Namaku Han Soojin. Hari ini aku baru saja mendapat kabar yang membuat seluruh isi kepalaku berputar bagai badai. Katanya… malam ini pacarku, minjae, akan check-in dengan selingkuhannya di sebuah hotel mewah di pusat Kota Gwangcheon.
Tidak penting aku tahu dari mana kabar itu berasal, yang jelas rasa sesak ini membuatku hampir gila. Bagaimana kalau itu benar? Bagaimana kalau minjae yang selama ini kuanggap pria paling setia, ternyata menyimpan wajah lain yang penuh pengkhianatan?
“Ah, sialan! Kenapa pikiranku jadi nggak tenang begini?! Cepatlah muncul, wahai bulan… aku sudah tidak sabar membuktikan kalau semua itu hanya gosip murahan!” teriak Soojin sambil mengacak-ngacak rambut panjangnya. Kini, rambut hitam itu sudah berantakan seperti surai singa.
“Aku akan buktikan… minjae bukan tipe pria seperti itu. Dia pasti setia,” gumamnya lagi, kali ini lebih pelan, seolah menenangkan diri sendiri. Tubuhnya ia hempaskan ke atas kasur empuk. “Hhh…” Soojin menghela napas panjang, dadanya naik turun tak beraturan.
Belum sempat pikirannya tenang, suara ponsel tiba-tiba berdering nyaring di samping bantal. Nada dering itu adalah lagu favoritnya—lagu solo “Stigma” dari V BTS—lagu yang selalu ia pasang ketika ingin merasa dekat dengan biasnya.
🎶 “You left me, you left me broken…” 🎶
Soojing mengerutkan kening. Dengan malas ia meraih ponsel dan menggesek layar.
“Siapa?” ucap Soojin dengan nada kasar, emosinya masih terbawa.
“Haiissshhh! Masa kau lupa sama sahabatmu sendiri? Ini aku, Cha Eunhee!” suara seorang wanita terdengar kesal dari seberang telepon.
Soojing mendengus kecil. “Ah, Eunhee… sorry, sorry. Aku lagi bad mood. Bulan belum muncul juga, padahal hari sudah sore.” Sambil berbicara, ia menggigit kuku jempolnya—kebiasaan buruk yang selalu muncul ketika ia sedang gugup atau kesal.
“Ya ampun, Soojin… sabarlah sedikit. Lagi pula sebentar lagi juga gelap. Aku punya ide, bagaimana kalau kau mandi dulu lalu berdandan cantik? Kalau ternyata kabar yang kubawa ini salah, kau bisa langsung ajak minjae nonton. Tenang saja, aku sudah siapkan dua tiket untukmu sebagai kompensasi.” Suara Eunhee terdengar lembut, menenangkan, seakan ia tahu persis cara meredakan amarah sahabatnya.
Soojing mendadak terdiam, lalu terkekeh kecil. “Benar juga sih… waait tapi kau nggak akan minta ganti uang tiket kan?” tanyanya dengan nada manja.
“Hahaha, dasar kau! Tentu saja tidak!” sahut Eunhee sambil tertawa lepas.
Soojing ikut tertawa kecil, rasa sesaknya sedikit berkurang. “Syukurlah. Oke deh, aku mau mandi dulu. Bye bye… muachhhh!” ucap Soojin, lalu buru-buru menutup telepon bahkan sebelum Eunhee sempat membalas.
Ponselnya ia lempar begitu saja ke kasur. Gadis itu pun bangkit, menatap bayangan dirinya di cermin. Rambut berantakan, wajah kusut, dan mata berkantung akibat terlalu banyak berpikir.
“Han Soojin… kau harus terlihat cantik malam ini. Apa pun yang terjadi, kau harus kuat,” bisiknya pada diri sendiri, sebelum akhirnya melangkah ke kamar mandi dengan langkah cepat.
Soojin berjalan gontai menuju kamar mandi sambil menyambar handuk putih yang menggantung di balik pintu.
CLEK!
Gagang pintu kamar mandi diputar, pintu pun terbuka.
BRAK!
Soojin menutup pintu dengan sedikit keras, lalu terdengar suara gemericik air memenuhi ruangan. Segera saja ia mulai membasahi rambut panjangnya, membiarkan air hangat meruntuhkan sisa amarah yang sejak tadi memenuhi dadanya.
Tak lama, suara riangnya ikut terdengar. Soojin mulai bernyanyi—kali ini lagu “Euphoria” Jungkook BTS menggema dari kamar mandi.
🎶 “When I’m with you, I’m in utopia…” 🎶
Suara itu terdengar fals di beberapa bagian, tapi bagi Soojin, bernyanyi adalah caranya melupakan keresahan.
Beberapa menit kemudian, suara senandung berhenti.
CLEK!
Pintu kamar mandi terbuka perlahan.
“Ahhh…” Soojin menghela napas panjang sambil mengusap wajah dengan handuk. “Segarrr!” teriaknya, merasa lebih ringan. Rambutnya masih basah, menetes hingga membasahi kaos tidur tipis yang menempel di tubuhnya.
Ia melangkah ke arah jendela, menyingkap tirai, dan terperanjat. “Wah, udah gelap aja…” gumamnya. Rasa gugupnya kembali menyeruak.
Dengan cepat ia meraih ponsel di kasur. Layar menyala, menampilkan satu pesan suara dari Eunhee.
> “Soojin, cepatlah kemari! Minjae sedang makan malam dengan perempuan itu. Aku sudah share location, hurry up!”
📍 Shared Location
Jantung Soojin seakan berhenti berdetak sejenak. Tangannya bergetar saat meletakkan ponsel itu kembali di kasur, lalu ia menghempaskan tubuhnya.
“Sial…” gerutunya.
Tanpa pikir panjang, ia langsung meraih pakaian yang pertama kali terlihat: jeans biru kesayangannya dan kaos oversize berwarna abu-abu. Pakaian itu membuat tubuh mungilnya tampak semakin kecil. Tak ada waktu untuk berdandan, tak ada waktu untuk memoles wajah. Yang penting dia harus segera sampai di sana.
