NovelToon NovelToon

Bopo Kembar Desa Banyu Alas

1. Arsha dan Aksa

"Assalamualaikum, Mas Askara." Ujar seorang remaja pada makam kecil yang ada di hadapannya.

"Assalamualaikum. Apa kabar, Mas? Udah kangen sama kita belum? Hehehe." Timpal seorang remaja lagi yang ikut duduk di sebelah saudaranya.

"Mas, lihat kita baru saja pulang dari ritual di gerojogan lengkung. Alhamdulillah-"

"Mengko wae to curhate, Sa. Ngewehi oleh - oleh sek to yo. Mas Askara ki ngenteni dungomu, udu curhatanmu. (Nanti saja ti curhatnya, Sa. Ngasih oleh - oleh dulu to ya. Mas Askara tuh nungguin doamu, bukan curhatanmu.)" Potong remaja bernama Arsha.

"Oh iya. Ayo gek di pimpin, Mas." Kata Aksa sambil cengengesan.

"Gantian kamu lho, sekali - kali." Sergah Arsha.

"Njenengan kan Kakang, kulo Adine. Kudune Kakang to sing mimpin. (Kamu kan Kakak, aku adiknya. Harusnya Kakak to yang mimpin.)" Sahut Aksa.

"Ngono terus wae alesanmu. Ngono nak tak kandani, kowe ra ngerungokne. Basan kon mimpin dungo, baru ngakoni Kakang. (Gitu terus saja alasanmu. Gitu kalau aku bilangin, kamu gak dengerin. Giliran suruh mimpin doa, baru mengakui Kakak.)" Omel Arsha.

"Ssssttt! Sampun njih ndremimile, Kakandaku. Mengko di tapuk Mas Askara lho. Ayo gek ndang di Imami. (Sudah ya mengomelnya, Kakakku. Nanti di tabok Mas Askara lho. Ayo cepat di Imami.)" Bujuk Aksa dengan lemah lembut.

Arsha hanya bisa menghembuskan nafas panjang melihat tingkah saudara kembarnya. Arsha pun mulai memimpin doa. Dengan khusuk, remaja kembar itu mengirimkan doa untuk Kakak pertama mereka yang sudah menjadi anak surga.

Setelah mengirimkan doa, mereka pun mulai berbincang - bincang. Ya, mereka terbiasa bercerita banyak hal jika sedang berkunjung ke makam Askara, seolah - olah Kakak mereka benar - benar ada di sisi mereka.

"Mas, bantuin bujuk Romo, ya. Aku pingin banget Kuliah di Kota. Ya, minimal di kota tempat Oma dan Opa atau di Kota tempat Pakpuh dan Bupuh." Ujar Aksa.

"Jangan memaksa kalau memang Romo gak ngizinin, Sa. Romo kan sudah menjelaskan alasannya ke kita." Kata Arsha yang menasehati adiknya.

"Ish! Mas Arsha ini. Mas saja yang Kuliah di sini, aku tetep mau Kuliah di Kota. Lagi pula, kita kan punya keluarga di Kota, mereka pasti bakal ikut mengawasi." Sergah Aksa yang kukuh ingin Kuliah di Kota.

"Sak karepmu lah, Sa. Kuliah nangendi wae yo podo, nak kowe emange pinter yo pinter. Nak mung nggo sok - sokan tok, nggo ngopo? (Terserah kamu lah, Sa. Kuliah dimana saja ya sama. Kalau kamu memang pintar ya pintar. Kalau cuma untuk bergaya saja, buat apa?)" Cicit Arsha.

"Ayo pulang, sudah sore." Ajak Arsha.

"Mas, kami pulang dulu, ya. Inget ya, Mas, bantuin aku bujuk Romo." Ujar Aksa yang membuat Arsha geleng - geleng kepala.

"Bocah ndablek! (Anak keras kepala!)" Lirih Arsha yang merasa gemas sendiri dengan tingkah adik kembarnya.

...****************...

"Bun, anak - anak masih belum pulang?" Tanya Abi saat menghampiri istrinya yang sedang sibuk di dapur bersama Bu Lastri dan juga Sifa.

"Belum, Mo. Motornya aja belum kedengeran." Jawab Runi.

"Sudah hampir surup, kok ya belum pulang." Gerutu Abi.

