NovelToon NovelToon

Baby Twins Milik Ceo

BAB 1

Kamar rumah sakit tampak sunyi, hanya terdengar suara mesin yang menghiasi ruangan. Di dalamnya terlihat dua orang laki-laki yang sedang berdebat, seorang kakek yang terbaring lemah di ranjang dan seorang pemuda tampan yang duduk di sampingnya. Kakek itu adalah kakek Lu, yang kini sedang sakit. Ia merasa waktu hidupnya semakin singkat dan ingin melihat cucunya, Angkasa segera menikah.

"Segeralah menikah, Angkasa. Kakek ini sudah tua, sudah sering sakit-sakitan. Kakek juga ingin punya cicit seperti teman kakek yang lain," ucap Kakek Lu dengan suara serak dan napas tersengal-sengal.

Angkasa menatap Kakek Lu dengan ekspresi datar, "Kakek aja yang menikah, aku tidak tertarik dengan pernikahan," jawab Angkasa cuek sambil mengalihkan pandangannya ke luar jendela.

Kakek Lu terlihat geram dan mata bulatnya membesar, "Apa kau gila! Kakek ini sudah tua, seharusnya kau yang menikah dan memberi Kakek cicit!" bentaknya dengan suara keras namun lemah.

Angkasa menatap Kakek Lu dengan sinis, "Kakek terlalu memaksakan kehendak. Aku belum siap dan belum menemukan orang yang tepat untuk dijadikan istri," ujar Angkasa dengan nada kesal.

Kakek Lu menghela napas, "Kakek melakukan ini demi kebaikan mu Angkasa, mau sampai kapan kamu sendiri terus?" tanya kakek Lu.

"Kalau dalam dalam waktu satu tahun kamu tidak menikah, Kakek akan mencoret namamu dari daftar ahli waris. Kau tidak akan mendapatkan apa-apa dari harta Kakek. Kakek akan menyerahkan seluruh harta kakek kepada Levi. Kebetulan dia sebentar lagi akan menikah dengan kekasihnya" ancam Kakek Lu dengan tegas.

Wajah Angkasa berubah dingin, ia terlihat terkejut dan sedikit takut akan ancaman Kakek Lu. Namun, dengan cepat ia menyembunyikan rasa itu.

"Baiklah, Kakek. Tapi, jangan pernah salahkan aku jika pernikahan yang aku lakukan nanti tidak sesuai dengan keinginan kakek," ujar Angkasa dengan nada menggertak, sambil beranjak keluar dari kamar rawat kakeknya.

Kakek Lu menatap punggung cucunya yang menjauh, hatinya berkecamuk antara kekhawatiran dan harapan. Ia hanya ingin cucunya bahagia, namun sepertinya cara yang ia pilih untuk mewujudkan keinginannya justru membawa dampak buruk bagi hubungan mereka.

Angkasa Lu merupakan CEO di perusahaan Lu corp. Bayang-bayang masa lalu masih menghantuinya, terutama penghianatan sang ibu yang membuatnya membenci wanita. Angkasa selalu menganggap wanita hanya mengincar kekayaan dan tak pernah bisa setia.

Suatu hari, Angkasa tengah melamun di ruang kerjanya yang mewah, terbayang wajah ayahnya yang pernah meneteskan air mata saat perusahaan mereka bangkrut.

Angkasa teringat bagaimana sang ibu menggelapkan uang perusahaan, lalu pergi bersama laki-laki lain tanpa rasa bersalah.

Akibat penghianatan itu, ayahnya mengalami  serangan jantung dan akhirnya menghembuskan nafas terakhirnya. Sejak saat itu, Angkasa dibesarkan oleh kakeknya yang bijaksana dan tegas.

Kakeknya berusaha meluluhkan hati Angkasa yang keras terhadap wanita, namun rasa sakit yang terlanjur menghujam membuatnya tak bisa melupakan penghianatan ibunya.

