NovelToon NovelToon

Mengandung Benih Mantan Suamiku

MBMS - Bab 1 Mari Bercerai

"Mari bercerai," ucap Delia Aurelie Gionardo (26th) dengan tegas sambil menyodorkan sebuah kertas perceraian pada suaminya.

Setelah satu tahun menjalani pernikahan penuh sandiwara bersama Devano Alessandro Harrison (28th), malam itu Delia datang ke apartemen bukan untuk pulang, melainkan untuk mengakhiri segalanya.

Devano duduk terdiam, menatap wajah Delia sambil menenggak segelas wine di tangannya.

Glek!

Pria yang biasanya dingin dan selalu rapi itu kini tampak berantakan, dasi melorot, rambut acak-acakan, mata merah. Bukan Devano yang Delia kenal.

"Kenapa?" suaranya rendah.

"Karena ini sudah waktunya, Dev. Sesuai perjanjian kita," jelas Delia.

Dev tersenyum getir. Gelas wine diletakkannya di atas meja.

"Bukan karena kamu sudah memiliki pria lain?" tanyanya datar, lebih mirip tuduhan ketimbang pertanyaan.

Delia memicingkan mata. "Apa maksudmu?"

"Aku tidak bodoh. Aku sering melihatmu pergi bersama mantan kekasihmu," ujar Dev.

"Astaga, Dev. Aku hanya konsultasi padanya. Akhir-akhir ini kepalaku sering sakit, dan aku sulit untuk tidur. Itu saja, tidak lebih," terang Delia, kesal.

Lagipula kenapa juga Dev harus seperduli itu padanya, bukankah selama ini dia sangat membencinya.

Meski hatinya tak yakin, tapi Dev akhirnya mengangguk dan meraih kertas itu.

"Sebaiknya cepat tandatangani. Aku akan pergi malam ini juga," ucap Delia. Wanita itu berbalik menuju kamarnya untuk mengemas barang-barangnya.

Dev menatap punggung Delia yang menjauh hingga menghilang di balik pintu. Bukan menandatangani, ia justru menuang wine lagi dan menenggaknya sampai habis.

Glek!

Setelahnya rasa aneh mulai menjalar di tubuhnya. Detak jantungnya berdegup lebih cepat, wajahnya memanas, tubuhnya terasa seperti dibakar dari dalam. Napasnya berat, keringat dingin muncul di pelipis. Pandangannya mengabur, pikirannya berdenyut antara marah, lelah, dan dorongan yang sulit ia pahami.

Dev mengerang pelan. Tangannya refleks membuka dasi yang sejak tadi melorot, lalu mencabut kancing kemeja bagian atas satu per satu, berusaha memberi ruang pada dada yang terasa sesak. Namun panas itu justru makin menjadi, seolah ada gelombang tak kasatmata yang menyerang kesadarannya.

Ia memijit pelipisnya, mencoba fokus. Tapi semakin ia melawan, semakin kabur kesadarannya. Seperti ada kabut yang menutup akal sehat dan menggantinya dengan rasa tak menentu yang belum pernah ia alami sebelumnya.

"Sial!" umpat Dev.

Ia memutuskan untuk pergi kekamarnya untuk mandi, mungkin itu akan membuat tubuhnya sedikit lebih baik.

Dev berjalan dengan sempoyongan, hingga didalam kamar nampak Delia tengah mengemasi barang-barangnya.

"Tidak bisakah besok saja?" tanya Dev.

"Tidak Dev, aku sudah menyiapkan semuanya," ucap Delia tanpa menoleh.

Dev menarik lengan Delia hingga tubuhnya jatuh dalam dekapan Dev.

"Kamu benar-benar sangat berniat," bisik Dev dingin.

Delia menatap mata pria itu tanpa keraguan. "Aku tidak akan mengulur waktu Dev, bukankah itu yang selama ini kamu inginkan? Sekarang aku kabulkan, setelah ini kamu bisa menikahi Giselle,"

Dev tersenyum miring, lalu berbisik. "Kalau begitu berikan kompensasi untuk pernikahan kita,"

Kening Delia berkerut. "Apa maksudmu?"

