NovelToon NovelToon

Sweet Revenge

Keisengan Abiyan

"Nathalia."

Naresh memanggil nama gadis kecintaannya itu cukup keras. Sekolah masih sepi. Nathalia sendirian menyusuri lorong kelas. Ini keberuntungan yang ngga boleh dia sia siakan.

Gadis itu Nathalia Rania. Gadis galak tapi sangat cantiik. Naresh sudah menyukainya sejak mereka bareng di kelas sepuluh.

Gadis itu memiliki kembaran dan banyak sepupu di SMA swasta elit ini. Dengar dengar, pemilik yayasan sekolah ini adalah keluarganya. Hal tersebut tidak membuat Naresh rendah diri.

Lagi pula Nathalia hanya galak. Dia tidak sombong. Sepupu sepunya juga begitu. Beberapa diantaranya hanya terkenal jahil.

Naresh menggenggam erat tasnya saat sudah berada di depan gadis itu.

"Ada apa?"

Naresh tersenyum. Dia membuka tasnya dan mengambil sebuah amplop. Walaupun sudah ngga jamannya lagi menulis surat, tapi Naresh tetap merasa lebih bisa menuangkan semua isi pikirannya untuk Nathalia lewat media kertas.

Berhari hari Nares menulisnya, dan hampir sebulan surat itu ada di dalam tasnya. Karena baru kali ini Naresh menemukan Nathalia yang sedang sendirian.

"Dibaca, ya." Setelah memberikannya, Naresh berlalu pergi dengan degup jantung yang berpacu cepat.

Naresh meliriknya dan dia tersenyum ketika melihat Nathalia langsung menyimpannya ke dalam tasnya.

Dia akan menunggu jawaban Nathalia. Mungkin besok. Membayangkannya saja sudah membuat jantung Naresh ingin terbang.

"Naresh, pinjam pe er matematika." Beberapa teman laki lakinya menghadang. Naresh membuka tas punggungnya dan menyerahkan buku prnya.

Sudah biasa kalo teman temannya meminjam pr darinya. Bukan hanya pr saja, bahkan pulpen, penggaris, jangka, buku tulis juga. Karena itu tas Naresh selalu penuh karena dia selalu membawa propertinya lebih dari satu.

Saat bel lima menit lagi akan berdentang, Nathalia bersama.kembarannya dan para sepupunya memasuki kelas.

Naresh deg degan ketika matanya bertemu dengan mata tajam Nathalia. Tapi gadis itu melengos.

Dia sudah baca belum, ya? Naresh semakin deg degan. Reaksi Nathalia membuat Naresh jadi overthinking.

Dia ditolak?

Akhirnya bel berdentang juga dan guru matematika mereka masuk ke kelas.

Selama hampir dua jam pelajaran tidak ada masalah, hingga guru mereka keluar untuk menerima telpon. Terdengar langkah langkah kaki temannya yang berjalan keluar kelas. Naresh tidak mempedulikannya. Suasana kelas masih tenang

Di saat hening begitu terdengar suara lantang Abiyan melafalkan kalimat kalimat yang dia kenal.

APA?! Naresh terhenyak.

Abiyan membaca isi suratnya hingga kimi terdengar tawa dan sorak sorai dari tenan teman satu kelas.

"Diammu membuat semua sabda luruh, An jayyyy....."

"Huuu......"

"Lanjutkan Biyan...."

"Wahahahaha......."

"Cakeeeep.........."

"Wahahahaha........"

"Tenang woooiii.....," seru Abiyan membuat seisi kelas menuruti ucapannya.

"Tenangmu membuat semua kegaduhan sirna, cieee........"

"Lanjuuut........."

"Wahahahahaha......"

"Siapa yang ngirim suratnya, Biyan?" seru beberapa teman laki laki mereka.

"Buat siapa, tuh," tanya teman laki laki Naresh yang lain ingin tau.

"Sebentar, dong. Ada lanjutannya," tolak Abiyan memberikan jawaban.

Naresh terpaku.

"Indahmu meneduhkan hati dan memperangkapnya.... Gila..... Udah bucin parah ni yang nulis."

Suara tawa meledak lagi. Bahkan terdenger bunyi gebrakan meja beberapa kali.

Kelas benar benar heboh.

"Biyan! Surat itu dari siapa dan untuk siapa?" teriak teman laki laknya ngga sabar.

"Sebentar pemirsa..... Mau lanjut nggak nih?" pancing Abiyan dengan wajah super jahilnya.

"Lanjuuttt......!"

