...“Jangan menyerah pada kenangan yang menyakitkan, tapi jadikan itu pelajaran untuk menjadi lebih baik. Masalalu memang tidak dapat diubah, tapi masa depan bisa dibentuk. Kamu lebih kuat dari yang kamu pikir, kamu lebih mampu dari yang kamu duga, dan kamu lebih berani dari yang kamu rasa.”...
...—Alden—...
Langit mendung mulai menyelimuti kota, dengan petir yang bergemuruh menandakan hujan akan turun. Alden Aksara Wijaya, seorang pemuda yang hidupnya penuh dengan kesedihan dan kekecewaan.
Alden berjalan sendirian di jalanan yang sepi, pikirannya melayang ke bayang-bayang masa lalu yang kelam. Setiap langkah yang ia ambil selalu berakhir dengan kegagalan. Alden mengingat jelas bagaimana semua masa lalu itu menghancurkan dirinya.
Saat umur 8 tahun, ia kehilangan kasih sayang seorang ayah yang tega meninggalkan dirinya dan ibunya tanpa kabar. Bukan hanya itu, ia juga mengalami kehidupan yang tidak menyenangkan di masa sekolahnya. Dirundung dan dikucilkan, bahkan dibenci oleh beberapa orang tanpa sebab. Semua itu mempengaruhi hidupnya hingga sekarang.
"Kenapa hidupku selalu seperti ini?!" ujarnya penuh frustasi sambil mengacak-acak rambutnya. Karena emosi yang memuncak tanpa sadar ia meninju tembok di sampingnya.
"Argh!!" ia melihat tangannya yang merah, tapi tidak mengurungkan niatnya untuk menghantam tembok itu lagi dan lagi. Ia mencoba untuk meluapkan semua bentuk emosi yang terpendam selama ini. Rasa sakit di tangannya tidak seberapa dibandingkan dengan rasa sakit yang selalu ia rasakan.
Alden terduduk di tanah, membenamkan wajahnya di antara kedua lututnya, membiarkan emosinya meluap bersamaan dengan air matanya.
Hujan mulai turun membasahi bumi. Tetes demi tetes air hujan mulai membasahi tubuhnya. Alden tidak peduli dengan hujan yang mengguyur, ia hanya ingin melepaskan beban berat yang dipikulnya.
Hujan turun semakin deras, tapi tidak menggerakkan hati Alden untuk beranjak dari tempat itu. Ia hanya berdiam diri di sana, membiarkan dirinya diterpa oleh hujan yang kian deras.
Tiba-tiba suatu bayangan melindunginya dari guyuran hujan. Alden menoleh, melihat seorang gadis yang masih mengenakan seragam sekolahnya, memayungi Alden dengan payungnya.
Gadis itu tersenyum, kilasan matanya menunjukkan kepedulian dan kekhawatiran. Alden terkejut, ia tidak mengerti mengapa gadis itu melindunginya dari guyuran hujan. Alden tidak mengenali gadis itu, tapi kepeduliannya membuat Alden merasa sedikit lebih baik.
Dia Dania Calista Ayuningtyas, seorang anak dari keluarga terpandang yang dididik baik oleh keluarganya, untuk selalu peduli dan mengutamakan orang lain.
"Apa kamu baik-baik saja? Apa yang kamu lakukan di sini?" tanyanya dengan lembut.
"Aku baik-baik saja. Terima kasih." ujar Alden memalingkan wajahnya. Ia berusaha untuk terlihat baik-baik saja meskipun sebenarnya jauh dari kenyataan.
"Di sini hujan dan dingin. Kamu bisa sakit lho," ujarnya penuh perhatian membuat Alden hanya bungkam.
"Tidak apa-apa, aku baik-baik saja." ujar Alden mencoba meyakinkan setelah hening beberapa saat. "Aku Dania, tadi tidak sengaja melihatmu di sini. Apa kamu yakin kamu baik-baik saja?" tanyanya lagi. "Aku Alden. Aku baik-baik saja," ujar Alden berbohong.
Hujan semakin deras diikuti angin yang berhembus kencang, membuat payung Dania sedikit bergoyang.
