NovelToon NovelToon

Dewa Ninja Lima Element

bab 1

Duarrr...

Dentuman keras mengguncang udara, menyisakan getaran yang membuat alam di sekitarnya ikut bergoyang.

Lima sosok dewa berdiri kokoh dengan wajah penuh tegang, tubuh mereka menyala oleh aura energi dari kekuatan dewa yang mereka miliki.

Di hadapan mereka, seorang manusia berdiri tegap, matanya tajam memancarkan kekuatan yang nyaris setara dengan para dewa.

Namanya adalah Andi Mahesa. Sosok manusia yang memiliki kekuatan dewa enam element berbeda yang sangat dahsyat.

Pertarungan dahsyat itu seperti badai yang mengoyak langit, memperlihatkan kehebatan dari sosok yang dianggap mustahil untuk melawan para dewa.

Tapi kenyataannya, sosok manusia itu bukan hanya mampu menahan serangan dari lima dewa sekaligus, kadang ia bahkan dapat membalas dengan pukulan telak yang membuat para dewa terkejut.

Di satu momen yang menentukan, manusia itu mengerahkan jurus pamungkasnya, sebuah kekuatan dahsyat yang mengguncang seluruh dimensi para dewa. Dentuman keras menggema menggetarkan jiwa bagi yang mendengarnya.

"Tubuh petir" teriak Andi Mahesa dengan sangat keras.

Jledar...

Tubuh Andi Mahesa meledak dalam cahaya menyilaukan, berubah menjadi sosok dengan tubuh petir yang sempurna.

Di tangannya, sebuah Pusaka Cambuk Petir sudah tergenggam dengan sangat erat di tangan kanannya, ia siap memanggil jurus puncak yang menakutkan.

"Jurus Amarah Petir!" teriaknya penuh keyakinan, menantang langit dan lawan-lawannya.

Jledar.....

Petir pertama menyambar turun dari langit, menyayat udara dengan suara menggelegar yang membuat tanah bergetar.

Petir itu langsung masuk ke tubuh sosok manusia dewa yang tengah memanggilnya, membuat cahaya membungkus setiap lekuk ototnya.

Tidak lama kemudian, ribuan petir lain mulai berjatuhan, menari liar di sekitar Andi Mahesa.

Jurus amarah petir yang dikeluarkannya menggila, menyambar dengan ganas ke segala arah.

Lima dewa yang menjadi lawannya terdiam membatu, mata mereka melebar penuh ketakutan dan kekhawatiran.

“Tidak mungkin... Jurus sekejam ini datang dari satu orang manusia ?” bisik salah satu di antara mereka sambil meloncat menghindar, nafas mereka memburu di tengah hujan petir yang tak kunjung henti.

Petir terus menggelegar, membelah langit yang pekat, sambil ribuan kilatan menyambar nyambar seolah melahap segalanya.

Di tengah kekacauan itu, lima sosok dewa Petir, Dewa Es, Dewa Air, Dewa Angin, dan Dewa Api sedang berusaha menangkis serangan luar biasa dari seorang pemuda yang memiliki kekuatan Dewa.

Andi Mahesa adalah sosok manusia yang dipenuhi aura dewa. Matanya menyala, penuh amarah yang membara, bayangan dendam dan kekecewaan tergurat jelas di wajahnya.

"Kalian sudah salah dalam menggunakan kekuatan kalian!" suara Andi bergema, tajam menusuk udara.

"Status kalian sebagai dewa seharusnya melindungi umat manusia, bukan membawa kehancuran bagi mereka!" Tangannya mengepal erat, tubuhnya bergetar oleh kebencian yang meluap.

Seketika, ia mengangkat suaranya lebih tinggi, suara penuh kutukan dan kemarahan.

"Hidup tak pantas buat kalian! Bersiaplah menjemput Kematian kalian!" Gelora kemarahannya menggetarkan angin, memecah gemuruhnya langit yang di sertai kilatan petir.

Andi Mahesa mengangkat tangannya tinggi-tinggi, suaranya melengking tajam menembus keheningan.

"Tubuh api petir!" teriaknya dengan nada menggelegar yang memekakkan telinga.

Duarrr...

Seketika, suara ledakan menggemuruh memecah suasana, mengiringi perubahan menakjubkan pada tubuhnya.

Dari sosok manusia biasa, ia berubah menjadi jelmaan dewa yang penuh amarah, tubuhnya membara dengan api yang di sertai percikan petir berwarna kuning menyala nyala.

Di tangan kirinya tiba tiba muncul sebuah pusaka lain yaitu Pusaka Pedang Api yang bersinar dengan aura kekuatan yang dahsyat.

Matanya membara, menatap lawan dengan dingin. "Kematian kalian akan menebus dosa-dosa yang selama ini kalian simpan," kata Andi Mahesa sambil melantunkan ancaman, suaranya bergema di tengah dentuman petir yang tiada henti hentinya menyambar seolah mengisi setiap sudut amukan yang membara.

Andi Mahesa menarik napas dalam-dalam, matanya membara saat energi chi mengalir deras ke dalam Pusaka Pedang Api dan cambuk petir yang di tangannya.

Nyala api tiba tiba berkobar liar di bilah pedang, mengirimkan panas yang membuat udara di sekitarnya bergetar. Di tali cambuknya, percikan listrik menjalar seperti ular petir yang mengamuk.

Sesaat kemudian ia menghentak kakinya di atas tanah yang menghasilkan dentuman keras, membuat debu debu beterbangan terbang ke udara.

Tanpa di aba aba, Andi Mahesa meloncat tinggi naik ke udara, tubuhnya tegap dan penuh kekuatan. Di puncak loncatan, ia mengangkat kedua pusaka itu dengan gagah, seolah menyatukan dua elemen dahsyat.

Sorot matanya tajam menatap lima dewa yang sedang sibuk menghindari jurus amukan petir sebelumnya.

"Jurus pedang naga api petir!" teriak Andi Mahesa dengan keras.

Duarrrrr...

Suara menggelegar menggetarkan langit. Satu kobaran api dan petir keluar dari ujung pedang api dan cambuk petir yang sedang di genggam erat oleh seorang manusia dewa.

Api petir itu terus melesat naik ke atas hingga membentuk sebuah wujud naga besar lengkap dengan sayapnya yang terbuka lebar.

Roarrrr..

Suara keras menakutkan menggema di langit yang di penuhi amukan petir yang terus menyambar nyambar tiada henti.

Seekor naga dari element api terbang meliuk liuk di udara, sembari menyemburkan api panas yang keluar dari mulutnya.