Suatu malam, Angkasa duduk di tepi jendela, memandangi langit yang berbintang. Rasa duka dan kepedihan masih menyelimuti hatinya.

Dalam kesendirian itu, Angkasa berbisik pada dirinya sendiri, "Sampai kapanpun aku tidak akan percaya dengan yang namanya perempuan, mereka sama sama saja seperti wanita tua itu. Sama-sama mata duitan."

Seketika, angin malam yang sejuk menyapu wajahnya, seolah mengingatkannya pada pelukan ayahnya yang hangat. Kehilangan ayah yang begitu dicintai karena pengkhianatan ibu membuat Angaksa bersumpah, bahwa ia tak akan membiarkan wanita lain merusak hidupnya dan mengulangi kisah yang sama.

*****

Angkasa memutuskan untuk mengambil udara segar, dengan berjalan menuju taman yang ada di depan rumah sakit. Victor, asistennya yang setia, mengikuti langkah pria itu dari belakang.

Taman itu cukup sepi, dan angin sepoi-sepoi yang bertiup membuat suasana semakin hening. Angkasa duduk di bangku taman, menundukkan kepalanya dan menghela napas panjang.

Pikiran-pikirannya kacau, tentang masa depan dirinya yang akan di depak dari perusahaan Lu, yang selama ini sudah ia kelola. "Aku tidak akan membiarkan perusahaan Lu jatuh ketangan Levi" ucap Angkasa frustasi sambil mengacak rambut kepalanya.

Keningnya berkerut, dan rasa cemas terpancar jelas dari wajahnya. Victor yang melihat keadaan bosnya, mencoba mendudukkan tubuhnya di sampingnya memberikan dukungan.

"Tuan, jangan terlalu khawatir. Kita pasti bisa menemukan jalan keluar," ujar Victor dengan penuh keyakinan.

Namun, Angkasa tampak masih tidak bisa menerima kenyataan. "Tapi, kau tahu kan, bagaimana sifat Levi? Dia lebih memilih bersenang-senang dengan kekasihnya daripada membantu di perusahaan. Aku tidak rela perusahaan Lu yang telah ku bangun selama ini, jatuh ke tangan orang seperti dia."

Mendengar ucapan Angkasa, Victor mengangguk paham dan merasa empati. "Memang benar, tuan. Tapi, kita harus tetap berusaha dan mencari cara untuk mengatasi masalah ini. Saya yakin pasti ada jalan keluarnya" ucap Victor.

Angkasa menganggukkan kepalanya pelan, matanya menatap hamparan rumput hijau di taman yang semilir angin. Suasana mendadak hening, seolah dunia menahan napas menunggu keputusan yang akan diambil oleh Angkasa dan Victor. Mereka sama-sama terdiam, sibuk memikirkan cara terbaik untuk mempertahankan perusahaan Lu.

"Saya punya ide, Tuan," ucap Victor tiba-tiba, memecah kebekuan di antara mereka.

Suaranya bersemangat, membuat Angkasa menoleh dan menatap asistennya dengan tatapan tajam. "Apa?" tanya Angkasa dengan nada datar, masih mencoba menenangkan diri dari keputusasaan yang melanda hatinya.

"Bagaimana kalau Anda melakukan kawin kontrak saja, Tuan? Setelah aset Tuan Lu jatuh ke tangan Anda, Anda bisa mengakhiri pernikahan itu sesuai kesepakatan," terang Victor dengan penuh semangat, seolah menemukan jalan keluar dari labirin yang rumit.

Angkasa mengernyitkan dahi, mencerna usulan Victor dengan seksama. Pikirannya berputar cepat, mencari celah dan kemungkinan yang bisa muncul dari rencana tersebut. Di satu sisi, ide itu terdengar menggiurkan, namun di sisi lain, ada resiko yang harus dihadapi.

