Disebuah kota kecil dipegunungan hijau yang megah, kehidupan berjalan selaras dengan alam. Kabut pagi turun menyelimuti lembah, sementara suara hewan ternak dan liar menggema dikejauhan.
Dikaki pegunungan Wuyi Tiongkok kuno terbentang kota dan desa-desa kecil. Suasananya begitu damai, diiringi dengan kicauan burung dan dedaunan yang bergoyang pelan. Seolah alam tengah berbisik menenangkan jiwa-jiwa lelah karena seharian lelah bekerja.
Kota Guizhou bagian dari Ibukota Taming, terletak disebelah Utara kekaisaran Xia benua tengah. Kota makmur nan subur, dikelilingi puluhan desa dengan penduduknya yang mayoritas petani, pemburu dan buruh miskin.
Lahan pertanian ratusan hektar membentang hijau, ditengah tinggi menjulang gunung-gunung rindang, bersama luasnya hutan belantara yang menyimpan sumber daya alam melimpah. Menjadi sandaran puluhan ribu manusia, untuk tetap bisa hidup bersama orang-orang tercinta.
Disebuah paviliun sederhana dikediaman keluarga Hong, rintihan kesakitan terdengar amat memilukan. Terbaring lemah diatas ranjang memegangi perut besarnya.
"Ibu, aku sudah tidak sanggup lagi." ucapnya meringis.
Keringat sebesar biji kacang hijau, menghiasi wajah pucatnya.
"Jangan bicara seperti itu, tunggu sebentar lagi. Tabib dan adikmu akan segera tiba." ucap wanita paruhbaya berusia tiga puluh sembilan tahun.
Jang Mei mengusap keringat sang menantu, sembari terus memberi pijatan ringan dikaki dan tangan wanita ringkih yang sudah selama tujuh tahun ini dinikahi oleh putranya.
BRAK
Pintu dibuka kasar, sosok wanita paruhbaya berpakain sutra berwajah gelap datang mendekat.
"Ini sudah waktunya makan siang, kenapa belum ada makanan..?" pekiknya berkancah pinggang. Menatap tajam Jang Mei dan menantunya Su Zihan.
"Nyonya, sudah waktunya Zihan melahirkan. Aku harus menemaninya, jadi maaf tidak bisa memasak hari ini." jawab Jang Mei.
Sang nyonya rumah mendelik "lalu siapa yang akan memasak..?"
"Nyonya, masih ada dua menantu dan cucu perempuan. Untuk hari ini saja, tolong...!" ucap Hiba Jang Mei.
Zhen Nilu, nyonya Xi, yang berada dibelakang nyonya Hong mendelik.
"Bibi selir, itu tugas kalian. Enak saja kau menyuruh kami." sengit Zhen Nilu.
"Nyonya muda-----
"DIAM...!" bentak nyonya Hong.
"Cepat pergi memasak..! sebentar lagi putra dan cucu lelakiku pulang. Tidak usah kau manja wanita tidak berguna ini, dia hanya mau melahirkan bukan mau mati." titahnya.
"Nyonya...!"
"Cepat lakukan perintahku." sambar nyonya Hong "atau kau mau menantu tidak bergunamu itu yang melakukannya..?" tunjuknya pada Su Zihan.
Jang Mei menggeleng cepat "baik nyonya..! aku akan memasak." jawabnya, melihat kearah menantunya.
"Menantu, ibu tinggal sebentar. Bertahanlah, adikmu sebentar lagi datang." ucapnya lembut mengusap perut buncit snag menantu.
Su Zihan mengangguk lemah ditengah rasa sakit yang semakin mendera. Sudah sejak dini hari ia merasa sakit, namun terpaksa ditahan karena perintah dan aturan keluarga Hong.
Suaminya sedari sejak pagi masih gelap sudah pergi keladang sendirian, agar ia dan sang bu bisa tetap dirumah. Tanpa bisa memanggil tabib terlebih dulu.
Untuk saja adik iparnya yang tinggal didesa Sing-ji datang berkunjung, jadi wanita itu bisa dimintai tolong. Jika tidak, entah bagaimana nasib wanita itu dan bayinya.
Dengan tergopoh-gopoh Jang Mei keluar paviliun guna menuju kedapur. Sedangkan nyonya besar Hong beserta kedua menantu melengos pergi tanpa perduli akan penderitaan Su Zihan.
