NovelToon NovelToon

Menantu Pewaris Kaya

PERKELAHIAN

"Lari, Duke! Lari, dan jangan menoleh ke belakang!"

"TIIIITTTTTT!!!!!!"

Mata Duke tiba-tiba terbuka dengan ketakutan yang memancar di dalamnya saat dia terbangun dari tidurnya dengan keringat menetes di kulitnya.

Lalu dia berusaha untuk mengatur napas sementara jantungnya berdetak kencang dengan keras.

Dia bisa merasakan tangannya bergetar ketika dia dengan curiga menatap sekeliling sebelum mengusap rambut hitam lembutnya dengan jari-jarinya dan kemudian mengusap wajahnya pelan untuk membangunkan dirinya.

"Aku tidak percaya aku mengalami mimpi ini lagi," gumam Duke.

Masih merasa trauma oleh mimpinya, dia bangkit dari tempat tidur dan berjalan menuju kipas angin yang berada di sudut kamar kecilnya lalu memeriksanya.

"Kipas ini rusak di tengah cuaca panas yang membunuh ini, serius?" gumam Duke sambil menatap kipas angin dengan mata penuh frustrasi.

Pada saat itu, suara keras menarik perhatiannya ke arah pintu, dan telinganya dengan cermat mendengarkan suara-suara yang bergema masuk ke dalam kamarnya.

"Hei!! Orang tua bodoh. Dimana uangku!"

"Tuan Marcellus, tapi batas waktu untuk pinjaman itu belum sampai."

"Tutup mulutmu! Tokomu sepertinya berjalan dengan baik, jadi kenapa aku tidak boleh meminta uangku lebih awal!!"

"Tapi... tapi aku tidak memiliki uang sekarang. Aku sudah menghabiskannya untuk barang daganganku. Bagaimana kalau menunggu sampai tanggal lima bulan depan seperti yang sudah kita bicarakan sebelumnya.”

"Haha! Orang tua sepertimu berani sekali! Kalau kau tidak memberikan uangku hari ini, aku akan mengambil barang berharga apa pun yang bisa kutemukan untuk membayar utangmu!"

"Kau tidak bisa melakukan itu, dan itu ilegal!"

"Menyingkir dari jalanku!"

"Ah!"

Dengan amarah yang membakar dari dalam dirinya, Duke melangkah keluar dari kamarnya.

Saat dia masuk ke toko, dia berhenti dan menatap dengan kemarahan yang membara di matanya.

"Ayah!" teriak Duke, menatap seorang pria dengan rambut putih seputih salju, lalu dia fokus pada wajah tuanya yang penuh kerut dan menatap mata ayahnya yang berkaca-kaca.

"Kembalilah ke kamarmu, Duke. Aku tidak ingin kau terlibat masalah ini karena aku. Biarkan aku yang menanganinya." Sean menangis.

Tuan Marcellus berjalan mendekati pria tua itu dan berjongkok. Lalu dia meraih kedua pipi Sean dan mencengkeramnya dengan kasar.

"Bagaimana kau akan menangani masalah ini, Pak tua?" kata Tuan Marcellus dengan kasar.

Hanya dengan mendengar suara gemetar dari ayahnya dan nada arogan dari Tuan Marcellus sudah cukup membuat Duke bergetar karena amarah yang memompa dari detak jantungnya yang berdebar cepat.

"Aku beri kalian waktu satu menit untuk keluar dari toko kami!" Duke berteriak.

Dalam sekejap, ruangan dipenuhi dengan suara tawa saat Tuan Marcellus dan orang-orangnya meledak dalam gelak tawa.

"Hei anak muda, mulutmu benar-benar kotor!" Tuan Marcellus berkata dengan sinis, berdiri dari kursinya.

Lalu dia melirik salah satu anak buahnya dan mengedipkan mata, dan segera pria itu mulai berjalan kearah Duke.

"Tidak, tolong. Jangan sakiti anakku!" teriak Sean.

