NovelToon NovelToon

Pelakor Mencari Keadilan

Isekai Jadi Vilain

"Aurora, saya mohon, nak! Saya memiliki dua anak yang masih kecil. Mereka masih sangat membutuhkan kasih sayang ayah mereka."

Seorang wanita paruh baya menatap perempuan muda di depannya dengan mata yang basah penuh air mata. Sorotnya bergetar, wajahnya pucat pasi, seolah nyawanya tengah tergantung pada jawaban lawan bicaranya. Tubuhnya bergetar halus, kedua tangannya meremas kain gamis lusuh yang ia kenakan, seakan dengan itu ia bisa menahan rasa sakit di dadanya. Rintihan lirihnya terdengar seperti jeritan dari seseorang yang sudah kehilangan segalanya, namun masih berusaha memohon setitik belas kasih.

Wanita muda itu, Aurora, tidak menunjukkan sedikitpun iba. Bibirnya malah melengkung membentuk senyum licik yang seakan menghina tangisan yang keluar dari mata Siti. Dengan angkuh ia menundukkan wajahnya, memandangi kukunya yang terlapisi cat merah mengilap. Gerakan kecil itu seolah menegaskan bahwa ia jauh lebih peduli pada kilau kukunya daripada air mata seorang istri sah yang tengah putus asa. Perlahan, ia mengangkat kembali wajahnya, menatap Siti dengan sorot sinis penuh kemenangan.

"Bahkan wajahmu tidak secantik kukuku. Bagaimana bisa tuan CEO yang ingin menjabat menjadi menteri keuangan ini menolak kecantikanku jika istrinya sejelek ini? Sadar dirilah, ibu Siti! Jika kau tidak membenahi dirimu dengan kecantikan, jangan salahkan jika suamimu mencari yang lebih cantik darimu."

Kata-kata itu menghantam dada Siti seperti sebilah pisau tajam. Wanita paruh baya itu terhuyung, namun ia tetap memaksakan dirinya berdiri tegak. Dengan langkah goyah, ia bangkit berdiri. Tatapannya menusuk Aurora, bukan dengan amarah, melainkan dengan kesedihan yang begitu dalam, seakan jiwanya sendiri tengah terkoyak.

"Kau tidak mengerti, Aurora! Kau masih sangat muda! Bagaimana bisa seorang anak muda seperti dirimu menghina seorang ibu rumah tangga yang sudah melahirkan dua orang anak untuk suaminya?" suaranya pecah, lirih, namun penuh rasa putus asa. Tangannya refleks memegangi dadanya yang sesak, dadanya naik turun menahan tangis. "Tolonglah mengerti, Aurora! Kecantikan wanita bisa menghilang seiring berjalannya waktu. Kau tidak bisa mengerti karena—"

"Ibuku bisa!" potong Aurora tajam, seperti cambuk yang mencabik harapan tipis Siti. Senyum licik itu masih bertahan, bahkan kini semakin melebar, memperlihatkan betapa yakin dirinya pada perkataan sendiri.

"Ibuku bisa tetap cantik. Karena itu, ayahku yang merupakan pejabat oposisi dengan gaji fantastis di negara ini, tidak akan pernah berpikiran untuk meninggalkan ibuku meski ibuku sudah memiliki seorang anak perempuan yang sudah dewasa seperti diriku."

Aurora merentangkan kedua tangannya, kepalanya sedikit menengadah, seolah dirinya adalah bukti nyata dari kemenangan ibunya. Nada bicaranya penuh kesombongan, dingin, dan kejam.

"Lihat! Aku sudah besar, kan? Bandingkan dengan anak-anakmu yang masih di bawah umur! Jelas sekali usia ibuku jauh lebih tua darimu. Tapi, lihatlah wajah cantiknya!"

