Vivi terlihat merapatkan kedua kakinya, malam ini, malam tahun baru tapi dia tidak akan keluar. Dia akan mendekam di kamarnya seperti hari sebelum-sebelumnya.
Semenjak lulus kuliah akutansi dan tidak kunjung mendapatkan pekerjaan di hanya menikmati hari-harinya di kamar ini tanpa keluar.
"Vivi, kamu masih di dalam kamar sedangkan teman-temanmu sudah memiliki pekerjaan dan menikah, mau apa kamu sebenarnya? sesekali liat lah dunia luar."
Vivi menoleh pada pintu nya dan sedikit menghela nafasnya kasar, dia tau pasti ibunya lagi-lagi yang kesal dengan keadaan nya ini. Tapi, mau bagaimana lagi dia pun tak harus berbuat apa saat ini.
Tiba-tiba ponsel berbunyi, Vivi kemudian melihat kearah ponselnya.
Ratnasari
Vivi, Ayo keluar, kita melihat pesta kembang api. Udah lama kita nggak ketemu, sekalian reunian.
Vivi kemudian ingin mengatakan 'dia tidak bisa '. Namun, dia mengingat perkataan ibu nya yang menyakitkan tadi, dia kemudian mengurungkan niatnya untuk menolak ajak kan Ratna.
Vivi
Tunggu, Aku akan bersiap.
Vivi meletakkan ponselnya di atas kasur, kemudian menuruni ranjang menuju lemarinya. Beberapa baju yang terlihat rapi di dalam lemari, karena pemiliknya tidak pernah menyentuh baju-baju itu.
Dia lalu mengambil baju dan celana yang menurut casual, kemudian berganti pakaiannya.
Setelah semua siap, Vivi mengambil ponsel dan barang-barang yang perlukan. Akhirnya Vivi keluar dari sarang yang selama ini membuat nya nyaman.
"Vivi, kamu kemana?" ucap ibunya saat berpapasan dengan Vivi.
"Aku mau ingin melihat festival tahun baru,"
"Cekkk... kamu ini cari kerja tidak, cari suami tidak. Malah hal-hal remeh begini kamu mau pergi," Ibunya berdecak kesal.
"Apasih mau ibu? aku keluar salah, aku di kamar terus salah," kesal Vivi.
"Kamu ini di marahi orang tua bukan instropeksi diri malah marah balik,"
"Udah lah, suka-suka ibu."
Vivi menghentakkan kakinya dan mengibaskan tangannya dengan kasar kemudian keluar dari rumah itu. Namun, sebelum itu dia menutup pintu dengan kasar, yang membuat ibu Vivi terkejut dan mengelus dadanya.
*
Vivi sampai di sana, melihat pemandangan yang awalnya hanya dia lihat dari kamarnya setiap tahun baru akhirnya bisa keluar dan melihatnya langsung. Terlihat di seberang sana seseorang melambaikan tangan nya tersenyum pada Vivi.
"Vivi, ke sini!" panggil Ratna.
Vivi kemudian menghampiri nya, "Ra... Ratna,"
"Tidak perlu canggung sama aku, kita akan sudah kenal lama," ucap Ratna merangkul bahu Vivi.
Namun, Vivi masih terlihat gugup, "I... Iya."
Mereka kemudian menyusuri jalanan yang ramai itu sembari menanti acara malam puncak.
Namun, yang di rasakan oleh Vivi semakin malam, keramaian makin menyesakkan. Manusia saling berdesakan untuk melihat pesta kembang api.
Semakin malam, orang-orang saling mendorong untuk lebih dekat hingga Vivi terlempar kesana kemari hingga terpisah dari Ratna.
"Ratna... Ratna!" pekik Vivi, namun Ratna tidak di temukan dimanapun tengah kerumunan itu.
Dada mulai sesak, mencoba menghirup udara sebanyak mungkin, namun tidak bisa karena di antara orang berdesakan itu yang saling merebut ingin lewat lebih dulu, juga berebut oksigen yang sama.
Pandangan Vivi mulai mengelap sebelum mengambil inhaler yang berada di dalam tasnya. Beberapa detik kemudian, Vivi ambruk tanpa mampu menolong dirinya.
"Awas... awas, ada yang pingsan," teriak seseorang.
"Vivi... Vivi, bangun!" teriak Ratna.
Vivi melihat wajah Ratna yang nampak khawatir, menggoyangkan tubuhnya. Namun, pandangannya mulai rabun dan mengelap secara perlahan.
"Apakah aku akan mati?"gumam Vivi dalam hati.
*
*
Vivi terjaga dari tidur, yang baru saja terjadi seperti mimpi panjang tanpa akhirnya. Namun, dia nampak lega karena dia masih bisa bangun, Vivi berfikir tadi dia telah mati.
Namun, ketika dia benar-benar membuka matanya yang dia lihat pertama kali lingkungan yang asing nan mewah seperti putri-putri sebuah kerajaan.