Dev mengangkat satu alisnya. "Malam pertama,"

mata Delia membelalak penuh amarah sekaligus kaget.

PLAK!

"Kau gila Dev," tekan Delia.

Dev memejamkan mata sambil menahan panas dipipinya, lalu kembali menatap Delia. "Aku tidak sedang bercanda Delia, aku mau kamu melakukan kewajibanmu sebagai seorang istri malam ini,"

Tatapan Delia tak turun, ia menggeleng perlahan. "Apa kamu sedang mempermainkanku Dev?"

Sumpah Delia tak mengerti kenapa Dev tiba-tiba saja berubah seperti ini, bukankah dia yang bilang jika dia tidak akan sudi untuk menyentuhnya? Tapi kenapa sekarang malah sebaliknya?

BRAKK!

Kepalan tangan Dev menghantam tembok disamping wajah Delia hingga membuat gadis itu takut dan memejamkan matanya.

"Kau yang mempermainkanku Del, kamu masih istriku, tapi kamu pergi bersama lelaki itu!" tekan Dev, kini seolah darahnya mendidih hingga naik ke ubun-ubun.

"Dev! Sudah aku bilang, aku dan Alvan tidak ada hubungan apa-apa! Lagipula kita sudah sepakat untuk tidak mencampuri urusan pribadi masing-masing. Selama ini aku tidak pernah mempermasalahkan hubunganmu dengan Giselle," ujar Delia, kini tatapan matanya berkaca-kaca.

"Tapi itu masalah bagiku!"

"Kenap_" Dev langsung menarik tengkuknya dan mendaratkan ciuman dibibir Delia, bukan ciuman lembut yang penuh cinta, tapi ciuman penuh tuntutan seolah tengah menjadi peluapan emosinya saat ini.

"Eumph!" desah Delia, mencoba mendorong dada Dev, tapi pria itu menahan kedua tangannya hingga Delia tak mampu berbuat apa-apa.

"Jangan memberontak, aku bisa melakukannya lebih lembut dari ini," bisik Dev disela ciumannya.

"Lepas Dev! jangan gila! kamu terlalu banyak minum!" sahut Delia, tapi pria itu langsung menutupnya kembali dengan ciuman.

"Eumph..!" desahan itu semakin membuat Dev semakin bergejolak.

Dev mendorong tubuh Delia keatas ranjang dan kembali membungkamnya dengan ciuman, menjamah tubuh Delia dengan penuh kelembutan.

Airmata menggenang diujung ekor matanya, tapi Delia tak mampu melawan. Cengkraman tangannya begitu kuat meremas sprei, malam ini Dev tak hanya bicara omong kosong, ia benar-benar melakukannya.

Walaupun sentuhannya tak memaksa dan begitu lembut, tapi hati Delia tetap terasa sangat sakit, karena ia menyentuhnya bukan berdasarkan rasa cinta, hanya bahan kompensasi semata.

"Akh.. Deevh....!" pekik Delia begitu Dev menekannya.

Malam itu hujan deras dan petir menyambar seolah-olah menjadi saksi bisu permainan panas yang seharusnya menjadi akhir dari segalanya.

"Sakit Deevh... akh!"

Tapi Dev tak menghiraukannya, ia terus memacu tubuhnya, hingga detik berlalu kini tubuhnya seketika menegang, nafasnya terasa sangat berat.

"Del.. Akh.. Akh..!" pekik Dev hingga membuat Delia menggigit bibir bawahnya.

Delia merasakan ada sesuatu yang meledak di bawah sana, hingga tubuh Dev langsung jatuh terkulai lemas.

Malam itu diam-diam Delia terisak. "Kenapa jadi begini?"

...****************...

Pagi menyusup melalui celah tirai, menelusup ke kamar yang berantakan.

Delia terbangun dengan tubuh lemah dan wajah kusut. Sekejap saja kenangan semalam menyeruak membuat darahnya seolah berhenti mengalir.