Selain itu, sosok naga api itu di lengkapi dengan kilatan petir kuning yang menyala nyala di seluruh tubuhnya.

"Habisi mereka semua.!" seru Andi Mahesa sambil mengayunkan Pusaka Pedang Api miliknya ke bawah.

Bersamaan dengan itu, sosok naga api yang diselimuti kilatan petir kuning melesat turun ke bawah, mencoba menerjang lima dewa yang sedang berlompatan ke sana kemari untuk menghindari sambaran petir. Meski sesekali tubuh mereka tersengat petir yang tak dapat mereka hindari.

Lima dewa itu menatap ke atas. Lalu melihat sosok naga api petir yang melaju cepat ke arah mereka semua.

Pada saat itu, mereka sadar bahwa satu satunya pilihan adalah melawan atau membentuk sebuah perisai yang dapat melindungi mereka, karena menghindar sama sekali mustahil.

“Berkumpul..!” suara itu menggelegar, menggema dari dewa es yang berdiri kokoh di depan mereka.

Mendengar teriakan itu, lima dewa segera bergegas mengitari satu titik, langkah mereka berat dan wajahnya penuh ketegangan.

“Apa yang harus kita lakukan sekarang?” tanya salah satu di antara mereka, suaranya bergetar sedikit menahan cemas.

Dewa es menatap mereka satu per satu, lalu menancapkan kakinya ke tanah dengan hentakan keras. Tangan kanannya terangkat tinggi, seperti hendak menahan sesuatu yang besar dan berat.

“Aku akan membuat perisai es tebal. Semoga bisa menahan naga api itu.” kata dewa es

“Kubah es!” teriaknya tegas.

Tanah di bawah mereka bergetar kuat, membeku dengan cepat. Dalam sekejap, es muncul dari permukaan, membentuk kubah tebal dan membungkus lima dewa itu. Suara retakan es bercampur desiran angin dingin memenuhi udara, menciptakan benteng beku yang memantulkan bayangan naga yang mengancam dari atas mereka.

Pada saat itu, kelima dewa berlindung di balik sebuah kubah es yang diciptakan oleh Dewa Es. Wajah mereka tampak cemas karena merasakan ketakutan yang luar biasa.

"Semoga kita bisa bertahan dari serangan ini," ucap mereka dengan penuh harap.

Satu per satu, para dewa mulai menempelkan tapak tangan mereka ke tubuh Dewa Es, merekq mencoba mengalirkan energi chi ke dalam tubuh dewa es dengan harapan memperkuat dan mempertebal kubah es yang melindungi mereka.

"Hanya ini yang bisa kami lakukan untuk membantumu," kata salah satu dewa lainnya.

Roarrr...

Suara naga api krmbali menggema keras di udara. Tak lama kemudian, naga itu menyemburkan napas api yang panas ke kubah es yang ada di bawahnya. setelah itu, naga tersebut menghantamkan tubuhnya ke kubah es yang melindungi kelima dewa.

Duarrr...

Suara ledakan dahsyat terdengar menggelegar mengguncang lima dewa yang ada di dalam kubah es. Akibat benturan jurus kuat dari sosok manusia dewa dengan kubah es di bawahnya. Kobaran api menyelimuti seluruh area, berusaha menelan kubah es yang terus diterjang.

Api dari ledakan naga api petir meluap dengan dahsyat, menyambar dan melahap setiap inci kubah es di bawahnya.

Kubah es yang tadinya kokoh sekarang mulai terlihat keretakannya, uap panas membubung tinggi, perlahan mencairkan es yang berusaha bertahan.

Lima dewa yang berdiri di bawahnya menatap dengan ketakutan terpancar di mata mereka, keringat dingin mengalir deras di pelipis mereka semua.

"Tidak mungkin... manusia itu menguasai jurus sekuat ini," lirih mereka, dengan suara gemetar tertahan di tenggorokan.

Tiba-tiba, terdengar suara gemuruh menggelegar,

"Trakkkk!"

Kubah es langsung pecah berkeping keping setelah di terjang api yang tiada henti.

"Tidak..!" teriak para dewa bersamaan, napas mereka memburu saat suhu panas api mulai merambat, menusuk kulit dan tulang, menggantikan tempat perlindungan mereka yang kini lenyap di sapu kobaran api.

Arkhhh...

Lima dewa menjerit histeris, wajah mereka memerah terbakar oleh nyala api yang menjilati kulit tanpa ampun.

Tubuh mereka berguling guling tak berdaya di atas tanah, mencoba memadamkan bara panas yang menggerogoti setiap inci tubuh kelimanya.

Keringat kelima dewa bercucuran, napas terengah engah, tapi api itu tetaplah menari liar di seluruh tubuh mereka yang tak dapat terkendali.

Dari kejauhan, Andi Mahesa mengamati pemandangan itu dengan tatapan dingin. Ada ketenangan yang aneh merayap di dadanya, karena lima sosok dewa yang sudah membuat kehancuran kini akan berakhir dalam sebuah kematian yang mendalam.

Dengan gerakan tegas, Andi Mahesa menghentikan jurus amukan petirnya. Langit yang sebelumnya bergetar seketika hening, seakan mematuhi keputusan sosok manusia tersebut.

Andi Mahesa melayang turun dari udara, tubuhnya menyentuh tanah lalu berjalan santai ke arah lima dewa.

Matanya segera menatap tajam ke arah lima dewa yang terbaring di atas tanah, wajah mereka berkerut meringis karena luka bakar mengerikan yang membekas di kulit. Meski api sudah padam, asap masih mengepul tipis dari tubuh mereka yang terbakar.

"Hukuman untuk kalian bagi para dewa yang mengingkari tugas sebagai penjaga alam semesta adalah kematian," suara Andi Mahesa menggelegar, nyaris tanpa emosi.

Salah satu dewa berusaha bangkit, napasnya terengah engah dengan tangan gemetar yang berusaha menopang tubuhnya.

Namun, hanya sampai posisi merangkak ia mampu, matanya membara penuh kebencian mengunci sosok manusia di depannya Yang sudah membuat mereka binasa.

Dewa petir mengangkat tangan, matanya menyala penuh amarah.

“Kau sudah membuat kami hancur, manusia rendahan!” suaranya menggelegar, bergetar oleh api dendam yang membara di dadanya.

“Kami bersumpah, jika diberi hidup kembali, kami akan melawanmu sampai titik darah penghabisan!”

Tiba tiba, langit menggelap dan petir mengoyak udara dengan gemuruh dahsyat, seolah alam sendiri meresapi sumpah sang dewa. Kilatan menyambar nyambar, menari nari mengiringi setiap kata yang terucap dari dewa tersebut.