Dengan gerakan cepat, Aurora mengeluarkan ponselnya dari tas mewah yang tergantung di bahunya. Layar ponsel itu menyala, menampilkan foto seorang wanita cantik dengan rambut panjang bergelombang, mengenakan gaun merah ketat yang menonjolkan lekuk tubuhnya. Ia mengacungkan ponsel itu ke wajah Siti, seakan ingin menusukkan potret itu tepat ke dalam matanya.

Siti membelalakkan mata. Tubuhnya bergetar hebat. Jemarinya yang gemetar terangkat, menunjuk ke arah Aurora dengan ekspresi campuran antara keterkejutan, luka, dan amarah yang tertahan.

"Ka- kau! Rupanya kau adalah anak dari seorang gundik! Gundik hina dan rendahan yang membuat pak Sahroni Darmawi, tega membuang anak dan istrinya yang sudah menemaninya dari sebelum tidak memiliki apapun hingga akhirnya bisa menjadi seorang pejabat oposisi! Dan sekarang, kau juga mau mengikuti jejak ibumu? Menjadi gundik yang membuat seorang ayah sekaligus suami, membuang anak dan istrinya sendiri yang sudah menemaninya dari nol?"

Aurora mendengus pelan. Bibirnya melengkung ke atas, membentuk senyum miring yang memancarkan rasa puas, namun juga tajam seperti belati yang hendak menorehkan luka lebih dalam lagi. Sorot matanya berkilat kejam, menatap lurus ke dalam mata Siti hingga membuat wanita itu seolah tercekik oleh tatapan itu sendiri.

"Heh!"

Senyumnya semakin menyeringai, memancarkan arogansi yang menusuk.

"Hanya wanita bodoh yang mau menemani pria dari nol!"

---

Sebuah ponsel pintar jatuh menghantam ranjang dengan suara thud keras, disusul tubuh seorang gadis muda yang terjerembab di atas kasurnya dengan wajah tertelungkup. Rambut hitamnya yang kusut menutupi sebagian wajahnya, bahunya naik turun menahan emosi.

"Menyebalkan! Jika bukan karena trend pasar sampah, aku tidak akan pernah mau membuat cerita murahan tentang perselingkuhan!"

Suara geram itu menggema di kamar sempit yang dindingnya sudah mulai mengelupas. Aura, gadis muda itu, berbaring dalam posisi telungkup, kedua kakinya menendang-nendang kasur dengan kesal. Jari telunjuknya bergerak kaku di atas layar ponsel, mengetik dengan gerakan kasar, seolah setiap ketikan adalah pelampiasan rasa muaknya.

"Sebenarnya apa yang dipikirkan orang-orang itu? Kenapa mereka sangat menyukai drama perselingkuhan? Sudah begitu, mereka pasti akan terbagi menjadi dua kubu. Kubu istri dan kubu selingkuhan. Yang salah antara selingkuhan atau istrinya. Padahal yang salah ya suaminya yang sudah memutuskan untuk selingkuh! Dasar orang-orang aneh!"

Aura menekan tombol “Lanjut” di aplikasi menulisnya, dan layar menampilkan notifikasi bab berhasil diunggah. Tangannya terkepal erat, bibirnya tergigit hingga meninggalkan bekas kemerahan. Air matanya hampir pecah, tapi ia menahannya dengan keras kepala.

"Aku, Aura. Seorang anak perempuan pertama dari keluarga miskin yang tidak bisa kuliah karena keluargaku miskin. Aku harus membuat novel sesuai template trend pasar agar bisa mendapatkan pundi-pundi uang. Kenapa nasibku sangat malang seperti ini?"

Tangannya gemetar saat keluar dari aplikasi novel online. Ia beralih ke media sosial, layar ponselnya segera dipenuhi dengan postingan tentang feminisme, kesetaraan gender, dan semangat perempuan yang bebas dari penindasan. Semuanya terasa ironis baginya, bagai cambukan yang mengingatkan betapa jauh dirinya dari kebebasan itu.

