NovelToon NovelToon

Seputih Cinta Melati

Bab 1

"Ibu ada perlu sama kamu, Mel." Wanita yang menjadi mertuanya bicara langsung padahal baru saja menempelkan bokongnya di atas sofa.

Baru saja dia melakukan perjalanan yang cukup lumayan jauh, sekitar enam jam waktu yang dibutuhkan untuk sampai di rumah Melati.

" Katakan saja, Bu, aku siap mendengarkan."

Melati selalu menyiapkan dirinya untuk hal buruk sekali pun karena sudah terlalu banyak rasa sakit yang sering diberikan Ibu mertuanya itu.

"Kalingga sudah mau menunaikan wasiat Bapaknya, menikah lagi demi untuk mendapatkan keturunan laki-laki."

"Kenapa bukan Mas Kalingga sendiri yang bicara padaku?."

"Ibu sudah menyuruhnya tapi Kalingga meminta Ibu yang menyampaikannya langsung karena wanita yang akan dinikahi Kalingga adalah mantannya sewaktu di SMA."

"Seperti sebelum-sebelumnyanya, Bu, aku tidak akan pernah melarang Mas Kalingga menikah lagi kalau itu keinginannya. Aku menunggu Mas Kalingga saja bicara padaku."

"Iya, tunggu saja Kalingga pulang kantor."

Melati mengangguk, dia tetap menegakkan kepalanya di tengah hati dan pikirannya yang sakit. Sudah puluhan kali Ibu mertuanya membicarakan pernikahan Mas Kalingga dengan wanita lain hanya demi mendapatkan keturunan seorang anak laki-laki. Karena Melati hanya mampu melahirkan dan memberinya dua orang anak perempuan.

Melati menatap dua anak perempuannya yang sedang tidur pulas. Hanya karena Lili dan Sakura lah dia masih bisa bertahan di sini di tempat ini dengan pernikahan yang sudah dijalaninya tujuh tahun ini bersama Mas Kalingga.

Pria yang sangat dicintainya dan mencintainya juga sebelum adanya sebuah tuntutan mutlak yang datang dari Mamanya Mas Kalingga. Yang semakin menggoyahkan biduk rumah tangga mereka yang belum benar-benar berdiri kokok pondasinya.

Bisa hancur kapan saja.

Wacana pernikahan Mas Kalingga dengan wanita lain demi keturunan laki-laki memang sudah lama digaungkan dengan alasan untuk mendapatkan seluruh warisan keluarga.

Tepat pukul sepuluh malam Mas Kalingga memasuki kamar yang minim pencahayaan karena bagi Melati lebih bisa memberikan ketenangan dan kedamaian.

"Ibu sudah bicara sama kamu?," saat matanya bertemu dengan mata istrinya. Mas Kalingga sendiri bukan tipe pria yang suka basa-basi.

"Sudah."

Kalingga duduk di tepi ranjang di mana istrinya duduk saat ini.

"Kesehatan Ibu akhir-akhir ini menurun drastis karena sering didatangi Bapak dalam mimpi. Bapak meminta Ibu untuk segera menikahkan Mas supaya cepat mendapatkan anak laki-laki sesuai dengan keinginan Bapak." Jelas Kalingga jujur sesuai dengan apa yang dikatakan Ibunya tempo hari di telepon.

"Jadi Mas sudah tidak bisa menolak perintah Ibu lagi?." Karena sejauh ini yang Melati tahu Mas Kalingga selalu bisa menolaknya dengan berbagai alasan yang pada akhirnya di setujui Ibunya.

"Maaf," sambil memegangi tangan Melati yang terasa dingin dan basah.

"Bukan karena Mas Kalingga akan menikahi mantan yang sangat sulit Mas Kalingga lupakan?."

Kalingga terdiam, menatap mata teduh istrinya yang kini berair.

"Itu hanya kebetulan saja, Mel." Ujar Mas Kalingga setelah beberapa lama terdiam.

Melati tersenyum bersamaan dengan air matanya yang jatuh sambil menatap wajah suaminya yang terlihat sangat lelah.

"Sebuah kebetulan yang sangat menyenangkan, ya, Mas?. Tapi tidak apa-apa, jalannya jodoh memang tidak bisa ditebak. Itu bukan suatu kesalahan pula." Melati menghapus air matanya yang masih terus berjatuhan. Bagaimanapun juga hatinya sangat sakit.