"Kepenakan leh curhat karo Mamase. Wes suwi to dene wong ra neng makame Askara. (Keenakan curhat sama Kakaknya. Sudah lama to mereka gak ke makamnya Askara.)" Ujar Bu Lastri.

"Nah itu, suara motornya. Baru sampe tu mereka." Kata Runi saat mendengar suara motor putranya.

Perlahan, motor sport yang membawa remaja kembar itu memasuki halaman rumah. Aksa yang mengendarai motor, langsung memarkirkan motor di garasi.

Kedatangan keduanya, disambut oleh suara Ningrat yang heboh di dalam kandangnya. Beruk tua itu berjalan kesana - kemari saat melihat Arsha hendak masuk ke dalam rumah.

"Kamu kenapa sih, Rat? Mau masuk?" Tanya Arsha sambil menghampiri kandang mewah milik Beruk kesayangan mereka.

Remaja tampan itu pun mengeluarkan si Beruk tua yang langsung memeluknya.

"Kamu mau ngucapin selamat buat Mas Arsha sama Aku, ya. Karna baru resmi jadi Bopo muda?" Kekeh Aksa yang menyusul saudara kembarnya.

"Kayaknya lebih ke pingin ikut makan nasi kuning sama ingkung ayam." Sahut Arsha yang membuat mereka berdua tertawa.

"Mas Aksa, Mas Arsha, ngapain malah mainan sama Ningrat? Di tungguin sama yang lain itu loh di rumah Akung." Cicit Ashoka, adik bungsu mereka yang datang menghampiri.

"Ini tadi Ningrat berisik aja, Dek. Makanya Mas samperin." Jawab Arsha.

"Ningrat tuh lagi di hukum sama Romo karna bandel. Tadi dia keluar kandang sendiri waktu kita lagi ke Gerojogan." Cerita Ashoka.

"Ooo, jadi ceritanya kamu minta pertolongan? Aku gak mau nolong kalo Romo yang hukum." Ujar Arsha sambil memasukan kembali Ningrat ke dalam kandangnya.

"Kapok! Kamu sih, bandel. Kan jadi di hukum Romo. Makanya, kalo di bilangin Romo tuh dengerin. Udah tau juraganmu galak." Imbuh Aksa yang membuat Arsha dan Ashoka tertawa.

"Mas cepetan, kata Ibun suruh mandi dan ganti baju dulu." Ashoka memburu - buru dua Kakaknya.

"Tadi kan udah mandi di gerojogan, Dek." Sergah Aksa.

"Ibun kok yang nyuruh. Kata Ibun, Ashoka tolong bilang ke Mas Arsha dan Mas Aksa itu suruh mandi, ganti baju, siap - siap ke Masjid. Setelah itu kita makan malem bareng di rumah Akung." Ashoka mengulang kembali apa yang di katakan Runi.

"Arep mangkat, adus sek. Neng kono kon kungkum. Bar kungkum yo kon adus meneh. Uuaaadeeem eee. (Mau berangkat, mandi dulu. Disana suruh berendam. Abis berendam ya di suruh mandi lagi. Dinginnya.)" Komentar Aksa.

"Ssssstttt!! ra sah kakean protes! Kari adus wae kok, protes wae! (Ssssttt!! Gak usah kebanyakan protes! Tinggal mandi saja kok, protes aja!)" Omel Arsha sambil menjewer telinga Aksa.

"Aaaa aduh! Loro lho, Mas. Mas Arsha ki njewer - njewer. (Sakit lho, Mas. Mas Arsha ini jewer - jewer.)" Gerutu Aksa sambil memegangi telinganya.

"Hahahahaha. Kapok! Di jewer Mas Arsha, to. Udah sana cepetan mandi. Nanti di omelin Ibun lho. Udah surup tau, kata Ibun kalo mandi surup - surup kan ditemani hantu!"

"Itu hantunya di belakangmu." Seru Aksa.

"Iya, anak kecil surup - surup sendirian di luar." Imbuh Arsha. Kedua remaja itu pun berlari masuk ke dalam rumah, sengaja meninggalkan adiknya sendirian di teras.

"Aaaaaa Mas Aksa dan Mas Arsha nakal! Romooo tolong!" Seru Ashoka sambil berlari ke rumah Pak Karto.

2. Di Jodoh - Jodohkan

Seusai sholat magrib berjamaah di Masjid. Keluarga besar Pak Karto berkumpul untuk makan malam bersama. Seperti biasa, saat ada perayaan khusus, mereka akan makan nasi kuning bersama - sama.