Bukan mimpi… kami benar-benar… pikirnya ngeri.

Suara berat memutus lamunannya.

"Kamu sudah bangun?" ucap Dev datar, membelakanginya sambil mengancingkan lengan kemejanya.

"Dev…" hanya itu yang keluar dari bibir Delia.

Pria itu berbalik. Langkahnya mendekat, namun berhenti pada jarak aman. Pandangannya dingin.

"Aku sudah menandatangani surat perceraian kita. Kamu bisa mengambilnya." Dev meletakkan map cokelat itu di atas nakas tanpa menatap Delia sedikit pun.

'Astaga… kamu bahkan tak merasa bersalah sedikit pun padaku, Dev?' batin Delia. Tapi lidahnya kelu. Ia tahu pria itu memang tak pernah mencintainya.

Dev meraih jas hitam yang tersampir di sofa. Langkahnya menuju pintu tenang, nyaris tanpa suara. Namun tepat sebelum keluar, ia berhenti. Bahunya menegang, tapi ia tak menoleh.

"Yang semalam…" suaranya tetap datar, "…anggap saja tidak pernah terjadi. Aku tidak mau kamu berpikir yang macam-macam."

Deg.

Jantung Delia seperti berhenti berdetak. Air mata jatuh ke selimut yang ia genggam erat, meninggalkan noda kecil di atas kainnya. Ia hanya bisa menatap punggung Dev yang menjauh, menyadari betapa kosongnya hati pria itu dan betapa hancurnya dirinya sendiri.

MBMS - Bab 2 Tidak Terjadi Apa-apa

Sebuah mobil hitam berhenti di area parkir apartemen mewah. Seorang wanita mengenakan dress berwarna krem turun tergesa-gesa. Hak sepatunya beradu dengan lantai marmer, menimbulkan bunyi nyaring yang memecah sunyi pagi.

Begitu sampai di unit yang dituju, Giselle menekan bel beberapa kali.

Ting-tong!

Ting-tong!

Ting-tong!

Pintu terbuka. Tanpa menunggu, Giselle langsung berhambur memeluk pria di hadapannya.

"Dev…" suaranya bergetar. Pelukan itu erat, seolah meluapkan kegelisahan yang ia pendam semalaman.

Devano sempat kaku, lalu perlahan membalasnya. "Kenapa?" tanyanya datar.

Giselle melepaskan pelukan, menatap wajah Devano dengan senyum yang dipaksakan. "Tidak. Aku hanya… rindu."

Devano hanya membalasnya dengan senyum tipis yang terasa canggung.

"Maaf soal semalam," lanjut Giselle, "aku tiba-tiba dapat pemotretan mendadak." Nada bersalah terdengar jelas. Ia menoleh ke dalam ruangan, seperti mencari sesuatu. "Semalam… kamu sendiri?" tanyanya, pura-pura santai.

"Tidak. Ada Delia." Suara Devano tenang, tapi dingin.

Deg. Mata Giselle menyipit. "Delia?"

"Dia datang mengantar surat perceraian untuk kutandatangani." ujar Dev jujur.

"Lalu?" tuntut Giselle, nada suaranya meninggi setengah tak sabar.

"Aku sudah menandatanganinya. Kami resmi bercerai." Datar. Seolah berita itu tak berarti apa-apa.

"Bagus!" sahutnya refleks.

Wajah Giselle langsung berbinar. Hati yang tadinya cemas kini meledak jadi senyum lebar. "Astaga… aku senang sekali, Dev!" Ia kembali memeluk Devano dengan semangat.

"Kalau begitu kita berangkat sekarang," ujar Devano singkat.

"Hm!" Giselle mengangguk. Tangannya langsung menggandeng lengan Devano, membawanya keluar dari apartemen.

Karena arah kantor Devano dan lokasi pemotretan Giselle sejalur, mereka pun memutuskan berangkat bersama menggunakan mobil Devano. Sepanjang perjalanan, Giselle tak henti-hentinya tersenyum bahagia dan memuji keputusan Devano yang menurutnya sangat tepat.

