NovelToon NovelToon

Aplikasi Penghubung Dunia

1 E-Market Ilahi

Arzhel, 25 tahun, lajang, dengan wajah yang tak akan membuat siapa pun menoleh dua kali padanya. Ia bukan pria berwajah rupawan, juga bukan lulusan universitas ternama.

Hidupnya sederhana—terlalu sederhana bahkan—tapi mimpinya sama seperti jutaan orang lain di kota besar: menjadi aktor, berdiri di layar lebar, dan dipandang oleh banyak orang.

Namun kenyataan tak pernah lunak.

Sudah bertahun-tahun ia mengejar panggung, berpindah dari satu audisi ke audisi lain, hanya untuk menerima peran yang tak layak disebut peran. Kadang ia jadi salah satu orang yang tersungkur dalam adegan peperangan, terkadang hanya figuran yang melintas di latar belakang, wajahnya kabur sebelum kamera sempat menyorot kearahnya.

Sering pula ia dipaksa jatuh berulang kali dalam adegan aksi, tubuhnya terbanting keras ke lantai demi "keaslian," sementara sorak tawa pemeran utama menggema karena gagal menahan candaan di sela-sela syuting.

Malam itu tubuh Arzhel penuh memar. Satu adegan tangga sialan itu membuatnya harus jatuh tidak hanya sekali, tapi sembilan kali. Sutradara menghela napas panjang, operator kamera mengeluh, sementara sang aktor utama—pria dengan wajah tampan dan nama besar—bercanda seenaknya sehingga take harus diulang terus.

Ingin rasanya Arzhel memaki keras, melempar surat pengunduran diri, dan keluar begitu saja. Tapi apa daya? Ia butuh uang. Ia butuh kesempatan, sekecil apa pun itu.

Jadi ia hanya bisa mendengus kesal, disela-sela istirahatnya...

Kereta bawah tanah malam itu sepi, hanya dentuman roda baja dan dengung mesin yang menemani.

Arzhel bersandar lesu di kursi, punggungnya protes setiap kali ia mengubah posisi duduk. "Bajingan itu, membuat punggungku rasanya mau hancur..." lirihnya.

Matanya berat, tapi pikirannya terus berputar—tentang mimpi, tentang kesia-siaan, tentang kapan dunia akan benar-benar memberinya kesempatan.

Lalu tiba-tiba… ponselnya bergetar.

📱 [Aplikasi baru telah terinstal.]

Arzhel mengerutkan kening. “Apa lagi ini?”

Di layar ponselnya muncul sebuah ikon asing, yang bahkan tak pernah ia unduh. Sebuah simbol bundar keemasan dengan tulisan samar: “E-Market Ilahi.”

Arzhel menatap layar ponselnya dengan dahi berkerut. Ikon emas itu seakan menantangnya untuk disentuh.

“Virus lagi, jangan-jangan…” gumamnya.

Beberapa minggu terakhir berita elektronik rusak akibat virus memang sedang marak maraknya. Ia tidak ingin bernasib sama. Jadi hal pertama yang ia lakukan begitu sadar adalah menghapusnya.

Namun…

📱 [Gagal menghapus aplikasi.]

“Ha?”

Arzhel mencoba lagi. Berkali-kali. Bahkan ia menyeret ikon itu ke tong sampah, tapi setiap kali dilepaskan, aplikasi itu tetap menempel di layar ponselnya.

Arzhel berdecak kesal. “Sial, ini membuat hariku semakin buruk!”

Ia mematikan dan menyalakan ulang ponselnya. Hasilnya nihil—ikon itu masih di sana, seperti noda membandel.

Tepat ketika ia hendak mencoba lagi, suara pengumuman terminal kereta menggema: “Stasiun tujuan telah tiba. Harap berhati-hati saat keluar.”

Kereta melambat. Orang-orang berdesakan ke pintu keluar. Arzhel ikut terseret arus, langkahnya lunglai.

Di luar, udara kota menusuk dengan dingin bercampur bau asap rokok. Arzhel berjalan sambil menendang botol plastik di jalan, pikirannya kusut.