"Memangnya ada wanita yang mau di ajak nikah kontrak?" tanya Angkasa, tidak yakin. Semua wanita pasti merasa terhina dengan penawaran itu.

Victor tersenyum tipis, seolah sudah menyiapkan jawaban untuk pertanyaan itu. "Ada tuan, kita cari perempuan yang sedang kesusahan. Kita tawarkan mereka dengan sejumlah uang" ucap Victor.

Angkasa menghela napas panjang, menimbang-nimbang keputusan yang harus diambil. Dia tahu bahwa rencana ini akan membawa dampak besar bagi hidupnya dan orang lain.

Namun, demi mempertahankan perusahaan Lu yang merupakan warisan keluarganya, dia harus berani mengambil langkah berani dan tidak konvensional.

"Dimana kita bisa mendapatkan wanita seperti itu" tanya Angkasa.

"Saya juga tidak tahu tuan, nanti saya tanyakan kepada teman-teman saya. Siapa tahu ada seorang perempuan yang sedang membutuhkan bantuan kita" ucap Victor.

"Kau atur saja, pokoknya aku cuma mau terima beres" ucap Angkasa yang tidak mau pusing dengan rencana asistennya itu.

"Baik tuan, secepatkan saya akan memberitahu anda" ucap Victor tegas.

BAB 2

Tiga hari berlalu sejak Tuan Besar Lu diperbolehkan pulang dari rumah sakit. Suasana di rumah besar keluarga Lu terasa hangat dan ramai dengan kehadiran seluruh anggota keluarga yang berkumpul. Mereka duduk bersama di meja makan yang panjang, tertawa dan bercengkerama dengan ceria sambil menikmati hidangan makan malam yang lezat.

Suara tawa dan cerita kocak dari berbagai topik mengisi ruangan, membuat suasana semakin akrab. Namun, di antara keramaian itu, terdapat satu kursi yang kosong. Angkasa, terlihat tidak hadir di antara anggota keluarga yang lain. Kehadirannya yang biasanya menjadi penyeimbang suasana kini terasa menghilang.

Usai makan malam mereka semua berkumpul di ruang keluarga, Melinda ibu Levi tampak gelisah sambil menatap jam dinding yang sudah menunjukkan pukul sembilan malam.

Keningnya berkerut, "Angkasa kemana? Kenapa belum pulang juga?" tanyanya pada Levi yang duduk di sampingnya.

Levi menghela napas panjang dan menggelengkan kepalanya, "Ibu seperti tidak tahu dia saja, sudah pasti dia sedang di kantor," sahutnya sambil menggigit roti yang baru saja diambilnya dari piring yang berada di atas meja.

"Ibu khawatir dia sakit, Levi. Sepupumu itu terlalu gila kerja," ucap Melinda dengan suara serak, menahan air mata yang hendak jatuh.

Mendengar perkataan ibunya itu, Levi merasa kesal dan mencebikkan bibirnya. Dia merasa ibunya itu lebih menyayangi sepupunya daripada dia yang anak kandungnya sendiri.

"Sebenarnya anak ibu itu Angkasa atau aku sih? Ibu sering kali mengkhawatirkan Angkasa, tapi tidak pernah mengkahwatirkan ku" protes Levi.

"Ck, untuk apa mengkhawatirkan anak sepertimu, tiap hari kerjaannya keluyuran tidak mau bekerja. Ingat Levi, kamu ini sebentar lagi mau menikah, mau di kasih makan apa anak istrimu itu nantinya" kesal Melinda.

"Nasi lah, mana mungkin aku kasih batu" sahut Levi.

"Sudah-sudah jangan bertengkar lagi" sela Kakek Lu sebelum putrinya itu kembali membuka suara.

Kakek Lu beralih menatap kearah Levi, "Kapan kamu akan dewasa Levi? Sudah waktunya kamu terjun ke perusahaan, karena sebentar lagi....."