Sementara itu Devano hanya diam. Pandangannya lurus ke depan, pikirannya jauh ke malam sebelumnya. 'Mungkinkah Giselle menaruh sesuatu dalam minuman itu?' batinnya.

Minuman itu memang dikirim oleh Giselle. Mereka sudah berjanji menghabiskan malam bersama, tapi hingga larut Giselle tak juga datang. Semua itu membuat Devano tak mengerti. Ada yang aneh…

"Dev? Kamu dengar aku bicara?" Giselle menoleh padanya.

"Hah? Maaf, aku sedang memikirkan pekerjaan," kilah Devano. Padahal jelas, bayangan tentang Delia semalam masih menempel di benaknya.

Kenapa hatinya terasa kosong? Kenapa seperti ada yang hilang dihatinya? Kenapa perasaan itu terus menghantuinya?

Tidak! Aku dan Delia sudah berakhir. "Semalam hanya kecelakaan," Devano mencoba meyakinkan dirinya.

Giselle menyandarkan kepalanya di lengan Devano. "Dev… sekarang kamu sudah bercerai. Jadi kapan kamu akan melamarku?" tanyanya manja.

Devano mengusap pucuk kepalanya, lalu menempelkan ciuman singkat di sana. "Sabar. Tunggu sampai aku bicara pada orangtuaku dan kakek," jawabnya datar.

"Hiih! Bicaralah sekarang, aku akan menemanimu," ujar Giselle tak sabar.

"Tidak semudah itu, Sel. Kamu harus sabar," jelas Dev.

"Ck!" Giselle langsung melepaskan pelukannya dan melipat kedua tangannya kesal. Begitu mobil berhenti di depan lokasi pemotretan, ia turun begitu saja, meninggalkan Devano yang hanya menghela napas.

"Aku jemput nanti sore," ucap Devano dari balik kemudi.

Kini mobil itu kembali melaju ke arah kantor Henderson Corp.

"Selamat pagi, Tuan Dev," sapa Mischa, sekretaris pribadinya.

"Hm… pagi," sahut Devano sambil mengancingkan jasnya dan melangkah masuk ke ruangannya.

"Hari ini ada rapat pukul delapan, Pak, dan siang nanti kita ada pertemuan penting dengan klien di cafe Velvet Brew, " terang Mischa sambil menyerahkan jadwal kegiatan.

"Baik, kamu atur semuanya. Jangan sampai ada yang terlewat."

"Baik, Pak." Mischa mengangguk dan kembali ke ruangannya.

***

Tepat pukul delapan, ruang rapat Henderson Corp sudah penuh. AC yang dingin bercampur aroma kopi dari gelas kertas, layar proyektor menampilkan slide presentasi. Para staf membuka laptop dan catatan mereka.

Hanya ada satu kursi yang kosong diujung sana. tempat itu adalah kursi milik Delia.

Devano mengetuk meja panjang dengan jarinya, ekspresinya tetap datar. "Kita mulai sekarang."

"Tapi, Pak, Nona Delia belum…"

"Maaf, saya terlambat," sela Delia sambil mendorong pintu. Suaranya tenang, langkahnya tegap, wajahnya profesional sperti biasanya.

Ia menyerahkan map laporan keuangan ke Devano. "Ini laporan keuangan perusahaan, Anda bisa mengeceknya," ucap Delia sopan dan formal, seolah tak pernah terjadi apa-apa dengan keduanya.

Devano mengangguk singkat. "Baik. Silakan duduk."

"Terima kasih." Delia duduk di antara staf lainnya.

Presentasi dimulai. Mischa berdiri di depan layar, menjelaskan grafik kenaikan produksi tiga bulan terakhir.

Sementara itu, tatapan Devano diam-diam memperhatikan wajah Delia. Wanita itu menyadarinya, tapi ia tau.. itu bukanlah tatapan suka.

Satu jam berlalu kini meeting selesai, semua staf satu-persatu meninggalkan ruang meeting tersebut.