"Aku yang maniak gerakan feminists dan kesetaraan gender ini harus membuat novel berjudul 'Penderitaan Seorang Wanita' yang bercerita tentang seorang istri yang suaminya berselingkuh dengan gadis muda. Konsepnya bagaimana?"

Kali ini suaranya meninggi, hampir seperti teriakan. Kata-kata itu langsung mengundang bentakan keras. Pintu kamar terbuka begitu kasar hingga membentur dinding. Seorang wanita paruh baya berdiri di ambang pintu. Ibunya, dengan wajah marah dan tatapan menusuk.

"Jangan berisik, Aura! Adikmu sedang tidur! Besok adik-adikmu sekolah, ibu juga harus mengantar adikmu sekolah dan ayahmu harus bekerja! Kami bukan pengangguran tidak berguna seperti dirimu!"

Pintu ditutup kembali dengan bantingan keras, meninggalkan gaung yang memekakkan telinga. Air mata Aura akhirnya pecah, mengalir deras di pipinya. Ia jatuh terduduk, lalu menyandarkan kepalanya di bantal. Isakannya teredam, tapi air matanya merembes membasahi sarung bantal yang sudah kusam.

"Kenapa aku harus terlahir sebagai kakak pertama perempuan di keluarga miskin? Andai saja aku bisa jadi Aurora, pasti itu akan jauh lebih baik. Aku bisa kuliah jurusan manajemen bisnis. Tapi ya, itu tidak mungkin. Tidak ada isekai atau transmigrasi di dunia ini. Sudahlah."

Matanya terasa berat. Kelopak matanya perlahan tertutup, dan dunia nyata memudar, digantikan oleh kegelapan yang pekat. Nafasnya melambat, tubuhnya pasrah terhanyut dalam mimpi.

Namun, saat kedua matanya kembali terbuka, Aura membelalak kaget. Ia tidak lagi berada di kamarnya yang sempit. Di depannya, terlihat seorang wanita paruh baya dengan ekspresi getir, dan suasana sekitar adalah sebuah restoran mewah yang asing baginya. Lampu gantung kristal berkilau di atas kepala, lantai marmer berkilat, dan bau anggur mahal menyeruak ke hidungnya.

Aura menunduk, dan jantungnya berdetak keras. Kukunya ... bercat merah menyala. Bukan kukunya yang polos dan kusam.

Batin Aura langsung meledak.

'What the fuck, man? Watashi really isekai jadi vilain, tidak tuh?'

Bayangan Takdir Buruk

"Aurora, saya mohon, nak! Saya memiliki dua anak yang masih kecil. Mereka masih sangat membutuhkan kasih sayang ayah mereka," ucap Siti dengan suara parau, matanya basah penuh air mata. Sorotnya bergetar, wajahnya pucat pasi, seolah nyawanya tengah tergantung pada jawaban lawan bicaranya. Tubuhnya yang ringkih bergetar hebat, kedua tangannya meremas ujung kerudung lusuh yang menutupi sebagian wajahnya. Tangisan itu bukan sekadar air mata—tetapi jeritan jiwa seorang istri sah yang merasa perlahan dilucuti haknya.

Aura, yang kini terjebak dalam tubuh Aurora, hanya memutar bola matanya dengan malas. Napasnya berat, mencoba menahan kekesalan yang tiba-tiba menyembul. Batinnya bergaung, 'Adegan ini lagi? Salah satu adegan di bab novel yang sudah aku upload.'

Aurora terdiam. Ia menautkan kedua tangannya di atas meja, jemarinya saling mengunci, dan menundukkan kepala. Tatapan matanya kosong mengarah ke bawah, seakan sedang mempertimbangkan jalan hidupnya sendiri. 'Jika mengikuti alur cerita novel "Penderitaan Seorang Wanita" yang sudah memiliki draft tamat, dan kebetulan aku juga sudah menjadwalkan publish ke platform online, sepertinya memang hanya menunggu kemungkinan untukku mendapatkan ending buruk itu.'