"Disini hujan, mendingan kita berteduh dulu," ujar Dania sambil menyentuh pundak Alden, membuat Alden terkejut dan menarik diri sedikit.
"Kamu tau disini hujan, mengapa kamu masih berdiri di sana?" tanya Alden datar. "Dan, mengapa kamu masih duduk di situ sementara hujan semakin deras?" tanya Dania balik membuat Alden terdiam. Pertanyaan yang ia lontarkan kepada Dania malah menjadi boomerang untuk dirinya sendiri.
"Huft..." terdengar suara helaan nafas panjang dari Alden. Akhirnya Alden berdiri dan mengajak Dania menepi. Ia tidak ingin egois terlebih gadis itu sudah melindunginya dari guyuran hujan.
"Ya udah. Kita menepi dulu." ujar Alden diangguki oleh Dania.
Mereka berdua berjalan mencari tempat untuk berteduh. Mereka berhenti di sebuah toko yang sudah tutup.
"Kita berteduh di sini dulu," ujar Alden sambil memandang ke arah hujan. "Iya, dingin ya?" ujar Dania sambil menggosok kedua telapak tangannya.
Alden mengangguk tidak berkata apa-apa dan suasana menjadi hening untuk sejenak. Lampu-lampu di jalanan mulai menyala dan langit semakin gelap karena sore mulai berganti malam.
"Kamu baru pulang sekolah?" tanya Alden memecah keheningan. "Iya, aku baru pulang. Kebetulan ada ekskul tadi, jadi pulangnya agak telat." balas Dania dengan senyuman. Alden mengangguk pemahaman, mencerna perkataan Dania. "Oh... Ekskul apa?"
"Aku ikut ekskul klub karya sastra," balas Dania yang hanya diangguki oleh Alden.
"Karya sastra ya?" tanya Alden kemudian. "Kamu suka nulis cerita atau puisi?"
"Keduanya juga suka, tergantung mood dan suasana hati." balasnya dengan senyum yang lebih lebar.
Alden menganggukkan kepalanya, dan seutas senyum kecil muncul di bibirnya. "Iya, terkadang inspirasi itu datangnya dari hal-hal kecil yang tidak terduga."
"Iya, benar sekali. Aku memilih klub karya sastra karena aku rasa cocok untukku." ujar Dania diangguki oleh Alden.
"Jadi, kamu memang hobi menulis ya?" tanya Alden semakin penasaran. "Iya, aku ingin menjadi penulis suatu hari nanti." jawabnya sambil memandang ke arah langit yang hujan.
"Aku yakin kamu bisa menggapai impian itu," ujar Alden sambil menoleh masih dengan nada datarnya. "Oh iya, kamu pulang jalan kaki?"
"Iya, jalan kaki. Lagipula rumahku gak jauh dari sekolah." balas Dania kembali tersenyum. "Rumah kamu di sekitar sini?" tanya Alden kembali.
"Iya, gak jauh dari sini. Mau mampir?" tanyanya tiba-tiba membuat Alden gugup. Ia menggaruk tengkuknya yang tidak gatal.
"Tidak apa, terima kasih. Bertemu denganmu di sini saja sudah membuatku merasa sedikit lebih baik," ujarnya menolak dengan halus yang hanya diangguki oleh Dania.
"Kamu sendiri, bagaimana?" tanya Dania tiba-tiba, membuat Alden bingung. "Bagaimana apanya?"
Dania terkekeh pelan, ia menyadari bahwa ia langsung bertanya tanpa berbasa-basi. "Oh, maaf. Maksud aku, kamu tinggal di mana?"
"Aku tinggal di sebuah kontrakan, tidak jauh dari sini." jawab Alden. "Oh... Senang bertemu denganmu, Alden." balas Dania dengan senyuman ceria. "Senang bertemu denganmu juga, Dania."
Hujan deras perlahan mulai mereda, suara tetesan air hujan semakin melembut. Dania membuka payungnya dan bersiap pergi. "Aku harus pulang sekarang, maaf enggak bisa menemanimu terlalu lama. Mungkin kita bisa bertemu lagi di lain waktu?"
"Iya, gak apa. Aku mengerti, terima kasih juga sudah meluangkan sedikit waktu untukku," balas Alden. "Tidak masalah, Alden. Aku pulang duluan ya? Sampai jumpa lagi!" kata Dania sambil berjalan pergi.