Suara tawa dan teriakan terus saja bergema.

"Nathalia....... bagiku kamulah peri yang selalu ada di dalam hatiku. Naresh......."

Hening sesaat. Semua tatapan kini tertuju padanya. Tubuh Naresh membeku.

Tapi nggak lama kemudian tawa mereka meledak keras. Sangat keras. Menghancurkan hatinya.

"Naresh.... Ngga salah, nih, lo suka sama Nathal," komen Abiyan dengan tampang ngga bersalahnya. Malah dia tertawa berderai derai sambil menggoyang goyangkan kertas suratnya.

Naresh melihat Nathalia yang tergopoh gopoh memasuki kelas dan merampas surat itu dari Abiyan-sepupunya. Beberapa sepupu perempuan yang baru datang bersamanya juga membantunya.

Abiyan jadi bulan bulanan para sepupunya itu.

Surat yang ditulis dengan sepenuh hati-khusus untuk Nathalia kini sudah diketahui semua temannya satu kelas.

Naresh kemudian tertunduk. Dia ngga tau apakah Nathalia berhasil mendapatkan suratnya atau tidak, sampai kemudian guru matematika kembali memasuki kelas.

Kelas yang tadinya heboh seperti pasar mendadak hening.

"Naresh, bawa tasmu. Kamu diijinkan pulang."

Kepala Naresh terdongak, menatap guru matematikanya-Bu Lilis bingung.

Ada apa lagi? Tapi dalam hatinya dia bersyukur karena secara ngga langsung gurunya sudah menyelamatkannya.

Bu Lilis mendekat dan membuat Naresh mematuhi perintahnya

Tidak ada yang bertanya, mereka masih terkejut dengan sisa euforia tadi yang tak diduga.

Sampai Naresh akhirnya pergi bersama Bu Lilis dengan tas punggung besarnya.

Dia tidak menatap Nathalia sama sekali, tidak peduli apakah gadis itu mengasihaninya atau acuh saja. Yang Naresh tau, dia sudah ditolak. Sekarang satu kelas sudah tau isi suratnya buat Nathalia.

Naresh semakin heran karena Bu Lilis mengantarnya langsung dengan mobilnya.

"Bu, ini bukan jalan pulang ke arah rumah saya," ucapnya pelan.

"Kita ke rumah sakit, Naresh."

Alisnya bertaut.

"Nenek kamu kena serangan jantung."

DEG DEG

Padahal tadi pagi neneknya baik baik saja.

"Nenek.... baik baik saja, kan, bu?" tanyanya khawatir.

"Berdo'a Naresh."

Naresh tidak bertanya lagi.

Tapi firasat buruk memasuki hati dan pikirannya. Wajah Bu Lilis nampak tegang.

Nek, bertahanlah, harapnya dalam hati. Di dunia ini dia sudah tidak punya siapa siapa lagi. Mamanya sudah meninggal. Papanya? Dia ngga tau ada dimana. Belasan tahun dia dibesarkan neneknya seorang saja.

Naresh sekarang sudah berada di rumah sakit. Dia terlambat. Neneknya sudah tiada.

Kejutan untuknya masih berlanjut. Seorang laki laki yang masih tegap menghampirinya dengan wajah penuh kesedihan.

"Naresh! Sekarang kamu ikut papa."

Papa? Kata itu terus terngiang dan terdengar aneh di telinganya.

Naresh masih menatap jasad neneknya yang sudah terbujur kaku

"Nanti pulang sekolah, kita makan di restoran favorit kamu." Kata kata terakhir neneknya memukul keras hatinya.

Naresh masih ingat dengan senyum lembutnya. Saat itu Naresh ngga melihat tanda tanda neneknya akan sakit parah hingga meninggalkannya secepat ini.

Neneknya masih baik baik saja. Masih sehat.

Matanya memanas hingga kaca mata bulatnya mulai berembun.

Dia menggenggam erat tangan yang masih hangat itu.

"Kamu ikut papa, Naresh."

Naresh ngga menjawab hingga beberapa perawat menjauhkannya dari neneknya.

"Sekolahmu akan pindah. Papa sudah mengurusnya," ucap papanya lagi.

Kenapa kebetulan sekali, batin Naresh. Setelah kejadian memalukan di kelas tadi, memang dia sudah ingin pindah sekolah.

Tapi kenapa neneknya harus meninggalkannya juga?

Dada Naresh sesak.

Naresh diam dan menurut saja ketika papanya membawanya keluar meninggalkan rumah sakit. Jiwanya sudah terbang. Hanya ada raganya saja.