Andi Mahesa mengangkat kepala, tatapannya tajam menghadap cakrawala yang bergemuruh itu. Dada lelaki itu naik turun, menahan gejolak perasaan.

“Aku harap begitu,” gumamnya pelan,

“kalian memang sudah diamanahkan oleh Sang Penguasa untuk menjaga bangsa manusia. Tapi nyatanya, kalian justru bertekad untuk menghancurkan mereka.” Suara Andi melambung, meninggi dengan ketegasan.

“Semoga kelak kalian terlahir kembali sebagai manusia. Barulah pada saat itu, kalian akan benar benar mengerti bagaimana menjaga tubuh yang nanti akan menjadi tempat kalian bernaung.” Matanya membara, penuh harap sekaligus tantangan, menantang para dewa untuk memahami arti sebuah kehidupan.

Andi Mahesa menatap tajam ke depan, kedua telapak tangannya mulai mengeluarkan cahaya keemasan yang berkilauan, seolah energi chi mengalir deras di dalam dirinya.

"Langkah petir," ucapnya pelan, napasnya berirama cepat saat tubuhnya bergerak semakin gesit.

Angin berdesir di sekelilingnya saat ia melesat maju dengan kecepatan luar biasa menuju lima dewa yang tergeletak tak berdaya di depannya. Begitu jarak mereka semakin dekat, Andi mengayunkan tapak tangannya satu per satu, membentur tubuh para dewa itu dengan tenaga yang membuat udara bergetar.

"Berenkarnaslah dan jadi lebih baik lagi…!" suaranya bergemuruh penuh amarah sekaligus harapan.

Serangkaian dentuman keras menggema, disusul jeritan kesakitan dari kelima dewa yang tubuhnya bergetar hebat terkena hantaman.

Dari dalam tubuh mereka, sesuatu seperti cahaya energi terpaksa keluar, ditarik kuat oleh Andi Mahesa yang berusaha mengambilnya.

Ia menahan napas, setelah memastikan setiap energi di dalam tubuh para dewa telah terkuras sebelum akhirnya mundur perlahan, matanya masih membara penuh tekad.

Tidak berapa lama kemudian, tubuh kelima dewa itu mulai pudar, seolah disapu angin lembut yang perlahan mengikis wujud mereka hingga menghilang sama sekali. Keheningan mengisi udara, menandai berakhirnya nyawa mereka di tangan Andi Mahesa.

Sosok manusia dengan aura dewa itu menatap telapak tangannya yang kini terpancar lima batu mustika berwarna warni, masing masing menyimpan elemen yang baru saja ia serap dari para pemiliknya. Matanya memerah samar, suara serak memenuhi ruang hening. "Batu mustika ini akan kutitipkan ke berbagai dimensi berbeda," gumamnya pelan.

"Semoga reinkarnasi kalian nanti bisa menemukannya dan mengasah kekuatan bertarung mereka. Setelah mendapatkan batu mustika ini" Ia mengangkat kepalanya, pandangannya tajam namun lembut, seolah berbicara kepada jiwa-jiwa yang telah tiada.

"Aku ingin di pertemuan kita selanjutnya akan menjadi kawan. Setelah kalian bereinkarnasi, semoga kalian mengerti arti tugas dan tanggung jawab ini... dan dapat menjalankannya dengan benar." Lanjut Andi Mahesa.

Andi Mahesa menunduk fokus, jari-jarinya cekatan membentuk lima lubang kecil di udara. Setiap lubang itu berkilau samar, seperti gerbang kecil menuju dunia lain. Batu mustika elemen yang ia genggam bergetar halus, seolah merasakan panggilan misterius dari portal-portal tadi. Ketika lubang-lubang itu benar-benar terbuka, Andi mengayunkan tangan dan dengan tenang melemparkan satu per satu batu mustika ke dalam dimensi berbeda. Matanya tajam mengamati batu batu itu menghilang satu per satu.

Dengan terlemparnya batu mustika itu maka akan ada sebuah perjalanan panjang dari kisah seorang yang akan berjuang untuk mendapatkan batu tersebut. Serta memperkuat kemampuan bertarung yang di miliki oleh sosok tersebut.

bab 2

Di sebuah dimensi manusia, tepatnya di kerajaan besar yang bernama Kerajaan Krisdasana, sebuah kisah sedang berputar di ruang kamar kerajaan yang penuh lilin temaram.

Seorang ratu muda bernama Sri Rahayu, istri sang raja Baladewa yang memimpin negeri itu, tergeletak lemah di ranjang, keringat dingin terlihat mengalir dan membasahi di dahi wanita tersebut yang sedang berjuang dalam hidup dan mati untuk mendapatkan gelar yang di inginkan oleh banyak wanita yang sudah bersuami.

Nafasnya terengah engah, menggenggam erat tangan para tabib wanita yang sibuk membantunya untuk melahirkan.

Detik-detik terasa membentang lama, hingga menjelang tengah malam, terdengar tangisan pertama.

"Huaaaa... huaaa..." suara tangisan bayi kecil membelah hening istana megah itu.

Suara itu, penuh harapan dan perjuangan, mengisi ruangan dengan kehidupan baru yang lahir dari perjuaangan dari seorang wanita.

Para tabib wanita sigap mengangkat bayi mungil yang baru saja lahir ke dunia. Tangan mereka cekatan membungkus sang bayi dengan selimut lembut setelah membersihkan noda merah yang menempel dari tubuh sang ibu.

Namun, saat itu, pandangan mereka tertuju pada sebuah tanda aneh di dada kanan bayi itu. Lima bentuk berbeda, seolah olah melambangkan lima elemen yang saling terkait

Wajah mereka terpancar rasa heran dan bingung, meski tak satu pun dari mereka paham arti tanda tersebut. Meski begitu, keyakinan tumbuh di hati mereka, bahwa tanda itu adalah berkah atas pemberian dari para dewa.

Salah satu tabib tersenyum hangat sambil menepuk punggung ibu yang baru saja melahirkan seorang bayi.

“Selamat... kau telah menjadi seorang ibu. Anakmu berjenis kelamin laki laki dan ia terlihat sangat tampan,” ucapnya lembut, penuh harap.

Sang ibu yang baru melahirkan mengenggam erat tubuh mungil bayinya yang baru saja lahir, wajahnya basah oleh air mata yang menetes pelan di pipi. Air mata itu bukan karena kesedihan, melainkan kebahagiaan yang membuncah di dadanya, seperti gelombang tak berujung.