"Iya, sampai jumpa, Dania." Alden juga melambaikan tangannya, dan melihat Dania sampai hilang dari pandangan. Alden memutuskan untuk pulang ke kontrakan nya.
Tiba di kontrakannya, Alden langsung menuju kamarnya. Ia duduk di tepi tempat tidur, memandangi langit malam yang dengan tetesan air hujan yang masih menetes.
"Dania... Siapa ya dia?" batin Alden, masih penasaran dengan gadis yang berbincang dengan nya tadi.
^^^Bersambung...^^^
"Kue-kue!"
"Kuenya, Pak, Bu."
Alden memutuskan untuk membantu ibunya berjualan kue keliling setelah ia putus sekolah beberapa bulan lalu. Ia berjalan dari gang ke gang menjajakan dagangannya.
Musim penghujan tiba, hujan bisa turun kapan saja. Saat ini misalnya, hujan ringan tiba-tiba melanda.
"Mana hujan lagi." Alden berlari mencari tempat teduh, mengamankan dagangannya dari guyuran hujan.
Tiinnn...!
Suara klakson panjang dari sebuah motor dan hampir saja menabrak seorang gadis. Alden langsung mendorong gadis itu hingga membuatnya terjatuh.
Hujan turun membuat pengendara berlalu lalang tanpa memperhatikan sekitar. Beruntung Alden dengan cepat menyelamatkan gadis itu.
"Aww," ringis gadis itu yang membelakangi Alden, sambil membersihkan tangannya yang kotor.
"Kamu gapapa?" tanya Alden dan si gadis langsung menoleh.
"Alden?"
"Dania?"
Mereka berkata bersamaan, seperti sama-sama terkejut melihat keberadaan masing-masing. Alden langsung membantu Dania berdiri dan membawanya ke tempat teduh.
Dania membiarkan Alden membantunya karena hujan ringan yang terus turun. Hujannya tidak deras tapi berhasil membuat baju mereka basah.
"Kamu gapapa, Dania?"
"Gapapa kok. Aku juga gak perhatikan jalan tadi. Makasih ya," jelas Dania. "Iya," jawab Alden singkat dengan anggukan kecil.
"Eh, kamu jualan?" tanya Dania yang baru menyadari keranjang kue di tangan Alden. "Kamu... Gak sekolah?" lanjutnya dengan hati-hati.
"Iya, aku jualan untuk membantu ibu." jawab Alden datar, karena ia tidak terbiasa berkomunikasi dengan orang lain setelah dirinya dikucilkan oleh semua orang saat di sekolah dulu.
"Dan untuk sekolah, aku putus sekolah."
"Hah?!" ujar Dania terkejut dan tidak percaya. "Pu-putus sekolah?"
Alden mengangguk singkat, merasa berat ketika mengingat masa-masa itu. "Iya, putus sekolah."
"Kenapa?" tanya Dania.
Alden menghela nafas, merasa bimbang harus memberi tahu Dania atau tidak. Secara mereka baru saja berkenalan seminggu yang lalu, itupun secara tidak sengaja dan dalam momen yang memalukan.
"Karena fitnah," jawab Alden akhirnya tanpa menjelaskan lebih lanjut.
Dania terkejut, ia menutup mulutnya dengan tangan. Ia sangat tidak percaya apa yang dia dengar. "Fitnah? Fitnah apa?"
"Maaf, Dania. Aku belum siap untuk cerita." balas Alden singkat sambil memandang ke arah lain.
"Baiklah. Aku mengerti," ujar Dania lembut dan tidak mengatakan apa-apa lagi, membuat keduanya hening.
"Kamu tau? Aku gak punya teman, kecuali satu orang di sekolah." ujar Dania tiba-tiba di sela-sela keheningan.
Alden sontak langsung menoleh dan mengernyitkan dahi seakan penasaran dengan perkataan Dania. "Kenapa?"
"Karena aku lemah fisik, mereka bilang aku merepotkan." jelas Dania dengan senyuman seolah tidak terjadi apa-apa.