"Ibu...!" seru putri keenam Yu Lan, yang baru datang bersama tabib.
"Lan'er, cepat tolong kakak iparmu." ucapnya menangis.
"Ibu mau kemana..?" tanya Yu Lan cemas.
"Ibu mau memasak. Sudah cepat masuk, temani kakak iparmu." titah Jang Mei gegas pergi kedapur.
Yu Lan juga segera menuju paviliun sang kakak bersama tabib yang mengekorinya. Mata yang semula memancarkan kekhawatiran itu, menggelap seketika kala berpapasan dengan nyonya Hong dan kedua iparnya.
Yu Lan berdecih, menatap sengit ketiga wanita berbeda generasi didepannya. Tanpa berniat menyapa, wanita berusia dua puluh tahun itu melenggang pergi.
Nyonya Hong mengeram marah "kurang ajar kau..!" hardiknya menunjuk Yu Lan yang sudah memasuki paviliun.
"Kakak ipar...!" seru Yu Lan melompat naik keranjang, duduk disisi sang kakak ipar.
Tabib wanita gesit menangani Su Zihan.
"Air ketubannya sudah mulai hampir mengering. Ini juga pendaharannya...!" kata tabib itu cemas.
"Lan'er, bantu aku...!" titah tabib wanita itu.
"Apa yang harus aku lakukan bibi...?" tanya panik Yu Lan.
"Bantu aku mendorong baginya, tanganmu letakkan disini..!" titah bibi tabib memberi intruksi.
"Bibi tapi aku takut, aku tidak bisa...!" kata Yu Lan bergetar.
"Kau pasti bisa, kalau tidak cepat dikeluarkan bayinya akan mati. Kakakmu sudah lemah seperti itu." sahutnya.
Bibi tabib juga memberi intruksi pada Su Zihan yang sudah lemas tak bertenaga. Wanita itu mulai bersiap, mengumpulkan sisa kekuatan yang ia miliki.
Dua kali percobaan gagal, tiga kali kepala bayi mulai terlihat.
"Ayo Han'er sekali lagi..!" seru tabib "Lan Er bersiap...!"
Aba-aba bibi tabib "Dorong yang kuat, sekarang...!" serunya.
"Ach.....!" teriak Su Zihan bersama lengkingan tangis bayi, menggema dipenjuru paviliun.
Bibi tabib menghela nafas lega "akhirnya, bayi perempuan yang sangat cantik...!" ucapnya.
"Ambil manisan jujube dikeranjangku, berikan pada kakakmu bersama air." titah bibi tabib, memotong tali pusar lalu membersihkan bayi.
Yu Lan mematuhi, mengambil apa yang tadi disebut lalu memberikan pada kakak perempuannya.
Pintu dibuka, Zhen Nilu dan Nyonya Xi datang, mereka mendekati bibi tabib untuk melihat jenis kelamin bayi merah itu.
"Ah perempuan..!" gumamnya tersenyum miring
Yu Lan yang mendengar langsung bereaksi "kenapa memangnya kalau perempuan...?" tanyanya ketus.
"Kalian itu bukannya perempuan, dan kau juga punya anak perempuan kan..?" tudingnya pada Zhen Nilu.
"Adik, kenapa kau marah..? lagi pula salahnya dimana..? keponakanmu memang perempuan." jawab Zhen Nilu tersenyum mengejek.
Yu Lan mengerakan rahangnya "keluar dari sini, atau aku siram kalian dengan air bekas mandi keponakanku..?" ancamnya.
Zhen Nilu dan Nyonya Xi ketakutan, mereka amat mengenal watak Yu Lan. Tanpa berani menyahuti, mereka langsung keluar dari sana.
"Rebus ramuan ini, biar bibi yang menjaga kakak iparmu." ucap bibi tabib menyerahkan bungkusan sembari menggendong bayi perempuan yang terlahir sempurna, meski lebih kecil dari bayi pada umumnya.
"Baik bibi...!"
Sepuluh bulan Su Zihan mengandung, dengan setiap harinya melakukan pekerjaan berat. Mengurus rumah lalu keladang. Tanpa asupan gizi yang baik, tentu mempengaruhi kesehatan dan perkembangan janinnya.