---

Flashback

Plak!

Suara tamparan keras menggema, menghantam ruangan itu dengan dentuman yang memekakkan telinga. Pipi seorang pria paruh baya bernama Suryo berbalik ke samping, kulitnya langsung memerah.

Aurora berdiri di hadapannya, bahunya naik turun menahan amarah yang membara. Mata indahnya yang biasanya dipenuhi pesona, kini berubah menjadi kilatan tajam penuh kebencian. "Bodoh! Kenapa kau tidak memberitahuku bahwa kau tertular penyakit HIV?" bentaknya dengan suara melengking, nyaris merobek keheningan malam. Tangannya yang gemetar melemparkan selembar kertas—hasil medis—hingga melayang dan jatuh tepat di dada Suryo.

Suryo, dengan wajah kalut dan panik, mengulurkan tangan berusaha menenangkan amarah istrinya. "Sayang, tenang dulu! Mungkin itu bukan aku. Siapa tahu kau—"

Plak!

Tamparan kedua mendarat lebih keras. Kepala Suryo terhempas ke samping, rahangnya nyaris bergeser. Aurora menatapnya dengan mata berkaca-kaca, air mata mulai mengalir deras di pipinya yang memerah. "Tidak ada alasan lagi aku percaya pada ucapanmu!" teriaknya dengan frustasi. Suaranya pecah, penuh luka, tapi juga tegas dan menyayat. "Dokter sudah bilang padaku bahwa hanya dengan cara berhubungan intim aku bisa tertular penyakit kelamin itu!"

Aurora menggenggam dadanya, lalu menunjuk dirinya sendiri dengan jari bergetar, ekspresinya campuran antara amarah dan luka batin yang mendalam. "Meski aku seorang anak dari seorang gundik, perebut suami orang lain, tapi aku tidak pernah berhubungan seksual sembarangan karena aku tahu jelas resikonya sebesar ini!"

Kata-kata itu seperti petir yang menyambar, menggetarkan ruangan hingga udara serasa menekan.

Namun, bukannya merasa bersalah, Suryo justru mendengus. Tatapannya dingin, suaranya sarat ejekan ketika ia melipat kedua tangan di dada. "Baiklah, jadi kalau sudah begini, kau mau apa?"

Aurora terdiam sejenak, lalu mengangkat dagunya tinggi-tinggi. Bibirnya melengkung, membentuk senyum penuh percaya diri. Matanya berkilat tajam, sorotnya menusuk, menunjukkan bahwa ia tidak lagi menjadi korban. "Tentu saja aku ingin bercerai denganmu!" jawabnya dengan lantang, tanpa keraguan.

Langkahnya maju, jarinya yang lentik mendorong dada Suryo dengan santai, penuh penghinaan. Senyumnya melebar, dingin, dan angkuh. "Aku punya kekayaan, aku punya kecantikan, dan tentunya aku pandai merebut hati pria manapun. Aku tidak butuh dirimu lagi."

"Oh, pikirkan baik-baik, Aurora!" Suryo berjalan semakin mendekat, langkah kakinya terdengar berat namun penuh kepastian. Tubuhnya sedikit membungkuk saat wajahnya hampir menyentuh telinga Aurora. Suaranya berubah lirih, bagai bisikan iblis yang menyalakan bara di hati wanita itu. "Kau sekarang sudah tertular HIV. Memangnya masih ada pria bodoh yang mau menikah denganmu?"

Mata Aurora langsung membesar. Jantungnya berdegup kencang, seakan ingin meloncat keluar dari dadanya. Kedua tangannya bergetar hebat. Ia mundur perlahan, kursi yang tadi didudukinya bergeser dan menimbulkan suara berdecit menggores telinga. Mulutnya terbuka, tapi suaranya tercekat, hanya udara kosong yang keluar.

