Aroma karbol yang tajam menguar dari lantai yang baru saja dipel Jay Valerius. Setiap tarikan dan dorongan kain pel di atas ubin porselen yang dingin adalah sebuah ritme yang sudah ia hafal selama tiga tahun terakhir. Ini adalah ritme kehidupannya: sunyi, monoton, dan hampir tak terlihat di sudut kemewahan sederhana kediaman keluarga Tremaine.
Tiga tahun lalu, ia menikahi Elara Tremaine. Pernikahan itu bukanlah sebuah dongeng, melainkan sebuah kesepakatan aneh yang menyelamatkan Jay dari jalanan dan memberikan keluarga Tremaine status samar memiliki seorang menantu—meskipun menantu itu dianggap tak lebih dari seorang pengangguran yang menumpang hidup.
"Jay!"
Suara tajam itu memecah keheningan. Lyra Tremaine, ibu mertuanya, berdiri di puncak tangga dengan tangan bersedekap. Daster sutranya yang mahal tampak kontras dengan pandangan menghina yang ia lemparkan ke bawah.
"Sudah hampir jam makan malam dan kau masih berkutat dengan lantai? Apa kau tidak punya pekerjaan lain?" sindirnya. Tentu saja ia tahu Jay tidak punya pekerjaan lain. Itulah inti dari leluconnya setiap hari.
Jay tidak menjawab. Ia hanya berhenti sejenak, menegakkan punggungnya, lalu kembali melanjutkan pekerjaannya dengan ketenangan yang sering kali membuat Lyra semakin jengkel.
"Hari ini ulang tahun pernikahanmu yang ketiga, tahu?" Lyra melanjutkan, menuruni tangga dengan langkah-langkah yang sengaja dihentakkan. "Tiga tahun kau makan dari piring kami, tidur di bawah atap kami. Apa yang sudah kau berikan pada putriku? Selain cucian kotor dan rasa malu."
Jay berhenti mengelap lantai. Ia menatap bayangannya sendiri di ubin yang mengkilap. Seorang pria kurus dengan pakaian pudar dan ekspresi yang sulit dibaca.
"Maafkan aku, Bu," hanya itu yang ia katakan. Suaranya datar, tanpa emosi.
"Maaf tidak bisa membayar tagihan," desis Lyra, kini berdiri hanya beberapa langkah darinya. "Aku benar-benar tidak mengerti apa yang Elara lihat darimu."
Saat itulah Elara pulang. Ia tampak lelah setelah seharian bekerja di perusahaan logistik keluarganya. Wajahnya yang cantik tertekuk melihat interaksi antara ibu dan suaminya. Pemandangan yang terlalu biasa.
"Bu, sudah," kata Elara pelan, meletakkan tas tangannya di atas meja. "Aku lelah."
"Justru karena kau lelah! Kau bekerja keras sementara suamimu ini bermain menjadi pembantu di rumahnya sendiri," balas Lyra sengit sebelum akhirnya melengos pergi ke arah dapur.
Elara menghela napas panjang. Ia berjalan mendekati Jay. Dari sakunya, ia mengeluarkan beberapa lembar uang kertas yang sedikit lecek.
"Ini," bisiknya, menyodorkan uang itu pada Jay. "Untuk malam ini. Belilah sesuatu... sebuah hadiah kecil atau apa pun. Anggap saja dariku."
Jay menatap uang di tangan istrinya, lalu beralih menatap mata Elara yang dipenuhi kelelahan dan sedikit rasa kasihan. Rasa kasihan itulah yang paling menyakitkan. Ia tidak mengambil uang itu.
"Aku sudah menyiapkannya," jawab Jay lembut.
Elara mengangkat alisnya, ragu. "Menyiapkan apa? Jangan bilang kau akan memberiku puisi lagi."
Jay hanya tersenyum tipis, sebuah senyuman langka yang hampir tidak pernah mencapai matanya. "Makan malam saja dulu."