Beruntung wanita itu bisa bertahan sampai sekarang. Bayinya lahir dengan selamat walau berat badannya tak kurang dari dua kilo gram.
KERTAS BAMBU
JANGAN LUPA UNTUK SELALU 👇
👍 Like setelah membaca setiap bab.
❤️ Subscribe.
⭐️ Berikan nilai bintang 5.
👑 Vote disetiap hari senin.
🌹 Kalau ada poin, boleh setangkai mawarnya.
🔔 Tinggalkan komentar penyemangat.
TERIMAKASIH...!
"Dasar tidak berguna, wanita rendahan pembawa sial..!"
Umpat nyonya Hong terdengar dari paviliun utama. Su Zihan yang terbaring tak berdaya, meneteskan airmata. Ini bukan yang pertama, tapi tetap saja hatinya terluka mendengar cacian itu.
"Kenapa dia tidak mati saja bersama bayinya..? hidup juga tidak ada manfaatnya." umpat nyonya Hong lagi.
"Ibu, fikirkan kesehatanmu. Tenanglah...!" ucap pelan Zhen Nilu.
"Bagaimana aku bisa tenang..? wanita rendahan itu melahirkan bayi perempuan. Entah kesialan apa yang akan diberikan oleh mereka untuk keluarga Hong dimasa depan..?" sahut nyonya Hong.
Bibi tabib yang mendengar, amat merasa marah. Siapa yang tahu akan jalan takdir hidup, lagi pula apa salahnya dengan memiliki anak perempuan..?
Bibi tabib mengusap lembut tangan Su Zihan "jangan dengarkan mereka, lebih baik kau susui bayimu."
Bibi tabib memindahkan bayi perempuan itu kepangkuan Su Zihan.
Wanita berusia dua puluh tiga tahun itu pun patuh, mendekap putrinya dengan penuh kasih lalu memberikan ASI.
Tak lama Yu Lan datang dengan semangkuk tonik yang tadi ia buat. Nampak asap tipis menguap dipermukaan mangkuk.
"Aku bantuk kakak ipar meminumnya..!" tawar Yu Lan, meniup tonik herbal dipermukaan sendok setelah duduk disisi ranjang.
Su Zihan tersenyum tipis "terimakasih...!" ucapnya.
"Kalau begitu bibi pamit..! ini resep obatnya, diminum tiga kali sehari." ucap wanita berusia empat puluh lima tahunan menyodorkan kertas bambu.
"Kondisimu sangat lemah, kau harus beristirahat setidaknya satu bulan untuk memulihkan kesehatanmu. Jangan melakukan pekerjaan apapun terlebih dulu.
Pesan bibi tabib pada Su Zihan yang diiyakan.
"Terimakasih bibi, maaf sudah merepotkan..!" ucap Yu Lan menaruh mangkuk lalu merogoh pinggangnya, mengambil kantung koin perak untuk diserahkan pada bibi tabib.
"Tidak perlu sungkan, ini sudah menjadi tugasku." sahutnya menerima upah dari pekerjaannya.
Yu Lan mengantarkan bibi tabib sampai diambang pintu, sebelum kembali membantu kakak iparnya menghabiskan tonik herbal.
"Ibu...!" panggil dua bocah laki-laki memasuki paviliun.
Yu Lan dan Yu Zihan tersenyum lebar melihat dua balita tampan itu.
Wang Bolin berusia lima tahun dan Wang Fei empat tahun. Putra Yu Lan bersama sang suami Wang Chun, pemilik toko herbal Wang dikota Guizhou.
"Apa adikku perempuan..?" tanya Wang Bolin menatap berbinar wajah sang bayi dengan pupil jernihnya.
Su Zihan terkekeh "iya, adikmu perempuan."
"Yei, akhirnya aku punya adik perempuan." sorak Bolin dan Fei melompat riang.
Su Zihan dan Yu Lan terbahak.
Jang Mei datang membawa semangkuk bubur sayur, kedua balita langsung mengadu senang.
"Bantu ibu untuk membersihkan kakak iparmu." titah Jang Mei pada sang putri.
"Ibu, biar nanti suamiku saja yang melakukannya. Ini kotor bu..!" cegah Su Zihan tak enak hati.
"Tidak apa-apa, menunggu suamimu masih lama pulangnya." sahut Jang Mei.