"Sebentar lagi aku akan menikah, jadi tidak ada alasan lagi kakek memberikan perusahaan Lu kepada Levi," seru Angkasa memotong ucapan kakek Lu, ia menatap tajam ke arah kakek Lu yang duduk di kursi empuk.

Keluarga Lu yang lain saling pandang, kaget mendengar pengakuan tiba-tiba Angkasa. Levi, yang merupakan saingan Angaksa dalam ahli waris, tampak biasa saja, sebab pria itu sama sekali tidak tertarik dengan perusahaan Lu.

"Memangnya siapa yang ingin kamu nikahi?" tanya Kakek Lu, tersenyum sinis melihat cucunya.

Angkasa menoleh ke belakang, memberi isyarat pada wanita yang dia bawa untuk maju. Wanita itu, dengan gaun merah yang menawan, mendekat dan memberikan senyuman tipis pada keluarga Lu.

"Perkenalkan dirimu kepada mereka," perintah Angkasa dengan nada tegas.

Wanita itu menarik napas dalam, kemudian membungkukkan badannya sedikit. "Nama saya Hana, saya calon istri Angaksa," ucap wanita itu dengan suara yang lembut namun penuh keyakinan.

Keluarga Lu terdiam, terkejut dengan pengakuan wanita itu. Sementara itu, Angkasa menatap kakek Lu dengan tatapan menantang, seolah berkata bahwa ia telah siap untuk menerima tanggung jawab besar yang akan diwariskan kepadanya.

"Kamu yakin dia calon istrimu? Kau tidak sedang menculik istri orang kan, Angkasa" ucap Kakek Lu memastikan.

Membuat Angkasa berdecak kesal mendengar tuduhan kakeknya itu, kakeknya sama saja menuduh dirinya sebagai pebinor.

"Mana mungkin aku menculik istri orang, yang ada aku di gebukin warga" kesal Angkasa.

Kakek Lu menggaruk kepalanya yang tak gatal. "Siapa tahu, kau tidak memiliki kekasih tapi tiba-tiba ingin menikah" ucap kakek Lu membela diri.

Dalam hati kakek Lu merasa penasaran dengan sosok Hana, darimana putranya itu mendapatkan wanita itu? Karena setahu dia sang cucu tidak memiliki teman perempuan kecuali rekan kerjanya dan juga saudara sepupunya.

*Flashback on*

Victor baru saja keluar dari pertemuan penting dan sedang dalam perjalanan menuju kantor perusahaannya, Lu Corp. Tiba-tiba, ia melihat seorang wanita cantik berambut panjang, duduk di trotoar dengan wajah sembab karena menangis.

wanita itu tampak seperti kehilangan arah dan harapan dalam hidupnya. Victor, yang memiliki hati yang lembut, tidak tega melihat gadis tersebut menangis dan memutuskan untuk menghentikan mobilnya. Ia turun dari mobil dan berjalan perlahan mendekati gadis tersebut.

"Hai, nona. Kenapa kamu menangis?" tanya Victor dengan nada suara yang lembut dan penuh kepedulian.

Hana Latifa, gadis yang sedang menangis itu, terkejut saat mendengar suara Victor. Dengan perlahan ia mengangkat kepalanya, dan menatap ke arah Victor yang sedang berdiri di hadapannya.

Matanya yang sembab dan pipinya yang basah oleh air mata membuat hati Victor semakin teriris. Namun, pertanyaan yang dia lontarkan seolah-olah memicu air mata wanita itu untuk kembali mengalir deras. Tangisannya terdengar sangat memilukan, membuat Victor merasa sangat kasihan dan ingin segera mengetahui apa yang terjadi pada gadis malang tersebut.

Victor duduk di samping Hana dan mengelus punggungnya, mencoba memberikan dukungan dan ketenangan bagi wanita itu.

"Apa yang sedang terjadi? Kenapa kamu menangis" tanya Victor dengan sabar.