Dia menghembuskan napas panjang, menatap lekat sosok kecil di pelukannya, seakan mengucapkan janji dalam hening.

Saat itu, pintu ruang persalinan terbuka pelan, dan Raja Baladewa melangkah masuk Ke dalam. Senyum lebarnya langsung merekah begitu terdengar tangisan bayi. Matanya berbinar, penuh kegirangan.

Ia segera mendekat, menaruh tangan hangatnya di bahu sang istri, lalu menatap sang buah hati dengan mata penuh kasih.

“Dia sangat tampan. Mirip ayahnya,” ucap Raja Baladewa lembut, suara yang bergetar oleh kebanggaan.

Tabib wanita yang berdiri di sudut ruangan ikut tersenyum, sambil menunjuk tanda khas di dada bayi itu.

“Benar, dia tampan sekali. Dan putramu memiliki tanda unik di dadanya.” Suaranya tenang dalam memberitahuakan hal tersebut, sembari sedikit membuka selimut yang menutupi tanda unik pada bayi itu.

Raja Baladewa dan permaisurinya yang bernama Sri Rahayu, duduk bersebelahan, mata mereka menatap tajam pada tanda aneh yang terpampang di dada bayi kecil itu.

Raja Baladewa mengerutkan kening, bibirnya bergerak pelan, mencoba memahami.

"Tanda ini... mengapa bentuknya begitu aneh?" suaranya terdengar penuh keheranan. Mata mereka menyusuri tanda dari lima elemen yang tersusun melingkar di dada bayi mereka , petir yang berkelap kelip, lidah api merah menyala, aliran air bening, kilauan es dingin, dan pusaran angin halus. semua menyatu di satu titik di dada si kecil.

Raja Baladewa diam, matanya berkaca-kaca, benaknya berputar putar mencari makna yang tersembunyi di balik tanda itu. Tapi makin lama, jawabannya tak juga muncul.

Tiba tiba suara lembut sang tabib memecah keheningan dan lamunan dari sang raja.

“Mungkin tanda itu adalah sebuah anugerah dari para dewa, Yang Mulia. Suatu hari nanti, putra Raja akan menjadi seorang yang hebat.” kata tabib wanita tersebut.

Raja menatap putranya dengan tatapan penuh harap, dadanya bergetar seperti merasakan janji sebuah takdir besar.

"Kau benar," sahut Raja Baladewa dengan senyum yang mengembang, matanya berbinar penuh harap. "Mungkin dia akan jadi orang hebat suatu hari nanti." lanjutnya lagi.

Pada hari itu, suasana di istana dipenuhi gelak tawa dan bisik bisik penuh kebahagiaan. Kehadiran sosok kecil itu seolah menjadi cahaya baru bagi kerajaan yang luas dan megah.

Namun beberapa hari kemudian, tawa itu berubah jadi kegelisahan. Bayi kecil dari Sri Rahayu mendadak merasakan sesuatu yang aneh. Badannya kadang panas membara, lalu tiba-tiba dingin menggigil.

Sri Rahayu menatap anaknya dengan mata berkaca kaca, jemarinya menekan dada kecil itu mencari kehangatan yang lenyap entah ke mana. Tidak ada yang bisa ia lakukan. Selain hanya sebatas menyentuh dan memegang putrnya itu.

Merasa sesuatu hal yang tidak baik. Akhirnya Sri Rahayu berteriak memanggil suaminya.

"Kanda..." suaranya bergetar saat memanggil Raja Baladewa, harap dalam suaranya terbungkus cemas. Dia berdiri di ambang pintu kamar bayi itu, menyembunyikan ketakutan yang menggerayangi hatinya.

Raja Baladewa melangkah perlahan ke kamar bayi mereka, setelah mendengar panggilan istrinya. wajahnya penuh dengan tanda tanya.

"Ada apa?" tanyanya, suaranya lirih namun tegas.

Sri Rahayu berdiri di samping tempat tidur anaknya, wajahnya kusut oleh kecemasan.

"Putra kita... badannya tiba-tiba panas, lalu dingin lagi. Suhunya naik turun tak menentu," jawabnya, suaranya serak menahan cemas.

Baladewa mengulurkan tangannya, menyentuh lengan kecil sang bayi. Segera terasa perbedaan suhu yang aneh, seolah kulit itu berperang antara hangat dan dingin. Ia mengerutkan kening, bibirnya berbisik pelan.

"Apakah ini... penyakit?" Matanya memandang sang anak dengan campuran takut dan harap.

Raja itu menarik napas dalam dalam, dadanya berdebar. Tak mau menunggu lebih lama, ia langsung memutuskan untuk memanggil tabib yang bisa mengobati putranya itu.

Raja Baladewa menatap lemah ke arah permaisurinya, suaranya bergetar saat berkata, "Kau jaga putra kita baik-baik." Matanya melembut tapi penuh kecemasan. Ia berdiri perlahan dan melangkah keluar ruangan, meninggalkan aroma sang permaisuri yang sedang duduk di samping putranya.

Di halaman istana, Baladewa segera memanggil para prajurit.

"Kalian kemari!" suaranya tegas, tak memberi ruang tanya.

Beberapa prajurit berlari mendekat, kepala mereka menunduk hormat sejenak.

"Aku ingin kalian pergi memanggil tabib yang bisa menyembuhkan putraku," perintah Raja Baladewa dengan nada yang mengandung harap besar.

Para prajurit saling pandang, lalu serempak menjawab, "Siap, Yang Mulia. Akan kami lakukan!"

Pada hari yang sama, para prajurit menyisir Kota Krisdasana, kota yang menjadi pusat kota dari Kerajaan itu sendiri

Mereka semua mendatangi semua tabib yang ada di dalam kota tersebut. Satu per satu mereka dipanggil, datang ke istana dengan langkah tergesa, membawa harapan di balik jubah dan tas obat mereka. Setiap tabib tahu, jika panggilan ini adalah kehormatan sekaligus beban yang berat dari Raja yang mereka hormati.

Setelah sampai di istana kerajaan, satu per satu tabib dengan hati hati memeriksa bayi putra Raja Baladewa.

Mereka menggendong, menyentuh lembut kulit mungil itu, lalu meramu obat dari ramuan beraneka ragam. Namun, raut wajah mereka mulai menegang, dan bisikan kecewa mulai terdengar di balik pintu kamar bayi.

Dari kebanyakan tabib yang datang, tidak ada satupun dari mereka yang dapat menghilangkan ataupun meredakan rasa sakit yang di derita oleh bayi kecil itu.