"Seperti yang sudah aku katakan dari dua tahun lalu jika kamu mau menikah lagi tolong kembalikan aku pada Ayah dan hak asuh anak-anak akan langsung jatuh padaku." Lanjutnya sangat lirih.

"Itu juga yang mau Mas bicarakan, Mel." Mas Kalingga kembali memegangi tangan Melati yang sempat terlepas karena menghapus air matanya.

"Mas tidak bisa kalau harus mengembalikanmu pada Ayah dan jauh dari anak-anak. Mas mau kita tetap bersama-sama."

Tangan Melati yang digenggam erat berusaha lepas seraya kepalanya yang menggelengkan karena genggaman yang tadinya begitu hangat sekarang sangat melukainya.

"Mas Kalingga jangan mempersulit perpisahan kita, biarkan semuanya terjadi tanpa drama." Masih berusaha melepaskan tangan yang semakin erat digenggam Mas Kalingga.

Kemudian Mas Kalingga melepaskan tangan Melati tapi bukan untuk membiarkannya pergi melainkan untuk dipeluknya. Pria itu menangis. Tujuh tahun bukan waktu singkat yang dilaluinya bersama sang istri tapi sampai detik ini juga mantan terindahnya masih memiliki tempat istimewa di dalam hatinya.

"Pergilah karena di sana ada restu Ibu Mas Kalingga." Melati mengusap lembut punggung suaminya, nyatanya dia yang harus menguatkan suaminya di tengah kehancuran hatinya. Dia juga yang harus terlihat baik-baik saja supaya tidak menjadi beban untuk suaminya.

Sepanjang malam Melati tidak bisa tidur, terlalu berisik isi kepalanya dengan pikiran-pikiran berat yang berdatangan secara bersamaan.

Melati keluar dari kamarnya menuju kamar putri-putrinya. Meninggalkan suaminya yang sudah tidur pulas karena kelelahan setelah kerja lembur satu minggu ini. Karena memang sedang tutup buku di akhir bulan.

Di sana, di keheningan dan di kegelapan Melati mengangkat kedua tangannya. Tak ada kata yang terucap, hanya isak tangis yang begitu menyesakkan dada. Sudah lebih dari jelas menggambarkan kondisinya saat ini.

Pagi-pagi di meja makan Ibu mertua Melati sudah duduk manis minum teh hangat yang dibuat Mas Kalingga. Bisa dikatakan suaminya Melati itu serba bisa, baik itu di kantor atau juga di rumah.

"Melati belum bangun?."

"Sudah, sebentar lagi turun sama anak-anak."

"Kalau sama Viola pasti kamu diurusnya."

Mas Kalingga tidak merespon, Melati dan kedua anaknya ikut bergabung di meja makan.

"Assalamualaikum, Nini."

Kedua anak itu langsung menyalami Nini mereka.

"Waalaikumsalam."

Ibu mertua Melati memang kurang menyukai anak-anak Mas Kalingga dari Melati karena memang pada dasarnya tidak dekat dengannya selain Lili dan Sakura tidak pernah setuju kalau Papa mereka menikah lagi.

Ya, anak usia empat dan tiga tahun itu sudah mengetahui sejak awal Papa mereka yang diminta menikah lagi. Tapi kedua anak itu selalu menjadi garda terdepan untuk Mama mereka.

"Papa kalian untuk beberapa waktu akan tinggal di rumah Nini."

"Benar, Pa?." Si sulung Lili bertanya sambil menatap Papanya.

Mas Kalingga yang ditatap putranya kemudian menatap Melati. Dia meminta bantuan istrinya untuk menjawab pertanyaan sederhana Lili.

"Iya, Kak, Papa ada pekerjaan di sana."

"Tapi biasanya kita ikut 'kan, Ma?.

"Iya..Kakak, tapi sekarang sedang tidak bisa ikut dulu. Kita di rumah saja."

Lili menatap Mamanya lalu pindah menatap Papanya. Anak sulungnya itu sudah paham atas situasi yang terjadi antara kedua orang tuanya. Karena berawal dari Nini mereka yang dengan terang-terangan membicarakan masalah pernikahan Papanya.

"Pergilah, Papa, biarkan aku dan Sakura ikut bersama Mama."

Lili paham dengan apa yang terjadi semalam, suara isak tangis lirih Mamanya membuatnya mengerti untuk merelakan Papanya pergi dari mereka.

"Tapi aku mau ikut, Papa." Seru Sakura sambil menghampiri Papanya. Mata bulatnya sudah basah.