Ia menyambar tas selempang, memasukkan ponsel ke dalamnya, lalu buru-buru mengenakan sneakers putih yang ada di dekat pintu. Dengan gerakan cepat ia mengunci pintu apartemen, dan berlari kecil menuruni tangga.
Beberapa menit kemudian, Soojin sampai di lokasi yang Eunhee kirimkan. Restoran itu terletak di jalan utama Kota Gwangcheon, dipenuhi cahaya lampu neon yang memantul di jendela kaca besar. Dari kejauhan, ia bisa melihat sosok Minjae yang duduk di meja pojok—bersama seorang wanita asing yang tersenyum manis.
Baru saja ia hendak melangkah lebih dekat, tiba-tiba sesuatu menutup mulutnya dari belakang.
“Emmmm…!” Soojin terperanjat, meronta panik.
“Diamlah, ini aku!” suara familier terdengar. Bekapan itu langsung dilepas, memperlihatkan wajah Eunhee yang berdiri dengan wajah kesal.
“APAAAN sih! Kenapa lo tiba-tiba ngebekap gue? Sialan, bikin jantung gue copot!” Soojin mendesis sambil memukul lengan sahabatnya.
“Haaissshhh… Lo bego apa gimana? Berdiri di situ sama aja kayak lu nge-expose diri lo sendiri, goblok!” Eunhee mendengus, matanya melotot sambil melirik ke arah restoran.
Soojin terdiam sejenak, lalu menyeringai cengengesan. “Eh… iya juga, ya. Kalau Minjae noleh ke arah gue pas lagi nelpon, ketahuan deh.”
Eunhee hanya menepuk dahinya keras-keras. “Astaga, Soojin… kadang gue heran gimana Ling Tian atau Minjae tahan sama kelakuan lo.”
Soojin nyengir lebar, meski hatinya sebenarnya masih bergemuruh.
Soojin dan Eunhee menunduk di balik mobil yang terparkir tak jauh dari restoran. Dari celah jendela besar, mereka bisa melihat Minjae duduk berhadapan dengan seorang wanita bergaun merah.
Soojin menggigit bibirnya. “Itu… itu kan Minjae. Liat tuh cara dia senyum…! Aaaaaa, Eunhee, hatiku sakit banget!” bisiknya sambil memegangi dada.
Eunhee menepuk kepalanya pelan. “Ssstt! Jangan teriak, bodoh. Mereka bisa denger kalau lo lebay gitu.”
“Lebay gimana? Lo liat sendiri ‘kan? Dia bahkan menuang wine ke gelas cewek itu! Gue nggak pernah tuh dituangin wine sama dia, selalu gue yang tuangin sendiri,” Soojin merengek dengan nada iri.
“Ya ampun, masalah tuang wine aja dibawa-bawa,” Eunhee mendesah panjang. “Fokus, Soojin, fokus. Kita harus pastiin dulu siapa cewek itu. Jangan langsung nge-judge.”
“Gue nggak nge-judge. Mata gue jelas liat kok. Itu flirting level dewa namanya!” Soojin membelalakkan mata, lalu menunduk lagi begitu Minjae menoleh sebentar ke arah pintu masuk.
“Tenang, mungkin itu… hmm… rekan kerja?” Eunhee mencoba menenangkan.
“Rekan kerja kepala lo! Rekan kerja nggak mungkin pake dress ketat warna merah menyala gitu. Gue tau banget kode warna cewek. Merah itu artinya take me, baby!” Soojin berbisik sambil mendramatisir gaya bahunya.
Eunhee nyaris ngakak, tapi buru-buru menutup mulut. “Sialan, lo masih sempet bercanda juga.”
“Aku nggak bercanda! Liat tuh… mereka ketawa bareng. Aaaaa, Minjaeee! Apa salahku, haaa?” Soojin memukul-mukul pahanya sendiri.
Eunhee langsung menarik tangan sahabatnya. “Yaelah jangan mukul diri lo, sakit tau! Nih, pegang tanganku aja kalo panik.”
Soojin melotot. “Apaan sih? Gue panik, bukan mau nikah sama lo.”
“Dasar! Udah diem, liat lagi.”
Keduanya menunduk lebih dalam. Dari dalam restoran, Minjae tampak menyodorkan ponselnya pada wanita itu, lalu mereka berdua tertawa kecil sambil menunduk ke layar.
Soojin mengerang pelan. “Astaga, mereka bahkan tukeran meme sekarang?! Gue aja nggak pernah ditunjukin meme sama dia…”
“Yaa mungkin karena meme lo receh semua, Jin.” Eunhee mengedikkan bahu.
Soojin mendengus. “Lo sahabat gue apa musuh gue sih?”
“Sahabat lo. Justru itu gue harus netral.”
“Netral kepala lo, Eunhee! Kalo dia beneran selingkuh, gue nggak akan tinggal diam. Gue bakal—”
“Shhh! Turun! Turun!” Eunhee buru-buru menekan kepala Soojin ke bawah.
“Apa-apaan sih! Gue bukan ninja!”
“Bukan ninja apaan. Tuh, Minjae baru nengok ke arah sini!” Eunhee membalas dengan nada panik.
Mereka berdua menunduk sampai jongkok di belakang ban mobil. Jantung Soojin berdetak kencang.
“Eunhee…” bisiknya.
“Apa?”
“Lo rasa dia liat gue nggak?”
“Gue rasa nggak, dia cuma nyari pelayan. Tapi kalo lo terus teriak-teriak, bisa-bisa dia nyadar kita ngintilin.”
Soojin menghela napas panjang. “Oke, oke. Gue diem… tapi serius, Eunhee. Lo yakin bukan gue yang salah lihat? Itu jelas-jelas selingkuh kan?”
Eunhee mengangkat bahu. “Entahlah. Dari sini sih keliatannya… sangat mesra.”
Soojin langsung jatuh terduduk di trotoar. “Ya Tuhan… selesai sudah hidupku.”
Eunhee menepuk pundaknya. “Belum selesai. Justru baru mulai. Malam ini kita harus cari tau semuanya.”
---
Soojin masih duduk di trotoar dengan wajah murung. Rambut basahnya menempel di pipi, membuatnya tampak seperti anak ayam kehujanan. Eunhee berdiri sambil melipat tangan, wajahnya campuran antara gemas dan jengkel.