Hana tidak menjawabnya, namun dia memperlihatkan bukti tagihan rumah sakit atas nama Zaka.

"Siapa Zaka? Dia adikmu?" tanya Victor lagi.

Hana mengangguk pelan, "Iya, dia sedang di rawat di rumah sakit karena kecelakaan. Dia harus di operasi, tapi saya tidak memiliki uang untuk membayarnya, hikss....." terang Hana sambil terisak.

Victor melihat kertas yang berisi rincian tagihan tersebut, valuenya cukup besar untuk kalangan kaum menengah kebawah.

"Aku akan membantumu, tapi dengan satu syarat," ucap Victor sambil tersenyum penuh maksud.

Seketika tangisan Hana terhenti. Matanya berbinar seakan menemukan harapan di tengah keputusasaan. "Benarkah? Apa syaratnya?" tanya Hana dengan suara bergetar.

Victor mengangkat bahu, masih tersenyum. "Nanti kamu akan tahu. Sekarang kamu harus ikut saya untuk menemui seseorang."

Hana mengerutkan keningnya, merasa tidak yakin dengan ucapan Victor. Dia menatap wajah pria itu dengan penuh kecurigaan, mencoba membaca maksud tersembunyi di balik senyumnya.

"Siapa? Anda bukan penjahat yang suka jual beli organ tubuh kan?" tanya Hana dengan ragu, memegang erat tas selempangnya.

Victor tertawa kecil, mengangkat tangannya dalam gestur menenangkan. "Tentu saja bukan. Tenang saja, orang yang akan kita temui ini bisa membantu kamu. Tapi ingat, ada syarat yang harus kamu penuhi."

Hana menelan ludah, bimbang. Namun, dia tahu bahwa dia membutuhkan pertolongan. Dalam keadaan seperti ini, dia tidak bisa begitu saja menolak tawaran Victor.

Dengan berat hati, Hana mengangguk dan mengikuti langkah laki-laki itu, berharap bahwa keputusannya kali ini tidak akan menjerumuskannya ke dalam masalah yang lebih besar.

Setelah mendapat persetujuan dari Hana, Victor pun menggiring wanita itu masuk kedalam mobil. Setelah Hana masuk, perlahan Victor melajukan mobilnya menuju ke perusahaan Lu Corp. Setibanya di perusahaan Lu, Victor langsung membawa Hana menuju ke ruangan Angkasa.

Tok

Tok

Tok

"Masuk" teriak seseorang dari dalam ruangan.

Ceklek.......

Perlahan Victor membuka pintu ruangan tersebut, terlihat Angkasa sedang duduk di kursi kebesarannya sambil menatap layar laptop di hadapannya.

"Tuan, saya sudah menemukan wanita itu" ucap Victor memberitahu Angkasa.

Angkasa menghentikan pekerjaannya sejenak, "Siapa?" tanya pria itu.

Victor menggeser tubuhnya, dan terlihatlah Hana yang sejak tadi berdiri di belakang tubuhnya.

Angkasa menatap Hana intens, mengamati tubuh wanita itu dari ujung kepala hingga ujung kaki. Hana terlihat kurus dan tidak terlalu tinggi. Rambutnya tampak kusam dan berantakan, seolah tidak pernah terurus. Pakaian yang dikenakannya juga tampak lusuh dan kotor.

Angkasa tersenyum sinis, "Siapa nama mu?" tanya Angkasa.

"Nama saya Hana, tuan" Jawab Hana sambil menundukkan kepalanya, tak berani menatap mata Angkasa. Dia merasakan tubuhnya gemetar lebih hebat dan suara tangisannya hampir pecah.

"Kamu tahu tujuanmu dibawa kesini?" tanya Angaksa dengan nada datar. Hana menggelengkan kepalanya, tidak tahu.