Bersambung

Bab 2

Rencana yang sudah disusun rapi dan perasaan yang sudah ditata sedemikian rupa untuk menghadapi perpisahan harus berbenturan dengan kenyataan hidup yang harus dijalaninya sekarang. Perpisahan yang sudah berusaha disiapkannya dari dua tahun lalu sejak Ibu mertuanya meminta anak laki-laki yang tidak dipenuhinya kini harus dia pikir ulang.

Tiba-tiba saja si bungsu Sakura jatuh sakit menghadapi perpisahan kedua orang tua yang sangat dicintainya. Berbeda dengan si sulung yang lebih peka akan situasi Mama dan Papanya. Ikut mengamati setiap gerak gerik sang Mama yang berusaha menyiapkan hati, pikiran dan mentalnya.

Sakura justru tetap ingin berada di antara Mama dan Papanya tinggal dalam satu rumah yang sama. Dengan kata lain tidak boleh ada perpisahan.

"Aku mau ikut Papa, tapi Mama juga harus ada sama kita dan Kak Lili juga, Papa."

Sebenarnya bukan tanpa sebab Sakura jatuh sakit, tubuh kecilnya tidak sanggup menerima pikiran-pikiran se-menyedihkan sekarang ini. Tekanan kecil yang diberikan Nini yang dilakukan dari tahun lalu lambat laun sering membuat daya tahun tubuh Sakura jauh lebih rentan untuk sakit.

Masa di mana seharusnya Sakura merasa bahagia hidup bersama keluarga secara utuh bukan untuk bercerai-berai.

"Kita akan tetap tinggal bersama, sayang." Mas Kalingga mencium kening Sakura.

Suhu tubuh Sakura normal hanya saja anak kecil itu begitu lemah tak berdaya di atas tempat tidur.

"Dokter keluarga sudah datang," Nini begitu ceria datang bersama seorang Dokter cantik.

"Mas, Ibu yang menghubungiku." Dokter cantik itu bersuara lembut bicara pada Mas Kalingga.

"Tidak apa-apa, Viola." Mas Kalingga menatap berbeda Dokter itu.

Lili memegangi tangan sang Mama, seolah anak itu tahu siapa Dokter wanita yang datang bersama Nininya. Melati tersenyum sambil mengeratkan pegangan tangannya pada Lili. Tangan kecil namun memiliki kekuatan besar untuk tetap membuatnya sanggup berdiri tegak di antara mereka.

Dan memang benar, Dokter cantik bernama Viola itu calon istri Mas Kalingga sekaligus mantan terindah Mas Kalingga yang sampai saat ini sangat sulit dilupakan Mas Kalingga.

"Apa yang dirasa sakit, bunga Sakura?."

Sakura menggeleng.

"Apa di sini?," sambil tersenyum memeriksa bagian dada atas Sakura. Anak itu masih menggeleng.

"Apa di sini?," kemudian memeriksa bagian perut Sakura dan lagi anak itu menggeleng.

"Lalu apa yang membuatmu sakit, Sakura cantik?." Sambil memasukkan alat pemeriksaannya ke dalam saku baju kebesarannya sebagai seorang Dokter yang berwarna putih.

"Aku tidak mau Mama dan Papa berpisah." Mata bulat Sakura sudah dipenuhi air.

Senyum Viola perlahan memudar, dia ikut merasakan kesedihan anak kecil itu. Lalu dia menghela napas, memutus tatapan matanya pada Sakura beralih menatap Melati yang tersenyum begitu tulus padanya.

Viola bangkit lalu mendekati Melati supaya bisa bicara pelan pada wanita itu.

"Kamu tahu dampak jangka panjangnya apa membicarakan perpisahan pada anak kecil?," tanya Viola sambil menuduh.

Melati tidak termakan tuduhan Viola karena sudah terbiasa dengan tuduhan yang selalu didapat dari Ibu mertuanya.

"Tapi sayangnya aku bukan tipe orang tua yang mau membagi kesedihannya pada anak. Sakura hanya korban dari keegoisan seseorang hanya untuk mendapatkan keturunan seorang putra. Bukan hanya Sakura tapi Lili juga. Anak itu terlihat begitu tegar padahal hatinya lebih hancur dari pada aku."

Viola terdiam kemudian menjauh dari Melati dan dia menuju keluar kamar Sakura yang disusul oleh Ibu mertuanya.