“Yaelah, Jin. Jangan drama dulu. Kita harus pikirin langkah selanjutnya,” ucap Eunhee.
“Langkah selanjutnya? Gue udah nggak bisa mikir apa-apa, Hee. Hati gue udah remuk.” Soojin menunduk, memeluk lutut.
“Remuk-remuk juga, lo masih bisa jalan ke sini kan? Jadi berhenti lebay. Nih, dengerin gue.” Eunhee jongkok di depannya. “Kalau kita pengen tau kebenaran, kita butuh bukti.”
Soojin melotot. “Bukti? Maksud lo gue harus jadi detektif dadakan gini?”
“Ya, kira-kira begitu lah. Kita intai mereka sampai jelas.”
“Intai? Gila! Gue bukan James Bond.”
“Bukan James Bond juga nggak apa-apa. Lo cukup jadi Han Soojin versi upgrade, yang nggak cengeng dan bisa ngendap-ngendap,” Eunhee menyeringai.
Soojin mendengus. “Ngendap-ngendap gimana coba? Kalo gue tiba-tiba ketahuan? Gue mati kutu, Hee!”
“Makanya jangan bego. Kita atur strategi.” Eunhee melirik ke dalam restoran. “Oke, dengerin. Lo pura-pura jadi customer. Masuk, pesen makanan, duduk agak jauh. Gue yang pura-pura jadi pelayan buat ngawasin mereka.”
Soojin terbelalak. “Hah?! Jadi lo mau pura-pura kerja di restoran? Emangnya gampang gitu?”
Eunhee nyengir. “Ya kalau ditolak ya udah gue pura-pura salah masuk dapur. Kan biasa tuh adegan drama Korea.”
“Gila, lo beneran kebanyakan nonton drakor, Hee.”
“Ya terus lo maunya gimana? Lo mau kita duduk di sini sampai mereka pulang? Bisa masuk angin kita.”
Soojin menggigit bibir, ragu. “Tapi kalau gue masuk, terus Minjae lihat…?”
“Ya lo pura-pura aja lagi kencan sama aku yang penting jangan Sampek mijae liat muka kita .” Eunhee mengedip nakal.
“Ha?! Gue nggak mau jadi pacaran palsu sama lo. Dunia udah cukup rumit, jangan tambah-tambahin,” Soojin protes sambil menepuk kening.
“Yaelah, Jin. Ini cuma taktik penyamaran. Bukan beneran. Lagian siapa juga yang mau beneran pacaran sama lo, gua masih normal gua juga suka cowok ganteng.”
Soojin mendelik. “Woy, jangan hina gue dong!”
“Hehe, bercanda. Udah sini, pegang tanganku.” Eunhee mengulurkan tangan.
“Buat apa?”
“Biar kita keliatan natural. Lo tau kan, orang pacaran biasanya gandengan. Jadi kalau Minjae ngeliat, dia nggak bakal curiga lo ngikutin.”
Soojin menghela napas panjang, lalu menyambar tangan Eunhee. “Hhh… baiklah. Tapi kalau tangan gue keringetan jangan protes ya.”
“Yaaelah, tangan lo dari dulu juga gampang keringetan.”
Mereka berdua kemudian berdiri, berjalan pelan menuju pintu restoran. Langkah Soojin gemetar, sementara Eunhee justru terlihat terlalu santai, seakan mereka benar-benar mau double date.
Sebelum masuk, Soojin berhenti dan menarik Eunhee. “Hee…”
“Apa lagi?”
“Kalau beneran ketahuan, gue… gue nggak tau harus ngapain.”
Eunhee menatapnya serius kali ini. “Tenang, Soojin. Kalau beneran ketahuan, gue yang maju duluan. Gue nggak akan biarin lo hadapi ini sendirian.”
Soojin terdiam, hatinya menghangat sedikit. “Hee…”
“Apa?”
“Lo sahabat paling konyol sekaligus paling gila yang pernah gue punya.”
“Thanks, gue anggap itu pujian.” Eunhee terkekeh.
Soojin tersenyum tipis, lalu akhirnya melangkah masuk bersama Eunhee.
Lampu restoran yang hangat menyambut mereka. Aroma steak dan wine langsung menusuk hidung. Dari jauh, sosok Minjae dan wanita bergaun merah masih duduk manis, tertawa seakan dunia hanya milik mereka berdua.
Soojin menggenggam tangan Eunhee lebih erat. “Oke, Hee. Malam ini… kebenaran akan terungkap.”
Eunhee mengangguk mantap. “Let’s do this.”
---
Bersambung.......
Begitu masuk ke dalam restoran, Soojin langsung merasa seluruh mata tamu menoleh ke arahnya. Atau mungkin hanya perasaannya saja yang sedang parno. Lampu gantung kristal memantulkan cahaya hangat, sementara dentingan piano live mengalun pelan di sudut ruangan. Aroma steak panggang bercampur dengan harum wine memenuhi udara.
Soojin menunduk, berusaha menutupi wajahnya dengan rambut. Eunhee, sebaliknya, berjalan santai dengan ekspresi percaya diri.
“Lo jangan jalan kayak maling, Jin. Santai aja,” bisik Eunhee.
“Apa lo pikir gampang? Pacar gue ada di sana, lagi asik sama cewek lain! Gue bisa kena serangan jantung mendadak tau nggak?” Soojin mendesis, wajahnya pucat.
“Tenang, tenang. Ingat rencana. Kita pura-pura jadi pasangan normal. Duduk agak jauh, awasi, dan jangan bikin ribut.”
Soojin mendengus pelan. “Pasangan normal apaan, tangan gue udah keringetan parah nih.”
“Yaudah, gue nggak maksa lo gandengan lagi. Tapi jangan gemeteran kayak ayam mau dipotong.”
“Gue bukan ayam!”
“Ya, tapi lo keliatan kayak ayam.”
“Eunhee!!!” Soojin melotot, tapi buru-buru menunduk lagi ketika hampir bertatapan dengan Minjae yang melirik ke arah pelayan.