"Kenapa diam, Aurora? Bukankah yang aku katakan adalah benar?" Nada Suryo terdengar semakin mengejek, bibirnya menyeringai penuh kemenangan.

Aurora masih terpaku. Mulutnya tetap terbuka, namun tak ada suara yang keluar. Hanya nafasnya yang memburu, membuat dadanya naik turun tak terkendali. Beberapa detik terlewati, seperti jarum jam yang mendadak bergerak begitu lambat. Hingga akhirnya suara lirih penuh getaran berhasil keluar dari tenggorokannya.

"Ka- kau! Kau brengsek! Kau menjebakku!"

Aurora menjerit dengan seluruh amarahnya. Ia mendorong tubuh Suryo dengan sekuat tenaga, membuat pria itu terhuyung lalu jatuh menghantam lantai. Tubuh besar Suryo berdebam keras, namun tawa kecilnya masih terdengar.

Aurora merasakan dadanya semakin panas, emosinya meledak tak terbendung. Pandangannya kabur diliputi merah. Tangan gemetarnya meraih sesuatu di atas meja—sebuah pisau buah berkilau. Dengan terengah-engah ia mengangkatnya tinggi-tinggi, seolah seluruh kebencian dunia terkumpul di genggaman itu.

"Kau sangat menjijikkan! Pergilah kau ke neraka!"

Dengan teriakan lantang, Aurora menghujamkan pisau itu tepat ke perut Suryo. Suara besi menembus daging terdengar jelas, disertai cipratan darah hangat yang langsung membasahi tangannya.

"Aurora..." suara Suryo bergetar. Tubuhnya mengejang, wajahnya pucat pasi. Darah mengalir deras dari perutnya, mewarnai lantai marmer rumah itu. "Kau akan menyesal melakukan ini padaku. Kau akan... masuk penjara."

Suara Suryo semakin lemah, namun teriakan berikutnya terdengar menggema, penuh kepura-puraan. "Pelayan... Penjaga... Siapa saja... Tolong ke sini!"

Panik melanda seisi rumah. Dalam hitungan detik, beberapa penjaga berlari masuk bersama para pelayan yang histeris. Mereka semua terpaku melihat tuan muda mereka terbaring bersimbah darah, sementara Aurora berdiri kaku dengan pisau yang masih berlumur darah di tangannya.

"Semua... Tangkap orang ini!" Suara Suryo bergetar, wajahnya penuh peluh dan darah. Namun telunjuknya masih sanggup terangkat, bergetar menunjuk Aurora. "Dia telah melakukan percobaan pembunuhan! Bawa dia ke pengadilan dan bawa saya ke rumah sakit!"

Para penjaga bergerak cepat. Dua pria bertubuh besar langsung memegang lengan Aurora, menariknya kasar hingga pisau terlepas dari genggamannya. Pisau itu jatuh dengan bunyi nyaring, meninggalkan noda darah di lantai yang licin.

"Tidak! Aku tidak berniat membunuhnya! Ini kecelakaan! Aku tidak mau dipenjara! Lepaskan aku!" teriak Aurora dengan suara parau. Tubuhnya meronta, matanya berlinang air mata, tapi genggaman para penjaga terlalu kuat.

Sementara itu, para pelayan berusaha menahan aliran darah di perut Suryo dengan kain seadanya. Suasana berubah kacau, teriakan bercampur tangis memenuhi ruangan.

Namun di tengah kekacauan itu, senyum licik melintas di wajah pucat Suryo. Meski nyawanya tergantung, bibirnya masih mampu melontarkan racun. "Kau akan masuk penjara, Aurora! Ayahmu yang seorang pejabat oposisi itu tidak akan bisa menolongmu. Uangku jauh lebih banyak. Aku bisa dengan mudah menyogok hakim."