Hari hari berlalu tanpa henti, tabib tabib datang dan pergi silih berganti, dengan harapan yang sama: menyembuhkan si kecil yang terbaring lemah itu. Tapi semakin lama, langkah mereka semakin berat, mata yang dulu penuh harap kini tertunduk lesu. “Kami menyerah, Yang Mulia kami tidak dapat menyembuhkan putramu. Maafkan kami

” ujar salah satu tabib dengan suara tertahan, sambil menundukkan kepala mewakili yang lain. “Penyakit yang diderita putramu bukan penyakit biasa.”

Raja Baladewa dan istrinya mendengar apa yang di katakan oleh tabib tersebut.  Mereka terduduk lemas tak bertenaga. Rasa sedih mulai menyelimuti mereka. Seolah tiada lagi harapan yang berpihak kepada mereka.

Bulir air mata mulai mengalir perlahan di pipi mereka, tak mampu lagi menyembunyikan kepedihan yang menyesak dada. suasana hening sejenak menyelimuti ruangan itu, hingga suara tabib kembali memecah suasana.

"Mungkin yang mulia masih memegang sebersit harapan untuk putra tercinta," kata tabib dengan nada penuh keyakinan, matanya menatap tajam ke arah Raja Baladewa.

Raja mengerutkan kening, pandangannya tertuju pada tabib yang baru bicara tersebut.

"Apa masih ada yang bisa aku harapkan untuk kesembuhan putraku?" suaranya lirih penuh tanya.

Tabib menghela napas dalam sebelum menjawabnya, "Ada seorang tabib terkenal di Kota Sagatani, tujuh hari perjalanan jika di lakukan dari sini. Dia dikenal mampu menyembuhkan hampir segala penyakit, kecuali penyakit takdir yang membawa kematian dari Sang Penguasa."

Mendengar perkataan itu, semangat Raja Baladewa seketika menyala kembali, harapan baru menggeliat di matanya yang mulai berkaca-kaca.

"Benarkah... apakah dia bisa menyembuhkan putraku?" suaranya bergetar namun penuh harap, seolah menantikan keajaiban.

Tabib itu menarik napas panjang, matanya menatap kosong ke arah lantai.

"Huhhhh..."

Suaranya pelan, seolah mengingat sesuatu yang berat.

"Yang ku maksud itu, namanya Ki Laksmana. Tabib tua yang keahliannya sudah melebihi ilmu biasa. Banyak orang datang padanya karena kemampuan pengobatan tingkat tingginya," ujarnya dengan suara serak.

Raja Baladewa menganggukan kepala dengan mantap, tangannya menggenggam erat dengan harapan penuh keyakinan.

"Terima kasih atas informasimu. Aku akan segera mengirim prajurit untuk membawanya ke sini," katanya penuh tekad.

Hari itu juga, prajurit dari Raja Baladewa berbaris meninggalkan istana, menembus medan jauh menuju Kota Sagatani. Mereka menempuh perjalanan melelahkan selama tujuh hari, melintasi hutan dan lembah, hingga akhirnya tiba di sebuah sudut kota yang tampak sepi dan hening.

Di sana, hanya ada sebuah rumah kecil berdinding kayu yang tampak usang namun terawat rapi. Itulah kediaman dari Ki Laksmana, tabib hebat yang mereka cari.

Hingga mereka semua mendekat kearah rumah tersebut untuk menjalankan tugas mereka dari sang raja.

"Ayo kita datangi rumah itu, aku harap pemiliknya ada di dalamya" kata salah satu dari prajurit tersebut yang di setujui oleh rekannya yang lain.

Langkah kaki mereka berderap serempak mendekati rumah kecil di pinggiran kota Sagatani. Aroma tajam obat-obatan tercium samar, menguar dari balik pintu yang hampir tertutup rapat.

“Ini memang rumah tabib,” gumam mereka satu suara, mata menelusuri detail di sekeliling rumah yang sederhana tapi terasa penuh misteri.

Tiba tiba, dari balik bayang-bayang muncul sosok laki laki  tua yang melangkah pelan, menatap mereka dengan tatapan tajam namun tenang.

Wajahnya berkerut dalam senyum tipis, sosok laki laki itu adalah Ki Laksmana.

“Kalian prajurit istana? Ada apa keperluan apa hingga kalian datang ke tempat ini?” suaranya berat menggelayut di udara.

Seorang prajurit maju, menghela napas pelan sambil menundukkan kepala.

“Maaf, Ki. Kami datang atas perintah dari Raja Baladewa. Beliau memohon agar Anda segera ke istana. putranya sakit dan tak ada yang mampu menebak penyakitnya,” jawabnya sopan, mata berkilat harap.

Ki Laksmana mengerutkan dahi sejenak, kemudian mengangguk pelan, tubuhnya siap melangkah bersama mereka.

"Baiklah, aku akan ikut dengan kalian. kalian tungu di sini sebenta. Aku akan bersiap terlebih dahulu" Suaranya tenang, namun matanya menyimpan tekad yang dalam. Ia berbalik masuk ke dalam rumah, langkahnya pasti saat mengemasi perlengkapan perjalanan.

Beberapa menit kemudian, ia keluar sambil menggenggam buntalan kain yang sudah rapi.

"Ayo, kita berangkat," ujarnya tegas, suara yang membuat prajurit prajurit di sekitarnya turut bersemangat.

Pada hari itu juga, mereka semua langsung kembali ke kota Krisdasana. Perjalanan mereka membentang melewati hutan lebat dan desa desa kecil yang sunyi. Hari demi hari terus berlalu dengan langkah yang tak henti, tubuh-tubuh lelah mereka terus maju, didorong oleh harapan dan tanggung jawab.

Barulah pada hari ketujuh, mereka melihat bayangan menara-menara istana Krisdasana dari kejauhan. Rasa lega dan bangga mengisi dada mereka, meski perjalanan masih panjang. Tugas yang harus dijalani selama empat belas hari itu bukanlah hal mudah, namun semua rasa letih sirna saat akhirnya mereka berhasil membawa tabib terkenal itu masuk ke dalam istana.

Raja Baladewa berdiri di gerbang istana, matanya menyipit mengamati rombongan prajurit yang baru tiba. Di antara mereka, tampak seorang lelaki tua dengan rambut yang mulai memutih, tapi tubuhnya masih tegap dan penuh energi.

"Apakah dia benar tabib Laksmana yang terkenal itu?" gumam Raja pelan namun penuh harap jika itu memang benar benar tabib yang ia tunggu.

"Semoga dia benar-benar bisa menyembuhkan putraku." Langkah Raja menyambar maju, senyum hangat mengembang di bibirnya ketika jarak mereka semakin dekat.