Mereka akhirnya memilih meja di pojok ruangan, agak tertutup tanaman hias, sehingga pandangan mereka ke meja Minjae cukup jelas tapi aman dari sorotan langsung.
Pelayan datang membawa menu. “Apa yang ingin Anda pesan?”
Soojin panik. “Uh, aku… aku… teh tawar aja.”
Eunhee menutup menu dengan tenang. “Satu pasta carbonara, satu wine putih. Terima kasih.”
Soojin melotot ke sahabatnya begitu pelayan pergi. “Apaan coba pesen wine? Kita kan nggak minum!”
“Shhh, diem! Kalau cuma pesen teh tawar doang, keliatan mencurigakan. Kita harus blend in, ngerti?”
“Blend in kepala lo. Ntar gue mabok gimana?”
“Ya kan wine-nya buat gue, bodoh. Lo cukup pura-pura minum aja.”
Soojin menepuk keningnya sendiri. “Astaga… gue nyesel bawa lo.”
“Kalau nggak bawa gue, lo pasti udah maju teriak ‘SELINGKUH!’ dari tadi. Jadi syukurin gue ada di sini.”
Soojin hanya mendengus, tapi diam-diam mengakui ucapan Eunhee ada benarnya.
Mereka pun mulai mengintai. Dari meja Minjae, suara tawa terdengar samar. Wanita bergaun merah itu mendekatkan tubuhnya, bahunya hampir bersentuhan dengan Minjae.
Soojin langsung mencengkram lengan Eunhee. “Liat! Liat! Itu udah bukan rekan kerja, Hee. Itu bahasa tubuh pasangan selingkuh!”
Eunhee meneguk air putih dengan tenang. “Sabar, Jin. Jangan langsung vonis. Kita tunggu interaksi berikutnya.”
“Tunggu apaan? Mereka udah ketawa bareng, Minjae bahkan ngusap rambut dia tadi! Gue sumpah, tangan gue gatel banget pengen ngelempar sendok.”
“Jangan lebay. Lo mau ditendang keluar sama satpam?”
“Daripada gue liat pemandangan sakit hati ini, mending ditendang sekalian!”
Eunhee langsung menutup mulut Soojin dengan tangannya. “Sssst! Suara lo gede banget. Ntar mereka denger!”
Soojin menyingkirkan tangan Eunhee. “Oke, oke. Gue diem. Tapi serius, Hee, gue nggak kuat.”
“Lo harus kuat. Ingat, kita butuh bukti. Jadi tenang, nikmati dulu pasta pesanan gue.”
“Gue nggak selera makan!”
“Nggak peduli. Lo tetep harus makan, biar nggak lemes kalo nanti lo tiba-tiba harus konfrontasi.”
Soojin mendengus, tapi akhirnya meraih garpu dan menusuk pasta yang baru saja dihidangkan. Sambil mengunyah malas, matanya tak lepas dari meja Minjae.
Lalu, sesuatu terjadi. Minjae meraih tangan wanita itu di atas meja.
Soojin hampir tersedak. “HEE!!! TANGAN DIA DIPEGANG!!!”
Eunhee buru-buru menepuk punggung Soojin. “Ya ampun, Jin. Jangan teriak! Pelan-pelan! Gue juga liat kok.”
Soojin menatap Eunhee dengan mata berkaca-kaca. “Hee… kalau ini bukan selingkuh, gue nggak tau lagi harus nyebut apa.”
---
Soojin menatap meja Minjae dengan wajah syok. Tangannya bergetar di atas meja, garpu hampir jatuh dari genggamannya.
“HEE… dia… dia beneran megang tangan cewek itu! Gue nggak salah lihat, kan?!” bisiknya dengan suara setengah teriak.
Eunhee buru-buru menarik wajah Soojin agar menunduk. “Sssst! Jin, tolong jangan bikin konser di sini. Semua orang bisa denger lo kalau lo terus teriak-teriak.”
“Tapi Hee! Itu jelas banget mesra! Tangan di atas meja, senyum-senyum manis… kayak adegan drama romansa yang sering gue tonton. Dan masalahnya… gue bukan pemeran utama wanitanya!” Soojin nyaris menangis.
Eunhee menahan tawa. “Yaelah, Jin, bahkan di momen genting gini lo masih sempet mikir drama.”
“Ini nggak lucu! Gue mau maju sekarang juga, gue tarik tangan Minjae, gue teriak, ‘APA MAKSUDMU?!’” Soojin sudah setengah berdiri dari kursinya.
Eunhee langsung menarik lengan Soojin paksa hingga ia terduduk lagi. “Woy! Lo gila ya? Lo mau bikin semua tamu restoran jadi penonton drama gratis? Duduk manis dulu, Sherlock Soojin.”
“Sherlock apaan… gue lebih mirip korban pembunuhan cinta sekarang.”
Eunhee mendesah panjang. “Dengerin gue, Jin. Kalau lo teriak sekarang tanpa bukti jelas, dia bisa ngeles dengan seribu alasan. Nanti malah lo yang keliatan lebay. Kita butuh sesuatu yang lebih… konkret.”
Soojin melotot. “Konkret? Lo pikir gue harus ambil batu bata dulu biar konkret?”
“Bukan itu maksud gue! Maksud gue kita harus ambil foto atau rekaman. Itu baru bukti yang nggak bisa dibantah.”
Soojin mendengus. “Foto? Video? Hee, gue lagi setengah pingsan gini, mana kepikiran selfie rame-rame sama pengkhianatan?”
“Bukan selfie, tolol. Pake zoom kamera hp lo. Lo rekam diam-diam.”
Soojin mengerutkan dahi, lalu perlahan mengeluarkan ponselnya dari tas. “Oke… oke… gue coba. Tapi kalo ketahuan gimana?”
“Kalau ketahuan, pura-pura aja lo lagi vlogging makanan. Kan gaya lo emang receh gitu.”
“Woy! Jangan hina vlog gue!”
“Ya udah, buruan sebelum momen emasnya lewat.”
Soojin pun membuka kamera ponselnya, mengintai dari balik gelas wine. Jemarinya gemetar hebat saat menekan tombol rekam.