Tercium aroma aromaterapi seperti berbau mawar dan trai-trai besar nan mewah seperti nya dari sutra. Vivi menoleh kesamping.
"Ya Mulia, Anda sudah sadar?" ucap pelayan perempuan mengunakan gaun sederhana sama seperti pelayan istana pada umumnya bagaikan manhwa yang sering Vivi baca.
"Siapa kamu?" tanya Vivi
"Maaf, Ya Mulia, apakah anda lupa saya? saya Anna," jawab perempuan itu terlihat ingin menangis.
"Aku dimana?"
"Di istana Greyhaven, Ya Mulia. Ya ampun, sungguh kasihan Ya Mulia seperti setelah jatuh dari kolam, anda manjadi lupa." ucap Anna mengelap air matanya meskipun begitu, dia tetap menjawab semua pertanyaan Vivi.
"Ya Mulia, saya akan panggil dokter dulu."
Anna terlihat ingin berlari keluar ruangan itu, karena majikan terlihat mulai berbicara aneh padanya. Dia bermaksud ingin segera menolong Vivi.
"Tunggu! kamu mau kemana?" panggil Vivi.
Anna nampak menaikkan bahunya mendengar suara tinggi Vivi, dia berbalik dengan tubuh gemeteran seolah Vivi akan menyakitinya. Padahal menurut Vivi, tadi dia tidak berteriak kasar pada Anna.
"Ya, Ya Mulia,"
"Aku belum selesai berbicara," ucap Vivi, kali ini dia berbicara lebih lembut, takut Anna kembali ketakutan karena suaranya.
Anna terlihat menautkan kedua tangannya, menundukkan padangannya seolah siap dengan apa yang akan di utarakan oleh Vivi.
Entah itu hukuman karena telah berani meninggalkan nya sebelum di izinkan atau hanya pertanyaan biasa.
"Lalu siapa nama ku?" tanya Vivi memicingkan matanya.
"Permaisuri Vivienne, Vivienne Greyhaven."jawab Anna gugup.
"Apa?!" teriak Vivienne.
Dengan cepat dia menuruni ranjang menuju lemari kaca besar di sudut kiri ruangan. Vivienne menyentuh wajahnya, sangat mirip dengan deskripsi wajah permaisuri di novel yang pernah dia baca. Yang berjudul 'I'm a villain mom'.
Vivienne ingat apa yang terjadi pada tokoh ini, dia akan mati di tangan ketiga anaknya. Karena, telah berbuat jahat pada mereka dan juga mengabaikannya.
Vivienne mencengkram meja rias itu dengan kuat, dia tidak bisa mengalami kematian menyakitkan untuk kedua kalinya dan harus mengubah takdirnya, serta menjadi berani.
"Kau! trik apa lagi yang kau coba lakukan?" teriak seseorang membuat Vivienne merinding di buatnya.
Vivienne menoleh pada sosok itu, terlihat Anna membungkuk di sebelah pria itu dan mengatakan, "Ya Mulia Kaisar, "
Vivienne tertekun dan menyadari bahwa pria itu adalah suaminya sekarang dan merupakan seorang kaisar di Greyhaven, yang bernama Magnus.
Magnus terlihat menghampiri dengan perlahan, sorot matanya tajam seolah akan mencabik-cabiknya.
Vivienne yang baru saja sampai disini tidak mengerti apa kesalahan. Namun, aura laki-laki di depan sangat menakutkan, dia mencoba mundur tapi meja di belakang menghalangi nya. Vivienne tidak bisa berlari kemana-mana.
"Apa kau sengaja melompat ke sana, agar aku membiarkan mu pergi dengan lelaki itu?" ucap Magnus menarik tangan Vivienne dengan kasar.
Kali ini mata mereka saling berhadapan dan Magnus tidak memberikan jarak di antara mereka.
"Apa Maksudnya?" ucap Vivienne mencoba melepaskan tangannya.
Namun Magnus semakin mencengkram tangan itu dengan kuat. "Kau tidak perlu berpura-pura bodoh, semua sudah tau tingkah mu,"
Vivienne menoleh pada Anna, seolah mempertanyakan maksud dari Magnus. Namun, Pelayannya nampak menghindari tatapan itu.
"Itu, Ya Mulia. Sepertinya Permaisuri hilang ingatan, " ucap Anna masih menundukkan pandangan nya.
"Cukup! Aku tidak ingin mendengar penjelasan," jawab Magnus mengangkat tangannya.
Anna tersentak mundur tak mampu berbicara lagi, jika Magnus sudah membuat keputusan.
"Ya Mulia," panggil seorang pria tua yang mengunakan coat menuju kearah samping kanan Magnus.
"Ada apa lagi?!" tanya Magnus menatap Thomas dengan tajam.
"Maaf, Ya Mulia," ucap Thomas mendekat kearah Magnus.
Dia kemudian mendekatkan tangannya ke telinga Magnus agar kedua orang yang juga berada di ruangan itu tidak mendengar pembicaraan mereka.Thomas mulak berbisik di telinga Magnus.