Sebelumnya, Victor hanya mengajaknya bertemu dengan seseorang tanpa memberitahu alasan yang jelas. "Saya tidak tahu, Tuan," jawab Hana lirih, merasa tidak berdaya di hadapan pria yang jelas memiliki kekuasaan.

Angkasa menghela nafas panjang, lalu beralih menatap asistennya. "Jelaskan, Vic," perintah Angkasa dengan tegas.

Victor mengangguk, lalu mulai menjelaskan tawaran yang sebenarnya. "Nona Hana, Tuan Angkasa memiliki penawaran untuk kamu. Sebuah pernikahan kontrak, di mana kamu akan menjadi istrinya selama satu tahun."

Hana terkejut mendengar penjelasan tersebut. Tawaran pernikahan kontrak dengan pria yang baru saja ia temui terasa sangat tidak masuk akal dan membuatnya semakin bingung. Namun, di balik kebingungannya itu, ada perasaan penasaran yang mulai muncul di hatinya.

"Kami akan membayarmu sebanyak satu milliar. Setengah akan di bayar di muka, dan setengahnya lagi akan di bayar setelah kontrak selesai" terang Victor.

"Kamu juga tidak perlu khawatir, selama kamu menjadi istri tuan Angkasa kamu akan mendapatkan uang setiap bulannya untuk kebutuhan mu" ujarnya.

Hana terdiam, dia mencoba menimbang penawaran tersebut. Janji yang di tawarkan Victor cukup menggiurkan, apalagi sekarang dia sedang membutuhkan uang untuk pengobatan sang adik.

"Tidak ada kontak fisik antara kamu dan tuan Angkasa, kalau pun ada nanti tuan Angaksa akan membayarnya sebagai kompensasi" jelas Victor terus mencoba meyakinkan Hana.

"Saya mau tuan" putus Hana setelah melakukan banyak pertimbangan.

Victor tersenyum, mendengar jawaban Hana, namun tidak dengan Angkasa. Pria itu justru memalingkan wajahnya kearah lain.

"Ini cek untukmu" ucap Victor sambil memberikan selembar cek kepada Hana.

Tangan Hana bergetar hebat menerima cek tersebut, ia tidak menyangka akan mendapatkan uang sebanyak ini.

"Berikan alamatmu, nanti malam kami akan menjemput mu untuk datang kerumah tua keluarga Lu" ucap Victor.

Hana mengangguk, lantas memberikan alamat rumah sakit tempat adiknya di rawat. Gadis itu tidak memberikan alamat rumahnya, karena selama adiknya masih dalam perawatan dia akan terus berada di rumah sakit. Paling sesekali pulang kerumah untuk mengambil keperluan dia dan adiknya.

BAB 3

Pagi itu, suasana pernikahan Angkasa dan Hana terlihat sederhana. Hanya ada beberapa kerabat dekat yang hadir, sementara dari pihak Hana tidak ada satupun keluarga yang datang. Kedua orang tua Hana sudah lama meninggal, dan sang adik satu-satunya keluarga yang tersisa, sedang dirawat di rumah sakit setelah menjalani operasi pendarahan otak.

Hana berdiri di samping Angkaaa dengan gaun pengantin sederhana, menatap nanar ke arah luar jendela. Hatinya bimbang dan berat, namun demi kesembuhan adiknya, ia rela mengorbankan masa depannya bersama Angkasa.

Sementara itu, Angkasa merasakan keheningan dan kesedihan yang menyelimuti upacara pernikahan mereka. Ia menatap menatap datar orang-orang yang hadir di acara pernikahannya, baginya pernikahannya dengan Hana hanya sebatas formalitas saja.

Akad nikah pun selesai dengan lancar, tanpa ada kesalahan kata atau suara tangis bahagia dari keduanya.

Setelah upacara pernikahan selesai, Angkasa mengajak Hana masuk kedalam kamarnya. Dia tidak perduli dengan keluarganya yang masih berkumpul di rumahnya.