Di layar, jelas terlihat Minjae masih menggenggam tangan wanita itu. Bahkan kini si wanita berani menyandarkan kepalanya sebentar ke bahu Minjae.
Soojin nyaris menjatuhkan ponselnya. “Astaga… Hee… kepala dia… di bahu Minjae… AAAAA—”
Eunhee buru-buru menutup mulut Soojin dengan tangannya. “Diam, Jin! Nanti ketauan! Rekam aja, rekam terus.”
Dengan mata berkaca-kaca, Soojin tetap melanjutkan merekam. Dadanya serasa diremas, antara marah, sedih, dan tak percaya.
“Udah cukup, stop. Bukti kita udah lebih dari jelas,” bisik Eunhee setelah beberapa detik.
Soojin menutup kamera dengan tangan gemetar. “Hee… gue nggak sanggup liat lagi.”
Eunhee menatapnya penuh iba. “Sabar, Jin. Kita udah punya bukti. Malam ini, lo harus putusin langkah. Mau konfrontasi langsung… atau lo siapin dulu mental buat perang dingin.”
Soojin terdiam. Air matanya mulai menggenang, tapi ia buru-buru mengusapnya kasar. “Gue nggak tau, Hee. Gue bener-bener nggak tau.”
---
Restoran mulai sepi, Minjae dan wanita itu akhirnya berdiri. Tangan mereka masih saling menggenggam, bahkan tertawa kecil sebelum keluar.
Soojin nyaris loncat dari kursinya.
“HEE! Mereka mau kemana lagi tuh?! Jangan bilang… jangan bilang ke—”
Eunhee langsung menyambar tasnya. “Jangan banyak narasi, buruan ikut! Kalau telat kita bisa ketinggalan episode penting.”
Dengan gaya bak agen rahasia gagal latihan, mereka berdua menyelinap mengikuti Minjae dan pasangannya sampai ke pelataran hotel mewah di seberang jalan.
Begitu wanita itu dan Minjae masuk lobby, Soojin membeku di tempat. “Hee… itu… itu kan hotel bintang lima?!”
Eunhee mengangguk. “Ya jelas. Masa selingkuh di hotel melati, gengsinya nggak level dong.”
Soojin menggigit bibir. “Sumpah demi nasi padang, gue udah nggak kuat lagi. Gue mau masuk sekarang, gue seret dia keluar, gue—”
“WOY!” Eunhee buru-buru menahan bahunya. “Sabar, emak sinetron! Lo pikir gampang masuk hotel beginian? Ada penjaga, ada resepsionis, ada CCTV. Lo mau viral masuk akun gosip?”
Belum sempat Soojin menjawab, seorang penjaga hotel berbadan tegap sudah menghampiri.
“Permisi, Nona. Ada yang bisa saya bantu? Anda tamu yang menginap di sini?”
Soojin langsung kaku. “E-eh… iya… maksudnya… eh… saya lagi… lagi…”
Eunhee buru-buru nyamber. “Lagi survey interior, Pak! Hehe. Kami suka banget sama lampu gantung lobby hotel ini.”
Penjaga hanya menaikkan alis. “Kalau bukan tamu, mohon maaf tidak bisa masuk. Aturan hotel, demi kenyamanan.”
Soojin panik. “Tapi… tapi… saya harus masuk! Suami saya di dalam! Dia bawa cewek lain! Saya harus—”
Penjaga langsung menegakkan tubuh. “Mohon maaf, Nona. Kalau ada urusan pribadi, silakan diselesaikan dengan cara lain. Saya tidak bisa izinkan masuk tanpa bukti reservasi atau check-in.”
Eunhee buru-buru menarik tangan Soojin mundur. “Baik, Pak, kami paham. Maaf sudah merepotkan.”
Begitu agak jauh, Soojin langsung meledak.
“GIMANA GUE MAU CHECK-IN, HEH?! Duit gue semua ditransfer ke rekening Minjae! Saldo gue tinggal cukup buat beli ciki sama air mineral doang! MANA MUNGKIN GUE BAYAR HOTEL BEGINIAN?!”
Eunhee sampai ngakak setengah mati. “Astaga Jin, lo ini istri apa donatur MLM sih?! Semua duit lo dikasih dia?!”
Soojin meremas rambutnya. “GUE NYESEL BANGET HEH! Gaji bulan ini, bonus lembur, THR kemarin… semua gue kasih dia, gue pikir demi masa depan keluarga. Eh ternyata masa depannya sama cewek lain di hotel bintang lima!”
Eunhee masih berusaha nahan tawa tapi juga kasihan. “Ya ampun Jin, kalau gue jadi lo, udah gue tulis surat open donasi di medsos.”
Soojin mendengus, matanya merah. “Hee… gue nggak peduli. Malam ini juga, meski harus jadi satpam palsu atau nyamar jadi cleaning service, gue harus dapet bukti tambahan. Gue nggak mau kalah sama bajingan itu.”
Eunhee melongo. “Satpam palsu? Cleaning service? Lo pikir ini sinetron jam tujuh?”
“Kalau perlu gue masuk dari ventilasi AC!”
“Woy! Jangan halu, badan lo muat kagak tuh?”
Soojin menatap Eunhee dengan wajah penuh tekad bercampur putus asa. “Hee… apa pun caranya, gue harus tau kebenaran malam ini. Kalau perlu… kita tidur di depan lobby sampe pagi.”
Eunhee menghela napas panjang. “Ya udah deh, kalau emang lo niat segila itu, gue temenin. Tapi tolong, jangan bikin gue viral di Tiktok dengan hashtag #IstriNgamukDiHotel.”
---
Eunhee menempelkan ponselnya di telinga, suaranya sengaja diturunkan.
“Ya, aku Eunhee. Tolong siapkan kamar. Iya, segera. Dan… pastikan aksesnya bebas.”
Soojin hanya bisa melongo, mondar-mandir di depan hotel sambil menggigit kuku. “Hee, serius lo? Jangan bilang lo lagi nelpon… mafia.”
Eunhee menutup telepon dan tersenyum tenang. “Bukan mafia, Jin. Lebih berbahaya dari mafia.”
“APAAAN?!” Soojin hampir salto.