Pindah

"Hati hati, ya, Naresh." bu Lilis ikut mengantar Naresh ke bandara. Beliau bisa merasakan kesedihan Naresh. Dirinya kehilangan murid kesayangannya. Murid pintar yang ngga neko neko.

Naresh mengangguk. Kemudian menyalami tangan bu gurunya sekali lagi sebelum melangkah memasuki ruang tunggu.

Tidak ada teman yang mengantar. Semuanya terjadi sangat cepat. Mereka pasti belum tau, batin Naresh.

Atau memang mereka ngga mau tau, prasangka Naresh dalam hati.

Dia teringat lagi dengan tawa bahagia teman temannya saat surat cintanya dibaca Abiyan.

Naresh menghembuskan nafasnya perlahan.

Jenazah neneknya pun diikutkan dalam keberangkatannya. Yang tidak Naresh sadari papanya yang baru dia lihat hari ini ternyata memiliki jet pribadi.

Bu gurunya juga sempat kaget karena papanya akan membawa jasad nenek Naresh, karena beliau berpikir kalo akan memakamkannya di sini.

Apa yang terjadi dengan Naresh hari ini juga sangat mengagetkannya. Papanya yang datang tiba tiba dan juga kepindahan Naresh yang tidak sempat mengucapkan selamat tinggal pada teman temannya.

Naresh menoleh sekali lagi pada Bu Lilis yang melambaikan tangannya padanya.

Dia membalas melambai dengan kaku.

Selamat tinggal, Bu guru. Terimakasih sudah sangat baik dengan saya, batinnya kemudian tersenyum tipis.

Dia kemudian mengalihkah tatapnya ke arah pesawat pesawat yang sedang parkir.

Selamat tinggal, Nathal, batinnya getir.

*

*

*

Kelas mulai rame lagi setelah kepergian Bu Lilis dan Naresh.

TUK!

Abiyan meringis ketika merasakan pukulan ujung penggaris Nevia mendarat tepat di kepalanya.

"Kamu itu! Keterlaluan tau nggak?" marah sepupunya itu ngga bisa disimpan lagi.

"Kalo Naresh bu nuh diri gimana? Dia, kan, introvert banget." Ayra juga ikutan marah

"Aku ngga sengaja. Mataku siwer aja lihat amplop pink yang nongol di tas Nathal," sergah Abiyan membela diri.

"Lagi pula kenapa.harus Nathalia, sih. Kan, udah sering disinisin juga sama Nathal," lanjutnya lagi.

TUK

Kali ini sepupu perempuannya- Luna yang gantian mengetok kepalanya.

Abiyan menatap kesal. Bisa bisa dia jadi be go kalo diginiin terus, omelnya dalam hati.

"Kenapa juga harus dibacain di depan kelas, sih, Byan. Parah lo." Luna melototkan matanya.

"Emang ngga punya perasaan," kecam Adelia, kembaran Nathalia.

"Aku hanya iseng tadi. Aku ngga nyangka surat itu dari Naresh."

"Sudah terlambat. Nanti pulang sekolah mending lo ke rumah Naresh, deh. minta maaf," kecam Nevia sebal.

"Ngga tega aku lihat muka Naresh tadi," ucap Adelia kemudian melirik Nathalia yang hanya diam saja. Nampak acuh dan ngga peduli.

Abiyan melirik Baim (anak Puspa dan Herdin) yang diam saja ngga membantunya menghadapi kemarahan sepupu sepupu perempuan mereka.

"Ya nanti aku minta maaf ke Naresh. Sekalian kenalin cewe lain, biar cepat move on dari di galak itu." Di akhir kalimatnya, suaranya agak memelan.

Adelia. Nevia, Ayra dan Luna yang masih sempat mendengarnya membelalakkan mata. Tambah gedeg dengan Abiyan.

Suara bel tanda waktu istirahat usai membuat para sepupu itu pun membubarkan diri dan kembali ke kursi masing masing.

*

*

*

Lima menit lagi pelajaran berakhir. Mereka sudah membereskan buku buku mereka.

"Baim, nanti ikut, ya, ke rumah Naresh," ajak Abiyan.

"Oke."

"Kalian mau ikut nggak?" tawar Abiyan pada Nevia yang duduk.di seberangnya.

"Nggak," tolaknya cepat. Pasti Naresh tambah malu ketemu mereka, batinnya.

"Del, ikut, nggak?" tanya Abiyan masih ngga peka.

