Melawan arus taruhannya nyawa, namun melawan restu? Apa anak laki-laki sanggup melawan orangtuanya hanya untuk mendapatkan restu?
"Klarisa bangun nak, ini sudah pagi," ucap ibundanya dari balik pintu kamarnya.
"Emm iya ibu, Klarisa sudah bangun," ucap Klarisa yang benar-benar baru membuka matanya.
Namun sepasang mata lain dibalik layar handphone tengah memperhatikan Klarisa dengan penuh cinta dan kasih sayang,.
"Selamat pagi sayang, God bless you," ucap Dirga dengan suara khas baru bangun tidur.
"Selamat pagi sayang, God bless you too, nyenyak tidur nya sayang?" ucap Klarisa.
"Iya nyenyak sayang, kan ditemani sama calon istri ya nyenyaklah," ucap Dirga.
"Bisa aja ya gombalnya,"ucap Klarisa.
"Ya udah ayo bangun, siap-siap kerja sayang," ucap Dirga.
"Iya sayang, terima kasih ya sayang sudah menemani aku tidur dan mau mendengarkan cerita ku, " ucap Klarisa.
"Iya sayang apapun tentang mu adalah bagian hidup ku yang sama pentingnya dengan kepentingan ku juga sayang, jadi jangan sungkan ya aku ingin selalu menjadi bagian hidup mu, " ucap Dirga.
"Iya sayang, ya udah aku siap-siap kerja dulu ya," ucap Klarisa.
" Iya sayang, " ucap Dirga.
Panggilan video pun selesai, Klarisa mempersiapkan semua kebutuhannya untuk mengajar begitupun Dirga yang tengah mempersiapkan dirinya untuk kembali berkerja.
...****************...
Hay nama ku Klarisa Febriana Putri, biasa dipanggil Risa, Ica, Ana, Caca, Sasa, Uti, beda panggilan beda tempat dan beda cerita, aku bersyukur buat semua proses yang Tuhan izinkan terjadi didalam setiap langkah hidup ku, dan laki-laki yang Tuhan percayakan untuk menjadi kekasih ku itu bernama Dirga Meidion Alkabari, laki-laki yang aku kenal dari aplikasi Online dating, dia sangat mencintai ku dan berhasil memperlakukan ku seperti ratu, ibunya sukses mendidiknya menjadi laki-laki yang bertanggungjawab dan penuh cinta untuk wanitanya, tetapi ibunya gagal untuk membuat anaknya bahagia dengan memberikan restunya untuk kami, aku pun bingung kenapa dari sekian banyaknya cerita horor didunia ini aku dan Dirgalah yang terpilih memerankan cerita dengan judul Melawan Restu, terkadang aku berfikir jika restu bisa di tukar dengan harta benda aku dengan senang hati menukarnya, namun Restu didapatkan dari perjuangan dan pengorbanan, namun aku mencintai Dirga dan tidak mencintai Dirga bukanlah pilihan ku, bahkan dengan kesadaran penuh aku siap berhenti kerja dan bersatu padu dengan Dirga, namun ditengah jalan ibunya belum memberikan restunya untuk kami, muncul dipikirkan ku untuk berhenti mencintai Dirga namun hati ku menolak pikiran itu secara mentah-mentah, jadi seberat apapun resikonya aku akan tetap memilih Dirga untuk menjadi kekasih ku bahkan calon suami ku.
...----------------...
Hay nama ku Dirga Meidion Alkabari, laki-laki yang sangat mengasihi orangtua terlebih lagi Ibu, namun rasa sayang ku kepada ibu kini menimbulkan dilema besar dan berat bagi ku, antara haru memilih melawan ibu atau mengikuti keputusan ibu, rasanya aku tak ingin menyakiti salah satu dari wanita yang sangat aku cintai dan sayangi, namun kini aku dilema, antara mempertahankan atau melepaskan, tetapi Klarisa selalu memiliki keyakinan kalau kami akan bersatu dalam biduk pernikahan, ya apapun itu ini kembali lagi dengan restu ibu ku yang belum kami kantongi, padahal ibuku belum mengenal Klarisa, sebenarnya Klarisa ini wanita yang baik dan pekerja keras, bayangkan saja setiap hari Klarisa pulang jam 16:00WIB, setelah sampai di rumah ia langsung membuat cireng isi dan menggulung risol, setelah itu ia menyapu rumahnya, sampai disini seharusnya ibuku mengasihinya atau ini hanya karena ibu belum mengenal Klarisa dengan baik, jadi ada saja salah paham yang terjadi, namun aku ingin memperjuangkan Klarisa sampai ibu ku memberikan restunya untuk kami.
Sore itu, lonceng kecil di halaman gereja berdentang lembut. Dirga baru saja menyelesaikan tugasnya: menyapu halaman, membersihkan kursi panjang, dan mengelap mimbar. Pekerjaan itu sudah ia jalani sejak satu tahun terakhir. Bagi banyak orang mungkin sederhana, tapi bagi Dirga, ini adalah wujud pelayanannya kepada Tuhannya.
Peluh menetes di keningnya, tapi senyum kecil menghiasi wajahnya ketika ponselnya bergetar. Nama Klarisa muncul di layar.