"Ibu harap kamu tidak terpengaruh oleh Melati." Ibu mertua Melati begitu khawatir melihat perubahan raut wajah Viola sejak keluar dari kamar Sakura.

"Aku memang sangat menginginkan Kalingga tapi tidak mau kalau harus menghancurkan wajah tak berdosa itu." Hati nuraninya melarang Viola untuk melakukan hal tidak terpuji itu.

Ibu mengajak Viola duduk, kemudian Ibu bicara lagi untuk meyakinkan calon menantunya.

"Demi gelar Dokter spesialis kamu rela kehilangan Kalingga. Dan sekarang kesempatan emas ini datang lagi padamu, masa mau kamu lepas begitu saja?. Kamu masih sangat mencintainya dan berharap masih bisa mewujudkan hidup bersama sampai rela belum mau menikah sampai detik ini hanya demi Kalingga. Asal kamu tahu, Viola, Kalingga masih menyimpan namamu di hatinya. Melati tidak bisa menggantikan posisimu dalam hati Kalingga meski sudah memiliki dua orang anak perempuan."

Viola menatap Ibu. Perjuangannya selama ini jangan sampai sia-sia hanya karena rasa kasihannya pada anak-anak Melati. Toh nanti juga dia bisa memberikan keturunan yang diinginkannya keluarga.

Ini pasti hanya perasaan sesaatnya, nanti juga akan hilang dengan sendirinya. Jadi dia harus tetap fokus pada Kalingga dan rencana mereka yang akan menikah dalam waktu dekat.

"Sederhana saja, Bu, untuk pernikahan aku dan Kalingga."

"Iya, hanya untuk keluarga kita saja."

Viola mengangguk setuju.

*

Kesehatan Sakura semakin membaik seiring tidak ada lagi yang membicarakan rencana pernikahan Papanya dan Papanya tidak jadi pergi ke kota di mana Nininya tinggal. Jutsru sekarang Nini malah memilih tinggal satu rumah dengan mereka.

Entah apa rencananya wanita itu setelah Mas Kalingga meminta waktu sampai Sakura benar-benar sembuh. Dan juga Mas Kalingga meminta tidak ada lagi yang bicara tentang rencana pernikahannya.

"Kamu pasti sangat tidak nyaman Ibu di sini," sebelum masuk ke mobil.

"Ya, mau bagaimana lagi, Mas?. Ibu hanya tinggal seorang diri, kamu putra satu-satunya dan sudah menjadi kewajiban kamu untuk bertanggung jawab terhadap Ibu. Merawat, mengurus dan menemaninya."

"Katakan saja padaku kalau kamu tidak nyaman dengan sikap dan perkataan Ibu."

Melati hanya mengangguk. Kemudian Mas Kalingga masuk ke mobil setelah mencium kening istrinya. Melati yang kembali masuk ke rumah melewati di mana Ibu sedang duduk memainkan ponselnya.

"Jangan suka mengadu domba Ibu dan Kalingga."

Melati menghentikan langkahnya lalu menoleh Ibu mertuanya yang masih sibuk dengan ponselnya.

"Ibu bicara padaku?."

"Bukan, pada tembok. Ya, iya lah sama kamu terus sama siapa lagi?." Kini Ibu menatap Melati.

Senyum tulus selalu terlihat dari wajah Melati.

"Terkadang aku tidak mengerti bahasa sindiran begitu, Bu. Jadi lebih baik Ibu bicara saja langsung padaku. Dulu, kalau ada apa-apa Ibu selalu Melati ini Melati itu. Apa karena sekarang sudah ada calon menantu yang lain?. Tapi, aku tidak pernah mengadu domba Ibu dan Mas Kalingga, ya, untuk apa?."

"Apa namanya kalau apa-apa itu kamu suka mengadu pada Kalingga?."

Melati tersenyum, selalu berusaha tidak terprovokasi tuduhan-tuduhan Ibu.

"Itu namanya keterbukaan di antara suami istri supaya memperkecil masalah yang timbul karena kurangnya komunikasi yang baik."

"Itu pintar-pintar kamu saja mencari muka pada Kalingga."

Senyum Melati semakin melebar.

"Aku tidak perlu menjadi siapa pun atau melakukan apapun yang menurutku tidak baik untuk menarik perhatian Mas Kalingga. Mas Kalingga mencintaiku karena apa adanya aku."

"Heh.." sinis Ibu.