Hana duduk di tepi ranjang dengan penuh kegugupan, menundukkan kepalanya sambil memilin bajunya. Hatinya berdebar kencang, menanti apa yang akan terjadi selanjutnya.

Angkasa berjalan menuju ruang ganti dan mengambil sebuah map berwarna merah. Setelah itu, ia kembali ke ruangan dan menyerahkan map tersebut kepada Hana.

Tatapan matanya tajam, namun ada sedikit kelembutan di baliknya. "Tanda tangani surat ini," perintah Angkasa dengan suara yang cukup keras, namun masih terdengar lembut. "Jika kau keberatan dengan isinya, katakan saja. Aku akan menggantinya"

Hana mengangkat kepalanya perlahan dan menerima map merah tersebut dengan gemetar. Matanya menatap surat yang ada di dalam map, mencoba memahami apa yang tertulis di sana. Wajahnya tampak pucat, membaca tulisan tersebut.

Angkasa hanya diam, menunggu Hana selesai membaca dan memberikan keputusannya. ia berharap gadis itu bisa menerima apa yang ada di dalam surat perjanjian tersebut.

Setelah beberapa menit yang terasa sangat lama, Hana akhirnya mengangguk pelan. Ia mengambil pena yang diberikan Angaksa, dan menandatangani surat tersebut dengan tangan yang masih gemetar. Kemudian, Hana mengembalikan map merah itu kepada Angkasa yang menatapnya penuh intimidasi, membuat Hana takut menatap laki-laki yang baru resmi menjadi suaminya itu.

Angkasa tersenyum tipis, mengangguk puas dengan keputusan Hana. Ia tahu, keputusan yang baru saja diambil wanita itu bukanlah hal yang mudah. Namun, Hana menerimanya dengan lapang dada, tidak merasa keberatakan dengan isi perjanjian yang sudah dia buat.

"Ini untukmu, di dalam sini ada uang untuk membiayai kebutuhanmu dan juga adikmu" ucap Angkasa sambil memberikan kartu berwarna gold kepada Hana.

Hana menatap kartu tersebut dengan perasaan ragu dan campur aduk. Ia baru saja menikah dengan Angkasa, seorang pria kaya raya yang tak pernah ia duga sebelumnya akan menjadi suaminya. Baru sehari menjadi istrinya, Hana merasa hidupnya berubah drastis. Banyak kemudahan yang ia dapatkan dari pria itu, termasuk kartu yang ada di tangannya saat ini.

"Tapi sepertinya saya tidak membutuhkannya tuan, saya masih memiliki sisa uang yang kemarin," ucap Hana menolak kartu pemberian Angkasa.

Dia tidak ingin terlihat seperti memanfaatkan kekayaan suaminya. Sebagai wanita yang selalu mandiri, dia hanya membutuhkan uang untuk biaya operasi adiknya saja, dan itu sudah ia terima dari Angkasa kemarin. Selebihnya, dia ingin mencari sendiri dengan bekerja sebagai karyawan di sebuah toko.

Angkasa menatap Hana dengan penuh pengertian, "Simpan saja, suatu saat kamu pasti akan membutuhkannya" ucap Angkasa.

Hana mengangguk, senyum tipis terukir di bibirnya. "Terima kasih, Tuan Angkasa," ucapnya dengan suara lirih.

"Hmmm" balas Angkasa. "Ikut aku" ucap Angkasa seraya bangkit dari tempat duduknya.

Hana mengangguk lemah, lalu berjalan perlahan mengikuti langkah Angkasa dari belakang. Begitu membuka pintu, ia terkesima melihat berbagai pakaian wanita yang tersusun rapi di dalam lemari. Hana merasa bingung, apakah pakaian-pakaian itu memang sengaja disiapkan untuknya, atau mungkin ada wanita lain yang sering menginap di kamar ini?

"Ganti pakaianmu, setelah ini kita akan makan malam" ucap Gio dan keluar dari ruang ganti meninggalkan Hana sendirian di ruang ganti.