Delia tampak masih sibuk merapikan beberapa berkas didepannya, sementara Dev hanya berlalu begitu saja bersama sekertaris dan asisten pribadinya.

Delia menahan nafas sejenak. 'Tidak terjadi apa-apa. Tidak terjadi apa-apa. Tidak terjadi apa-apa.' batin Delia mencoba mengualng kata Devano tadi pagi seperti sebuah mantra sihir.

Hingga pria itu telah keluar dari ruangan, barulah Delia mampu bernafas lega. 'Astaga...' batinnya.

Ia mendengus. "Dasar tidak punya perasaan!" umpatnya.

Sumpah seumur hidupnya, Delia baru pernah melihat pria semenyebalkan Dev. dia memaksa, berbuat, dan bilang harus melupakan? gila!

Begitu selesai, Delia langsung membawa berkas-berkas itu masuk ke dalam ruangannya - Direktur Keuangan.

"Selamat pagi nona," sapa sekertaris pribadi Delia -Jessy.

"Pagi," sahut Delia dengan senyum manis.

Delia duduk dikursinya dan meletakkan beberapa berkas yang ia bawa.

"Jes, tolong buatkan aku teh hangat," titah Delia.

"Baik nona, tunggu sebentar," sahut Jessy. Gadis itu langsung berdiri dan meninggalkan ruangan menuju ke pantry kantor.

Delia menghela nafas sejenak, wanita itu langsung membuka laptopnya dan memeriksa beberapa laporan.

Delia memijat pelipisnya sendiri, entah mengapa kejadian semalam sangat membuatnya takut.

"Ini teh-nya, Nona," ucap Jessy ramah.

"Hm.. Terimakasih," Delia meraih cangkir dan menyeruputnya.

"Sama-sama.. Nona Delia, ngomong-ngomong wajah anda pucat sekali, apa anda sakit?" tanya Jessy cemas.

"Tidak, aku hanya.. kurang tidur," jawab Delia.

Memang itu yang akhir-akhir ini Delia rasakan. Ia merasa harus mengakhiri pernikahannya dengan Dev, disisi lain merasa tak enak hati pada keluarga Dev yang sudah sangat baik mau membiayai hidupnya selama ini, dan hal itu cukup menguras waktu istirahatnya.

Delia adalah wanita sebatang kara, orang tuanya telah meninggal dunia dan selama lima tahun ia hidup bersama keluarga Henderson. Mereka sangat menyayangi Delia seperti putri mereka sendiri.

Awalnya Dev juga seorang pria yang baik, dan Delia juga tau jika Dev memiliki seorang kekasih. Tapi begitu perjodohan datang, sikap Dev langsung berubah. Dia menjadi sangat dingin dan arogan.

Awalnya Delia mencoba menahan, tapi akhirnya ia menyerah. Dev tak pernah bisa mencintainya.

"Apa kita perlu kedokter nona?" tanya Jessy.

Delia tersenyum menggeleng. "Tidak Jess.. Aku tidak apa-apa, kembalilah ke mejamu,"

"Baik nona," Jessy mengangguk patuh dan pergi ke ruangannya.

Waktu berlalu begitu cepat, hingga tak terasa jam makan siang telah tiba.

Ting!

Sebuah pesan masuk ke ponsel Delia saat ia hendak pergi.

💌["Mau makan siang bersama?"]

Delia tersenyum, itu adalah pesan dari Alvin.

💌["Tentu,"] balas Delia.

Ting!

💌["Kalau begitu aku tunggu dicafe biasa,"]

💌[Hm! Aku datang!"]

MBMS - Bab 3 Belum Selesai

Begitu selesai menerima pesan dari Alvan, Delia langsung bergegas mengambil tasnya dan berjalan keluar dari ruangan.

Begitu sampai di lobby kantor, ia tak sengaja bertemu dengan Dev dan Michael.

"Selamat siang nona," sapa Michael sopan sambil menundukkan kepalanya.

"Siang," jawabnya singkat dan berlalu pergi, bahkan ia tak sedikitpun menatap wajah Dev, seolah pria itu sesosok mahluk tak kasat mata.