Flashback off

'Ini buruk! Aku tidak mau mati mengenaskan di sel penjara sambil menderita HIV! Aku tidak mau! Tidak mau!' Aurora mengguncang kepalanya keras-keras, mencoba mengusir bayangan buruk itu. Tangannya mencengkeram meja erat, napasnya tersengal.

Siti yang berada di hadapannya tampak panik. "Aurora, ada apa? Apa kepalamu pusing? Kenapa geleng-geleng kepala dari tadi?"

Aurora terperanjat, kembali ke dunia nyata. Ia menatap Siti dengan sorot mata yang dalam, lalu tiba-tiba meraih kedua tangan wanita itu. Genggamannya erat, penuh tekad.

"Ibu Siti! Kau adalah wanita yang sangat baik! Tenang saja! Aku tidak akan mendekati suamimu lagi!"

"Benarkah itu?" Mata Siti berbinar, penuh harapan.

"Benar! Karena itu..." Aurora menarik tangan Siti, menyeretnya bangkit dari kursi. "Ayo kita cari pengacara! Kita ajukan cerai dari suamimu! Wanita baik hati seperti dirimu tidak pantas mempertahankan rumah tangga dengan pria patriarki misoginis otak selangkangan itu!"

Konferensi Meja Bundar di Kepala

"Tu- tunggu!" Siti menahan genggaman tangan Aurora yang berusaha menariknya pergi. Perempuan itu segera melepaskan tangannya dengan gerakan hati-hati, meski jelas terlihat ketegangan pada wajahnya. Suaranya pecah, tapi penuh keteguhan.

"Kenapa sekarang kau malah menyuruh saya bercerai dengan suami saya? Sudah saya katakan bahwa saya punya dua anak yang masih kecil. Mereka masih butuh sosok seorang ayah. Kenapa kau belum mengerti juga, Aurora?"

Aurora terdiam. Tubuhnya tetap tegak, ekspresi wajahnya datar tanpa riak—tenang di luar, namun otaknya berdenyut seperti mau pecah. Suara-suara beradu, saling tumpang tindih, memenuhi pikirannya tanpa ampun.

---

Di dalam otak Aurora, sebuah ruang rapat raksasa terbentuk. Kursi-kursi panjang berjejer, dan di tiap kursi duduk sosok Aurora yang sama persis, hanya berbeda ekspresi. Lampu menggantung redup, bayangan panjang jatuh ke dinding, menambah suasana mencekam.

"Baiklah, kita buka diskusi kita pada detik ini!" seru Aurora yang bertindak sebagai moderator, menepuk meja panjang dengan keras hingga gema terdengar. "Situasi jelas: Siti di timeline ini adalah istri sah. Dia menuntut penjelasan. Pertanyaan inti. Jika kita melihat dari sudut pandang Siti, masuk akalkah seorang pelakor tiba-tiba menarik tangan kita dan menyuruh kita bercerai dari suaminya sendiri?"

Bisik-bisik riuh langsung pecah. Wajah-wajah Aurora di sekeliling meja saling melirik dengan tatapan tajam.

"Tidak! Ini jelas tidak masuk akal!"

"Kalau aku jadi Siti, aku akan curiga. Aku justru merasa Aurora ingin merebut suamiku dengan cara paling mudah."

"Aku juga setuju, situasi ini penuh risiko!"

Salah satu Aurora menyilangkan tangan, bibirnya melengkung sinis. "Lagi pula, orang gila mana yang langsung menyeret Siti ke pengadilan? Siti bahkan belum tahu apa-apa soal timeline ini! Apa kita benar-benar author maha tahu, hah?"

Suasana rapat makin panas. Ada yang menghentak meja, ada yang menggeleng frustasi, ada yang tertawa getir seakan menyadari betapa konyol situasi ini.

"Ayolah! Kita tahu diri kita ini ceroboh. Itu bawaan lahir!" teriak salah satu Aurora dengan nada kesal.