Selimut dan kasur tipis digulung diganti dengan yang baru, setelah membantu Su Zihan mengganti pakaian.
"Makanlah, ibu mau mencuci ini dulu."
Su Zihan memegangi tangan ibu mertuanya. "Ibu istirahat saja, biar nanti suamiku yang mencucinya." ucapnya dengan netra memanas.
Ia amat bersyukur memiliki ibu mertua yang teramat baik.
Jang Mei tersenyum, mengusap lembut tangan menantunya. "Jangan khawatirkan ibu, kau habiskan makanmu lalu istirahat."
"Biar aku membantu ibu..!" kata Yu Lan melihat kearah kedua putranya.
"Baik ibu..! kami akan menjaga bibi dan adik." jawab Bolin dan Fei yang mengerti akan maksud tak terucap ibunya.
Bolin dan Fei naik ketas ranjang, duduk disisi Su Zihan bermain dengan bayi mungil yang mulai bisa membuka matanya.
"Adikku cantik sekali..!" kata Bolin mengusap lembut pipi bayi itu dengan ibu jarinya.
"Iya, cantik seperti ibu, nenek dan bibi...!" sahut Fei.
Su Zihan tersenyum "tentu saja cantik, karena kedua kakak lelakinya juga sangat tampan."
"Siapa nama adikku bibi..?" tanya Fei.
"Tunggu pamanmu pulang, nanti paman yang akan memberi nama." sahut Su Zihan.
Mereka terus bertukar kata, dengan diselingi kekehan riang. Sampai dimana Jang Mei dan Yu Lan kembali bergabung disana.
BRAK PYAR
Suara gaduh terdengar dari paviliun utama.
"Jadi perempuan rendahan itu melahirkan bayi perempuan..?" suara bariton tuan Hong terdengar.
Ternyata pria itu sudah kembali dari penginapan.
"Aku sudah sangat malu karena keluarga Hong yang terhormat memiliki menantu seorang budak, sekarang malah melahirkan bayi perempuan. Sungguh kesialan apa lagi yang akan wanita hina itu berikan dimasa depan..?" nyonya Hong menimpali.
"Ini semua salahmu..? kalau saja kau dulu tidak membawa wanita itu untukku jadikan selir. Keluarga Hong kita tidak akan menanggung karma memalukan seperti ini."
"Kenapa jadi menyalahkan aku..? Kau sendiri yang mau memiliki selir."
"Tapi bukan wanita rendahan dari keluarga miskin seperti itu."
Perdebatan dengan suara meninggi, lantang terdengar oleh para insan dipaviliun yang ditinggali oleh Jang Bing.
Yu Lan menggeram marah, sementara Jang Mei dan Su Zihan menangis tersedu.
Sudah menjadi makanan setiap hari bagi mereka, dihina, diperlakukan kasar dan diperbudak semaunya. Tanpa bisa melawan atau pun membela diri.
Langkah kaki terdengar mendekat, Jang Mei dan Su Zihan langsung mengusap airmata mereka hingga bersih.
BRAK
Pintu dibuka paksa.
Tuan dan nyonya Hong menghampiri dengan wajah merah padam, menatap nyalang tiga wanita berbeda usia diatas ranjang.
"Enak sekali kalian duduk santai disini." kata tajam tuan Hong.
"Cepak bekerja, lakukan tugas kalian..!" tunjuknya pada Jang Mei dan Su Zihan.
"Tuan..! waktu makan malam masih lama, pekerjaan apa yang harus aku lakukan..?" tanya Jang Mei.
"Bersihkan halaman, paviliun utama, cuci baju kotorku. Dan bukan cuma kau yang melakukannya, menantu rendahanmu ini juga harus bekerja."
"Tuan..! Han'er baru saja melahirkan, dia masih lemah. Biarkan Han'er beristirahat."
"Tidak usah manja. Aku juga pernah melahirkan, tidak ada masalah setelahnya meski aku harus bekerja." kata nyonya Hong.
"Cih, memang apa yang kau kerjakan setelah melahirkan..?" tanya ketus Yu Lan.
"Diam kau anak kurang ajar..!" bentak tuan Hong "apa itu yang diajarkan ibumu selama ini, bersikap tidak sopan kepada orangtua..?"
"Dia bukan orangtuaku." sahut berani Yu Lan.