"Tutup mulutmu!" bentak Tuan Marcellus dengan senyum mengejek di bibirnya.

Duke tetap diam bahkan ketika pria itu sudah berhadapan langsung dengannya.

"Kau tidak seharusnya menyinggung bosku."

Pria itu berkata dengan licik sambil menepuk pundak Duke dengan kasar.

Pada saat itu juga, Duke langsung menangkap pergelangan tangannya dan menariknya dari pundaknya.

Saat pria itu berusaha melepaskan tangannya dari cengkeraman Duke, Duke memegangnya dengan erat dan kemudian mematahkan tulangnya.

"Argh! Dasar kau anak...!" teriak pria itu.

Namun dia tidak sempat menyelesaikan ucapannya karena Duke sudah menghantam tenggorokannya dengan lutut hingga membuatnya pingsan lalu terjatuh di lantai.

"Siapa berikutnya!" Duke bergumam dingin sambil matanya yang gelap menatap tajam ke tujuh pria kekar yang tersisa.

Tuan Marcellus mengedipkan mata, dan pria-pria lainnya langsung menyerbu Duke dengan ekspresi mematikan di wajah mereka.

Duke melangkah mundur untuk memberi jarak. Lalu dia tersenyum dingin ketika mereka semua menyerangnya sekaligus.

Mata Tuan Marcellus terus bergerak ke segala arah dengan cepat saat menyaksikan anak buahnya jatuh satu per satu ke lantai.

Duke menyeringai saat pria terakhir yang masih berdiri berlari ke arahnya. Lalu dia tertawa sebelum menendang pria itu di wajahnya dengan tendangan melengkung, membuatnya terlempar lima langkah ke belakang sebelum jatuh ke lantai.

"Mau ke mana kau?" teriak Duke dengan nada mengejek, menatap Tuan Marcellus yang berlari keluar toko.

Duke lalu tertawa terbahak-bahak saat melihat Tuan Marcellus tersandung batu dan jatuh telungkup ke tanah.

"Hei, bawa juga anak buah bodohmu itu. Kami tidak mau toko kami dikotori oleh sampah seperti mereka!" teriak Duke.

"Aku akan kembali! Dan saat aku kembali, kau akan tahu siapa yang akan tertawa terakhir!" teriak Tuan Marcellus sambil membersihkan debu dari tubuhnya.

Duke terus tertawa sampai akhirnya matanya bertemu dengan tatapan marah Sean, dan seketika tawanya melemah hingga akhirnya dia terdiam.

"DASAR ANAK NAKAALLL!" bentak Sean sambil mendekati Duke.

Dia lalu menjewer telinga anaknya dan menariknya dengan keras sampai memerah.

"Ah, ah! Ayah, aku baru saja menyelamatkanmu, kenapa malah aku yang dihukum." Duke menangis seperti anak kecil.

"Karena Tuan Marcellus bukan hanya seorang rentenir, tapi dia juga anggota geng, dan bosnya adalah orang jahat. Kita harus pergi sekarang." Sean berkata dengan ketakutan.

"Tapi kenapa?"

"Dia akan membunuhmu. Aku tidak bisa melindungimu karena aku sangat miskin, dan karena itu, kau juga tidak memiliki apa-apa!"

"Hei! Itu tidak adil. Kau sudah melakukan yang terbaik."

"Tetap saja tidak cukup. Sejak aku menemukanmu pada malam naas itu, terbaring di genangan darah, aku belum banyak melakukan apa-apa untukmu, dan sekarang, ketika nyawamu dalam bahaya karena aku, hanya ada satu hal yang bisa kulakukan."

"Ayah..."

"Aku tahu apa yang ingin kau katakan, dan aku menghargai usahamu untuk tidak membuat perasaanku terluka. Tapi aku tahu aku tidak mampu melindungimu, jadi aku akan membawamu ke suatu tempat di mana kau akan aman."

"Apakah aku punya pilihan?"

"Tidak! Sekarang cepat kemasi barang-barangmu."