Dev hanya diam dan menatap tanpa ingin mencegah ataupun bertanya. Mereka melanjutkan langkah menuju ke Besement kantor.

Delia juga disana, wanita itu nampak langsung menaiki mobilnya sendiri dan pergi meninggalkan area kantor.

Lima belas menit perjalanan, kini mobil Delia sudah berada di depan cafe yang mereka janjikan.

Delia turun dari mobilnya dan langsung memasuki cafe tersebut, tatapannya mengedar mencari seseorang.

Alvan, pria itu duduk dimeja pojok ruangan. Delia tersenyum dan langsung menghampiri.

"Maaf membuatmu menunggu," ucap Delia menarik kursi didepannya.

"Tidak masalah, aku juga belum lama," ucap Alvan.

"Bagaimana pekerjaanmu hari ini?" tanya Delia.

"Seperti biasanya, aku rasa kamu juga tau bagaimana pekerjaan seorang dokter," ujar Alvan.

"Ya.. Tapi bukan itu maksudku,"

"Hmm.. Pesan makanan dulu, baru bicara," ujar Alvan sambil menyodorkan buku menu.

"Baiklah,"

Saat Delia tengah sibuk memilih menu makanan, tanpa ia sadari ada seseorang yang baru saja masuk dan memperhatikan mereka.

"Pak?" panggil Michael. "Mejanya ada disebelah sana," ia menunjuk ke arah meja yang sudah dipesan.

"Ya," sahut Dev pelan.

Dua orang pria paruh baya langsung menyambutnya begitu sampai dimeja mereka.

"Tuan Devano, selamat datang," sapa pria itu sambil menjabat tangan.

"Terimakasih," jawab Dev sopan.

"Silahkan Tuan Dev," ucap pria tersebut mempersilahkan.

Dev mengangguk dan langsung duduk bersama Michelle, tapi tatapannya tak mampu lama dari meja Delia.

Delia dan Alvan sudah memesan makanan mereka. Alvan menutup buku menu dan menatap Delia lebih lembut.

"Bagaimana keadaanmu sekarang? Apa sudah lebih baik?" tanya Alvan sambil menatap lembut kearah Delia.

Delia hanya tersenyum tipis. "Ya, aku merasa lebih baik sekarang," kilahnya.

Tapi Alvan sangat mengenal wanita didepannya itu, tatapannya tak sama dengan apa yang keluar dari mulutnya.

"Del, kalau kamu butuh cerita…"

"Aku tahu, Van. Makasih." Delia menatap jendela, mencoba mengalihkan pandangan.

Sementara itu, beberapa meja di belakangnya, Devano baru saja duduk bersama dua pria paruh baya. Mereka adalah investor penting Henderson Corp. Michael berdiri di sampingnya, sibuk menyiapkan berkas presentasi.

Devano sempat melirik ke arah meja Delia kembali.

Michael mengikuti arah pandang Devano, lalu berbisik, "Pak, bukankah itu nona Delia?"

Devano tak menjawab. Ia kembali menunduk, pura-pura fokus pada dokumen di hadapannya, padahal dadanya terasa panas.

Investor di hadapannya mulai berbicara panjang lebar soal rencana kerja sama. Devano mencoba mengikuti, tetapi matanya beberapa kali secara refleks melirik ke arah Delia. Dari sudut pandangnya ia melihat Delia tersenyum pada pria itu, senyum yang jarang sekali ia dapat selama pernikahan mereka.

"Bagaimana hubunganmu dengan.."

"Kami sudah resmi bercerai," sela Delia seolah telah tau apa yang dimaksud oleh Alvan dan sedang benar-benar tak ingin mendengar nama pria itu.

"Kamu.. serius?" tanya Alvan.

Delia mengangguk. "Semalam kita sudah menandatangani surat perceraian,"

Alvan menghela nafas lalu kembali menatap wajahnya, menggenggam tangan Delia. "Apapun keputusanmu, aku akan selalu mendukungmu. Aku yakin, keputusan yang kamu ambil pasti sudah kamu pikirkan matang-matang,"

Delia tersenyum samar. "Terimakasih, Vin,"

"Sama-sama,"

Pelayan datang membawa pesanan. Ketegangan tipis itu seperti listrik di udara, tak terlihat tapi terasa.