"Selamat datang di istana kami. Apakah benar kau Ki Laksmana, tabib yang terkenal itu?" tanyanya dengan suara penuh hormat.

Lelaki tua itu mengangguk, sorot matanya tajam namun lembut.

"Benar, aku Ki Laksmana. Namun aku tidak tahu jika aku terkenal atau tidak" jawab Ki Laksmana.

"Dari para prajurit kutahu putramu menderita penyakit misterius. Apakah itu benar?" balasnya, kemudian menatap Raja, menunggu jawaban.

Raja Baladewa menarik nafas panjang, matanya menyiratkan kelelahan sekaligus harap.

"Benar, Ki," suaranya pelan tapi tegas.

"putraku tengah menderita penyakit yang belum tahu apa jenisnya."

Ia menatap tamu di hadapannya, sosok tabib yang baru saja tiba dari perjalanan jauh. Raja Baladewa menatap langkah kaki yang tampak berat, wajah yang kusut oleh lelah perjalalan panjang.

"Sebentar, saya antar dulu ke kamarnya," ucap Raja sambil berdiri, menggandeng bahu tabib itu dengan lembut.

"Perjalananmu tentu panjang dan melelahkan, butuh berhari hari hingga sampai ke istana. Aku yakin kau sangat letih." Di dalam sorot matanya tersimpan kepercayaan, harap agar tabib itu bisa beristirahat, mengumpulkan tenaga sebelum mulai menangani putranya dengan sepenuh hati.

Ki Laksmana hanya mengangguk pelan, menerima ajakan Raja tanpa banyak kata, berharap istirahat sebentar itu membawa kekuatan baru.

bab 3

Ki Laksmana sudah berdiri di depan pintu ruangan khusus tamu, lalu suara Raja Baladewa menyapanya hangat mempersilakannya untuk memasuki ruangan tersebut.

"Silahkan masuk, Ki. Kau bisa beristirahat sejenak di sini. Setelah tenagamu pulih, kau boleh menemuiku di singgasanaku atau di ruangan bayiku." kata Raja Baladewa penuh kesopanan.

Ki Laksmana membungkuk hormat, lalu mengangguk pelan.

"Terima kasih, Raja. Mungkin aku memang butuh istirahat sebentar, untuk memulihkan tenagaku yang terkuras selama perjalanan," ucapnya sambil melangkah masuk.

Sesaat setelah Raja Baladewa pergi meninggalkan tempat itu, Ki Laksmana meletakkan buntalan kain yang dibawanya di atas meja kayu. Ia melangkah perlahan menuju tempat tidur mewah di sudut ruangan dan duduk dengan tubuh sedikit terkulai.

Matanya menatap lurus ke depan, pandangan tajamnya dipenuhi tanda tanya yang menggelayuti pikirannya.

Ki Laksmana menutup matanya pelan, napasnya teratur dalam hening.

"Apakah yang kurasakan ini benar… ada kekuatan lain di dalam istana ini?" gumamnya, mencoba menembus alam spiritual lewat meditasi. Tubuhnya yang lelah mulai terasa hangat, stamina yang sebelumnya hilang, kini merayap naik kembali seiring detik berlalu.

Setelah beberapa lama Ki Laksmana larut dalam meditasinya, akhirnya pada saat hari sudah gelap, matanya mulai terbuka secara perlahan, sinar ketegasan terpancar dari pandangan matanya.

"Aku harus menemui Raja Baladewa, menyelesaikan tugasku menyembuhkan putranya, dan mencari tahu asal kekuatan ini," ujarnya dalam hati sambil melangkah mantap menuju pintu. Langkahnya pasti saat keluar dan berjalan ke singgasana kerajaan yang ada di dalam istana tersebut.

Begitu tiba di depan singgasana, Raja Baladewa menyambutnya dengan senyum ramah. "apakah rasa lelahmu sudah, Ki?" sapanya lembut dengan senyuman, memberi kehangatan yang menenangkan.

Ki Laksmana membalas senyum dari  Raja Baladewa dengan tenang, matanya memancarkan keyakinan. "Benar, stamina saya sudah pulih. Sekarang aku siap memeriksa keadaan dari putramu," ucapnya mantap menjawab pertanyaan dari Raja Baladewa.

Raja Baladewa segera bangkit dari singgasananya, langkahnya cepat penuh harap kepada sosok tabin di depannya.

"Baiklah, mari saya antar ke tempat putraku," sahut Raja Baladewa, seolah tak sabar ingin segera melihat kondisi anaknya.

Raja Baladewa turun dari singgasananya. Dan berjalan menuju sayu ruangan yang menjadi tempat putranya berada.

Sementara itu,Ki Laksmana mengikutinya dari belakang, tatapannya fokus pada setiap langkah Raja Baladewa yang menunjukkan kecemasan namun penuh percaya.

Saat keduanya sampai di depan sebuah pintu ruangan yang mereka tuju, Raja Baladewa menarik napas yang dalam sebelum membuka pintu dengan lembut.

"Ayo masuk, Ki," katanya sambil mendorong pintu terbuka dengan suara tarik yang menggema pelan.

Setelah pintu terbuka, Raja Baladewa dan Ki Laksmana langsung memasuki ruangan tersebut.

Di dalam ruangan yang remang, hanya diterangi cahaya pelita kecil, beberapa pelayan berdiri tertunduk di sudut.

Di tengah ruangan, sebuah tempat tidur besar dan mewah menjadi panggung bagi bayi kecil yang terbaring lemah di atasnya. Di sisinya, Sri Rahayu, sang ibu, duduk dengan wajah penuh kekhawatiran.

Raja Baladewa melangkah mendekat, sorot matanya dipenuhi kegelisahan.

"Inilah putraku," suaranya bergetar pelan.

"tubuhnya sering tiba tiba panas membara, sampai membuat rubuhnya terlihat merah seperti bara api. Namun tak lama kemudian, dingin sekali, sampai membekukan udara di sekitarnya, membentuk butiran es." lanjut Raja Baladewa.

Ki Laksmana menundukan kepalanya, menatap bayi yang ada di depannya dengan seksama. Ia memang merasakan perubahan suhu yang luar biasa pada bayi itu.

Namun anehnya, bayi itu tidak pernah menangis, tetap tenang seperti tertidur dalam damai. Wajah Ki Laksmana mengerut, menyembunyikan rasa penasaran dan kekhawatiran yang menyelinap.

Ki Laksmana menutup mata sejenak, merasakan gelombang tenaga yang mengalir dari dalam tubuh bayi itu.