"Kamu lupa Kalingga sampai detik ini masih mencintai Viola dan Viola kembali hanya untuk Kalingga."

Nyesss

Bersambung

Bab 3

Setelah selesai praktik Viola langsung menemui Kalingga di kantornya. Sengaja mau mengejutkan pria yang sangat dicintainya. Dia rela belum menikah sampai sekarang hanya demi seorang Mas Kalingga yang masih menempati hatinya. Menolak banyak pria yang datang hanya sebuah nama, Kalingga Utomo.

Selama dia menempuh pendidikan kedokteran sampai mendapatkan gelar Dokter spesialis, sudah banyak yang dikorbankannya. Terlebih perasaannya kepada Mas Kalingga. Harus mau menahan rindu dan cinta setiap waktu terhadap pria itu. Sekarang pengorbanannya pun tak sia-sia saat mengetahui kalau pria itu masih menyimpan namanya di tempat teristimewa di dalam hatinya.

Meski dia sempat patah hati berat saat mendengar pernikahan Mas Kalingga dengan wanita baru yang dikenal baik oleh Mas Kalingga. Belum lagi Mas Kalingga dan istrinya sudah dikaruniai dua orang anak perempuan yang sangat lucu dan cantik seperti Mama mereka.

Di kantor Mas Kalingga sudah ada Ibu yang sudah sampai lebih dulu. Memang sengaja datang ke sana setelah dihubungi Viola. Mereka berencana mengatur pernikahan untuk Mas Kalingga dan Viola.

Barulah Viola tiba di sana dan memang sangat mengejutkan Mas Kalingga. Kini Mas Kalingga paham, berarti Ibunya memang sudah janjian dengan Viola untuk bertemu di kantornya.

"Kalian bisa menikah tanpa diketahui Melati dan anak-anak." Ibu membuka obrolan.

"Ibu tahu ini bukan waktu yang tepat," Mas Kalingga masih ingin tetap menjadikan Melati hanya istri satu-satunya. Karena dia paham hatinya lebih tidak akan pernah bisa adil pada kedua wanita itu.

"Lalu bagaimana dengan Ibu yang selalu didatangi Bapakmu?. Kamu pikir Ibu tidak tersiksa?." Ibu bangkit lalu keluar dari ruangan kerja Mas Kalingga. Tapi tidak ada yang menyusulnya karena Ibu bisa menggunakan mobil dan supir kantor yang sudah disiapkan Mas Kalingga.

"Aku tidak apa-apa kalau harus menjadi istri kedua dan kita menikah siri saja dulu, nanti kalau semuanya sudah memungkinkan baru kita bisa mendaftarkan pernikahan kita." Viola membuka suara.

"Itu tidak semudah yang kita bicarakan, Vi."

"Aku tahu, Mas, ini tidak akan pernah mudah bagi kita. Tapi percayalah, Mas, semuanya akan bisa diatasi karena cinta kita."

"Aku juga sangat mencintai Melati, Vi." Mas Kalingga pun tidak bohong tentang perasaan cintanya terhadap Melati. Bodohnya dia masih terjebak di masa lalu.

"Iya, Mas, aku percaya cinta aku, kamu dan Melati bisa mengatasi semuanya."

Mas Kalingga tidak lagi bicara, pandangannya kini tertuju pada layar ponselnya. Di sana tertera nama supir kantor yang ditugaskan untuk mengantar jemput Ibunya.

"Ada apa, Pak?."

"Ibu masuk rumah sakit, tadi tidur di mobil kemudian pingsan, Pak."

"Baik, aku segera ke sana."

"Ada apa, Kalingga?."

"Ibu masuk rumah sakit."

Lantas keduanya segera bergegas, Viola ikut di mobil Mas Kalingga.

Tiba di rumah sakit Ibu sudah berbaring di ruang VIP namun sudah sadar. Baru saja perawat menggantikan pakaian Ibu yang basah karena keringat.

"Bagaimana keadaan Ibuku?," tanya Viola.

"Semuanya normal, Dokter Viola. Mungkin nanti Dokter Viola bisa bicara dengan Dokter Langit karena beliau yang memeriksa Ibunya Dokter Viola."

"Baik, nanti aku ke ruangan Dokter Langit."

Ibu membuang muka dari Mas Kalingga.

"Baik, aku akan menikahi Viola seperti yang Ibu inginkan." Akhirnya pria itu tidak sanggup menolak lagi keinginan dari Ibunya.