Duke menatap ayahnya dengan tangan gemetar dan mata penuh ketakutan sejenak sebelum berlari ke bagian belakang toko, di mana kamarnya berada.

Beberapa detik kemudian, dia kembali dengan tas usang yang digantung di bahunya dan bertemu dengan Sean.

"Itu apa?" gumam Duke sambil menatap kertas di tangan ayahnya.

"Ini adalah tiketmu untuk masuk ke dalam keluarga kaya." gumam Sean.

MENIKAH

"Apa maksudnya itu?" tanya Duke, merasa terkejut dengan kata-kata ayahnya.

"Berhenti bicara, dan ayo pergi. Orang-orang ini akan segera bangun dari tidur yang kau buat untuk mereka!" bisik Sean.

Duke tidak bergerak sedikitpun saat menatap ayahnya dengan terkejut. Tapi kemudian Sean perlahan berjalan ke belakangnya dan mendorongnya keluar pintu dengan kasar.

"Heh! Kenapa semakin tua, kau jadi semakin kasar." gumam Duke setelah dia berhasil menyeimbangkan tubuhnya.

"Berhenti bicara dan jalan!" kata Sean sambil mendorong Duke dengan paksa karena dia keras kepala menolak melangkah maju.

Orang-orang yang lewat di sekitar mereka hanya bisa menatap dengan canggung ketika Sean terus mendorong Duke dari belakang.

"Baiklah! Berhenti dorong-dorong aku lagi! Aku akan jalan sendiri. Tapi kau harus memberitahuku ke mana kita akan pergi." gumam Duke sambil menatap ayahnya penuh tanya.

"Yang perlu kau tahu hanyalah tempat yang akan kutuju ini adalah tempat paling aman untukmu saat ini. Jadi janjilah padaku bahwa kau tidak akan menimbulkan masalah di sana dan selalu menundukkan kepala." kata Sean.

"Ah, kedengarannya sudah buruk dari awal."

"Duke! Ini bukan waktunya untuk bercanda. Janjilah padaku!"

"Ya. Baiklah, terserah.”

Beberapa saat kemudian, Sean dan Duke naik ke sebuah taksi.

Keduanya tidak mengucapkan sepatah kata pun sepanjang perjalanan.

Ketika taksi berhenti di depan sebuah pagar besar yang mewah, Duke dan Sean turun lalu mendekati gerbang. Sean menekan bel dan menunggu.

Beberapa menit kemudian, seorang penjaga keamanan keluar dari dalam pagar dan berjalan mendekati mereka. Dia menatap Sean lebih dulu, lalu mengalihkan pandangannya pada Duke.

"Aku tidak memiliki uang untuk diberikan pada kalian. Jadi pergi sekarang!" katanya dengan kasar sambil menatap mereka dengan wajah penuh jijik.

Satu hal yang paling sulit dikendalikan oleh Duke adalah amarahnya. Saat jemarinya mulai menggenggam erat, Sean langsung meraih tangannya dan dengan tenang berkata, "Maaf atas kesalahpahaman ini, tapi kami bukan pengemis. Aku dan anakku ingin berbicara dengan Nyonya Victoria."

Bibir penjaga itu melengkung membentuk senyum mengejek sebelum akhirnya dia tertawa terbahak-bahak. Dia tertawa begitu keras sampai air mata mengalir di sudut matanya.

"Bukan pengemis, katanya. Kalian tidak bisa membodohiku. Aku sudah melihat banyak orang seperti kalian, dan mereka selalu mengatakan bahwa mereka bukan pengemis. Tapi pada akhirnya aku harus mengusir mereka dengan paksa dari hadapan Nyonya Victoria karena ternyata mereka memang pengemis." Petugas keamanan itu berkata dengan provokatif, berusaha menahan tawa lagi.

Genggaman tangan Duke semakin kencang sementara matanya menatap dingin ekspresi mengejek di wajah petugas keamanan itu.

Dia lalu menarik napas panjang dan dengan tenang berkata, "Dengar, aku dan ayahku tidak mencari masalah. Kami hanya perlu berbicara dengan Nyonya Victoria."