Adelia juga menggelengkan kepalanya.

"Kenapa, sih, pada ngga mau ikut? Kirain mau nemenin," sungut Abiyan. Kemudian dia menatap Natahlia.

"Nathal, mau ikut, nggak?" tanyanya setengah berharap.

"Ogah," tolak Nathalia ketus.

Abiyan menghembuskan.nafas kesal.

Naresh, Naresh. Kenapa kamu bisa mentok dengan cewe batu begitu, batinnya kasian.

Baim yang duduk di sebelahnya tertawa pelan.

"Sudahlah. Kita aja berdua. Biar Naresh ngga tambah malu," ucapnya untuk menyadarkan Abiyan yang masih juga belum peka.

"Ya udah."

"Anak anak, mohon perhatiannya. Ibu baru dapat kabar kalo Nenek Naresh meninggal dunia."

Suasana kelas yang rame karena jam pelajaran mau berakhir mendadak senyap.

Kabar itu seolah ledakkan petir di telinga sebagian besar mereka.

"Jadi karena ini dia pulang?" bisik Adelia sambil menatap Nathalia yang nampak tertegun.

"Kasian Naresh," ucap Ayra sambil menoleh pada kembarannya Luna.

"Iya."

Abiyan menatap bu gurunya, masih ngga percaya. Lidahnya yang biasa ringan untuk berbicara sekarang mendadak kelu.

"Naresh sekarang sudah pindah sekolah. Hanya disayangkan dia ngga sempat pamit karena semuanya terjadi begitu cepat. Barusan Bu Lilis ngabari. Naresh sudah berada di dalam pesawat," ujar Bu Wiji panjang lebar.

Kelas yang tadi sepi mulai terdengar suara suara seperti dengungan lebah. Banyak suara suara yang bermunculan dengan pertanyaan yang hampir sama.

"Pindah kemana, bu?"

"Kita belum pamitan, bu...."

"Kok, pindah, bu?"

Di tengah dengungan itu, Nevia menatap Abiyan tajam.

"Kamu belum minta maaf dengan Naresh."

Abiyan tau. Saat ini perasaan bersalahnya makin besar.

*

*

*

Mereka sekarang berada di sini. Teman teman satu kelas Naresh berkunjung ke rumah neneknya yang sudah sepi. Pagarnya sudah digembok.

Tetangga yang bersisihan dengan mereka menampakkan wajah sedih.

"Sudah pindah, mas, mbak....., mas Nareshnya," ucap seorang laki laki paruh baya.

Mereka hanya mengangguk tanpa suara. Mereka pun diliputi perasaaan sedih yang mendalam.

Komplek perumahan Nenek Naresh cukup elit.

Nathalia dan sepupu sepupunya; juga beberapa teman sekelas pernah datang dan bertemu Nenek Naresh.

Sekarang Nenek Naresh yang cerewet dan selalu memesan makanan sesuai permintaan mereka sudah tiada

Nyesak, itu yang dirasakan Nathalia. Juga karena kejadian ini terlalu tiba tiba.

"Ngga ada yang tau dengan pasti, Mas Nareshnya sekarang pindah kemana. Mereka ngga bilang apa apa," jelas bapak separuh baya itu lagi. Beliau tetangga sebelah kanan Neneknya Naresh. Sekarang malah mengundang teman teman Naresh istirahat di halaman rumahnya.

Sepertinya rumah beliau juga habis menerima tamu.

"Nanti malam warga mau kirim do'a untuk Nenek Naresh di rumah bapak," ucapnya lagi.

Nathalia dan yang lainnya manggut manggut.

Jangankan tetangganya, Bu Lilis aja ngga dikasih tau, Naresh mau dibawa kemana sama papanya.

"Saya kirain Mas Naresh sudah yatin piatu, hanya ada neneknya saja. Ternyata Mas Naresh masih punya papa. Untung mereka ketemu di waktu yang tepat,'' cerita bapak itu lagi.

Abiyan sebenarnya frustasi. Tapi ngga ada informasi apa pun lagi tentang keberadaan Naresh. Bapak tetangga Naresh saja ngga tau.

Ponselnya juga ngga bisa dihubungi.

Abiyan melirik ke arah Nathalia

Dia menyesal, ngga, ya?

Pov Nathalia Rania Airlangga Wisesa

Dulu ada laki laki yang disebelin tapi juga disukai Nathalia.

Namanya Nareshpati Sadewa.