“Hidup macam apa ini…? Merantau ke kota besar, ingin mengejar mimpi sebagai aktor. Nyatanya? Cuma figuran yang jatuh bangun di tangga. Uang pun habis hanya untuk sewa kosan dan makan seadanya."

Arzhel menghela nafas panjang, berkali-kali ia berpikir untuk pulang saja ke kampung halamannya dan meneruskan usaha warung makan ayahnya, tapi dia bisa membayangkan wajah keluarga dan para tetangganya yang mengejeknya.

Ia sudah susah payah keluar dari kehidupan kampung yang membosankan dan tanpa masa depan, tidak mungkin dia pulang begitu saja.

Arzhel mendengus panjang. "Jalani saja, nanti juga terbiasa," katanya sembari mengucapkan kalimat yang sudah ia ucapkan berkali-kali seperti doa setiap pagi.

Kos-kosan kecil yang ia sewa menunggu, cat dindingnya kusam, atapnya bocor bila hujan. Begitu masuk, ia melempar tas miliknya ke pojok ruangan tanpa peduli apapun. Ponsel ia taruh begitu saja di meja reyot.

Tubuhnya kemudian terjerembab ke kasur tipis yang berdecit pelan. Ia menutup mata, bibirnya bergumam lirih penuh getir: “Sial… sampai kapan aku harus hidup seperti ini…?”

Hening sejenak.

Namun pikiran tentang aplikasi misterius itu kembali menyusup. Arzhel membuka matanya, menoleh ke meja, lalu meraih ponsel. Ikon emas itu masih ada, berkilat samar seolah mengejeknya.

“Cih, dasar keras kepala… Kalau tidak bisa dihapus, coba kulihat apa isinya.”

Dengan setengah kesal, ia menyentuh aplikasi E-Market Ilahi yang terinstall di ponselnya tersebut. Layar berpendar, lalu muncul sebuah teks dengan gaya elegan, seolah diukir dari cahaya emas.

Selamat datang di E-Market Ilahi, sebuah pasar lintas dimensi, tempat berkumpulnya para penguasa, makhluk agung, dan dewa dari segala penjuru dunia.

Arzhel membeku.

“…Apaan ini?”

Arzhel mengetuk ponselnya sekali lagi, saat itu juga layar ponsel kembali berubah.

 Panduan Pengguna:

Jual Barang

– Gunakan fungsi Scan Ilahi untuk menukar benda fana menjadi barang dagangan.

– Setiap barang akan diubah ke dalam bentuk yang dapat dipahami oleh para dewa.

– Harga ditentukan penjual, dibayar dalam Koin Ilahi.

Beli Barang

– Gunakan Koin Ilahi untuk mengakses berbagai produk seperti senjata ilahi, pil atau ramuan, teknik, hingga buku panduan hidup.

Mata Uang

– Hanya Koin Ilahi yang berlaku.

– Koin Ilahi tidak dapat ditukar dengan uang dunia fana.

– Jumlah koin yang dimiliki pengguna akan tersimpan di Saldo Ilahi.

⚠️ Peringatan:

Barang yang sudah dijual tidak akan pernah kembali kepada pengguna. Setiap transaksi bersifat mutlak dan tidak dapat dibatalkan.

...

Arzhel menatap teks itu dengan ekspresi kaku. Dahinya berkerut. “Omong kosong apa lagi ini…? Hacker gila mana yang membuat aplikasi model begini?”

Ia mendengus, lalu menutup ponselnya dengan kasar. “Mana ada dewa belanja online.”

Menjatuhkan tubuhnya ke kasur, ia mencoba memejamkan mata, tetapi pikirannya tetap berputar. Ada rasa aneh… sebuah campuran penasaran dan ketidakpercayaan.

Ia bangkit lagi sambil mendesah panjang. Pandangannya jatuh pada sebuah pulpen diatas meja. Tangannya meraih benda sederhana itu, lalu menatapnya dengan getir.

“Sebegitu putus asanya aku sampai mempercayai omong kosong ini,” gumamnya. Namun entah dorongan apa, jari-jarinya bergerak membuka aplikasi itu lagi.