“Sayang, sudah selesai kerja di gereja?” tanya Klarisa begitu panggilan terangkat.
“Iya, baru aja kelar. Kamu gimana? Sudah sampai rumah?”
“Sudah. Lagi beres-beres dapur,” jawab Klarisa, suaranya terdengar riang.
Sejenak Dirga merasakan ketenangan. Klarisa selalu menjadi semangatnya setelah hari yang panjang. Namun ketenangan itu tak bertahan lama, sebab di rumah menunggunya sesuatu yang jauh lebih sulit dari sekadar lelah bekerja: restu ibunya.
---
Malam itu, di meja makan sederhana, Dirga mencoba membuka percakapan. Ibunya tengah menuangkan sayur ke piringnya.
“Bu,” ucap Dirga pelan.
“Ya, Nak,” jawab ibunya singkat.
“Aku serius sama Klarisa. Aku ingin bawa dia lebih dekat sama Ibu. Biar Ibu bisa kenal dia.”
Seketika sendok di tangan sang ibu berhenti bergerak. Wajahnya mengeras. “Dirga, sudah berapa kali Ibu bilang? Ibu tidak setuju dengan dia.”
Dirga menelan ludah. “Tapi kenapa, Bu? Apa yang salah dari Klarisa? Dia seiman dengan kita, pekerja keras, hormat sama orangtua. Apa kurangnya, Bu?”
Ibunya menatapnya tajam, tapi tidak segera menjawab. “Pokoknya Ibu tidak suka.”
“Tidak suka? Tapi alasannya apa, Bu? Saya butuh penjelasan. Jangan hanya bilang tidak suka.”
Ibunya menghela napas panjang. “Entahlah, Ga. Hati Ibu tidak sreg. Ibu merasa dia bukan orang yang tepat untukmu.”
“Bu, saya ini sudah dewasa. Saya bisa merasakan sendiri siapa yang baik untuk saya. Klarisa itu tulus, Bu. Saya melihatnya setiap hari berjuang. Dia tidak hanya bekerja sebagai guru, tapi juga bantu ibunya di rumah. Apa salahnya, Bu?”
Ibunya terdiam. Ada kerutan di keningnya, seolah ia mencari-cari alasan yang bisa membenarkan perasaannya. Tapi tidak ada kata yang keluar.
Dirga menatap ibunya penuh harap. “Saya mohon, Bu. Setidaknya beri kesempatan. Jangan menutup hati sebelum mengenalnya.”
Namun ibunya hanya menjawab dingin, “Dirga, kamu anak Ibu satu-satunya. Ibu tidak mau salah langkah dalam merestui jodohmu.”
---
Malam itu, Dirga termenung lama di kamarnya. Hatinya terasa berat. Di satu sisi ia mencintai Klarisa dengan seluruh hidupnya, di sisi lain ia begitu menghormati ibunya. Rasa sayang kepada dua wanita yang berbeda tempatnya itu membuatnya terjebak dalam dilema yang nyaris tak ada jalan keluar.
Ia membuka Alkitab di meja kecilnya. Matanya terhenti pada ayat tentang menghormati orangtua. Air matanya jatuh. “Tuhan,” bisiknya lirih, “bagaimana caranya aku bisa menghormati Ibu tanpa harus kehilangan Klarisa?”
---
Di tempat lain, Klarisa pun tengah duduk di kamar sambil memandang layar ponselnya. Ia baru saja menerima pesan dari Dirga yang singkat namun dalam:
“Sayang, Ibu masih belum bisa terima. Doakan aku ya. Jangan menyerah.”
Klarisa memejamkan mata. Hatinya perih, tapi ia tahu, perjuangan ini belum boleh berhenti. Ia menuliskan balasan:
“Aku akan tetap di sini. Aku percaya, suatu saat hati Ibu akan luluh. Kita hanya perlu sabar dan berdoa.”
---
Hari-hari berikutnya terasa semakin menegangkan. Setiap kali Dirga pulang dari gereja, ia selalu mencoba lagi berbicara dengan ibunya. Namun jawaban yang sama selalu ia dapatkan: penolakan tanpa alasan pasti.
Suatu sore, ketika Dirga mencoba untuk kesekian kalinya, ibunya berkata dengan nada lebih tinggi, “Dirga, kenapa kamu keras kepala sekali? Kalau Ibu bilang tidak, ya tidak! Jangan paksa Ibu menyukai sesuatu yang Ibu tidak suka.”
Dirga menahan napas, suaranya bergetar. “Tapi Bu, ini hidup saya. Apakah Ibu ingin saya menikah hanya karena pilihan Ibu, bukan karena cinta saya sendiri?”
Ibunya menatapnya, ada genangan air di matanya, tapi ia tetap bergeming. “Kamu tidak mengerti, Ga. Ibu hanya ingin yang terbaik untukmu.”
Dirga berdiri, menunduk hormat. “Kalau begitu, Bu… tolong beri saya waktu. Jangan minta saya melepaskan Klarisa begitu saja. Saya mencintainya.”