"Ini bukanlah penyakit, ini adalah sumber kekuatan tersebunyi yang di miliki oleh bayi ini, aku rasa kekuatan inilah yang kurasakn sejak tadi" gumamnya pelan sambil mengumpulkan tenaga dalam ke telapak tangannya.

Dengan hati hati, ia membuka kain yang membalut bayi tersebut. Di dadanya, terlihat jelas lima tanda elemen yang melingkar di atas dada dari bayi tersebut.

"Tanda lima elemen..." bisiknya, jari-jarinya menempel lembut pada simbol-simbol itu. Sejuk sekaligus hangat merambat ke telapak tangannya, seperti ada kehidupan yang tersembunyi di balik tanda itu. Matanya melebar, keheranan dan kekaguman berbaur.

"Ini adalah kekuatan lima elemen berbeda yang di miliki oleh para dewa" katanya dengan suara rendah, masih mencoba mencerna apa yang baru saja ia saksikan.

Mata Ki Laksamana terbelalak, menunjukkan kekagetan yang tak bisa disembunyikan dari kejadian aneh di depan matanya.

“Apakah bayi ini adalah reinkarnasi dari lima dewa?” gumamnya pelan, suara penuh rasa penasaran sekaligus kekaguman.

Di sudut ruangan, Raja Baladewa menatap penuh harap pada putranya yang tengah diperiksa oleh Ki Laksamana. Kecemasan menghiasi raut wajahnya, membuat dadanya naik turun tanpa henti.

Rasa penasaran itu, membuat sosok Raja Baladewa langsung mempertanyakannya “Bagaimana, Ki? Apakah putraku menderita penyakit? Lalu apa nama penyakit yang di deritanya?” tanyanya dengan suara gemetar, berharap mendapatkan jawaban yang jelas.

Ki Laksamana menarik napas dalam dalam, seolah menahan beban yang sangat berat di dadanya. Setelah beberapa saat, ia mulai menghembuskannya perlahan.

Huhhh..

KI laksmana berniat ingin memberitahukan keadaan dari bayi yang baru di periksannya. Namun sebelum kata kata itu sempat keluar, tiba tiba pintu kamar pukul dengan keras dari luar

"Brakkk!”

Pintu itu hancur berantakan, pecahan kayu beterbangan, dan terlempar kedalam yang membuat orang orang yang ada di sana menjadi terkejut bukan main.

Dari balik pintu yang sudah rusak tersebut. Terlihat beberapa orang dengan status pendekar memasuki ruangan tersebut sembil membawa senjata yang sudah di lumuri cairan merah di setiap bilahnya.

Raja Baladewa menatap waspada saat sekelompok pendekar baru tiba di dalam kamar dengan menghancurkan pintu masuknya.

Salah satu dari mereka melangkah maju, suaranya dingin menggelegar.

“Raja Baladewa. Serahkan putramu kepada kami!” kata mereka meninta.

Mata Raja Baladewa menyipit, tangan cekatan merogoh pedangnya yang tergantung di pinggang.

“Siapa kalian? Mengapa kalian menyerang tanpa alasan?” tanyanya tegas, namun ada getar kekhawatiran yang samar di balik suara beratnya.

Pendekar pendekar itu saling pandang, lalu meledak dalam tawa dingin yang menusuk.

Hahahahah..

“Kami pendekar golongan hitam. Kami datang untuk memusnahkan sosok yang akan bersinar di masa depan. Kami tahu putramu memiliki tanda lima elemen,” jawab mereka seraya menatap tajam penuh ancaman.

Raja baladewa mengerutkan dahi, napasnya tercekat sejenak.

“Putraku memang memiliki tanda itu... Tapi apa urusannya dengan masa depannya?” suaranya rendah, seolah menahan amarah dan ketakutan sekaligus.

pada saat ini, mereka saling pandang untuk sesaat. Dan setelah itu salah satu dari mereka membuka suara menceritakan satu kisah yang berhubungan dengan putra sang raja yang memiliki tanda lima element.

Beberapa tahun lalu, kabar mengguncang dunia persilatan: ramalan tentang seorang anak manusia bertanda lima elemen yang terukir di tubuhnya.

Bisik bisik muram menyebar, jima anak itu bakal jadi badai yang akan menghancurkan para pendekar golongan hitam di masa depan.

Merasa hal itu tidak bagus dalam keberlangsungan dari para pendekar golongan hitam, maka mereka memutuskan untuk mencari sosok yang ada di dalam ramalan tersebut.

Hingga suatu hari, desas desus terdengar jelas di telinga meraka jika sudah terlahir seorang anak dari garis keturunan bangsawan di Kerajaan Krisdasana yang memiliki tanda lima element yang sedang mereka cari.

Ketegangan membara di antara para pendekar gelap dari berbagai kota. Mereka berkumpul, suara mereka serak merencanakan satu tujuan untuk menghabisi sosok yang menjadi ancaman di kemudian hari.

Saat semua sudah terkumpul, mereka semua langsung bergerak menyerang dan menerjang istana kerajaan Krisdasana, menebar ketakutan dan kehancuran di setiap sudutnya.

Korban korban kematian mulai berjatuhan ketika serangan dari golongan hitam di malam itu, para prajurit yang hanya sedikit memilliki kemampuan beladiri. Tidak dapat menahan serangan dari para pendekar golongan hitam tersebut.

Dentingan senjata dan suara teriakan kematian menggema di halaman istana kerajaan menambahkan. Hingga tidak butuh waktu lama, istana kerajaan benar benar jatuh tanpa ada lagi orang orang dari pihak istana.

Para golongan hitam tidak berhenti sampai di situ sebelum mereka mendapatkan apa yang mereka inginkan. Yaitu sosok bayi kecil yang memiliki tanda lima element di tubuhnya.

Hingga beberapa orang langsung bergegas masuk kedalam istana. Lalu menemukan ruangan yang di dalamnya terdapat sosok bayi kecil yang mereka cari beserta keluarganya.

Di ruangan tersebutlah mereka bertemu dengan keluarga kerajaan yang sedang menjaga seorang  bayi yang mereka cari.

"Semua prajuritmu sudah kami habisi. Tidak ada lagi yang akan melindungimu, serahkan putramu atau nyawamu yang akan melayang..!" Kata pendekar golongan hitam memberi pilihan dengan nada mengancam.

Raja Baladewa menyadari satu hal yang sangat berbahaya. Sesaat ia melirik ke arah anak dan istrinya.