Alden hanya mengernyitkan dahinya, antara penasaran dan bingung, belum mengatakan apa-apa Dania langsung melanjutkan. "Aku sering sakit kalo kecapekan. Pernah waktu itu ikut kegiatan sekolah, aku sering pusing. Mereka bilang aku merepotkan karena mengganggu waktu mereka."
"Hmm... Karena itu ya?" ujar Alden dengan mengangguk singkat.
"He'emm, tapi aku suka dengan kesendirian. Karena membuatku merasa rileks," ujar Dania kemudian dengan nada yang ceria.
"Dia bisa seceria itu ya?" batin Alden.
Alden hanya menganggukkan kepalanya, dan suasana menjadi hening kembali untuk beberapa saat.
"Kamu seceria itu, gimana caranya?" tanya Alden tiba-tiba.
"Semua itu tergantung diri kita sendiri kok. Apa yang kita pikirkan, itu yang mempengaruhi hidup kita." ujar Dania dengan seutas senyum.
Tanpa Dania sadar, ia telah memberikan sebuah kalimat motivasi bagi Alden. Alden mengangguk perlahan memahami kalimat Dania. "Ya, yang kamu bilang ada benarnya juga."
"Hehe, aku hanya memandang dari sudut yang berbeda," ujar Dania yang terkekeh kecil.
Hujan turun diikuti dengan angin yang berhembus, membuat udara menjadi sedikit dingin. Tapi, itu tidak berlaku bagi Alden, hatinya sedikit hangat dan ringan setelah mendengar kalimat yang keluar dari mulut Dania.
"Kita bertemu lagi, ya?" ujar Alden pada akhirnya.
"Iya, mungkin takdir mempertemukan kita disini." ujar Dania dengan terkekeh kecil.
Alden tersenyum, merasa energi positif dari Dania mempengaruhi moodnya. "Semua yang terjadi atas kehendak-Nya. Termasuk pertemuan kita dan hujan hari ini."
"Iya, benar sekali!" ujar Dania dengan semangat. "Aku boleh berteman dengan kamu?"
Pertanyaan Dania membuat Alden terkejut, tapi pada akhirnya ia terkekeh pelan. "Boleh kok. Aku juga gak punya teman."
"Serius kamu gak punya teman?" tanya Dania tidak percaya.
"Iya, aku gak punya teman. Gak ada yang mau berteman denganku, kecuali satu orang dulu. Tapi udah enggak." jelas Alden membuat Dania bingung. "Maksudnya gimana?"
"Gapapa. Lupain aja."
Dania mengernyitkan dahi, mencoba untuk mencerna perkataan Alden tapi tidak bisa menangkap maksud nya. Ia merasa sedikit pusing, sehingga otaknya menjadi lelet untuk menangkap sesuatu.
...✧✧✧✧✧✧✧✧✧✧...
Alden duduk di kamarnya setelah selesai berjualan. Ia merasa lelah tapi juga sedikit lebih baik setelah berbincang dengan Dania tadi siang.
Alden membuka ponselnya, mencari materi pelajaran untuk belajar. Ia hanya mengandalkan ponsel dan internet, untuk bisa belajar kembali setelah putus sekolah.
Alden mengingat jelas bagaimana fitnah itu menghancurkannya, hingga membuat Alden dikeluarkan dari sekolah. Sangat tidak adil, begitulah yang Alden rasakan saat ini.
Tapi, Alden tidak bisa merubah masa lalu. Ia hanya membiarkan semua itu menjadi pelajaran dan kenangan pahit. Meskipun terkadang Alden ingin kembali ke masa itu dan memilih untuk tidak hidup seperti ini. Tapi, semua itu mustahil.
Waktu tidak dapat diubah apalagi diulang ke masa lalu. Alden menghela nafas panjang, menggelengkan kepalanya lalu memfokuskan diri pada ponselnya.
"Alden, kamu disini rupanya? Ibu panggil dari tadi," ujar ibunya yang tiba-tiba masuk ke dalam kamar Alden.
Alden langsung menoleh ke arah ibunya, merasa sedikit bersalah. "Maaf Bu, aku gak dengar ibu memanggil."
"Gapapa nak. Kamu udah makan?" tanya ibunya penuh perhatian dan langsung duduk di sebelah Alden.