Lima belas menit kemudian, seorang pegawai hotel keluar lobby, memberi tanda tangan kecil, lalu Eunhee langsung menggenggam tangan Soojin.
“Yuk, masuk.”
Soojin terbelalak. “Loh… kok bisa? Bukannya tadi kita ditolak mentah-mentah?!”
Eunhee mengedikkan bahu santai. “Kan gue baru check-in, gampang.”
Soojin menghentikan langkahnya. “Tunggu dulu. Lo check-in di hotel beginian? Duit darimana?! Jangan bilang lo—lo jual ginjal?”
Eunhee mendengus. “Dasar lebay. Tenang, gue punya akses khusus.”
Soojin menatapnya curiga tapi akhirnya ikut masuk. Aroma parfum mewah menyambut begitu mereka melangkah ke lobby. Lantai marmer berkilau memantulkan cahaya lampu kristal raksasa di atas kepala. Soojin sampai minder sendiri dengan kaos oversize dan jeansnya.
“Ya ampun… outfit gue kayak bocah nyasar ke pernikahan orang kaya,” gumam Soojin.
Eunhee nyaris ketawa tapi buru-buru tarik dia ke resepsionis.
“Permisi, Mbak,” sapa Eunhee sopan.
Resepsionis wanita tersenyum manis. “Iya, ada yang bisa saya bantu, Nona?”
“Saya Eunhee.”
Mata resepsionis itu membesar sesaat, lalu ekspresinya berubah penuh hormat. Ia buru-buru membuka laci, mengeluarkan kunci kamar, dan menyerahkannya. “Ini, Nona. Nomor 203. Tuan sudah menelpon saya sebelumnya, jadi Nona bebas melakukan apapun di hotel ini.”
Soojin hampir keselek ludahnya. “Hah?! Bebas ngelakuin apapun? Itu maksudnya gimana?! Jangan-jangan ini hotel punya… keluarga lo?!”
Eunhee mengambil kunci dengan santai. “Emang.”
“APA?!” Suara Soojin sampai bikin tamu lain nengok.
“Yaelah, nggak usah teriak gitu kali. Nanti orang-orang ngira lo nemu kecoak di marmer hotel.”
Soojin langsung nutup mulutnya dengan kedua tangan. “Hee… jadi lo… anak konglomerat?! Dari tadi lo diem aja, padahal kita kayak mata-mata murahan!”
Eunhee hanya mengangkat alis. “Drama lebih seru kalau ada penyamaran, kan?”
Soojin menatapnya tak percaya. “Gila… jadi selama ini gue nganggep lo partner kriminal, ternyata lo… pemilik hotel?! Hee, lo tau nggak kalau ini plot twist setara drama Netflix?!”
Eunhee tertawa kecil. “Udah ah, jangan ribet. Fokus kita sekarang satu: kamar 203.”
Mereka lalu melangkah masuk ke lift. Musik instrumental lembut mengalun, kontras dengan jantung Soojin yang berdegup kencang.
Soojin menatap angka-angka di layar lift yang perlahan naik. “Hee… kalau kita ketahuan, apa yang bakal terjadi?”
Eunhee menatap lurus ke depan, ekspresinya dingin. “Kalau ketahuan… gampang. Gue tinggal bilang: ini hotel gue, masalah?”
Soojin langsung memeluk tasnya erat-erat. “Astaga naga… kenapa sahabat gue kayak karakter boss mafia yang nyamar jadi sahabat setia.”
Eunhee hanya nyengir tipis. “Jangan banyak drama. Begitu pintu lift terbuka, siap-siap ya. Nomor 203… itu kamar Minjae.”
---
Bersambung.........
Lift berbunyi ting begitu tiba di lantai tujuan. Suasana koridor sunyi, hanya dihiasi deretan lampu dinding yang temaram. Karpet merah marun membentang sepanjang lorong, membuat langkah Soojin terasa berat.
“Nomor… 203… ini dia.” Soojin berbisik, tangannya gemetar ketika mendekat ke pintu.
Dengan hati-hati ia memasukkan kunci yang tadi diberikan resepsionis, lalu memutar gagang pelan. Pintu terbuka hanya sedikit, cukup untuk mengintip.
Namun baru saja celah pintu terbuka, suara-suara dari dalam langsung menyambar telinganya.
“Ahhh… Minjae… kebawah lagi…” suara perempuan itu terdengar manja bercampur desahan.
Soojin terbelalak, tubuhnya langsung kaku.
Suara Minjae menyusul, rendah dan menggoda.
“Kamu suka, kan? Kalau gini gimana, hm? Nakal banget kamu…”
“Ahhh… Min-jae… kamu jahat ya… tapi aku suka…” perempuan itu kembali merengek, menyebut nama Minjae dengan jelas.
Soojin buru-buru menutup pintu perlahan, nafasnya tercekat. Tangannya dingin, tubuhnya bergetar. Matanya langsung memerah, air mata menetes tanpa bisa ia tahan. Bibirnya bergetar, dadanya naik turun tak karuan.
Enggak… ini pasti salah. Ini bukan Minjae-ku. Ini pasti mimpi buruk.
Eunhee yang sejak tadi menunggu di ujung lorong melangkah mendekat, wajahnya serius. “Ada apa? Aku sengaja nggak langsung ikut biar kamu bisa hadapi sendiri.”
Soojin menunduk, suaranya lirih hampir tak terdengar. “Di dalam… mereka…”
Eunhee mendekat ke pintu, menempelkan telinga. Suara desahan wanita masih jelas terdengar, bercampur dengan suara berat Minjae. Mata Eunhee langsung membelalak. “Sialan. Mereka beneran… melakukan itu?”
Soojin hanya mengangguk pelan, air matanya menetes lagi.
“Ini nggak bisa dibiarin.” Eunhee mendesis marah. Tanpa pikir panjang, ia meraih gagang pintu, memutarnya dengan kasar.
CEKLEK!
Pintu terbuka lebar, disusul suara keras dari dalam.
GUBRAK!
“Apa-apaan lo berdua?!” teriak Eunhee lantang.