Wajah penjaga itu langsung berubah masam saat dia menatap Duke dengan marah.

Kemudian dia mengangkat tongkat pemukul di tangannya dan mengayunkannya ke arah Duke, tapi Sean segera maju ke depan dan tongkat itu menghantam lengannya.

Duke hampir membiarkan amarahnya meledak ketika matanya menangkap sosok wanita cantik yang mendekat ke arah mereka.

Sekejap, perhatiannya langsung teralihkan padanya, dan amarahnya perlahan mereda. Ia terpaku pada kulit mulus, alis tipis, bulu mata lentik, dan rambut hitam legam wanita itu.

"Aku rasa nenekku tidak membayarimu untuk memukul orang tua." ucap wanita itu dengan suara lembut ketika dia mendekat ke arah Duke, Sean, dan penjaga.

"Nona Caroline," ucap penjaga itu dengan takut sampai tongkat di tangannya terjatuh ke tanah.

Dengan kesal, Caroline memutar bola matanya lalu berjalan melewati penjaga itu. Kemudian dia berhenti ketika sudah dekat dengan Sean.

"Halo, aku Caroline. Cucu bungsu keluarga Moreno, dan aku sungguh minta maaf atas apa yang dilakukan petugas keamanan kediaman kami. Tolong berikan nomor rekeningmu agar aku bisa mengganti kerugiannya." kata Caroline dengan anggun.

Namun, Sean menggelengkan kepalanya dengan keras sambil menggenggam tangannya dan berkata, "Aku tidak butuh uang."

"Oh, lalu apa yang kalian inginkan?" Caroline bertanya dengan terkejut.

Sean buru-buru melepaskan tangannya, memegang lengan Duke, dan menariknya lebih dekat.

Dia kemudian menatap mata biru Caroline yang penuh rasa ingin tahu, dan perlahan berkata, "Aku memiliki surat dengan stempel keluarga Moreno, dan kupikir sudah waktunya Nyonya Victoria menerimanya."

"Kalau begitu, silahkan ikuti aku." ucap Caroline lembut.

Petugas keamanan itu buru-buru menyingkir, dan Duke bersama Sean berjalan melewatinya, mengikuti Caroline yang memimpin mereka masuk melewati pagar.

"Nenek tua itu pasti tidak akan senang dengan ini. Tapi kenapa aku harus peduli kalau Nona Caroline sendiri yang membiarkan pengemis itu masuk." gumam penjaga itu sambil memungut tongkatnya dari lantai.

Saat mereka masuk ke ruang tamu, Caroline mempersilakan Duke dan Sean duduk.

Kemudian saat dia berbalik untuk pergi, seorang wanita tua masuk ke ruangan dengan raut wajah cemberut

"Caroline, kenapa ada dua orang gelandangan duduk di sofaku yang berharga." kata wanita tua itu dengan kasar sambil menatap Sean dan Duke dengan jijik.

Saat Caroline melihat ekspresi marah neneknya, yang ia rasakan hanyalah ketakutan karena dia tahu dirinya akan dimarahi lagi.

Di antara ketiga pamannya dan ayahnya, Caroline tahu bahwa ayahnya adalah anak yang paling tidak disukai neneknya, dan semua anggota keluarga pun tahu itu. Itulah kenapa dia sering dimarahi.

Namun, hatinya hancur mengetahui bahwa dia telah mengecewakan neneknya lagi karena dia sedang berusaha membuktikan diri kepada kakek-neneknya bahwa dia mampu menjadi pewaris utama keluarga.

Amarah yang tadi sempat mereda dalam diri Duke kini bangkit lagi. Namun dia tetap menahannya dan berusaha tenang, mengingat janji yang dia buat pada ayahnya.

"Aku minta maaf jika keberadaan kami menimbulkan ketidaknyamanan, Nyonya Victoria. Tapi menurut dokumen yang saya miliki, sepertinya kedua orang ini seharusnya menikah," kata Sean dengan wajah datar.