"Belum Bu, aku masih belajar sebentar," jelas Alden, memperlihatkan layar ponselnya dengan sebuah video belajar.
"Kasihan sekali kamu, nak. Karena fitnah dari mereka, kamu harus putus sekolah." ujar ibunya lirih.
"Gak apa, Bu. Yang lalu biarlah berlalu, yang penting aku masih bisa belajar. Ini sudah lebih dari cukup bagiku," ujar Alden dengan seutas senyum.
Ibunya hanya tersenyum, tidak tahu senyuman itu senyuman sedih atau justru sebaliknya.
Sementara di sisi lain, Dania sedang duduk di sofa, dengan sebuah laptop terbuka di depannya. Ia sedang mengerjakan tugas sekolahnya tapi ia sering kehilangan fokus karena pusing yang datang dan hilang secara tiba-tiba.
"Duh, kok jadi gak fokus gini?" batin Dania sambil menggelengkan kepalanya.
"Dania, kenapa nak?" ujar ibunya yang memperhatikan ekspresi Dania. "Enggak ada, Ma. Cuma kurang fokus aja hehe." ujar Dania cengengesan.
"Butuh bantuan, sayang?" ujar ayahnya yang baru saja mengambil secangkir kopi di atas meja.
"Terima kasih, Pa. Aku bisa sendiri kok." ujarnya dengan seutas senyum. "Ma, Pa... Aku belajar di kamar ya. Mungkin karena suara TV membuatku kehilangan fokus."
"Ya sudah sayang. Jangan larut malam belajar nya," ujar ibunya sedikit keras, karena Dania sudah berjalan menuju tangga.
"Iya, Ma!" teriak Dania yang berlari di atas tangga.
Setibanya di kamar, Dania langsung duduk di meja belajarnya. Suasana kamar yang sunyi membuat Dania sedikit lebih fokus untuk mengerjakan tugasnya.
^^^Bersambung...^^^
"Alden, sini sebentar nak!" panggil ibunya dari arah dapur.
Alden yang sedang mengeringkan rambutnya langsung menuju ke arah dapur, menghampiri ibunya.
"Iya Bu, ada apa Bu?" tanya Alden.
"Ibu minta tolong belikan bahan kue ya, nak. Ibu mau ke rumah Bu Sri sebentar, ibu mau bayar uang sewa." ujar ibunya sambil menyerahkan selembar kertas dan uang belanja.
"Oke, siap Bu," ujar Alden antusias sambil menerima uang dan kertas dari tangan ibunya.
"Ibu pergi dulu ya, nak." ujar ibunya sambil berjalan menuju pintu.
"Iya Bu, hati-hati." jawab Alden lalu ia ke kamarnya untuk merapikan rambutnya dan mengambil ponsel.
Setelahnya, Alden berjalan menuju pasar, melewati beberapa gang menuju jalan utama. Saat berjalan di gang terakhir, langkahnya terhenti karena mendengar suara yang familiar di telinganya. Suara yang mengingatkannya pada masa sekolah yang kelam.
"Kita bolos aja hari ini. Lagipula si anak kriminal itu udah keluar, gak ada target kita lagi haha." ujar seseorang di ujung gang yang sangat jelas di dengar oleh Alden.
"Iya, gue puas banget lihat dia di keluarin." ujar yang lain menimpali.
Suara tawa mereka terdengar keras, serta asap rokok yang mengudara terlihat jelas dari ujung gang.
Alden merasa panas, ia tahu bahwa dirinya lah yang sedang dibicarakan oleh mereka. Alden merasa seperti Dejavu, rasa marah, kecewa, serta sedih kembali menyeruak di dalam hatinya.
Alden mencoba menenangkan diri, ia menghela nafas panjang lalu berjalan pergi. Alih-alih ingin menjauhi situasi yang tidak menyenangkan, ternyata mereka semua menyadari keberadaan Alden.
"Woi anak napi!" ujar salah satu dari mereka membuat langkah Alden terhenti.
"Udah lama gak jumpa. Apa kabar lo?" ujar Albian dengan senyuman sinis, orang yang paling licik dan otak dibalik hancurnya Alden di sekolah.