Soojin mematung di ambang pintu, wajahnya pucat pasi, matanya kosong. Di hadapannya, Minjae bergegas menarik selimut untuk menutupi tubuhnya, sementara wanita itu menjerit kecil lalu bersembunyi di balik bantal, hanya wajahnya yang masih terlihat.
“SOO… Soojin?!” Minjae melotot kaget. “Kenapa kamu ada di sini?!”
Soojin menggenggam tasnya erat-erat, tubuhnya gemetar. Suaranya pecah. “Se-seharusnya… aku yang tanya! Kenapa kamu ada di sini bersama wanita itu?!”
Minjae langsung gagap. “A-a-aku… ini… aku bisa jelasin!”
“JELASIN?!” Soojin berteriak, air mata membanjiri pipinya. “Kamu bilang malam ini ada rapat! Rapat, Minjae! INI RAPAT YANG KAMU MAKSUD?!”
Minjae bungkam, wajahnya penuh panik.
Soojin jatuh terduduk di lantai, bahunya bergetar. “Kenapa, Jae… kenapa harus kayak gini…?”
Eunhee berdiri di sampingnya, matanya tajam menatap Minjae. “Lo masih punya muka buat bilang ‘bisa jelasin’? Gue rasa nggak ada penjelasan yang cukup buat nutupin pengkhianatan sebusuk ini.”
Suasana kamar mendadak membeku, hanya tersisa isak tangis Soojin yang pecah berkali-kali.
Minjae buru-buru turun dari ranjang, masih dengan selimut melilit pinggangnya. Wajahnya pucat, keringat bercucuran.
“Soojin, dengerin aku dulu… aku bisa jelasin ini semua. Ini nggak seperti yang kamu pikir!”
Soojin terisak, menatapnya dengan mata sembab. “Nggak seperti yang aku pikir?! Aku baru aja denger suara kalian… aku liat dengan mata kepala sendiri, Jae! Masih berani bilang bukan apa-apa?!”
Wanita di ranjang—rambutnya acak-acakan, wajahnya merah padam—berusaha bicara. “Oppa… siapa dia? Kenapa tiba-tiba masuk gini aja?”
Soojin langsung melotot ke arahnya. “Jangan panggil dia oppa di depan aku! Dia pacarku, orang yang selama ini aku percaya! Dan kamu…” suaranya tercekat, “…kamu orang yang hancurin semua itu.”
Minjae panik, berjalan mendekat, berusaha meraih tangan Soojin. “Soojin, please, aku sayang sama kamu. Aku cuma… khilaf. Dia cuma… pelarian, nggak ada artinya. Kamu yang utama di hati aku.”
Soojin buru-buru mundur, menepis tangannya. “Pelarian? Kamu sebut ini pelarian? Setelah semua yang aku korbankan buat kamu, gajiku, waktuku, kepercayaanku—dan kamu balas dengan selingkuh di hotel begini?!”
Eunhee melangkah maju, berdiri di depan Soojin, matanya penuh amarah. “Minjae, lo jangan sok manis sekarang. Gue udah muak liat cowok model lo. Kalau bener sayang, nggak mungkin lo tega bikin dia nangis kayak gini. Khilaf? Itu cuma alasan pecundang!”
Minjae menunduk, wajahnya makin pucat. “Aku… aku janji ini terakhir kalinya. Aku bakal putusin dia sekarang juga. Tolong, jangan tinggalin aku, Soojin…”
Wanita di ranjang mendengus. “Apa?! Jadi aku cuma mainan?! Oppa, kamu gila ya?! Setelah semua ini kamu mau ninggalin aku?!”
Suasana kamar makin panas.
Soojin memegang dadanya, merasa sesak. Suaranya pelan tapi penuh luka. “Aku nggak kenal kamu lagi, Jae. Orang yang aku cintai… orang yang aku perjuangkan… ternyata cuma topeng. Kamu bukan Minjae yang aku tau.”
Eunhee menatap sahabatnya dengan lembut. “Jin… lo nggak perlu denger omong kosong dia lagi. Sakit memang, tapi lebih sakit kalau lo terus bertahan sama orang kayak gini.”
Minjae langsung memohon, berlutut di depan Soojin. “Soojin, please… jangan pergi. Aku butuh kamu.”
Soojin terdiam, air matanya kembali jatuh.
"Kita putus…" ucap Soojin lirih, suaranya hampir pecah bersama butiran air mata yang terus jatuh di pipinya. Bahunya bergetar, tangannya mengepal, seolah ingin menahan sakit yang tak sanggup lagi ditahan.
Minjae refleks maju, mencoba meraih tubuh Soojin ke dalam pelukannya.
"Soojin, jangan gini, aku bisa jelasin… aku khilaf, aku—"
Namun lengan Eunhee langsung menghalanginya dengan tegas. "Jangan sentuh dia." Tatapannya tajam, dingin, membuat Minjae terdiam sesaat.
Eunhee memeluk pundak sahabatnya, lalu berbisik lembut, "Ayo kita pergi dari sini. Gue udah reservasi ruangan khusus buat kita. Di sana lo bisa nangis sepuasnya, nggak ada yang ganggu."
Soojin hanya mengangguk pelan, suaranya serak, "Aku… nggak kuat lagi, Hee."
Eunhee menuntunnya keluar dari kamar jahanam itu dengan langkah pelan, sementara Minjae masih berusaha memanggil.
"Soojin, tunggu! Dengerin aku dulu! Aku bisa jelasin semuaaa!" teriaknya, namun hanya pintu yang menjawab.
Begitu pintu menutup, Minjae menghela napas kasar. Alih-alih menyesal, ia justru kembali menoleh ke arah wanita di ranjang. Senyum sinis muncul di wajahnya. Besok aja gue bujuk dia. Dia pasti luluh, kayak biasanya. Soojin cinta mati sama gue. Salah segede apa pun, dia pasti maafin… pikir Minjae penuh percaya diri. Tanpa beban, ia melanjutkan “aktivitasnya” malam itu.
Sayangnya, kali ini ekspektasinya terlalu besar. Soojin sudah sampai pada titik lelah, dan cintanya yang dulu begitu kuat kini hanya menyisakan luka.
