah itu kembali dipenuhi ketegangan. Naia yang masih lemah mencoba menutupi tubuhnya dengan sisa selimut, matanya bengkak karena semalaman menangis dan kurang tidur.
Langkah berat Atharva terdengar mendekat. Pria blasteran Timur Tengah–Inggris itu berdiri di tepi ranjang, menatap Naia dengan sorot mata yang menyala. Ada sesuatu yang tak bisa ia sembunyikan yaitu kegilaan yang berubah menjadi candu.
“Tidak… jangan lagi, Tuan… aku mohon,” suara Naia bergetar hebat, tubuhnya gemetaran. Ia merapatkan selimut ke dada, berusaha melawan dengan sisa tenaga yang dimilikinya.
Atharva hanya menghela napas berat melihat Naia yang ketakutan, seolah sedang menahan sesuatu yang tak terkendali.
“Naia… kau membuatku gila. Semakin kau menangis, semakin aku tak bisa melepaskanmu.”
“Tidak! Aku tidak sanggup lagi!” jerit Naia, air matanya mengalir deras. Suaranya melengking, memantul di dinding kamar mewah itu.
“Ya Allah… lepaskan aku, aku sudah nggak sanggup lagi.. aku mohon berhenti!”
Atharva mendekat, tangannya meraih Naia meski ia meronta. Selimut terlepas dari genggamannya, tubuh rapuh itu kembali terperangkap dalam kekuatan pria dewasa yang jauh lebih dominan.
Jeritan Naia kembali pecah, parau dan penuh duka. Ia meronta, menendang, menggeliat, tapi semua sia-sia. Setiap usahanya seolah hanya semakin menegaskan ketidakberdayaannya.
“Berhenti! Tolong… jangan lagi!” suaranya berubah serak, tangisnya menyesakkan dada.
Namun Atharva yang sudah tergila-gila padanya tak bergeming. Baginya, Naia telah menjadi racun manis yang membuatnya kehilangan kendali, sebuah candu yang tak bisa ia tolak.
Bagi Naia, pagi itu kembali menjadi neraka. Jeritannya hanya tenggelam dalam hening kamar mewah, tak ada yang mendengar, tak ada yang menolong.
“Kamu mungkin hari ini menolak tapi lama-lama kamu akan terbiasa dengan sentuhankur,” ucap Atharva sambil menelusuri setiap inci kulit halus dan lembut milik Naia.
“Aku sudah sangat lelah Tuan Muda Atharva, tolong lepaskan, aku mau pulang ke kampung,” cicit Naia yang meratap dan memohon belas kasihnya Atharva.
Atharva menatap Naia yang terkulai lemah dengan sorot mata yang sulit ditebak antara puas, terobsesi, dan tergila-gila. Nafasnya berat, namun bibirnya melengkungkan senyum tipis.
“Naia…” ucapnya pelan namun penuh tekanan, “kau adalah candu yang tak pernah kutemukan sebelumnya. Setiap detik bersamamu membuatku semakin terikat, semakin haus. Aku tak bisa melepaskanmu.”
Ia mengangkat dagu Naia dengan jemarinya, memaksa mata sembab itu menatap lurus ke arahnya.
“Air matamu, ketakutanmu, bahkan perlawananmu semuanya membuatku gila. Kau berbeda dari semua perempuan yang pernah kudapatkan. Kau begitu murni, begitu nyata, hingga aku merasa tak seorang pun bisa menyentuhmu kecuali aku.” ucapnya Atharva yang juga keheranan dengan akal sehat dan pikirannya yang selalu memikirkan Naia.
Atharva mendekat, suaranya nyaris berbisik, berat dan dalam.
“Tubuhmu, keberanianmu bahkan kepasrahanmu semuanya seperti racun manis bagiku. Dan aku sudah terlalu jauh untuk bisa berhenti.” ucap Atharva lagi.
Ia tersenyum miring, lalu menambahkan dengan nada penuh obsesi, “Mulai hari ini, Naia, aku tidak akan membiarkanmu pergi. Kau milikku seutuhnya. Entah kau suka atau tidak.”
Sedangkan di tempat lain beberapa jam sebelumnya, jauh dari kamar mewah tempat Naia menangis hancur, Arya justru larut dalam dunia gemerlapnya.
Di sebuah klub malam elit Jakarta, lampu neon berkelap-kelip, dentuman musik keras, dan aroma alkohol memenuhi udara.
Arya duduk di sofa VIP, dikelilingi perempuan-perempuan muda yang tertawa manja di sisinya.