"Nasi kuning buatan Uti memang paling the best." Puji Aksa yang nampak lahap makan nasi kuning buatan Bu Lastri.

"Alhamdulillah, nak putu Uti seneng. (Alhamduliah, kalau cucu Uti senang.)" Jawab Bu Lastri sambil tersenyum.

"Kalian berdua kok lama di makam? Apa main dulu setelah dari makam?" Tanya Runi.

"Mas Arsha ngajak lihat cewek cantik di pondok, Bun." Gurau Aksa yang membuat Kakaknya melotot.

"Astaghfirullah. Lambemu lho, Sa. Iso - isone fitnah. (Mulutmu lho, Sa. Bisa - bisanya fitnah.)" Omel Arsha yang membuat Aksa tertawa.

"Cewek cantik yang mukanya adem itu ya, Mas? Yang kayak wajah keturunan orang arab?" Tanya Sifa.

"Lho, kok Bunda tau?" Tanya Aksa.

"Memang cantik ya, Mas. Itu keponakan dari menantunya Pak Kiyai. Baru pindah ke sini, kayaknya baru satu mingguan. Bapaknya keturunan Arab tuh, Mas. Mereka juga punya rumah di Madinah karna punya agen travel haji dan umroh yang terkenal juga." Cerita Sifa.

"Iya, itu sekolah di SMA tempatku, Nda. Mas Arsha tuh sering merhatiin dia diem - diem." Ujar Aksa. Sementara Arsha hanya bisa geleng - geleng menanggapi ocehan kembarannya.

"Tapi kok dia malah pindah ke desa terpelosok gini, Nda?" Tanya Aksa.

"Mmm kalo itu, Bunda gak tau pasti. Cuma kata anaknya Pak Kiyai sih karna dia pingin ikut ngajar di Pondok." Jawab Sifa.

"Oh, ini lagi ngomongin Mbak Raina ya? Wih, Mbak Raina itu Hafizah loh, Mas. Sudah hafal tiga puluh juz, suaranya merdu lagi. Dia itu sering juara MTQ. Kemarinnya dia yang nyimak Tasmi' ku." Kata Raka yang memang sering berada di Pondok untuk mengaji.

"Oo, jadi namanya Raina." Kata Aksa yang baru mengetahui nama gadis itu.

"Kalo Yanda sih, udah Yanda pepet terus itu. Jangan sampe lepas pokoknya, Mas." Agil ikut mengompori.

"Dasar kompor kowe ki, Gil! (Dasar kompor kamu itu, Gil!)" Sergah Abi.

"Lho, In Syaa Allah anak baik - baik loh, Mas. Emang gak mau punya mantu hafizah? Sopo reti keseret melu neng suwargo, ra ketang neng teritisane. (Siapa tau terseret ikut ke surga, walaupun hanya di pinggirannya.)" Sahut Agil yang membuat mereka semua tertawa.

"Haduh, ra keroso. Akung wes ape nompo putu mantu. (Haduh, gak kerasa. Akung sudah mau punya cucu mantu.)" Kekeh Pak Karto.

"Aku belum mau nikah lho, Kung. Aksa tuh yang gonta - ganti pacar." Sergah Arsha yang membuat Pak Karto tertawa.

"Mumpung belum nikah, Mas. Jadi puas - puasin dulu gonta - ganti cewek. Biar bener - bener tau, tipe kita tuh yang gimana." Ujar Aksa.

"Prinsipmu tuh aneh, Sa!" Kata Arsha sambil geleng - geleng kepala.

"Mau pacaran boleh, tapi harus tau batasan, Mas. Jangan sampe karna pacaran, kalian jadi males - malesan." Ujar Runi.

"Kalo aku, belum mau pacaran kok, Bun. Aksa aja itu mulutnya ngelantur." Jawab Arsha.

"Bilang aja kalo suka, Mas. Tenang aja, aku dukung kok. Bener kata Yanda, siapa tau kita semua keseret masuk surga karna tiap hari denger dia muroja'ah." Kata Aksa.

"Ra kuat, Sa. Ra kuat wong siji nyeret uwong sak mene akehe. (Gak kuat, Sa. Gak kuat orang satu menyeret orang segini banyaknya.)" Sahut Arsha yang memecah tawa mereka semua.

"Kamu aja yang deketin, Sa. Kalo Masmu gak mau." Kata Agil yang kembali mengompori keponakannya.