Devano pura-pura tersenyum pada kliennya, tapi dalam batinnya ada dorongan untuk berdiri dan mendekati meja Delia.

Michael yang paham situasi ini berbisik pelan, "Pak, fokus saja pada rapatnya."

Pria itu menegakkan punggungnya, mencoba menahan ego. Namun, jarinya mengetuk meja tak sabar.

Hingga tiga puluh menit berlalu, akhirnya meeting selesai. Dev menjabat tangan para investor.

"Terimakasih Tuhan Dev,"

"Sama-sama, semoga kita dapat bekerjasama dengan lebih baik kedepannya," ucap Dev.

Begitu para investor itu pergi, Dev langsung berjalan dengan langkah lebar dan tegas menuju ke arah meja Delia.

Delia yang tengah berbincang dengan Alvin langsung kaget ketika menyadari bayangan tinggi berdiri di samping mejanya.

Devano.

Suara di cafe langsung meredup. Mata para pengunjung menoleh.

"Ikut aku," suara Devano rendah dan berat. Ia meraih pergelangan tangan Delia.

"Dev! Apa yang kamu lakukan? Lepaskan!" Delia terperanjat, mencoba menarik tangannya.

Alvan refleks berdiri, tubuhnya menghalangi Devano. "Maaf, Tuan Devano. Ini tempat umum. Tolong lepaskan dia," ucapnya tegas.

Devano menatapnya tajam. "Menjauh! Ini bukan urusanmu!" bentaknya.

"Tidak kalau Anda memaksa," jawab Alvan tanpa gentar. Ia memegang tangan Devano yang masih menggenggam Delia. "Delia bukan lagi_"

Bugh!

Tinju Devano mendarat di pipi Alvan. Kursi terjatuh, gelas bergetar. Beberapa pengunjung berteriak.

"Dev! Cukup!" Delia berusaha memisahkan mereka.

Alvan terhuyung tapi tetap berdiri. "Anda sudah keterlaluan, Tuan Devano," katanya sambil mengusap sudut bibirnya yang berdarah tipis.

Michael panik berdiri di belakang, mencoba menahan bosnya. "Pak! Banyak orang melihat!"

Delia memandang Devano dengan mata penuh kemarahan. "Kamu sudah bukan siapa-siapanya aku lagi, Dev. Jangan ganggu aku!"

Suasana cafe jadi gaduh. Pelayan mendekat, beberapa pengunjung mengangkat ponsel mereka merekam kejadian.

Devano sadar semua mata menatapnya. Rahangnya mengeras, tapi genggaman tangannya di pergelangan Delia masih kaku. Dalam hati dia tahu tindakannya sudah kebablasan.

Dev mengeratkan kepalan tangannya, menahan emosinya sendiri.

"Kita pulang kekantor sekarang," tekan Dev.

Delia menggelengkan kepalanya pelan. "Egois! Aku membencimu Dev!"

Suasana cafe riuh. Devano menutup mata sejenak, menahan emosi. Suaranya lebih pelan tapi tetap memaksa, "Ikut aku sekarang."

Delia menarik napas dalam, tangannya gemetar di genggaman Devano. Ia menoleh pada Alvan yang masih berdiri.

"Lepaskan aku, Dev," ucapnya lirih. "Aku belum selesai di sini."

Kali ini Devano tidak menjawab. Ia menatap Delia lama, seolah menahan sesuatu di tenggorokannya. Genggamannya perlahan mengendur.

Delia menarik tangannya bebas. "Aku akan pulang sendiri," katanya mantap.

Devano memandangi Delia dengan wajah campuran marah dan sakit hati, lalu berbalik pergi diiringi Michael. Cafe kembali berisik, meninggalkan Delia, Alvan, dan tatapan semua orang.

Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!

Download Novel PDF
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!