---
Di tengah ketidakpastian itu, hanya doa dan cinta yang menjadi pegangan mereka. Klarisa terus menguatkan dengan kata-kata sederhana, sedangkan Dirga berusaha menyeimbangkan antara cinta kepada ibunya dan cintanya kepada wanita yang ingin ia perjuangkan.
Restu masih terkunci. Alasan belum terungkap. Namun bagi mereka, cinta adalah keberanian untuk tetap bertahan meski pintu seolah tertutup rapat.
Dirga membuka matanya setelah terbangun dari tidur lelapnya, dan wajah Klarisa langsung ada di bayangannya.
Dirga menekan dial ponselnya dan mencari nama Klarisa, ia sangat senang mendengar suara khas Klarisa saat baru bangun tidur.
Telpon Klarisa berdering dengan sigap ia menerima panggilan dari kekasih hatinya.
"Selamat pagi sayang,"
"Iya tuan putri ku selamat pagi, gimana nyenyak kan tidurnya?"
"Iya sayang, Puji Tuhan bisa tidur nyenyak walaupun pikiran ku sedang tidak bisa diam, seakan kepala ku penuh suara dan hati ku tidak bisa tenang,"
" Klarisa, jangan menyerah ya kita harus memperjuangkan restu ibu ku, "
"Iya sayang, aku akan tetap disini menunggumu, "
"Iya sudah sayang aku mau siap-siap kerja dulu ya, nanti aku kabarin kalau udah sampai di gereja, "
"Iya sayang, "
Panggilan pun selesai, namun rasa pedih didalam hati Klarisa belum terobati, ia sangat sedih karena restu ibunda Dirga belum juga ia dapatkan, ada rasa kecewa dengan kenyataan yang tengah ia dapati ini, namun ia percaya bahwa gelap tak selamanya gelap.
Dalam posisi berdoa Klarisa mulai mengadu kepada Tuhannya ia tak sanggup menahan keluh kesahnya sendirian.
"Tuhan, aku bersyukur untuk pagi yang telah Engkau ciptakan lagi untuk ku, aku bersyukur boleh bangun dari tidur ku, aku bersyukur karena Engkau masih percayakan nafas kehidupan ini untuk ku, namun Tuhan ditengah ketidakberdayaan ku saat ini, aku masih mendoakan pergumulan yang sama, aku membutuhkan restu dari ibundanya Dirga kekasih ku Tuhan, aku ingin direstui oleh ibundanya, tidak banyak Tuhan yang ku minta aku membutuhkan restu dalam hubungan ku dengan Dirga, selama ini aku selalu meminta hal yang terbilang mustahil untuk ku miliki namun kali ini Tuhan aku ingin memiliki apa yang bisa aku miliki, Tuhan tolong aku,___"
Tangisan Klarisa pecah dalam doanya bahkan ia menjadi tidak bisa berkata-kata lagi dalam doanya, ia lelah dan ia menjadi tidak bisa berkata-kata dalam doanya, ada tangisan yang sangat pilu dari Klarisa, ia merasa semua terasa sakit untuknya, ada tangisan tanpa kata ada nestapa yang seakan mengunci langkah Klarisa untuk terus maju bersama Dirga, ia kecewa dengan keputusan ibunda Dirga namun melawan restu bukanlah hal yang bisa dan boleh untuk dilakukan oleh Dirga maupun Klarisa.
"Tuhan kepadaMu lah aku berharap dan kepadaMu aku meminta maka tolong beracaralah dalam masalah ku, aku hanya memiliki iman dan kepercayaan ku kepada Mu maka tolong aku Tuhan kabulkan doa ku ini, didalam nama Mu aku berdoa dan bersyukur, Amin, "
Selesai berdoa, Klarisa mengusap air matanya dengan punggung tangan. Hatinya masih terasa sesak, namun ada sedikit kelegaan karena sudah meluapkan semua keluh kesahnya di hadapan Tuhan. Ia lalu berdiri dan menatap keluar jendela kamarnya, langit pagi tampak cerah dengan sinar matahari yang mulai menghangatkan bumi. Seolah alam ingin berbisik bahwa selalu ada harapan baru setiap hari.
Klarisa mengambil Alkitab kecil di mejanya, membuka secara acak, dan matanya jatuh pada sebuah ayat yang berbicara tentang kesabaran dan iman. Bibirnya bergetar membaca perlahan, “Sebab bagi Allah tidak ada yang mustahil.” Kata-kata itu seperti meneteskan kekuatan baru ke dalam jiwanya yang rapuh.
“Kalau memang ini kehendak-Mu, aku percaya Engkau akan buka jalan,” bisiknya lirih.
Sementara itu, di sisi lain, Dirga sudah bersiap-siap menuju gereja. Di tengah kesibukan pagi, pikirannya terus kembali pada Klarisa. Hatinya teriris melihat perempuan yang ia cintai harus menanggung luka karena restu yang belum mereka dapatkan. Namun ia bertekad, apapun rintangan yang ada, ia tidak akan menyerah begitu saja.
Ia percaya, jika cinta mereka tulus dan bersandar pada Tuhan, maka jalan yang tertutup sekalipun akan terbuka pada waktunya.
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!