MENERIMA

Semua anggota keluarga Moreno menerima pesan darurat dari nyonya Victoria, dan dalam waktu kurang dari satu jam, ruang tamu sudah penuh sesak dengan kehadiran mereka semua.

Mereka bergiliran menatap kertas itu, dan Tuan besar Moreno adalah orang terakhir yang memegangnya.

Kemudian ruangan itu menjadi sunyi ketika semua orang menunggu dia mengatakan sesuatu.

Di dalam keluarga itu, ada dua orang yang memegang seluruh kekuasaan, yaitu Nyonya Victoria dan suaminya, Tuan besar Moreno.

Semua yang lain terjebak dalam perebutan kekuasaan di antara mereka sendiri, dan itu adalah lingkaran yang kejam, dengan Caroline dan orang tuanya berada di posisi paling bawah dalam rantai bertahan hidup.

Tuan besar Moreno berdehem, dan wajah semua orang menjadi serius kecuali Duke. Dia terus menatap Sean, tetapi ayahnya tidak menunjukkan ekspresi apa pun di wajahnya.

"Ini adalah tanda tangan ayahku, dan stempel keluarga Moreno di atas kertas ini asli. Cucu perempuanku yang terakhir telah dijanjikan untuk dinikahkan dengan cucu laki-laki Sean begitu dia berusia delapan belas tahun." Tuan besar Moreno menyatakan dengan lantang.

"Tapi..." gumam ayah Caroline.

"Kontrak ini ditandatangani antara ayahku dan Sean, dan aku akan menghormatinya. Caroline akan menikah dengan Duke dalam waktu empat minggu, dan itu tidak ada yang boleh membantahnya. Mulai hari ini, Duke Sean adalah menantu keluarga ini."

Mendengar kata-kata mertuanya, ibu Caroline melepaskan tangisan keras penuh kekecewaan sementara air mata menggenang di matanya.

"Kendalikan dirimu! Berani sekali kau bersikap seperti itu di hadapan ayah!" Ayah Caroline meledak marah.

Wajah Tuan besar Moreno mengeras saat dia mengepalkan tinjunya sambil menatap putranya dengan tajam.

Tiba-tiba, dia berdiri dan berkata, "Kendalikan istrimu, dan biarkan ini menjadi terakhir kalinya dia mempermalukan keluarga ini dengan sikap seperti itu!"

Dengan tatapan penuh iba, Caroline menatap ayahnya yang menundukkan kepala dalam rasa malu. Lalu dia menatap wajah ibunya yang berduka, membuat hatinya terasa perih.

Setelah dengan sabar menunggu hingga suaminya pergi, giliran Nyonya Victoria berbicara, dan semua orang tetap diam. Dia menatap sekeliling ruangan dengan tenang sampai pandangannya jatuh pada Duke. Kemudian, tanpa rasa hormat sedikit pun dalam nadanya, ia bertanya, "Kualitas apa yang kau bawa ke dalam keluarga Moreno?"

Duke hendak menjawab ketika Sean tiba-tiba berlutut, menempelkan dahinya ke lantai, dan menangis, "Ini salahku! Aku tidak memberi dia kehidupan yang lebih baik. Jadi tolong jangan salahkan dia."

Terdengar suara tawa kecil yang bergema di ruangan itu.

Saat Duke menoleh ke kanan, dia bisa melihat seorang gadis muda berambut ungu gelap berusaha keras menahan tawanya.

Pada saat itu, dia sangat ingin menyeret ayahnya keluar dari sana. Tapi dia tahu itu bukan yang diinginkan Sean, jadi dia menahan amarahnya dan menjaga ekspresinya tetap tenang.

"Betapa menyebalkan! Kau bahkan tidak mampu menafkahi anakmu, jadi kau memutuskan untuk menjadikannya beban bagi keluarga kami. Kau benar-benar lelaki tua penipu." Ucap Nyonya Victoria dengan lugas sambil berdiri.

"Aku mohon maaf," gumam Sean.