Ia memilih menu Jual Barang. Layar ponsel langsung berubah menjadi mode kamera.

Arzhel mengarahkannya kearah pulpen di tangannya. Hanya butuh beberapa detik, sebuah garis cahaya keemasan menyapu benda itu—scan selesai.

Notifikasi muncul: [Barang berhasil ditambahkan ke gudang penyimpanan. Ketuk barang untuk menambah deskripsi, menentukan harga, dan menjualnya ke market ilahi]

Arzhel tersentak. Pulpen yang baru saja ia genggam… lenyap. Hilang tanpa jejak, seolah ditelan udara.

“Tidak mungkin...” bisiknya, matanya membesar. Ia menoleh ke meja, ke lantai, bahkan meraba-raba kasur, tapi pulpen itu benar-benar menghilang.

2 Berdebat dengan dewa

Arzhel terperangah tak percaya, pulpen yang digenggamnya itu benar-benar menghilang dan kini muncul di dalam ponselnya, di menu gudang pasar.

Sambil meneguk ludah kasar, ia menyentuh gambar pulpen miliknya.

Layar ponsel kembali menyala, menampilkan instruksi berikutnya:

[Tentukan Harga & Deskripsi Barang]

Dengan tangan gemetar, Arzhel mengetik seadanya:

Pulpen, ringan, lancar untuk menulis. Bisa dipakai dalam jangka panjang tanpa mudah habis tinta. Harga: 10 Koin Ilahi

Ia menekan tombol Konfirmasi.

[✅ Barang berhasil ditambahkan ke Etalase]

Arzhel menelan ludah. Matanya terpaku pada layar. Ada sebuah Rak Penjualan virtual yang menampilkan gambarnya—pulpen sederhana, kini berdiri di tengah cahaya keemasan, seakan-akan barang fana itu telah dimuliakan menjadi sesuatu yang pantas dijual pada para dewa.

Jantung Arzhel berdetak kencang. “Apa… yang barusan aku lakukan…?”

Tiba-tiba, sebuah Notifikasi terdengar dari ponsel Arzhel.

[Barang berharga terjual!: 💰+10 Koin Ilahi]

Mata Arzhel langsung melebar. Ia menatap layar dengan kaget, nyaris tak percaya. Pulpen sederhana yang ia jual—benar-benar laku!

Nama pembelinya muncul di layar: Dewa Scriptorius, Sang Pena Abadi

Jantung Arzhel berdegup semakin keras. “Dewa…?” gumamnya lirih.

Tiba-tiba, menu Pesan berkedip. Sebuah jendela obrolan terbuka otomatis.

📩 Pesan Baru dari Scriptorius, Sang Dewa Pena Abadi:

Scriptorius 📝: “Ini luar biasa! Pena ini benar-benar ringan di tangan, tak perlu diselupkan ke tinta, dan tulisan yang keluar begitu rapi. Aku bisa menulis berlembar-lembar tanpa henti! Katakan padaku, apakah kau punya benda seperti ini lagi?”

Arzhel terpaku. Ia membaca ulang pesan itu beberapa kali. Tangannya gemetar ketika mengetik balasan.

Arzhel: “…Apa kau benar-benar dewa?”

Balasan datang seketika, cepat, seolah pihak lain sudah menunggu.

Scriptorius 📝: “Tentu saja. Untuk apa aku berbohong? Kalau kau ragu, kau bisa cek profilku langsung.”

Arzhel menelan ludah. Ia menekan ikon profil yang tersedia. Seketika layar berganti—sebuah halaman personal memancarkan aura aneh, antara konyol dan sakral. Ada hiasan ornamen berbentuk gulungan kitab, pena emas, dan cahaya samar seperti perpustakaan tanpa ujung.

👤 Profil:

Nama: Scriptorius, Sang Pena Abadi

Kedudukan: Dewa Tulisan, Penjaga Arsip Ilahi

Kesukaan: Menulis kitab, catatan, jurnal, dan panduan hidup.