"Bawa anak kita pergi dari sini, aku akan menahan mereka semua sebisa dan semampuku" kata Raja Baladewa pelan namun dapat di dengar oleh istrinya, Sri Rahayu.

"Kakang tidak akan bisa melawan mereka seorang diri, kita akan pergi bersama sama"  sahut Sri Rahayu.

"Jika aku ikut pergi bersama kalian, maka mereka tetap memburu kita. Aku akan menahan mereka dan mati disini, lagi pula istana kerajaan ini sudah hancur" kata Raja Baladewa.

"Pergilah..! Dan selamatkan putra kita" teriak Raja Baladewa tegas.

Wushhh..

Tanpa menunggu jawaban dari Sri Rahayu, Raja Baladewa langsung melesat kedepan menyerang orang orang yang mencoba mengincar nyawa putranya menggunakan pedang yang tergenggam erat di tangannya.

Beberapa pendekar golongan hitam menatap tajam ke arah Raja Baladewa yang maju menyerang. Tak ada setitik rasa gentar di wajah mereka, malah muncul senyum dingin yang menyayat.

"Kau telah salah dalam memulih, dasar raja bodoh," ejek salah satu dari mereka dengan suara penuh hinaan.

Serentak, senjata tajam mereka terhunus ke depan, siap membalas serangan dari Raja Baladewa.

Dentingan logam senjata mereka saling beradu, lalu menggema nyaring di ruang sempit itu, percikan api beterbangan seolah melukiskan kobaran amarah.

Raja Baladewa berusaha menghindar, namun serangan bertubi tubi menyudutkannya. Tubuhnya mulai terkoyak oleh tebasan dan tusukan dari senjata lawan, nafasnya memburu tapi matanya tetap menyala, berusaha mencari celah.

Namun jelas, seorang diri ia tak mampu menandingi banyaknya jumlah lawan yang terus membayangi dengan senyum penuh kelicikan.

Crashh.

crashh..

Tusukan dan tebasan senjata dari para pendekar golongan hitam menghujam tubuh Raja Baladewa tanpa henti.

Cairan merah segar mulai mengalir deras dari luka luka yang menganga, membasahi lantai medan pertempuran.

“Tidak” teriak Sri Rahayu dengan suara tercekat, matanya membelalak menatap tubuh suaminya yang terus dihujani senjata lawan.

Jantungnya berdegup kencang, tangan gemetar saat ia mengenggam pedang yang sudah diangkat, bersiap menerjang. Dengan langkah terburu-buru, dia melesat maju, tekad membara untuk menyelamatkan Raja Baladewa dari serangan maut itu.

Namun, sejenak dia melirik ke arah Ki Laksmana yang sedang berdiri di samping tempat tidur putranya, napasnya tertahan saat tatapan mereka bertemu.

“Bawa putraku pergi dari sini, rawat dan didiklah dia menjadi orang yang berbudi luhur. Kami mungkin akan gugur di sini, tapi tidak dengan dia. Jadikan ia orang yang hebat dan berguna di masa depan,” ucap Sri Rahayu dengan suara serak, seolah ingin mengukir pesan terakhir sebelum semuanya berakhir.

Wushhhh..

Sri Rahayu melesat cepat ke depan. Dengan mengayunkan senjata yang sudah tergenggam erat di tangannya.

Namun, sebelum pedang itu menyentuh para pendekar golongan hitam, sebuah pedang datang dengan cepat, menusuk dada Sri Rahayu. Wajahnya membeku, napas terhenti di tenggorokan, tubuhnya terhuyung dan akhirnya terjatuh di atas lantai. Lalu di susul oleh tubuh Raja Baladewa yang juga tewas .

Dua pasang suami istri tergeletak tak bernyawa, tubuh mereka kaku di atas lantai yang memerah oleh cairan yang keluar dari tubuh mereka sendiri.

Suasana mencekam menyelimuti ruangan itu, seolah waktu berhenti sejenak.

Tatapan tajam para pendekar golongan hitam tertuju pada sosok tua di samping tempat tidur, sosok tua itu adalah Ki Laksmana yang dengan tenang menggendong bayi laki laki keturunan Raja Baladewa, incaran mereka yang kini menjadi harapan sekaligus ancaman.

Ki Laksmana dengan cekatan mengikatkan bayi itu ke punggungnya, gerakannya luwes namun penuh ketegasan, agar tangan dan kakinya bebas bergerak.

Salah satu pendekar mengangkat pedang, bilahnya berkilat diterpa cahaya remang remang dari cahaya lilin yang tidak terlalu terang, mengarah tepat ke sosok tua itu.

“Hey, tabib... Serahkan bayi itu, atau kau juga akan bernasib sama seperti mereka,” ancamnya, suara kasar menyisakan gema dingin di udara.

Namun Ki Laksmana hanya tersenyum, bibirnya melengkung tipis tanpa setitik rasa takut. Matanya yang teduh malah menyiratkan keyakinan dalam tiap kata yang diucapkan.

“Bukankah kalian percaya bayi ini akan jadi ancaman bagi golongan hitam di masa depan? Maka, aku akan mewujudkan masa depan itu,” sahutnya tenang, mengundang ketegangan yang mendalam dalam keheningan malam.

Para pendekar golongan hitam menjadi berang atas perkataan dari sosok tua di depan mereka. Hingga pada akhirnya mereka memutuskan untuk membunuh sosok tua tersebut.

Mereka maju ke depan dengan niat membunuh yang besar. Pedang pedang golongan hitam berayun cepat, menyambar ke arah Ki Laksmana.

"Kau akan mati, kakek tua!" teriak mereka serempak, langkah kaki mereka maju tanpa ragu.

Tatapan tajam Ki Laksmana menusuk ke mata mereka, tak tergoyahkan oleh ancaman itu. Tiba tiba, jarum jarum kecil berkilat muncul di genggamannya. Dengan gerakan halus dan tepat, ia melemparkan jarum-jarum itu ke arah para pendekar golongan hitam.

Crashhh…

Suara dentingan jarum yang menancap di tubuh mereka menggema, tapi tak satupun wajah mereka menunjukkan rasa sakit. Malah, semangat mereka membara, mereka terus melesat maju, yakin bisa menaklukkan sosok tua yang tampak rapuh itu.

Namun saat jarak mereka sudah sangat dekat, Ki Laksmana tiba tiba menghilang dalam sekejap seperti bayangan yang lenyap ditelan malam. "Apa yang terjadi? Di mana dia?" tanya mereka dengan suara terbata, mata membelalak bingung, kebingungan terpancar jelas di wajah para pendekar golongan hitam itu.

Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!

Download Novel PDF
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!