"Kekurangan rasa malumu benar-benar menjijikkan. Berdirilah. Aku tidak ingin ada rumor yang mengatakan aku menindas orang miskin."

"Terima kasih."

Duke merasa seperti pecundang yang kesal saat melihat Sean bangkit dari lantai dan kembali duduk di sofa.

Ketika tatapan Nyonya Victoria tertuju padanya, dia menilai Duke beberapa saat lalu dengan tegas berkata, "Aku tidak suka orang yang tidak berguna, jadi berusahalah membuat dirimu berguna selama tinggal di sini. Oh, ya dan Caroline, karena dia akan menjadi suamimu, dia adalah tanggung jawabmu. Pastikan kau menjaga dia agar tidak membuat masalah."

Ruang tamu menjadi hening sesaat ketika Nyonya Victoria meninggalkan ruangan.

Begitu suara langkah kakinya memudar di lorong, keributan mulai terdengar di setiap sudut ruangan.

"Sayang, putri kita tidak bisa menikah dengan seorang pecundang. Dia satu-satunya putri kita. Kita tidak bisa menyerahkannya kepada orang tak berguna, apalagi di saat seperti ini." Tangis ibu Caroline pada suaminya.

Lalu dia memeluk istrinya dengan lembut untuk menenangkan dan berbisik, "Jangan khawatir. Aku akan berbicara dengan ayahku. Aku yakin dia juga akan setuju bahwa memberikan cucunya kepada pria yang tidak berguna adalah keputusan yang buruk."

Dengan bibir melengkung ke arah senyum sinis, Agnes mendekati Caroline, dan begitu melihat sepupunya berjalan ke arahnya, wajah Caroline menggelap, sadar bahwa apa pun yang akan dikatakan sepupunya pasti tidak menyenangkan.

"Jadi, seorang pecundang sebagai suami. Betapa ironisnya! Seperti kata pepatah, 'buah jatuh tak jauh dari pohonnya.'" ejek Agnes dengan suara rendah, memastikan hanya Caroline yang mendengar kata-kata itu.

Namun, Duke menyadari akan hal itu, dan meskipun dia tidak mengerti apa yang dikatakan Agnes, ekspresi sedih Caroline sudah cukup baginya untuk tahu bahwa Agnes telah menjelek-jelekkan sepupunya.

"Pekerjaanku di sini sudah selesai." kata Sean, dan kata-kata itu langsung mengalihkan perhatian Duke dari kedua sepupu itu kepada ayahnya.

"Apakah kau bercanda? Aku tidak akan tinggal di sini." Duke bergumam dengan nada suara yang sangat serius.

"Jangan keras kepala, Nak. Aku memiliki banyak utang, aku tidak bisa merawatmu. Lagipula, Tuan Marcellus sudah mengancam nyawamu." kata Sean dengan tegas.

"Ayah,"

"Menjadi menantu dari salah satu keluarga terkaya di negera ini adalah satu-satunya cara agar kau bisa bertahan hidup. Anggap saja itu keberuntungan dan berhentilah bersikap sombong."

Setelah menghela napas panjang, Sean berdiri dan berjalan keluar ruangan, meninggalkan Duke yang masih menatap ke belakangnya.

"Hai, kau! Ayo pergi." panggil Caroline, menatap Duke dengan marah.

Butuh beberapa detik bagi Duke untuk sadar dari lamunannya dan menyadari bahwa Caroline sedang berbicara padanya.

Ketika dia menyadari bahwa semua orang menatapnya dengan jijik, dia diam-diam berdiri dan mengikuti Caroline.

Ketika mereka sampai di sebuah kamar tidur yang sangat besar dan elegan, Duke menutup pintu di belakangnya karena dia yang terakhir masuk, lalu menatap wajah dingin Caroline.

"Berapa yang kau inginkan agar kau mau mengatakan kepada kakekku bahwa ayahmu berbohong dan kontrak pernikahan itu palsu?" tanya Caroline dengan berani.

Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!

Download Novel PDF
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!