"Justru karena ceroboh, otak rapat ini ada! Kita bisa menyelamatkan diri dengan strategi cepat," balas Aurora lain, nada suaranya penuh keyakinan meski matanya merah karena panik.

Moderator mengangkat kedua tangannya lalu bertepuk keras. Dentumannya memantul ke dinding, memaksa semua Aurora terdiam. "Semuanya, fokus! Kita tak punya banyak waktu. Jika kita terus berdiri terpaku di luar restoran, orang-orang akan melihat kita bengong, lalu menganggap kita gila. Kalian tahu ujungnya apa? Rumah sakit jiwa! Jadi sekarang, tulis ide kalian secepat mungkin! Ingat, siapa cepat, itu yang akan kita jalankan!’

Detik itu juga, semua Aurora menunduk. Pena berderit di atas kertas, menulis dengan terburu-buru, hampir seperti lomba untuk menyelamatkan hidup. Nafas mereka memburu, ruangan penuh suara gesekan tinta dan detak jam yang terdengar makin keras, seakan menghitung waktu menuju bencana.

Hingga akhirnya, seorang Aurora bangkit dengan wajah berkeringat. Ia mengangkat tinggi-tinggi selembar kertas penuh coretan kacau, huruf-hurufnya berantakan. Tapi semua Aurora bisa membaca jelas isinya.

"Bawa Siti kembali masuk ke restoran! Setelah itu, pikirkan dengan cepat alasan masuk akal kenapa kita menyuruhnya bercerai dengan suaminya!"

---

Setelah menerima hasil rapat singkat dari otaknya sendiri, Aurora akhirnya menarik kembali Siti masuk ke dalam restoran. Gerakannya sedikit kaku, seolah dipaksa oleh sesuatu yang tak terlihat, namun cukup kuat untuk membuat Siti menuruti langkahnya. Mereka berdua kembali duduk di kursi yang sebelumnya telah mereka tempati.

Aurora tersenyum canggung, meski keringat dingin mulai menetes di pelipisnya. "Ayo, ibu Siti. Silahkan duduk dulu, nanti saya jelaskan!"

Siti menghela napas panjang. Sorot matanya masih penuh kebingungan, namun akhirnya ia menuruti ajakan itu. Ia duduk kembali di kursinya, sementara Aurora duduk di seberangnya. Udara di antara mereka serasa membeku; ketegangan merambat pelan seperti kabut yang menutup pandangan.

Aurora terdiam sejenak, menunggu otaknya bekerja mencari alasan yang tepat. Ekspresinya terlihat datar, tapi matanya terus berkedip, seolah berusaha menahan sesuatu yang bergolak dari dalam. Setelah beberapa detik, akhirnya ia tersenyum ramah, meski jelas-jelas senyum itu dipaksakan. "Baiklah, ibu Siti. Sebelumnya, saya minta maaf yang sebesar-besarnya karena sudah menganggu rumah tangga ibu Siti dengan pak Suryo."

Aurora berdiri perlahan, lalu menunduk sembilan puluh derajat ke arah Siti, tubuhnya kaku namun sikapnya penuh kesungguhan. "Saya tahu kesalahan saya sangat tidak bisa dimaafkan. Tapi saya berjanji akan—"

"Aurora! Tidak perlu sampai seperti itu!" Siti buru-buru bangkit, wajahnya panik, lalu meraih punggung Aurora agar kembali tegak. Sentuhan itu penuh ketulusan, seakan ia tengah menenangkan seorang anak kecil yang kehilangan arah. "Saya sudah memaafkanmu sejak lama. Duduklah lagi! Tidak perlu sampai seperti itu!"