Meja makan malam itu terasa seperti medan perang yang dingin. Lyra terus-menerus melontarkan sindiran terselubung, sementara ayah mertua Jay hanya diam membaca berita di tabletnya, seolah tak peduli. Elara berusaha mencairkan suasana, namun usahanya sia-sia.
Puncak ketegangan terjadi saat Lyra meletakkan mangkuk sup jagung panas di tengah meja.
"Lihat, Elara. Bahkan untuk merayakan hari jadi kalian, aku yang harus memasak sup kesukaanmu," kata Lyra, melirik tajam ke arah Jay. Saat ia menarik tangannya, sikunya "tidak sengaja" menyenggol mangkuk porselen itu.
Waktu seolah melambat.
Mangkuk itu miring, dan sup jagung yang masih mengepul panas itu meluncur deras, siap menumpahi tangan Elara yang berada tepat di jalur tumpahannya.
Elara terkesiap, refleks menarik tangannya namun terlambat.
Lyra tersenyum puas sepersekian detik.
Namun, sebelum tetesan pertama sempat menyentuh taplak meja, sebuah bayangan bergerak.
Gerakan Jay begitu cair, begitu efisien, hingga hampir tidak terlihat. Tangannya yang biasanya hanya memegang kain pel, melesat maju dengan kecepatan yang mustahil. Jari-jarinya tidak mencoba menangkap mangkuk yang jatuh. Sebaliknya, dengan satu sentuhan ringan di dasar mangkuk, ia membatalkan momentum jatuhnya. Dengan gerakan pergelangan tangan yang elegan, ia memutar mangkuk itu kembali ke posisi tegak, lalu mendorongnya dengan lembut hingga berhenti tepat di tengah meja.
Semua terjadi dalam satu detik.
Tidak ada suara dentingan. Tidak ada sup yang tumpah. Bahkan tidak setetes pun. Mangkuk itu kembali ke tempatnya seolah gravitasi hanya sebuah saran yang ia abaikan.
Hening.
Ayah mertuanya menurunkan tabletnya.
Lyra membeku, senyum puas di wajahnya berubah menjadi ekspresi kaget yang konyol.
Elara menatap suaminya dengan mulut sedikit terbuka. Ia melihat gerakan itu. Gerakan yang tidak masuk akal. Cepat, tepat, dan tenang. Itu bukanlah refleks. Itu adalah sesuatu yang lain.
Jay menarik kembali tangannya seolah tidak terjadi apa-apa. Ia mengambil sendoknya dan menatap Elara.
"Hati-hati, masih panas," katanya dengan nada yang sama datarnya seperti biasa.
Tapi di keheningan meja makan malam itu, semua orang tahu. Pria yang mereka anggap sampah selama tiga tahun ini... menyimpan sesuatu di balik penampilannya yang biasa.
Keheningan yang mengikuti insiden mangkuk sup itu terasa lebih berat daripada semua cemoohan yang pernah dilontarkan Lyra. Makan malam ulang tahun pernikahan yang ketiga itu diakhiri tanpa sepatah kata pun. Lyra Tremaine, untuk pertama kalinya, tidak menatap Jay. Ia seolah takut pandangannya akan bertemu dengan sesuatu yang tidak ia pahami. Ayah Elara menyelesaikan makannya dengan cepat dan menghilang di ruang kerja.
Di kamar mereka yang sempit—lebih mirip gudang yang diubah fungsi—Elara duduk di tepi ranjang sambil menatap suaminya yang sedang melipat selimut dengan rapi. Pemandangan yang biasa, namun malam ini terasa berbeda. Pria yang sama yang mencuci piring dan membersihkan toilet tadi pagi adalah pria yang menghentikan waktu di meja makan.
"Jay," panggil Elara pelan, suaranya memecah keheningan di antara mereka.
Jay berbalik. Wajahnya tenang seperti biasa. "Ya?"
"Tadi... di meja makan. Bagaimana kau melakukannya?" tanyanya langsung. Ia tidak bisa lagi berpura-pura tidak terjadi apa-apa.