Dia pendiam, culun karena kaca mata bulatnya yang agak tebal lensanya, suka dibully waktu SMA. Tapi dia tidak seperti korban buliyan yang umumnya akan merasa takut atau rendah diri. Dia tetap cuek dan memberikan apa saja yang diminta para pembully.

Pensil, pulpen, pr, buku tulis, buku cetak, bahkan uang. Dia ngga akan pelit memberikannya.

Tas punggungnya selalu kelihatan berat untuk tubuh jangkung kurusnya. Di dalam tasnya itu memuat banyak barang yang dibutuhkan pembully.

Tragedi memalukan terjadi ketika Nareshpati tiba tiba memberikannnya surat di pagi hari itu.

Mood Nathalia saat itu lagi jelek banget. Maminya memintanya tampil lebih feminim di acara ultah omanya. Padahal Nathalia paling anti berdandan ala ala putri.

Padahal maminya sudah punya Adelia yang bisa di make over jadi putri apa saja sesuai keinginan maminya, tapi tetap saja ingin mengutak atik dirinya.

Karena itu dia sendirian menyusuri lorong sekolah pagi itu, memilih menyetir sendiri ke sekolah.

Lagi bete begitu, Naresh tanpa ba bi bu mengulurkannya sebuah amplop surat warna pink. Setelah dia menerimanya, laki laki itu malah pergi begitu saja tanpa menjelaskan maksudnya.

Nathalia sempat berpikir kalo itu amplop teman mereka yang ngga bisa datang ke sekolah.

Naresh, kan, sudah biasa dititipin teman teman sekelas dan dia ngga masalah sepertinya. Jadinya Nathalia menyimpannya asal saja di dalam tasnya.

Apesnya saat Nathalia dan beberapa sepupu perempuannya keluar bentar, Abiyan-sepupu terjahilnya membuat ulah.

Abiyan dengan lantang membaca isi surat itu yang ternyata pernyataan cinta Naresh untuk dirinya. Sayangnya satu kelas sudah mendengar walaupun Nathalia berhasil merampas surat itu dari tangan Abiyan.

Nathalia sempat melihat wajah Naresh yang tertunduk dalam itu sebelum dia kembali duduk di kursinya.

Nathalia bingung harus mengatakan apa pada Naresh.

Maaf?

Tapi rasanya lebih besar dari kata maaf.

Sayangnya Nathalia ngga berbuat apa apa karena di hari itu Naresh pergi dengan membawa banyak kesakitan di hatinya.

Sekarang setelah delapan tahun berlalu Naresh berdiri di depannya, tidak sendiri. Ada yang menggandeng mesra lengannya. Bahkan kini mereka sedang berdansa.

Tanpa sadar Nathalia menghembuskan nafas kasar.

"Kamu ngga apa apa?" Adelia yang duduk.di sampingnya menatap lekat sepupunya. Luna juga, begitu juga dengan Ayra yang baru datang.

"Emangnya aku kenapa?" ketusnya sambil menggoyangkan es batu kecil di dalam gelasnya.

"Siapa tau masih mikirin Naresh," tawa Luna meledek.

"Masa kamu masih suka sama Naresh?" pancing Ayra ngga percaya.

'Delapan tahun loh, Nathal. Kalo jadi pohon, kamu udah jadi pohon beringin yang besar banget tuh, karena mendam perasaan selama itu ," tawa Ayra tergelak. Adelia dan Luna yang mendengarnya juga meledak tawa.

Nathalia mengirimkan mata lasernya pada ketiga.sepupunya yang seolah ngga takut dan tetap tergelak.

Dari mana mereka bisa tau perasaannya? Selama ini dia ngga pernah cerita, sungutnya dalam hati.

Mungkin sepupunya hanya menebaknya lewat sikapnya?

No, bantahnya lagi.

Dia tidak seterang itu menunjukkan perasaannya.

"Naresh kelihatan prof banget, ya. Cewe itu kayak udah kelelep sama Naresh." Adelia mengganti topik karena melihat wajah kembarannya udah ngga enak banget dipandang mata.

"Naresh ditatar bokapnya, kali, jadi bisa berubah gitu." Luna memberikan pendapatnya.

"Masih ingat dulu dia culun banget, juga baik. Waktu memang bisa merubah watak orang, ya," komen Ayra.

"Ya," jawab Adelia

"Eh, kok, Nevia belum balik ke sini? Kamu, kan, tadi pergi sama dia, Ay?" tanya Luna sambil menatap kembarannya.

"Tadi aku tinggalin dia sama Milan," jawab Ayra santai.