Ya, pria itu mengetahui dari supir yang mengantar Ibu kalau Ibunya mengigau sambil terus memanggil Bapaknya. Dia tidak mau menyiksa Ibunya semakin lama.

Barulah Ibu sudi menatap putranya.

"Sekarang juga, ya?."

Mas Kalingga mengangguk sambil berusaha tersenyum walau hatinya tak tega harus menyembunyikan pernikahan ini dari Melati dan anak-anaknya.

Pernikahan siri telah terjadi di rumah sakit itu, mas kawin yang diberikan pada Viola pun cincin kawin milik Mas Kalingga yang tidak pernah dipakainya lagi karena sudah tidak muat pada jari manisnya.

Viola menatap cincin itu yang sekarang melingkar pada jari manisnya karena ukurannya sesuai. Dia sudah menjadi istri dari pria yang sangat dicintainya.

Prang

Bunyi gelas yang jatuh di atas lantai, beberapa jari Melati terkena cipratan air panas yang mencoba dituangnya ke dalam gelas yang ada di tangannya. Hal bodoh yang pernah dilakukan seumur hidupnya, mengira gelas itu tidak ada akan pecah karena air mendidih itu.

"Tangan Mama melepuh," Lili mengambil tangan Mamanya yang sedang memungut pecahan gelas.

"Biar aku yang merapikannya, Ma. Sekarang kita obati dulu luka Mama."

Melati bangun dengan pikiran yang entah ke mana, perasaannya mendadak sangat tidak karuan sampai dia tidak menyadari tangannya sudah selesai diobati anak sulungnya.

"Mama harus hati-hati," suara lembut si sulung membuyarkan lamunan Melati yang entah sudah ke mana perginya. Sangat jauh sekali.

"Kak," suaranya begitu lirih sambil menatap si sulung.

"Ada apa, Ma?."

"Papa ada telepon Kakak? Tumben belum pulang."

"Aku menyusul Mama ke dapur karena Papa telepon aku. Kata Papa, Nini masuk rumah sakit dan harus dirawat jadi Papa menemani Nini di sana. Aku diminta Papa untuk menjaga Mama dan Adik."

Melati mengangguk-anggukan kepalanya.

"Sekarang kita tidur, ya, Ma?. Papa tidak akan pulang."

Melati hanya mengangguk lagi dan dia mengikuti Lili karena mau tidur bersama kedua anaknya. Kegelisahan hatinya akan bisa tenang di dekat Lili dan Sakura. Kebahagiaannya yang tiada terkira.

Di dalam hati yang terus berkecamuk, bibir Melati selalu basah dengan kalimat astagfirullah. Karena nyatanya kegelisahannya tidak kunjung menghilang. Jutsru dia semakin merasakannya, hampir saja mencekik lehernya kalau tidak segera bangun dan duduk di antara Lili dan Sakura yang tidur lelap.

Dengan langkah gontai Melati mengambil air wudu lalu melaksanakan salat dengan tujuan untuk mengusir berbagai macam perasaan yang sekarang bersemayam di dadanya. Begitu sangat sesak.

Di atas sajadah dia mengangkat tangannya meminta ketenangan hati yang terus bergejolak.

Sementara itu di rumah sakit, Ibu tersenyum puas karena keinginannya telah terpenuhi. Sekarang hanya tinggal menunggu kehamilan Viola saja, Ibu akan terus berdoa supaya Viola bisa hamil dan segera melahirkan anak laki-laki untuk pewaris keluarga.

Wanita itu telah menyuruh Mas Kalingga pulang ke apartemen Viola untuk melaksanakan kewajiban mereka sebagai pasangan suami istri. Ibu sudah tidak sabar untuk segera mendapatkan cucu dari Viola. Sebenarnya laki-laki atau perempuan sama saja, Ibu dan almarhum suaminya tidak masalah. Hanya saja Ibu tidak suka melihat Mas Kalingga yang begitu mencintai Melati dan kedua anak perempuannya.

Tidak ada wasiat atau Bapak yang mendatanginya di dalam mimpi meminta anak laki-laki. Hanya akal-akalannya Ibu saja. Ini semua dilakukannya hanya karena sangat iri terhadap Melati dan kedua anak perempuannya yang telah mengambil semua perhatian Mas Kalingga. Yang seharusnya perhatian dan cinta putranya hanya untuknya apalagi setelah kepergian suaminya.

Bersambung

Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!

Download Novel PDF
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!