"Anak terkutuk, keparat kau...!" umpat Tuan Hong menampar pipi kiri Yu Lan.
"Ibu...!" seru Bolin dan Fei.
"Tuan...!" seru kaget Jang Mei.
Yu Lan menatap nyalang sang ayah, kebenciannya semakin subur tertanam disanubari. Dalam hati ia bersumpah, kelak dimasa depan semua kesakitan yang sudah ia dapatkan harus terbalaskan.
"Jangan menjadi anak yang tidak berbakti, atau kau mau langit menghukummu..?" tunjuk tuan Hong.
Jang Mei menarik perlahan tangan Yu Lan untuk duduk diam disisinya.
"Jangan membuang waktu, cepat kau bangun..! Bersihkan paviliun utama, jika kalian mau ada makanan malam ini." titah nyonya Hong pada Su Zihan.
"Biar aku saja nyonya...!"
"Kau kerjakan yang lain...!" jawab tuan Hong.
Dengan susah payah, Su Zihan melangkahkan kaki meninggalkan bayinya yang dijaga oleh Bolin dan Fei. Sementara Jang Mei pergi kepekarangan belakang untuk mencuci pakaian.
Sedangkan Yu Lan, berlari menuju keladang guna memberi tahu kakak lelakinya Jang Bing. Pria itu harus cepat pulang untuk melindungi istri dan putrinya.
KERTAS KULIT HEWAN
Hong Bing gegas menuju kepaviliun utama begitu sampai dirumah. Hatinya bak teriris sembilu melihat sang istri yang lemah dan pucat sedang membersihkan lantai paviliun.
Semetara tuan dan nyonya Hong duduk dikursi mengawasi dengan congkaknya sembari meminum teh.
"Kenapa kau sudah pulang..?" tanya tajam tuan Hong mengagetkan Su Zihan.
"Suamiku..!" seru lemah Su Zihan tersenyum tipis.
Hong Bing Abai, ia mendekati sang istri lalu membantunya berdiri.
"Kau harus beristirahat, ayo pulang...!" katanya lembut.
"Anak kurang ajar, apa kau tuli..? Aku bertanya kepadamu." hardik tuan Hong.
"Aku pulang untuk menggantikan pekerjaan istriku." jawab Hong Bing.
"Siapa yang mengizinkanmu..?" pekik tuan Hong.
"Ayah..! istriku baru saja melahirkan. Bagaimana bisa kalian tega menyuruhnya mengerjakan semua pekerjaan rumah."
"Tidak usah berlebihan, wanita rendahan itu hanya melahiran bukan sekarat." balas nyonya Hong.
Hong Bing menatap nyalang pada ibu tirinya.
PLAK
Tamparan keras mendarat dipipi Hong Bing, hingga membuatnya terhuyung dan nyaris tersungkur bersama istrinya
Nyonya Hong tersenyum sinis, ia amat menikmati penyiksaan yang dialami oleh keluarga selirnya.
"Jaga sikapmu itu..!" tunjuk tuan Hong.
"Cepat kembali keladang, biar istrimu itu menyelesaikan tugasnya." perintah lelaki paruhbaya itu.
"Aku tidak mau kem-----
Ucapan Hong Bing terputus ketika sang istri menyentuh lengannya. "Aku tidak apa-apa, kembalilah keladang."
"Kau dengar sendiri, wanita rendahan itu baik-baik saja." tuan Hong berbicara.
Hong Bing tidak berniat menjawab, ia sudah terlalu lelah mengalah dan menurut. Demi hidup panjang istrinya, kali ini ia harus melawan.
"Ayo temui putri kita..!" ajaknya pada sang istri.
"Kurang ajar, berani kau melawanku...?" pekik murka tuan Hong.
Hong Bing acuh, ia memapah Su Zihan keluar dari paviliun.
Tuan Hong menyambar guci yang berada diatas meja hias, lalu dilemparkan kearah Hong Bing dan tepat mengenai kepala pria itu.
"Suamiku..!" seru panik Su Zihan.
Hong Bing tersenyum "tidak apa-apa...!" ucapnya mencoba tenang meski sempat mendesis pusing.
"Berhenti kau...!" teriak tuan Hong yang masih diabaikan oleh putra ketiganya.
"Keparat...!" umpatnya kemudian mengejar Hong BIng. Nyonya Hong membuntuti.