Jay berhenti sejenak, seolah memikirkan jawaban yang tepat. "Refleks, mungkin," jawabnya singkat.
"Refleks?" Elara menggeleng tak percaya. "Itu bukan refleks, Jay. Aku melihatnya. Tanganmu... mangkuk itu... tidak masuk akal. Kau bahkan tidak terlihat terkejut."
Jay berjalan mendekat dan duduk di kursi kayu tua di hadapan istrinya. Ia menatap Elara dengan tatapan yang jarang ia tunjukkan, sebuah kelembutan yang dalam. "Mungkin aku hanya lebih cepat dari yang kau kira selama ini."
Jawaban itu tidak memuaskan Elara, tetapi ia tahu ia tidak akan mendapatkan lebih. Selama tiga tahun, suaminya adalah sebuah teka-teki yang terbungkus dalam kesederhanaan. Malam ini, ia baru sadar bahwa ia bahkan belum membuka halaman pertama dari teka-teki itu.
"Aku... aku minta maaf soal Ibu," kata Elara, mengubah topik.
"Aku sudah terbiasa," jawab Jay tanpa beban. Lalu, ia merogoh saku celananya yang usang dan mengeluarkan sebuah benda kecil terbungkus kain. "Ini untukmu."
Elara menerimanya dengan ragu. Ia membuka bungkusan kain itu. Di telapak tangannya, tergeletak sebuah sisir kayu sederhana. Namun, sisir itu luar biasa. Dibuat dari kayu berwarna gelap kemerahan, permukaannya halus sempurna seolah dipoles ribuan kali. Setiap geriginya diukir dengan presisi yang mustahil dikerjakan oleh tangan biasa. Aroma wangi yang menenangkan menguar lembut dari sisir itu.
"Ini... indah sekali," bisik Elara, terpukau. "Tapi, Jay, dari mana kau mendapatkan uang untuk ini?"
"Aku tidak membelinya. Aku membuatnya," jawab Jay. "Itu kayu Cendana Merah. Aku menemukannya saat bekerja serabutan di pelabuhan beberapa waktu lalu." Ia menatap rambut Elara. "Kau sering mengeluh sakit kepala setelah bekerja. Leluhurku pernah berkata, menyisir rambut dengan kayu cendana sebelum tidur bisa melancarkan peredaran darah di kepala dan membuat tidur lebih nyenyak."
Elara terdiam. Hadiah itu begitu personal, begitu penuh perhatian. Bukan perhiasan mahal yang biasa dipamerkan teman-temannya, tetapi sesuatu yang jauh lebih berharga. Sesuatu yang menunjukkan bahwa di balik sikap diamnya, Jay selalu memperhatikannya. Tanpa sadar, matanya terasa panas.
Malam itu, setelah Elara tertidur pulas dengan napas teratur—aroma cendana samar-samar tercium di kamar—Jay duduk sendirian di tepi jendela, menatap lampu kota Silverhaven yang berkelip di kejauhan.
Ia mengangkat tangan kirinya. Di jari manisnya, tersemat sebuah cincin yang tidak pernah ia lepas. Cincin itu tampak kusam dan tua, terbuat dari logam hitam yang tidak memantulkan cahaya. Tanpa hiasan, tanpa permata. Cincin yang akan diabaikan oleh siapa pun.
Jay mengusap permukaan cincin itu dengan ibu jarinya. Cincin Valerius.
"Menggunakan kekuatan ini, bahkan untuk hal sekecil itu, selalu berisiko," bisiknya pada dirinya sendiri, pada keheningan malam. Ia tahu insiden tadi akan menimbulkan pertanyaan. Pertanyaan adalah awal dari perhatian, dan perhatian adalah hal terakhir yang ia inginkan. Ia hanya ingin menjalani sisa hidupnya dalam ketenangan, sebuah kemewahan yang telah direnggut darinya sejak ia masih kecil.
Tiba-tiba, keheningan dipecah oleh dering ponsel Elara yang diletakkan di atas meja nakas. Getarannya terasa begitu keras di kamar yang sunyi.