Ada beberapa postingan yang ditambahkan, yang terbaru menampilkan sosok Dewa Scriptorius itu sendiri, seorang pria berjubah putih dengan rambut panjang tergerai, berpose sambil memegang sebuah buku kuno bersampul kulit.

Caption foto: “Aku baru saja menyelesaikan buku panduan cara kuat bercinta hingga 3 minggu. Yang minat, DM.”

Arzhel membeku. Mulutnya terbuka, ia tidak tahu harus tertawa atau kegum melihat hal itu. “Dewa macam apa yang nulis beginian…?”

Ia buru-buru menutup layar, lalu menatap ponselnya seakan benda itu makhluk hidup yang sedang mempermainkannya.

Namun, di pojok layar, saldo bertuliskan 10 Koin Ilahi bersinar nyata—sebuah bukti bahwa transaksi itu benar-benar terjadi.

Ia menelan ludah, lalu membuka kembali menu pesan. Jemarinya bergerak hati-hati, mengetik pada Scriptorius.

Arzhel: “…Aku punya banyak barang serupa.”

Balasan datang seketika, lebih cepat daripada notifikasi chat manusia biasa.

Scriptorius 📝: “Bagus! Kalau begitu, aku beli 100 buah sekaligus! Kirim langsung padaku, sekarang!”

Arzhel tercengang. Seratus pulpen? Ia bahkan hanya punya 3 pulpen yang tersisa diatas mejanya.

Namun sebelum ia sempat membalas, sebuah notifikasi baru muncul, menyalak dengan tanda merah menyala:

📩 Pesan Baru dari Veracius, Dewa Kejujuran Abadi

Veracius🏆: “Aku terlambat, sial! Seharusnya aku yang membeli pulpen itu! Dasar bodoh, apa kau benar-benar menjual barang sebagus itu hanya seharga 10 koin? Hah! Scriptorius jelas menipumu!”

Arzhel terdiam. Matanya melebar. Nama pengirimnya membuatnya merinding.

Dewa Kejujuran. Bahkan ia menambahkan gelarnya sendiri dengan bangga. Kalau dia benar-benar dewa kejujuran, tidak mungkin dia berbohong, kan?

Arzhel: “…Aku pengguna baru aplikasi ini, jadi aku belum terlalu tahu harga pasar.”

Balasan datang cepat, tajam tapi tegas.

Veracius🏆: “Pantas saja! Ingat ini baik-baik: selalu cek harga pasar sebelum menetapkan harga! Jangan sampai kau rugi karena ditipu dewa licik. Barangmu itu bisa jadi langka di beberapa dunia. Pena yang bisa menulis tanpa menyelupkan  tinta? Itu setidaknya bernilai seratus koin!”

Arzhel menelan ludah. Ia menggenggam ponselnya lebih erat, wajahnya memanas karena kesal sekaligus malu. “Brengsek… jadi si Scriptorius itu serius ingin menipuku?" gumamnya sambil mendengus.

Belum sempat ia menenangkan diri, pesan Scriptorius kembali muncul, berderet cepat seakan mendesaknya untuk buru-buru.

Scriptorius 📝: “Hei! Kenapa kau tidak membalas pesanku? Aku bilang aku ingin beli 100 buah pulpen sekarang juga!”

Arzhel mengetik dengan jengkel, jemarinya menghentak layar dengan keras.

Arzhel: “Harganya naik. Sekarang 100 koin per pulpen.”

Balasan Scriptorius meledak dalam sekejap, dihiasi emotikon wajah terkejut berulang kali.

Scriptorius📝: “APA?! Kenapa tiba-tiba naik segitu banyak?! 😱😱😱”

Arzhel hanya menyandarkan punggungnya ke dinding, matanya menyipit cuek.

Arzhel: “Tadi aku salah menetapkan harga.”

Arzhel mengetik dengan cepat, tak ingin terlihat gentar.

Arzhel: “100 koin per pulpen. Kalau mau ambil, silakan. Kalau tidak, aku jual ke dewa lain. Lagipula, stokku terbatas.”

Beberapa detik hening. Layar ponsel hanya menampilkan tiga titik tanda Scriptorius sedang mengetik.