"Apa?" ujar Alden tanpa menoleh, ia menyadari bahwa nafasnya mulai memburu saat ini.
"Haha, si anak kriminal. Gak nyangka ketemu di sini." ujar Albian dengan tertawa dingin, seolah sedang menantang Alden.
"Maksud lo apa hah?!" ujar Alden yang mulai emosi sambil membalikkan badannya, menatap Albian dan teman-temannya dengan tatapan tajam.
Alden sendiri tidak mengerti mengapa Albian dan teman-temannya selalu mengejeknya dengan julukan anak kriminal. Alden sendiri pun tidak tahu apa yang dilakukan ayahnya setelah pergi tanpa kabar beberapa tahun lalu.
Tapi, begitu dia masuk SMP dan kebetulan satu sekolah dengan mereka, Albian dan teman-temannya mengejek Alden tentang ayahnya. Bahkan Alden dibenci tanpa sebab, sedangkan ia sendiri tak tahu apa yang salah.
Hingga puncaknya di SMA, Alden kehilangan sekolahnya karena fitnah dari Albian dan teman-temannya. Ia sempat hampir kehilangan harapan, tapi ia tahu bahwa ia harus kuat demi ibunya.
"Haha, Alden Alden... Lo gak terima di bilang gitu? Ini fakta men!" ujar Albian dengan senyuman sinis, diikuti teman-temannya yang tertawa lantang.
"Gue gak tau apa-apa. Dan gue gak ngerti motif kalian itu apa!" ujar Alden sedikit meninggi. "Gara-gara kalian, gue putus sekolah!"
"Hahaha!" mereka tertawa bersamaan, seperti sedang menikmati tontonan gratis di depannya.
"Ya, lebih baik lo keluar dari sekolah. Gue muak liat muka lo!" Albian mengambil langkah maju dan berdiri tepat di depan Alden.
Alden yang awalnya emosi, kini ia menyunggingkan senyum miring di sudut bibirnya. Ia menyadari bahwa ia harus mengikuti arah permainan Albian.
Baginya, emosi dengan Albian tidak akan menyelesaikan masalah, yang ada hanya menambah konflik baru.
Alden bersikap tenang, meskipun dalam hatinya ia ingin sekali memberi pelajaran pada orang dihadapannya itu.
"Kenapa lo liat gue kayak gitu! Mau nantangin lo?!" ujar Albian risih di tatap tajam oleh Alden.
"Nantangin lo? Sorry, gak ada waktu." ujar Alden singkat dengan nada dingin.
Teman-teman Albian mulai kesal, mereka kembali melontarkan tatapan tajam dan menantang ke arah Alden.
Albian sendiri ingin melayangkan tangannya, tapi refleks Alden yang cepat langsung menangkapnya di udara.
"Lo masih sama, sukanya main kasar!" ujar Alden sambil menepiskan tangan Albian dengan kasar.
Albian dan teman-temannya terkejut, Albian sendiri wajahnya berubah merah padam. "Kurang ajar lo!"
Alden hanya menyunggingkan senyum sinisnya, sebelum akhirnya ia berjalan pergi. Teman-teman Albian ingin mengejar Alden tapi dihentikan oleh Albian.
"Woi! Pengecut Lo!"
"Cemen!"
"Lemah!"
Alden dihujani kata-kata menyakitkan dari teman-teman Albian, tapi Alden tidak peduli. Baginya, amanah ibunya jauh lebih penting daripada harus berhadapan dengan Albian dan teman-temannya.
"Bego lo! Lo biarin dia lepas gitu aja?" ujar salah satu teman Albian yang emosi, setelah Alden hilang dari pandangan.
"Gue masih ingat kok tujuan gue apa," balas Albian dingin sambil menyunggingkan senyum sinisnya.
Ia mengambil ponselnya, lalu menelpon seseorang yang entah siapa. Bahkan teman-temannya pun tak tahu, siapa yang ditelpon oleh pemuda itu.
"Halo, bro. Gue butuh bantuan lo," ujarnya kepada orang di balik telepon dengan nada dingin dan tersenyum licik, seperti sedang merencanakan sesuatu.
...✧✧✧✧✧✧✧✧✧✧...