BUG
Hantaman tongkat bambu mengenai punggung Hong Bing, hingga membuat pria berusia dua puluh lima tahun itu berhenti.
"Rupanya aku sudah terlalu baik kepadamu selama ini, sampai kau berubah menjadi anak tak tahu diri." suara menggelegar tuan Hong hingga mengundang para tetangga.
"Ayah..! selama ini aku selalu mematuhi apa yang menjadi kemauanmu. Tapi untuk kali ini saja, tolong berikan pengertianmu. Istriku baru saja melahirkan, kondisinya sedang tidak baik."
"Tidak usah berlebihan, yang melahirkan itu bukan hanya wanita rendahan itu----
"Jangan kau hina lagi istriku...!" hardik tajam Hong Bing pada ibu tirinya.
Tuan dan nyonya Hong terjingkat lalu mendelik tajam.
Para tetangga sudah banyak yang menyaksikan kegaduhan itu.
Selir Mei datang dari arah belakang, begitu juga Yu Lan bersama kedua putranya sembari menggendong keponakan perempuannya.
Nyonya Nilu dan Xi bersama putri putri mereka ikut bergabung, menonton pertengkaran itu.
Wang Chun juga tiba dan langsung menghampiri istri, putra dan ibu mertua.
"Berani sekali kau meninggikan suaramu kepadaku..?" sengit nyonya Hong.
"Kenapa tidak berani..? selama ini aku diam karena menghormati ibuku, tapi tidak untuk kali ini. Sudah cukup kau menghina kami." tantang Hong Bing.
Putra pertama dan kedua datang, setelah mendapat kabar keributan yang mulai tersebar.
"Apa ini yang diajarkan oleh ibumu..?" tanya tuan Hong.
Hong Bing menatap marah pada ayahnya. "Ibuku selalu mengajarkan hal baik padaku, aku seperti ini karena diajari olehmu." sahutnya tegas.
"Kurang ajar..! dasar anak tidak tahu diuntung. Apa ini baktimu kepada orangtua yang sudah memberimu makan dan hidup enak..?"
Hong Bing tersenyum sinis "aku makan dari hasil kerjaku sendiri. Hidup enak..? hidup enak seperti apa yang sudah ayah berikan..?"
"Kau...!" tuan Hong mengepalkan tangannya erat.
"Semua orang tahu bagaimana selama ini ayah memperlakukan aku dan ibu juga adikku. Jadi jangan bicara omong kosong soal memberikan kami hidup enak." sengit Hong Bing.
Hampir sebagian penduduk kota kecil Guizhou tahu bagaimana keluarga Hong memperlakukan selir mei, Hong Bing, Yu Lan dan Su Zihan. Mereka juga tahu bagaimana watak asli keluarga Hong.
Jadi kalau pun sekarang Hong Bing melawan, pria itu malah mendapatkan dukungan.
"Kau membela wanita yang hanya bisa memberimu anak perempuan dan melawan ayahmu sendiri..?" tuding tuan Hong.
"Ini sudah kehendak langit ayah..! Lagi pula apa salahnya kalau perempuan..?" sahut Hong Bing.
"Tentu saja salah..? Tujuh tahun kau habiskan hanya untuk seorang bayi perempuan tak berguna itu."
"JANGAN KAU HINA PUTRIKU...!" suara menggelegar Hong Bing, mengagetkan semua orang.
Wajah pria itu menggelap, dengan mata mendelik murka kepada tuan Hong. Putrinya yang baru beberapa jam lalu lahir sudah disumpahi. Sungguh sangat keterlakuan.
Siapa yang bisa menebak masa depan, kenapa pria paruhbaya itu menghardik putrinya tidak berguna.
Tentu sebagai seorang ayah yang amat menantikan kehadiran anaknya tidak akan sudi menerima penghinaan itu.
LILIN MINYAK LEMAH HEWAN
Jangan lupa untuk selalu 👇
👍 Like setelah membaca setiap bab.
❤️ Subscribe.
⭐️ Betrikan penilaian bintang 5.
👑 Vote disetiap hari senin.
🌹 Jika ada poin, boleh setangkai mawarnya.
🔔 Tinggalkan komentar penyemangat.
Terimakasih...!!!" 🙏🫰🙏
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!