Kamar VVIP Hotel VVI
Eunhee menyalakan lampu temaram ruangan yang elegan. Meja sudah tertata rapi dengan satu botol wine merah mahal dan dua gelas kristal. Ia membuka botol itu dengan tenang, lalu menuangkan isinya.
"Nih, minum. Khusus malam ini nggak papa mabuk. Gue temenin," ucap Eunhee, menyodorkan segelas penuh pada Soojin.
Soojin menerima gelas itu dengan tangan gemetar. Ia menatap cairan merah berkilau di dalamnya, lalu menangis lagi.
"Huaaaaaa… hati gue sakit, Hee… hiks… sakit banget."
Eunhee mendesah, lalu mengusap lembut punggung Soojin. "Gue tau, Jin… nangis aja. Jangan ditahan. Itu cowok brengsek nggak pantas lo tangisin, tapi kalau dengan nangis lo jadi lebih lega, yaudah. Gue temenin sampe lo tenang."
Soojin mengangkat gelasnya, meneguk pelan. Rasa pahit bercampur asam memenuhi mulutnya, seolah menyatu dengan pahitnya nasib malam ini.
"Udahlah, segelas aja ya. Nanti gue mabok beneran," ucap Soojin dengan suara parau. Tangisnya sudah mulai mereda, meski matanya masih sembab.
Eunhee duduk di sampingnya, menatap penuh perhatian. "Terserah lo aja, Jin. Yang penting sekarang lo udah agak tenang. Kalo udah enakan, mau gue anter pulang?"
Belum sempat Soojin menjawab, ponsel Eunhee berdering. Ia melihat layar, wajahnya langsung berubah serius.
"Sebentar ya, gue angkat dulu," katanya sambil melangkah menjauh.
Obrolan singkat terjadi di ujung telepon, lalu Eunhee kembali dengan wajah sedikit canggung.
"Jin, maaf banget… gue nggak bisa nganter lo pulang malam ini. Ada urusan mendadak yang harus gue kerjain."
Soojin menatapnya lemah. "Nggak apa-apa… gue bisa pulang sendiri."
Eunhee mengeluarkan dompetnya, lalu menyelipkan sebuah kartu ke tangan Soojin.
"Nih, pake ini buat bayar taksi. Pin-nya ulang tahun lo. Tadi kan lo bilang gaji bulan ini udah lo transfer semua ke si bajingan itu, otomatis lo nggak punya duit sepeserpun. Jadi pake aja dulu. Gantinya kapan-kapan aja, santai."
Soojin menatap kartu itu dengan mata berkaca-kaca. "Hee… lo selalu ada buat gue."
Eunhee tersenyum tipis, lalu mengelus puncak kepala sahabatnya. "Ya iyalah. Gue kan sahabat lo. Udah ya, jangan nangis lagi. Besok pagi gue jemput, kita jalan-jalan biar lo nggak boring di rumah terus. Oke?"
Soojin mengangguk pelan, tersenyum samar meski masih terlihat rapuh.
"Oke…"
Eunhee berdiri, melambaikan tangan. "Bye bye, Jin. Jangan overthinking lagi. Gue cabut dulu."
Pintu tertutup, meninggalkan Soojin seorang diri di ruangan VVIP itu. Ia menatap gelas wine-nya lagi, lalu menghela napas panjang. Malam itu terasa begitu sunyi, seakan seluruh dunia ikut menertawakan hatinya yang hancur.
Sepuluh menit setelah Eunhee pergi, Soojin akhirnya bangkit dari kursi. Matanya masih sembab, langkahnya berat, tapi ia tak sanggup lagi diam di kamar itu. Ia ingin pulang, menutup mata, dan melupakan semuanya meski hanya sebentar.
Lorong hotel VVIP itu begitu sepi. Hanya cahaya lampu temaram di dinding yang menemani setiap langkahnya. Suara Sepatunya beradu pelan dengan karpet tebal. Suasananya membuat bulu kuduknya meremang.
Namun, belum jauh ia melangkah, tiba-tiba sebuah tangan kuat menariknya dari samping.
"Ah!" pekik Soojin kaget. Tubuhnya ditarik masuk ke dalam sebuah kamar yang pintunya baru saja terbuka.
Pintu langsung tertutup, menyisakan Soojin yang terperangah dengan jantung berdetak kencang.
Seorang pria berdiri di hadapannya. Napasnya tersengal-sengal, dada naik turun, wajahnya pucat sekaligus memerah. Dasinya tampak longgar, kemejanya berantakan seolah ia baru saja keluar dari situasi kacau.
"B-bantu saya…" ucap pria itu dengan suara parau.
Soojin membeku. Otaknya tidak konek, tidak bisa memproses apa yang terjadi.
"Hah? A-apa…?"
"Bantu saya…" pria itu kembali meraih lengannya, suaranya lemah namun matanya penuh rasa putus asa.
"Apa yang bisa aku bantu?" Soojin bertanya gugup, tubuhnya kaku.
Tanpa menjawab, pria itu menariknya ke sisi ranjang. Dalam hitungan detik, posisi mereka berubah—Soojin terjatuh ke atas ranjang, sementara tubuh pria itu kini berada di atasnya.
"A-apa-apaan ini!" seru Soojin panik, mencoba mendorong dada pria itu.
Namun pria itu justru menatapnya dalam, wajahnya semakin merah, keringat membasahi pelipisnya. Tangannya meraih dasinya, mengendurkannya dengan kasar. Nafasnya semakin panas menghantam wajah Soojin.
"Aku… akan bertanggung jawab, nona. Tolong bantu saya…" suaranya bergetar, entah karena sakit atau sesuatu yang lain.
Soojin semakin panik. Jantungnya berdetak tak beraturan, tangan dan pikirannya berlawanan. Tapi sebelum sempat ia bereaksi lebih jauh—
Tanpa aba-aba, pria itu menunduk dan melumat bibirnya. Sentuhan itu lembut, namun sarat gairah yang membuat tubuh Soojin kaku. Matanya membelalak, mencoba menolak, tapi tubuhnya seakan kehilangan tenaga.
🌸🌸🌸🌸🌸🌸🌸🌸🌸🌸🌸
Bersambung......
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!