"Apaaa?!" ketiga sepupunya melengak kaget.

Ayra malah tergelak.

"Siapa tau nyumbang pasangan lagi."

Ketiganya menggelengkan kepala, kemudian tertawa juga.

"Setelahnya kalo ada lampu ijo, lanjut Naresh Nathal."

Tawa Adelia dan Luna tambah berderai.

Nathalia yang tadi ikut mengetawai nasib Nevia jadi menyeringai.

"Ngga akan," bantahnya yakin. Lihat saja Naresh sangat erat meluk calon istrinya itu. Sudah pasti dia ngga mungkin ada di antara mereka. Memangnya dia mau jadi orang ketiga.

No!

Tapi ketiganya hanya menanggapi dengan tawa yamg ngga kunjung usai.

Hingga tawa itu terhenti ketika melihat Nevia mendekat dengan wajah keruh.

"Cieee.... Yang baru jadian," tebak Ayra.

"Jadi Milan nembak kamu?" tanya Luna penasaran.

"Beneran, Nev?" tanya Adelia ngga sabar. Sedangkan Nathalia hanya menatap sepupunya lekat.

Nevia malah melototkan matanya.

"Kalian benar benar, ya," decaknya kesal. Hari ini hari paling mendebarkan buatnya.

Mendapat jawaban Nevia, Ayra, Luna dan Adelia tertawa lagi. Sedangkan Nathalia tersenyum miring.

Nevia meneguk habis minumannya yang esnya sudah sangat mencair.

Hufffttt.... Ternyata lama sekali dia perginya.

Tapi jantungnya masih berdebar cepat, masih belum normal. Ci uman Milan masih sangat kerasa.

Si al! Si al! Harusnya tadi aku ngga baper, umpatnya dalam hati.

"Mau aku ambilkan minuman lagi?" tawar Nathalia yang merasa sepupunya sudah sangat kehausan.

Nevia menggeleng. Dia mengambil lava cake dan langsung menggigitnya. Coklat lumernya tumpah melewati sudut sudut bibirnya.

Saat Nevia mengusapnya dengan tisu, kembali dia memaki dalam hati karena mengingat lagi betapa lembutnya bibir Milan tadi menempel di bibirnya.

Keempat sepupunya ngga bertanya apa apa melihat tingkah aneh Nevia. Mereka sedang menunggu sepupunya.itu bercerita.

"Aku kasih dia masa percobaan dua bulan."

Keempatnya tersenyum lebar.

"Kayak lagi lamar kerja aja," canda Ayra menahan tawanya.

"Ngga mungkin, kan, aku langsung terima. Secara tau dia seperti apa?!" gerutu Nevia kesal.

"Jadi Milan tadi beneran nembak kamu? Wooww... akhirnya dia berani juga." Kali ini Luna ngga bisa menahan decakan kagumnya.

"Kalo ngga suka ngapain diterima," skak Nathalia membuat Ayra dan Adellia tergelak.

Nevia masih tertegun mendengar ucapan Nathalia.

Kalo dia ngga suka....? Benaknya masih mencerna kata kata Nathalia.

Beberapa saat kemudian.

Dia suka Milan? batinnya terhenyak.

Milan?

Ngga mungkin, kan?

Teringat laki laki itu yang sangat gampang memeluk dan dipeluk perempuan lain. Terutama yang berpakaian se ksi.

Tensinya sepertinya naek.

Nevia memasukkan lagi lava cake ke dalam mulutnya. Kali ini utuh.

"Jadi Milan ada kemungkinan gagal melewati seleksi dua bulan?" tanya Nathalia

"Ya," jawabnya ambigu. Mereka sudah kissing!

"Masa bisa gagal?" Ayra menatap Nevia ngga terima.

"Milan pasti ngga mau gagallah. Dia pasti bakal berusaha keras buat lulus seleksi dua bulan itu," ucap Adelia yakin.

Melihat Milan akhirnya berani mengungkapkan perasaannya ke Nevia, pasti sudah dia pikirkan resikonya.

Ngga mungkin, kan, dia mau bonyok dihajar Abiyan atau Jayden, batinnya lagi.

"Kita ikut pantau Milan. Sekarang tanggal empat belas september. Berarti, empat belas november hasil seleksinya keluar," tukas Ayra.

"Ya, udah aku tandain," sambung Luna sambil membuka kalender di ponselnya.

Kalian ini, kenapa jadi nyebelin banget, umpat Nevia dalam hati.

Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!

Download Novel PDF
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!