Botol-botol minuman mahal berjejer di meja, kepulan asap rokok melayang menutupi wajahnya yang penuh senyum puas.
Di tangannya, ia menggenggam segenggam uang tunai sebagian dari dua miliar rupiah yang baru saja diterimanya.
Dengan santai ia menaburkan lembaran ratusan ribu ke udara, membuat para perempuan itu berteriak kegirangan.
“Hahaha… siapa bilang menjual istri itu rugi? Dua miliar, bro!” serunya pada teman-teman prianya yang juga ikut larut dalam pesta.
“Dan ini baru awal. Kalau si Tuan kaya itu puas, bayangkan berapa lagi yang bisa kudapatkan nanti!”
Para perempuan menempel di lengannya, memuji, merayu, sementara Arya hanya tertawa puas, mabuk oleh uang dan kenikmatan sesaat.
Tanpa sedikitpun rasa bersalah, tanpa terbayang bahwa di saat yang sama, istrinya Naia sedang tergeletak hancur, menahan sakit dan tangisan di kamar megah yang seharusnya jadi malam bahagia pernikahannya.
Esok paginya, tanpa rasa bersalah sedikit pun, Arya melangkah ke showroom mobil mewah dengan senyum lebar. Tangannya menepuk-nepuk kap sebuah mobil balap keluaran terbaru, mengagumi lekuk aerodinamis dan kilau cat metaliknya.
“Ini yang gue mau,” ucapnya dengan penuh percaya diri, menyerahkan sebagian dari uang dua miliar itu tanpa pikir panjang.
Tak butuh waktu lama, mesin menggeram keras saat Arya memacu mobil barunya keluar dari showroom.
Angin pagi berdesir di wajahnya dan deru mesin itu seakan menjadi musik kemenangan yang menenggelamkan bayangan dosa besar yang baru saja ia lakukan pada Naia. Ia tertawa puas, seolah dunia ini hanya miliknya.
Tangis Naia pecah seperti gelombang yang tak terhentikan. Suaranya melengking di kamar megah yang terasa begitu asing baginya.
Setiap detik seakan menegaskan betapa hausnya ia pada keadilan yang tak pernah datang. Ia memeluk tubuhnya sendiri, seperti berusaha menahan serpihan dirinya yang tercerai-berai.
“Ya Allah… kenapa aku dilahirkan untuk menanggung ini semua?” ratapnya, suaranya parau dan terbata-bata.
Matanya menatap kosong ke arah jendela, melihat cahaya pagi yang sama sekali tak bolehkan hadirkan ketenangan untuknya.
“Aku hanya ingin diakui sebagai manusia bukan barang jualan, bukan objek permainan orang kaya.”
Kenangan-kenangan kecil melintas; tawa masa kanak-kanak, pelukan hangat ibunya, janji-janji sederhana tentang masa depan semua terasa seperti mimpi yang direnggut dalam semalam.
Pengkhianatan suami, cengkeraman Atharva menjadi satu kesakitan di dadanya, menekan sampai kesulitan untuk bernafas.
Di tengah keputusasaan itu, sebuah dorongan gelap menyelinap dipikirannya mencari jalan keluar dari rasa sakit yang tak tertahankan.
Ia berdiri, berjalan goyah menelusuri kamar, setiap langkahnya berat, seolah ada batu yang terikat di setiap lengannya.
Matanya mencari-cari sesuatu yang bisa memadamkan derita ini, bukan karena ia membenci hidupnya sendiri, tetapi karena ia lelah dan tentunya begitu lelah.
Namun ketika ia menatap lebih dalam ke bawah, bukan hukum atau jalan buntu yang ia lihat, melainkan bayangan ibunya yang dulu membelai ujung hijabnya dan berkata, “Jangan pernah menyerah, Nak.” Kata itu seperti paku kecil yang menusuk, membuatnya tersentak dari lamunannya.
Tangisnya berubah, bukan lagi hanya ratapan, tapi suara seorang perempuan yang sedang kehilangan segalanya namun masih punya satu napas kecil untuk berharap akan ada keajaiban.
“Jika ini takdirku, biarkan aku hidup untuk membuktikan bahwa aku lebih dari penderitaan ini,” bisiknya, suaranya hampir tak terdengar, namun tegas.
Naia tetap tak berdaya di lantai kamar itu, menangis sampai lelah, tapi di antara air mata ada satu keputusan kecil, mungkin bisa saja esok akan berbeda. Bukan karena dunia berubah, tapi karena ia belum selesai mencari alasan untuk bertahan.
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!