Scriptorius📝: “Kau… dasar keras kepala! 100 koin itu gila!”

Arzhel: “Aku tidak peduli. Ambil atau tidak.”

Jawaban singkat itu seperti hantaman palu. Scriptorius berhenti membantah. Sesaat kemudian, ia membalas.

Scriptorius📝: "Baiklah baiklah! Kau menang! Karena harganya berubah, jadi aku pesan 10 pulpen saja.

Arzhel tersenyum licik, lalu membalas:

Arzhel: Aku hanya punya 3, sisanya nanti aku beritahu kalau ada.

Scriptorius📝: "Baiklah, kirim itu sekarang juga."

Arzhel menekan menu "Jual Langsung" di ruang obrolannya bersama Scriptorius. Ia men-scan pulpen miliknya yang tersisa, scan sukses, Arzhel langsung menetapkan harga sebanyak 100 Koin Ilahi.

Anda akan mengirim 3 pulpen kepada Scriptorius Sang Pena Abadi seharga 300 Koin Ilahi, Konfirmasi/Tidak.

Arzhel menekan tombol konfirmasi, pesan terkirim, beberapa saat kemudian, notifikasi penjualan sukses kembali terlihat di layarnya.

🔔 [Scriptorius membeli 3 Pulpen seharga 300 Koin Ilahi]

💰 +300 Koin Ilahi

Arzhel menatap layar dengan mata membelalak. Uang virtual itu langsung masuk ke saldonya—nyata, berkilau di sudut layar.

Scriptorius📝: “…Dasar menjengkelkan. Tapi barangmu memang bagus. Hmph! Aku tutup dulu obrolan ini.”

Lalu chat itu menghilang, Scriptorius Offline dengan kesal.

Arzhel terdiam sejenak, lalu tanpa sadar menyeringai kecil. Entah kenapa, memenangkan perdebatan dengan sosok yang mengaku dewa memberi sensasi aneh—seperti sebuah kemenangan pribadi.

Ia menyandarkan tubuh ke dinding, menatap layar yang kini menampilkan saldo: 💰 Koin Ilahi: 310

"Mari kita lihat apa saja yang bisa dibeli dengan Koin Illahi," gumamnya.

Dengan rasa penasaran, Arzhel membuka menu Market Ilahi. Halaman baru terbuka, dipenuhi deretan benda aneh, pil bercahaya, senjata berkilau, gulungan kitab kuno, dan pernak-pernik mistis yang harganya bervariasi. Ada yang puluhan, ratusan, ribuan, bahkan jutaan koin.

Arzhel menggulir layar, matanya menyapu cepat. Sampai sebuah judul membuatnya berhenti.

📜 Teknik: Seni Peran Sejati— dijual oleh Dewa Seribu Muka dengan Harga: 300 Koin Ilahi.

3 Menjual Mie instan

Arzhel menahan napas, membaca deskripsi yang terpampang:

[Kitab kuno yang mengajarkan seni menyatu dengan peran. Siapa pun yang mempelajari teknik ini mampu memerankan tokoh apa pun dengan sempurna—tidak sekadar akting, melainkan benar-benar ‘menjadi’ sosok dalam naskah. Kepribadian, suara, gerak tubuh, bahkan aura dapat menyesuaikan sesuai peran yang dibawakan.]

Arzhel membeku. Matanya berkilat.

Impian masa kecilnya, mimpi sederhana yang selalu ia bawa sejak menonton film di layar lebar untuk pertama kalinya seakan mendekat di ujung jari.

Tanpa pikir panjang, ia menekan tombol Beli.

📱 [Pembelian berhasil! 💰-300 Koin Ilahi]

Saldo berkurang. Namun sebelum ia bisa menyesali, cahaya emas memancar di udara. Tepat di depannya, sebuah gulungan kuno muncul perlahan, seolah turun dari dunia lain.

Arzhel terkesiap, buru-buru mengulurkan tangan dan menangkapnya. Gulungan itu terasa nyata—halus, dingin, seperti sutra yang sudah berusia ribuan tahun.

“Ini… nyata?” gumamnya, kagum dan ragu bercampur jadi satu.