Elara terbangun kaget. Dengan mata setengah terpejam, ia meraih ponselnya. "Halo?"
Jay memperhatikan perubahan di wajah istrinya. Kantuknya langsung sirna, digantikan oleh kepanikan.
"Apa? Di rumah sakit mana? Kami segera ke sana!"
Elara menutup telepon dengan tangan gemetar. Ia menatap Jay dengan mata berkaca-kaca.
"Jay," suaranya bergetar. "Nenek... Nenek pingsan lagi. Kata dokter, kondisinya kritis."
Perjalanan menuju Rumah Sakit Pusat Silverhaven terasa kabur. Elara terus menelepon kerabatnya, suaranya bergetar menahan tangis, sementara Jay mengemudikan mobil tua mereka dengan kecepatan yang stabil namun cekatan, melewati lalu lintas malam dengan fokus yang dingin. Keheningan di pihaknya terasa kontras dengan kepanikan Elara, namun entah mengapa, ketenangannya itu terasa seperti sebuah jangkar di tengah badai emosi istrinya.
Mereka tiba di ruang tunggu ICU yang steril dan mencekam. Lyra dan suaminya, Bastian Tremaine, sudah ada di sana. Wajah Lyra sembap karena air mata dan amarah.
"Ini semua salahmu!" desisnya begitu melihat Jay, menunjuk dengan jari gemetar. "Kalau saja Elara menikah dengan pria yang benar, ia tidak akan stres setiap hari, dan ibuku tidak akan terus-terusan mengkhawatirkan nasib cucunya!"
"Lyra, sudahlah," kata Bastian letih, memijat pangkal hidungnya.
Sebelum Jay sempat merespons, seorang dokter paruh baya keluar dari ruang ICU. Raut wajahnya serius. "Keluarga Nyonya Besar Tremaine?"
Semua orang langsung mengerubunginya. "Bagaimana kondisi ibu saya, Dok?" tanya Lyra cemas.
Dokter itu menghela napas berat. "Kami sudah melakukan yang terbaik. Terjadi penyumbatan arteri koroner akut. Jantungnya sangat lemah. Kami sudah mencoba berbagai tindakan, tapi responsnya minimal. Sejujurnya, saat ini kami hanya bisa berharap pada keajaiban. Sebaiknya keluarga bersiap untuk kemungkinan terburuk."
Vonis itu menghantam mereka seperti palu godam. Elara terisak dan bersandar pada dinding, tubuhnya lemas. Lyra meraung tertahan.
Saat itulah seorang pria muda yang gagah dengan setelan rapi datang terburu-buru. "Paman, Bibi, Elara... aku baru dapat pesan. Apa yang terjadi?"
Itu Kevin Zhang, putra dari mitra bisnis keluarga Tremaine dan seorang dokter muda yang kariernya sedang menanjak di rumah sakit paling bergengsi di ibu kota. Dia adalah pria yang selalu diharapkan Lyra menjadi menantunya.
Kevin dengan cepat mengambil alih situasi, berbicara dengan dokter menggunakan istilah-istilah medis yang rumit. Ia menelaah hasil CT scan di tablet, dan wajahnya pun berubah muram.
"Dokter benar," katanya pada keluarga Tremaine dengan nada prihatin. "Ini kasus yang sangat berat. Tidak banyak yang bisa dilakukan." Ia kemudian menoleh pada Elara, meletakkan tangan di bahunya dengan sikap melindungi. "Elara, aku turut prihatin. Yang bisa kita lakukan sekarang hanyalah berdoa."
Lyra menatap Kevin dengan penuh terima kasih, lalu melirik Jay dengan kebencian murni. Di tengah para profesional medis, suaminya hanya berdiri diam di sudut, tampak tidak berguna seperti biasanya.
"Bisa aku melihat Nenek?"
Pertanyaan itu datang dari Jay. Suaranya pelan, namun terdengar jelas di tengah suasana duka.