"Iya ya, Yanda. Apa tak deketin aja ya?" Jawab Aksa sambil melirik ke arah Kakak kembarannya.

"Iya lah! Masmu kayaknya gak tertarik sama Raina." Timpal Agil yang ikut melihat air wajah Arsha.

"Jangan mau kalah dong, Mas Arsha. Mas Aksa aja ceweknya banyak." Kata Ashoka yang ikut bicara.

"Iya, Mas. Rugi kalo gak dapetin cewek cantik kayak Mbak Raina. Adem banget kalo lihat, Mas. Kayak lantai Masjid. Mana ngajinya pinter lagi, Maa Syaa Allah." Raka ikut menimpali.

"Ibun sama Romo pasti setuju kalo dapet mantu sholeha kayak gitu. Istri idaman lho, Mas, paket lengkap." Kata Aksa.

"Belum tentu. Walaupun seorang hafizah, kalau akhlak dan adabnya buruk, udah pasti Ibun tolak mentah - mentah." Sahut Runi.

"Mana ada. Anaknya lho sopan banget, Bun. DI sekolah aja, gak berani nyalip gurunya." Kata Aksa.

"Kayaknya kamu deh, Sa, yang lebih merhatiin." Celetuk Abi.

"Ya kan aku lihatin dia karna penasaran, Mo. Spek cewe kayak apa sih dia, sampe bisa bikin Masku gak kedip lihat dia." Kata Aksa yang berkilah.

"Uwes to, Mas Arsha, sikat wae. Ojo ngasi ucul bocahe. Opo meneh nak pinter leh ngaji ngono kuwi. Beehh, In Syaa Allah ayem uripmu, Nang. (Sudah to, Mas Arsha, sikat saja. Jangan sampai lepas anaknya. Apa lagi kalau pintar mengajinya seperti itu. Beehh, In Syaa Allah tenang hidupmu, Nak.)" Ujar Agil.

"Biar bisa ngerukyah Aksa sama Yanda tiap hari, ya." Sahut Arsha yang membuat mereka tertawa.

"*Jiiiangkrik. Pancene titisan Mas Abi tenan. Di kandani malah ng*ece! (Jiiiaangkrrik. Emang titisan Mas Abi bener. Di bilamgin malah meledek.)" Pisuh Agil sambil terkekeh.

...****************...

"Mo..."

"Dalem, Sayang?" Jawab Abi yang nampak masih sibuk dengan pekerjaannya.

"Ibun kepikiran Arsha deh." Ujar Runi.

"Kenapa, Bun? Ada yang salah sama Arsha? Kelihatannya dia baik - baik aja." Jawab Abi yang kini mengalihkan perhatian pada Istrinya.

"Itu beneran Arsha lagi jatuh cinta?" Tanya Runi.

"Wajar lah, Bun. Namanya juga remaja, masih fasenya cinta monyet." Jawab Abi.

"Tapi beda banget sama Aksa loh, Mo. Kalo Aksa kan lebih terbuka, maksudnya ya kita sama - sama tau lah, kalo anak Romo itu play boy." Kekeh Runi.

"Giliran play boy, anak Romo. Padahal Romo ini green flag loh. Ibun tuh dulu yang pacarnya banyak waktu SMA." Sergah Abi yang membuat Runi tertawa.

"Namanya orang itu kan wataknya beda - beda, Bun. Mungkin, Arsha gak pernah cerita karna memang dia gak punya pacar. Ibun juga denger sendiri tadi dia bilang kalo belum mau pacaran. Kayak Romo yang gak pernah pacaran waktu SMA." Imbuh Abi yang membuat Runi mencebik.

"Kayaknya Romo salah ngasih nama, deh. Ini yang kayak Segoro (lautan) malah Arsha. Orangnya tenang, adem, kalem, gak gedebak - gedebuk." Gelak Runi.

"Sekalinya marah, langsung bikin Tsunami." Sahut Abi.

"Itu gak tau kenapa yang satunya malah kelakuannya mirip Agil." Imbuh Abi sambil tertawa.

"Romo sih, dulu waktu aku hamil mereka, suka berantem sama Agil. Jadilah itu foto copy kalian berdua karna dari dalem perut kerjaannya dengerin Romo sama Yandanya gelut." Kata Runi.

"Nah kan, salah Romo lagi." Protes Abi yang membuat Runi kembali terkekeh.