Tangannya gemetar saat ia membuka gulungan itu. Namun begitu terbentang, gulungan itu mendadak terbakar tanpa api. Arzhel tersentak, hampir menjatuhkannya, tapi abu halusnya justru lenyap menembus kulitnya.

Arzhel berdiri membeku. “Apa yang barusan…?”

📱  [Notifikasi: Profilmu telah diperbarui.]

Jantung Arzhel berdegup. Ia buru-buru membuka notifikasi itu.

Tampilan baru muncul:

 

👤 Profil Pengguna

Nama: Arzhel

Gelar: —

Teknik:

📜 Seni Peran Sejati

📌 Catatan penting: Panel kemampuan bersifat privasi, hanya bisa dilihat oleh pengguna.

Postingan: 0

 

Arzhel menelan ludah, matanya tak berkedip menatap layar. 'Teknik peran sejati… milikku?'

Perlahan, ia menyentuh dadanya. Ada sesuatu yang berubah—tak terlihat, tapi terasa. Seakan di dalam dirinya, sebuah pintu baru telah terbuka. Ia belum mengerti cara menggunakannya, tapi firasatnya mengatakan teknik itu nyata.

“Aku mengerti..." Gumamnya, "Sepertinya siapapun yang menciptakan aplikasi ini salah mengira aku sebagai dewa, jadi dia memasukanku sebagai pengguna aplikasi ini."

Semakin ia menatap layar, semakin sadar—aplikasi ini jelas bukan buatan manusia biasa. Dan kemungkinan besar… ia memang salah dikira seorang dewa.

“Kalau begitu…” Arzhel menatap profilnya, rasa waspada mulai merayap. “Kalau ada dewa yang curiga aku cuma manusia… aku bisa habis.”

Ia menggulir ke bagian profil dan mengetik cepat, mengganti namanya. Sesuai visinya ke depannya, Arzhel akan menjual banyak barang modern kepada para dewa, oleh karena itu satu nama terlintas di pikirannya.

✏️ Nama: Arzhel, Dewa Modern✈️

🔔 [Belum ada yang menggunakan nickname ini, anda bisa menggunakannya]

"Bagus," ucapnya sambil menekan tombol konfirmasi.

Sementara gelarnya masih kosong, dan panduan singkat di layar mengatakan gelar hanya akan muncul jika ia mendapat prestasi di aplikasi.

“Dewa Modern, ya… Cukup keren.” Ia tertawa kecil, tapi cepat meredam suaranya, seakan takut ada yang mendengar.

Jam di dinding sudah menunjuk hampir setengah dua belas malam. Tubuhnya masih remuk karena jatuh berkali-kali di lokasi syuting siang tadi.

Arzhel menguap lebar. “Besok aku masih harus ke set lagi… Ah, bodo amat.”

Ia menaruh ponsel di meja samping kasur dengan hati-hati, seperti menyimpan benda paling berharga di dunia.

Matanya perlahan terpejam, dengan satu pikiran terakhir yang berputar di benaknya:

“Kalau ini nyata… mungkin, mungkin saja… aku benar-benar bisa jadi aktor besar.”

Dan malam itu, Arzhel tertidur dengan senyum samar di wajahnya—untuk pertama kalinya setelah sekian lama.

....

 🌅Pagi Hari

Arzhel terbangun dengan mata masih berat. Ia langsung menoleh ke samping, meraih ponselnya. Layar menyala. Ikon emas itu masih ada—E-Market Ilahi.

“Syukurlah…” gumamnya lega. “Bukan mimpi.”

Ia duduk, meregangkan tubuh, lalu cepat-cepat menuju kamar mandi kosan. Air dingin menyentuh wajahnya, sedikit menyegarkan rasa penat. Setelah mandi seadanya, ia kembali ke meja mungil tempat barang-barangnya berantakan.

Di laci, hanya ada stok penyelamat anak rantau—mie instan. Kardus yang hampir kosong, dengan sisa beberapa bungkus.

Arzhel menghela napas panjang. “Kalau ini bisa dijual… mungkin bisa jadi ladang emas.”