Semua mata tertuju padanya. "Untuk apa?" bentak Lyra. "Kau mau mengejeknya di saat terakhirnya? Pergi dari sini!"
"Aku hanya ingin melihatnya sebentar," ulang Jay, tatapannya kini tertuju pada Elara.
Kevin tertawa kecil, tawa yang meremehkan. "Teman, tidak ada yang bisa kau lakukan. Serahkan ini pada ahlinya."
Tapi Elara, dalam keputusasaannya, menatap suaminya. Ia teringat gerakan tangan secepat kilat di meja makan. Ia teringat sisir kayu cendana yang dibuat dengan kelembutan. Entah didorong oleh apa, ia mengangguk pada perawat. "Sebentar saja."
Jay masuk ke dalam ruang ICU yang dipenuhi bunyi mesin. Nyonya Besar Tremaine terbaring pucat di ranjang, kabel dan selang melilit tubuhnya yang rapuh. Jay tidak melihat monitor atau grafik yang berkedip. Ia hanya berdiri di samping ranjang, menatap wajah sang nenek.
Ia mengamati warna kebiruan yang tipis di bawah kuku jarinya, melihat pola napasnya yang dangkal, dan mencium aroma samar yang aneh di udara—aroma yang tidak akan terdeteksi oleh orang biasa. Ia menyentuh cincin logam hitam di jarinya.
Seketika, di benaknya, bukan lagi Jay si menantu pengangguran yang berpikir. Ribuan tahun pengetahuan leluhur Valerius berputar. Teks-teks medis kuno, diagram jalur energi tubuh manusia yang rumit, dan catatan tentang penyakit-penyakit yang terlupakan oleh zaman modern melintas di kepalanya. Ini bukan penyumbatan biasa. Ini adalah kondisi langka yang disebut Pembekuan Energi Dingin—di mana energi vital di titik jantung membeku karena guncangan emosional dan pola makan yang salah selama bertahun-tahun, menyebabkan penyumbatan fisik yang tidak bisa ditembus oleh obat-obatan modern.
Jay keluar dari ruangan dengan ekspresi yang sama tenangnya.
Ia berjalan melewati Kevin dan Lyra, berhenti tepat di depan Elara yang sedang menangis.
"Aku bisa menyembuhkannya," katanya.
Keheningan sesaat, lalu pecah oleh tawa sarkastis Kevin. "Apa kau bilang? Menyembuhkannya? Kau pikir kau ini dewa? Para dokter spesialis terbaik di kota ini sudah menyerah!"
"Kau sudah gila!" jerit Lyra. "Elara, lihat suamimu! Di saat seperti ini dia masih sempat-sempatnya berhalusinasi! Usir dia!"
Jay tidak bergeming. Matanya hanya tertuju pada istrinya. "Aku butuh satu set jarum perak dan beberapa jenis tanaman herbal. Aku bisa menstabilkan jantungnya dalam satu jam."
"Omong kosong!" cibir Kevin. "Akupunktur untuk serangan jantung akut? Kau bisa membunuhnya! Itu malapraktik!"
Semua orang menatap Elara, menunggunya untuk mengusir suaminya yang tidak waras itu. Tekanan di pundaknya terasa begitu berat. Di satu sisi ada logika, sains, dan para dokter. Di sisi lain, ada suaminya yang aneh, yang memberinya hadiah paling perhatian yang pernah ia terima, yang bisa menghentikan mangkuk jatuh tanpa menumpahkan setetes pun isinya.
Ia menatap mata Jay. Tenang. Dalam. Penuh kepastian yang tak tergoyahkan. Itu bukanlah mata seorang pembohong atau orang gila.
Dalam keputusasaan total, sebuah benih kepercayaan yang rapuh mulai tumbuh.
Elara menegakkan punggungnya. Ia menghapus air matanya, dan dengan suara yang lebih kuat dari yang ia duga, ia membuat sebuah keputusan yang mengguncang semua orang di ruangan itu.
"Biar dia coba."
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!