3. Kejadian Tiba - Tiba

Malam sudah larut saat Arsha baru saja memejamkan mata. Samar - samar telinganya mendengar suara pintu rumahnya yang di ketuk serta suara orang yang mengucapkan salam.

Arsha pun kembali terjaga, mengingat saat ini Romonya sedang berada di Kota. Remaja tampan itu keluar dari kamar dan menuju ke sumber suara.

"Waalaikumsalam." Jawab Arsha sambil membukakan pintu setelah mengintip siapa yang mengetuk pintu rumahnya.

"Maaf, Mas, mengganggu malam - malam. Bu Dokter ada? Itu, saya mau minta tolong, Mbah Parti tiba - tiba kejang." Ujar Si Pria yang nampak panik.

"Ada, Lek. Silahkan duduk dulu, saya bangunkan Ibun sebentar." Jawab Arsha.

Arsha setengah berlari menuju ke kamar orang tuanya.

"Bun... Ibun..." Panggil Arsha sambil mengetuk pintu kamar.

"Iya, Nak?" Lirih Runi yang menyahut dari dalam kamar. Tak lama, pintu kamar pun terbuka.

"Ada apa, Mas?" Tanya Runi saat melihat putranya berdiri di ambang pintu.

"Itu, ada Lek Yanto yang mau minta tolong. Mbah Parti katanya kejang - kejang." Jawab Arsha.

"Ha? Yasudah Ibun siap - siap dulu sebentar." Jawab Runi.

"Aku antar, Bun. Lek Yanto biar aku suruh duluan aja." Kata Arsha sambil kembali berlari ke depan untuk memberi tau warga yang meminta bantuan.

Setelahnya, Arsha kembali ke kamar dan memakai jaket juga celana panjang. Tak lama, setelah itu ia segera mengeluarkan motor matic milik Runi dan menunggu Ibunnya di depan.

Runi dengan tergopoh - gopoh menghampiri putranya yang sudah menunggu di atas motor. Setelah memastikan Ibunnya duduk dengan aman, barulah Arsha mulai melajukan motornya menuju ke rumah Mbah Parti.

Kediaman Mbak Parti terlihat ramai dengan anak - anaknya yang sudah berkumpul. Sesampainya di sana, Runi dan Arsha langsung di persilahkan masuk. Awalnya Arsha ingin menunggu di ruang tamu saja. Namun, entah mengapa ia tiba - tiba ingin ikut masuk ke kamar Mbah Parti.

"Bun, aku boleh ikut masuk gak?" Bisik Arsha.

"Tumben, biasanya nunggu di ruang tamu aja?" Tanya Runi.

"Gak tau, kok pingin lihat Mbah Parti." Jawab Arsha.

"Yaudah, ayo." Ajak Runi yang kemudian mengekor pada pemilik rumah yang membawanya ke kamar Mbah Parti.

Di kamar Mbah Parti, Arsha merasa sedih saat melihat kondisi Mbah Parti yang memprihatinkan. Tubuh rentanya hanya tinggal tulang yang di balut kulit.

Arsha memperhatikan Runi yang memeriksa kondisi Mbah Parti. Raut wajahnya tampak seperti sedang berpikir keras. Arsha pun yakin, jika sesuatu yang tak beres terjadi pada wanita renta yang tak sadarkan diri itu.

"Gimana kondisi Ibu saya, Bu Dokter?" Tanya salah seorang anak Mbah Parti.

"Kondisinya sangat gak stabil. Baiknya di bawa ke Rumah Sakit lagi saja, agar mendapat penanganan lebih lanjut." Ujar Runi.

"Tapi, pihak Rumah Sakit sudah menyerah, Bu Dokter. Bu Dokter tau sendiri kalau kemarinnya Ibu saya baru di bawa pulang dari Rumah Sakit." Kata Lek Yanto yang tinggal bersama Mbah Parti.

Runi hanya bisa menghembuskan nafas berat. Tak hanya satu atau dua kali ia mendapatkan pasien seperti ini. Pasien yang seolah hidup segan, mati pun tak mau.

"Saya juga gak bisa berbuat apa - apa lagi, Pak, Bu. Sementara ini, biar saya infus saja ya, biar tetap ada nutrisi yang masuk untuk Simbah." Lirih Runi dengan tatapan sedih. Hatinya terasa ngilu karna tak bisa berbuat banyak untuk pasiennya.