Tanpa pikir panjang, ia mengambil tiga bungkus mie instan dan menaruhnya di meja. Ponselnya segera ia buka, masuk ke menu Jual. Kamera otomatis menyala, memindai mie itu satu per satu.

✨ [Scan berhasil]

Tiga bungkus mie instan menghilang seketika, lenyap dari meja, berpindah ke layar ponselnya.

Arzhel buru-buru mengetik deskripsi dengan gaya setengah bercanda:

“Mudah disajikan! Tinggal tuangkan air panas, masukkan bumbu, tunggu sebentar, dan jadi.

🍜 Mie Instan Khas Dewa Modern, siap disantap kapan saja dan dimana saja. Harga: 30 Koin Ilahi."

Arzhel sempat melihat-lihat harga makanan di market ilahi seperti yang disarankan Dewa Kejujuran sebelum dia menetapkan harga, rata-rata makanan dan minuman disana adalah sekitar 10 sampai 20

Arzhel menimbang sejenak. Ia sempat melihat-lihat market sebelumnya—harga makanan rata-rata hanya 10 sampai 20 koin. Tapi ia sengaja menaruh harga yang lebih tinggi."

“Kalau ada dewa rakus yang tidak mau ribut memasak dan maunya yang praktis-praktis, mereka pasti tetap membelinya,” ucapnya sambil menyeringai kecil.

Namun setelah menunggu beberapa menit, layar tetap sepi. Tidak ada notifikasi pembelian.

Arzhel menghela napas, menyandarkan ponsel di meja. “Yah… ternyata mereka juga seperti manusia. Berpikir seribu kali ketika melihat sesuatu yang mahal."

Ia melirik jam dinding. Hampir waktunya berangkat. Dengan buru-buru, ia mengenakan kemeja putih polos yang sering dia pakai. Celana panjang hitam sederhana, dan sepatu yang solnya mulai menipis.

Ia berdiri di depan kaca kecil yang tergantung miring di dinding kosannya. Rambutnya ia rapikan dengan sisir, meski beberapa helai tetap membandel.

“Setidaknya, kelihatan sedikit rapi.”

Tas disampirkan ke punggung, ia keluar dari kosannya yang pengap. Jalan kaki sebentar, sampai di halte bus, lalu lanjut naik kereta bawah tanah.

Gerbong ramai penuh pekerja kantoran, anak sekolah, dan sesama perantau. Arzhel berdiri sambil berpegangan pada tiang, tubuhnya masih terasa pegal akibat terjatuh berkali-kali di syuting kemarin.

Namun kini, ada secuil rasa optimis yang ia bawa. Ponselnya, aplikasi itu, dan… teknik peran kuno yang entah bagaimana, kini mengalir dalam dirinya.

Sesampainya di lokasi syuting, Arzhel menarik napas panjang. Dari luar, set terlihat ramai: kru sibuk memasang kamera, lampu sorot menyala, dan aktor-aktor utama berkeliaran dengan wajah penuh percaya diri.

Arzhel melangkah masuk, mencoba menyingkirkan rasa lelahnya.

Sutradara mereka hari itu adalah pria paruh baya dengan tubuh tambun dan suara serak bernama Pak Raymond. Ia terkenal galak, tapi justru malas memberi arahan detail pada para pemeran figuran.

“Dengar, kalian hanya tumbal, paham?” katanya ketus sambil menunjuk sekelompok pemeran sampingan, termasuk Arzhel dan Daniel, temannya. “Nanti aktor utama menyerang, kalian teriak, jatuh, mengeluarkan ekspresi menderita. Begitu saja. Jangan ribet. Kamera bukan buat kalian.”

Beberapa orang mengangguk lesu, termasuk Arzhel.

Setelah briefing singkat itu, mereka digiring ke ruang ganti untuk memakai seragam: jas putih bersih yang menandakan mereka anggota organisasi musuh dalam cerita.

Jas yang terlihat gagah, tapi ironisnya hanya dipakai untuk adegan 'sekali hantam langsung tumbang.'

Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!

Download Novel PDF
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!