Aurora mengikuti arahan itu dengan pasrah. Ia kembali duduk, menunduk, lalu memasang ekspresi sedih. Tatapan matanya berkaca-kaca, membuat wajahnya seolah-olah benar-benar diliputi penyesalan. "Ibu Siti... Terima kasih banyak. Padahal saya adalah pelakor hina yang tidak bisa dimaafkan. Tapi ibu Siti dengan mudah—"

Siti sigap meraih tisu dari meja, lalu menghapus air mata Aurora dengan kelembutan seorang ibu. "Sudahlah, Aurora! Yang penting sekarang kau sudah menyesal. Jangan melakukan hal seperti itu lagi, oke?" ucapnya dengan suara lembut, penuh kehangatan.

Aurora mengangguk pelan, meski dalam hati ia tahu betul air matanya hanyalah bagian dari akting yang sudah terlatih. Jiwa Aura yang terbiasa menulis novel membuatnya hafal setiap detail gestur karakter, dan tubuh Aurora yang kini ia kuasai, sangat cocok digunakan untuk berakting mencari simpati.

"Tunggu sebentar! Saya akan pesankan minuman dulu agar kau bisa tenang!" Siti bergegas pergi ke arah kasir, langkahnya cepat namun tetap anggun, seakan benar-benar cemas pada kondisi Aurora.

Begitu sosok Siti menjauh, ekspresi Aurora berubah drastis. Senyum sedih yang semula terpampang lenyap begitu saja, berganti tatapan datar yang dingin. Bola matanya menyipit, menilai setiap detail tingkah laku Siti, seolah sedang menimbang-nimbang sesuatu yang berbahaya.

---

Di ruang rapat imajiner dalam otaknya, salah satu Aurora menghentakkan telapak tangan ke meja hingga suara gedebuk menggema. "Siti itu terlalu baik! Bagaimana bisa wanita sebaik ini harus menikah dengan pria toxic masculinity, patriarki, misoginis, gila selangkangan, jelek, tidak punya empati. Satu-satunya kelebihan dia hanya satu: uang!"

Aurora lain, yang duduk santai sambil menyeruput boba milk tea, mengangkat bahu. "Tentu saja karena trope istri baik yang disakiti suami brengsek adalah trope paling laku di novel online. Terimalah kenyataan itu!"

Moderator menepuk tangan keras-keras, membuat semua Aurora yang ada di ruangan itu menoleh. Wajahnya serius, suaranya penuh tekanan. "Fokus! Saat Siti kembali, apa yang harus kita katakan padanya? Kita tidak bisa mengulur waktu lagi! Kita harus mengatakan alasan kenapa kita menyuruhnya menceraikan suaminya!"

---

Tak lama kemudian, Siti kembali. Di tangannya, ia membawa dua gelas minuman: Jus alpukat dan matcha latte. Ia meletakkannya di meja dengan hati-hati, lalu menggeser salah satunya ke arah Aurora.

"Ayo, Aurora! Silahkan dinikmati!" Siti tersenyum hangat sambil mengulurkan segelas matcha latte ke arah Aurora.

Aurora kembali memasang wajah memelas. Ia menerima minuman itu dengan kedua tangan, seolah benar-benar tersentuh oleh perhatian Siti. "Terima kasih banyak, ibu Siti." Ia mengambil sedotan, menyesap sedikit matcha latte, lalu menghela napas panjang, seolah minuman itu sedikit menenangkan hatinya.

Namun beberapa detik kemudian, perubahan kembali terjadi. Sorot matanya mengeras, penuh ketegangan. Senyum tipisnya lenyap, berganti tatapan tajam yang menusuk.

Aurora mencondongkan tubuhnya sedikit ke depan, suaranya terdengar pelan tapi sarat dengan tekanan. "Baiklah, ibu Siti. Sekarang juga, saya akan katakan kenapa saya menyarankan untuk menceraikan suami anda. Itu karena..."

Aurora berhenti sejenak, membiarkan hening mencekam merayap di antara mereka. Udara seolah berhenti bergerak, membuat suara detak jantung terasa begitu keras di telinga.

"...Suami anda tertular penyakit HIV."

Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!

Download Novel PDF
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!