Hana memutuskan untuk tidak terlalu memikirkannya, sebab menurutnya hal itu bukanlah urusannya. Dia memilih sebuah gaun yang terlihat elegan, dengan warna yang lembut dan cocok untuk acara makan bersama keluarga. Ia menggantungkan gaun itu di bahunya, lalu memandang dirinya di depan cermin.

Setelah merasa yakin dengan pilihan gaunnya, Hana mengenakannya dengan hati-hati.

Sementara itu, raut wajah Angkasa tampak kesal menunggu istrinya yang belum selesai mengganti pakaiannya, padahal sudah tiga puluh menit ia menunggu.

Tak lama Hana akhirnya keluar dari ruangan dengan gaun yang ia kenakan, Angkasa merasa terpesona dengan penampilan istrinya, tetapi dia buru-buru memalingkan pandangannya ke arah lain.

"Kamu ini ngapain aja sih? Ganti pakaian aja lama banget" omel Angaksa.

"Maaf tuan, tadi saya memilih baju terlebih dahulu. Soalnya saya bingung harus mengenakan baju yang mana" ucap Hana membela diri.

"Hmmm" gumam Angkasa tidak jelas.

Pria itu bangkit dari tempat duduknya dan segera melangkahkan kakinya keluar dari kamarnya, di ikuti sang istri di belakangnya. Mereka pun turun kebawah menuju ke ruang makan.

"Ingat, kita harus terlihat mesra di depan keluargaku. Jangan sampai mereka mencurigainya" peringatnya kepada Hana sebelum tiba di ruang makan.

"Baik tuan" jawab Hana.

"Jangan panggil aku tuan, panggil yang lain" ucap Angaksa, membuat Hana berdecak kesal.

"Iya mas Angkasa" ucap Hana penuh penekanan.

Angkasa merasakan gelayar aneh mendengar panggilan Hana.

Saat tiba di ruang makan, semua mata tertuju pada Angkasa dan Hana yang baru saja muncul. Keduanya tampak canggung berjalan bersama, terutama Hana yang merasa tidak nyaman dengan tatapan mereka terutama tatapan jahil Levi.

"Sepertinya pengantin baru kita sudah tidak sabar untuk melakukan malam pertama. Sampai-sampai dia mengabaikan kita yang masih berada di rumah ini," ujarnya sambil mengejek.

Angkasa yang merasa kesal dengan sindiran Levi, membalas dengan tegas. "Diamlah, Lev. Cepetan makan dan segera pergi dari rumahku," ucapnya, membuat wajah Levi berubah, dan mulutnya langsung bungkam.

"Ayo kita makan, kakek sudah lapar menunggu kalian berdua" lerai tuan besar Lu.

Angkasa dan Hana mendudukkan tubuhnya di kursi kosong. Mereka mulai mengisi piringnya dengan nasi dan juga lauk pauk.

Usai makan mereka langsung berpamitan pulang. "Kami pulang dulu, jangan lupa sering-sering berkunjung ke rumah ibu" ucap Melinda kepada Angkasa yang sudah dia anggap anak sendiri.

"Iya bu, nanti aku ajak istriku juga" ucap Angkasa menyebut kata istriku.

Pria itu sangat menghormati Melinda, berkat wanita itu, dia merasakan kasih sayang seorang ibu yang tidak pernah ia dapatkan dari ibu kandungnya sendiri.

Kini giliran tuan besar Lu yang berpamitan dengan sang cucu.

"Kamu memang sudah menikah, tapi kakek tidak akan memberikan perusahaan Lu pada mu sebelum istrimu melahirkan penerus keluarga Lu" ucap kakek Lu dan berlalu begitu saja meninggalkan Angkasa yang mematung.

Angkasa mengepalkan tangannya kuat, dia merasa di permainkan oleh kakeknya.

Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!

Download Novel PDF
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!