"Manut kalih Bu Dokter mawon, pripun saene. (Nurut sama Bu Dokter saja, gimana baiknya.)" Jawab Lek Yanto.

"Kasihan banget Simbah." Lirih Arsha sambil mengusap kaki keriput Mbah Parti.

"Astaghfirullah! Bun! Ini apa?" Tanya Arsha saat melihat benang yang menempel di tangannya sesaat setelah mengusap kaki Mbah Parti.

"Kamu dapat dari mana, Nak?" Tanya Runi yang ikut heran. Tak hanya Runi, anak - anak Mbah Parti pun turut heran melihat benang di telapak tangan Arsha.

"Gak tau, Bun. Tau - tau nempel di tangan." Jawab Arsha kebingungan.

Saat itu, tubuh Mbah Parti tiba - tiba menegang dengan netra sayunya yang terbuka. Lek Yanto langsung mendekat ke arah Ibunya dan membisikkan kalimat tauhid di telinga Ibunya berulang - ulang. Sementara tangisan pun mulai terdengar dari anak - anak Mbah Parti yang lain.

Arsha sendiri terlihat shock dengan kejadian barusan. Ia hanya bisa mematung di tempatnya sambil melihat situasi yang nampak sedikit kacau.

Tak lama kemudian, Runi kembali memeriksa kondisi Mbah Parti.

"Innalillahi wainnaillaihi roji'un." Lirih Runi saat memeriksa denyut nadi Mbah Parti.

"Maaf Bapak - bapak, Ibu - Ibu, Simbah mpun sedo. (Simbah sudah meninggal.)" Imbuh Runi kemudian.

Mendengar itu, suara tangisan yang awalnya lirih, kini terdengar semakin jelas. Beberapa keluarga nampak berpelukan untuk saling menguatkan. Bagaimanapun, kehilangan anggota keluarga adalah hal yang sangat menyedihkan.

Melihat Arsha yang masih mematung, Runi pun membawa putranya itu ke ruang tamu rumah Mbah Parti. Runi berusaha menenangkan putranya yang nampak resah.

"Bun, gara - gara aku ya." Lirih Arsha sambil menatap benang yang masih ada di telapak tangannya.

"Enggak, Mas. Semua itu sudah kehendak Allah." Jawab Runi sambil mengambil benang putih yang cukup panjang di telapak tangan Arsha. Ia kemudian meletakkan benang itu du atas kain kasa.

Arsha hanya bisa terdiam sambil menunduk. Kejadian ini, membuatnya seolah menjadi seorang pencabut nyawa. Mbah Parti meninggal setelah Arsha 'mengambil' sesuatu dari kakinya tanpa sengaja.

"Sudah ya, Nak. Gak apa - apa, kamu jangan resah seperti ini." Lirih Runi sambil mengusap kepala putranya. Tentu ia pun mengerti dengan kejadian ini, karna ia pernah melihat sebelumnya.

"Mas Kembar, Bu Dokter." Panggil Lek Yanto saat menghampiri mereka. Netranya terlihat masih berkaca - kaca. Kesedihan tergambar jelas walaupun ia berusaha menutupi dengan senyuman.

"Lek, maafin aku-"

"Enggak Mas. Mas Kembar gak salah. Saya justru mau berterima kasih sama Mas Kembar karna sudah membantu melepaskan 'pegangan' Simbah." Lek Yanto memotong ucapan Arsha sambil tersenyum.

Arsha sendiri hanya bisa menunduk. Tentu saja ia masih merasa bersalah terlebih setelah mengetahui kalau Mbah Parti meninggal setelah 'pegangannya' ia keluarkan.

"Mas Kembar jangan menyalahkan diri. Justru kami berterima kasih karena Mas Kembar sudah membantu." Ujar Lek Yanto sambil memegang tangan Arsha.

"Simbah sudah lama menderita, sampai - sampai sering minta mati. Alhamdulillah, sekarang Simbah sudah tenang dan gak kesakitan lagi. Terima kasih banyak ya, Mas Kembar. Kami sudah lama cari orang yang bisa melepaskan 'pegangan' Simbah karna kasihan melihat Simbah menderita. Alhamdulillah, tanpa di sangka orangnya datang sendiri saat kami sudah hampir putus asa." Ujar Lek Yanto dengan tulus sambil menggenggam tangan Arsha yang terasa dingin.

Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!

Download Novel PDF
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!