Dania sedang istirahat di taman sekolah, ia hanya duduk bersama seorang teman yang mau berteman dengannya. Rani, seorang gadis cantik berusia 17 tahun sama seperti Dania.
"Dania, aku ke toilet sebentar ya?" pamit Rani kepada Dania yang sedang menikmati sandwich nya.
"Iya, aku tunggu di sini." jawab Dania dan Rani langsung berlari tanpa kata, meninggalkan Dania sendirian.
Dania menggelengkan kepalanya, sedikit heran dengan tingkah temannya itu. Ia duduk di bangku taman sekolah, sambil menikmati angin yang berdesir lembut.
"Hai cantik."
Baru saja Dania ingin menggigit sandwich nya, tiba-tiba seseorang yang paling malas Dania temui menghampirinya. Pemuda itu tersenyum lebar, dan tanpa izin ia langsung duduk di sebelah Dania.
Dania merasa risih dan langsung menggeser posisinya ke ujung bangku. Ia tidak memperdulikan pemuda itu dan berharap Rani segera kembali.
"Kamu makin cantik, Dania." ujar pemuda itu menatap Dania dalam.
Dania menghela nafas, ia langsung berdiri dan melangkah pergi. Tapi, tangannya langsung dicekal membuat langkahnya terhenti.
"Lepasin Riz!" pinta Dania kepada pemuda bernama Riza itu.
"Oke, aku bakal lepasin. Tapi jawab dulu pertanyaan aku," ujar Riza dengan menaik-naikkan alisnya, dengan tangan yang masih mencekal pergelangan tangan Dania.
"Lepas!" pinta Dania sambil mencoba melepaskan diri dari Riza.
"Oke-oke," ujar Riza yang melepas tangan Dania dan mengangkat kedua tangannya ke udara.
"Tapi aku belum bertanya," ujar Riza dengan terkekeh kecil.
Dania tidak memperdulikan dan langsung melangkah pergi, berjalan menuju ke arah toilet untuk menunggu Rani.
"Semakin kamu cuek, semakin aku suka Dania." batinnya dengan senyuman miring lalu berjalan pergi meninggalkan taman.
...✧✧✧✧✧✧✧✧✧✧...
Alden tiba di kontrakannya dengan beberapa kantong plastik berisi bahan kue. Ia masuk ke dalam dan mendapati ibunya yang baru saja pulang dari rumah Bu Sri.
"Assalamualaikum, Bu. Ibu sudah pulang?" tanyanya kepada ibunya yang baru hendak duduk di atas kursi.
"Waalaikumsalam, nak. Iya, baru saja pulang. Sudah dibeli semua bahan kuenya, nak?" tanya ibunya dengan seutas senyum.
"Sudah, Bu. Aku letakkan dulu di dapur," balas Alden dengan senyum lalu berjalan ke arah dapur.
Setelah meletakkannya di atas meja, Alden kembali ke ruang depan dan duduk bersama ibunya.
"Ibu capek?" tanya Alden lembut. Ibunya hanya tersenyum dan menggelengkan kepalanya, "Enggak nak, ibu gak capek hari ini. Kamu bagaimana?"
"Aman kok Bu. Tapi, tadi aku jumpa Albian dan teman-temannya di ujung gang." ujar Alden sedikit ragu-ragu untuk menceritakan tentang apa yang terjadi tadi siang.
"Mereka lagi nak? Tapi, kamu gapapa kan? Mereka gak ngelakuin sesuatu kan nak?" ujar ibunya khawatir, mengingat Alden pernah jadi korban dari kelicikan mereka.
"Enggak kok Bu, aku cuma liat dari jauh aja. Mereka bolos sekolah, tapi tenang Bu... Aku gak berhadapan dengan mereka kok," ujar Alden berbohong, ia tidak ingin membuat ibunya khawatir.
"Syukurlah nak, ibu hanya gak mau terjadi apa-apa lagi dengan kamu." ujar ibunya dengan menghela nafas lega.
Alden hanya tersenyum, ia tidak ingin menambah beban ibunya lagi. Terlebih ibunya sudah banyak pikiran sejak ayahnya pergi meninggalkan mereka dulu.
^^^Bersambung...^^^
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!