Sedangkan Magnus masih mencengkram erat, tubuh Vivienne. Namun, dia memastikan pembicaraan nya dengan Thomas tak terdengar oleh Vivienne.
"Kenapa lagi dia?!" kesal Magnus.
Seketika itu pula Magnus melepaskan cengkraman tangan nya pada pinggang Vivienne, bagitu pun dengan wanita itu nampak terkejut dengan ekspresi Magnus yang berubah merah padam.
Magnus kemudian berbalik dan berjalan dengan cepat meninggal kan Vivienne bersama Thomas. Mata Vivienne mengekori kemana kedua orang itu pergi.
Vivienne mencoba meregangkan tubuhnya, mencoba menghirup nafasnya sebanyak-banyaknya. Baru saja dia merasakan seperti mati berkali-kali, lebih buruk dari mati sesak nafas di festival malam tahun baru.
Anna nampak menghampiri Vivienne, "Anda tidak papa, Ya Mulia,"
"Ya, aku tidak papa," ucap Vivienne masih lirik kearah Magnus dan Thomas.
*
*
Magnus kembali ke ruang kerja setelah mendengar kabar dari Thomas bahwa Rosalind ingin mengadukan sesuatu padanya. Dia tau perempuan itu akan menganggunya lagi. Namun, permaisuri nya amat menyayangi nya, sehingga dia tidak bisa mengusir begitu saja.
Permaisuri nya banyak berubah semenjak kelahiran pangeran ketiga, tak ada yang tau alasannya. Bahkan dokter pun tidak dapat mendiagnosa penyakit sang istri.
Selepas itu, Vivienne kemudian menyerahkan urusan istana pada Rosalind, yang merupakan anak marquis yang jatuh. Tetapi, belakangan ini Magnus mengatahui niat jahatnya yang ingin menjadi selir membuatnya menjadi jijik.
Thomas terlihat membuka kan pintu dengan perlahan, dan yang pertama dia lihat ada Rosalind tersenyum padanya seolah ingin segera mengambil hatinya. Namun, Magnus sama sekali tidak tergoda.
"Ya Mulia," sapa Rosalind.
"Ada apa kau kesini?" ketus Magnus tidak memperdulikan Rosalind dan terus ke meja kerja.
Rosalind terlihat menunduk merasa malu karena Magnus tidak membalas sapaannya, "Em… Ya Mulia, Saya ingin menyampaikan sesuatu, ini tentang permaisuri."
"Katakan saja tidak perlu basa-basi." kata Magnus membuka catatan-catatan yang ada hadapannya, seolah tidak perduli.
Sedangkan, Rosalind nampak tersenyum sinis seolah perkataan akan membuat bumerang untuk sang permaisuri.
"Ya Mulia, belakang ini, permaisuri sering menghamburkan uang, saya takut keuangan istana memburuk, Ya Mulia."
"Selain itu, Permaisuri juga sering memukuli, Ya Mulia Pengeran Ke-tiga," adu Rosalind sembari menujukan wajah yang sedih.
"Sudahkan, sekarang pergi, " perintah Magnus.
Rosalind terkejut dengan reaksi Magnus yang terlihat tenang meskipun permaisuri telah membuat pemborosan di istana. Rosalind mencubit tangan sendiri, berfikir, apa yang akan membuat Magnus marah pada Vivienne.
"Apakah permaisuri tidak akan di hukum?" tanya Rosalind gugup.
"Kenapa aku harus menghukumnya?" tanya Magnus balik.
"Karena, permaisuri telah meng…"
"Terserah dia mau membeli barang apa, aku tidak perduli. Tidak masalah juga sesekali memanjakan nya. Aku senang jika dia senang, " potong Magnus dengan perkataan telak.
"Thomas tambahkan anggaran untuk permaisuri," ucap Magnus menoleh ke ujung ruangan dimana Thomas berdiri.
"Baik, Ya Mulia," jawab Thomas.
Kening Rosalind terlihat berkerut dengan mata elang nya menatap tajam kearah Magnus, karena bukan ini yang dia inginkan. Rosalind ingin Magnus marah pada Vivienne hingga membencinya.
"Ya Mulia, Anda..."
"Apa kau tidak Terima dengan titah kaisar," tegur Magnus dengan sinis.
"Tidak seperti itu, Ya Mulia," jawab Rosalind menunduk.
"Kalau tidak ada yang ingin bicarakan silahkan keluar," titah Magnus, mata kembali pada berkas-berkasnya yang berada di atas meja.
Rosalind dengan perasaan yang kesal kemudian keluar dari ruangan itu, sebelum benar-benar keluar Rosalind kembali menoleh pada Magnus. Namun, Magnus terlihat cuek.
Thomas membukakan pintu melihat wajah Rosalind sekilas terlihat perempuan itu amat kesal kerana tidak mendapatkan apa yang dia inginkan.
Setelah Rosalind pergi Thomas kemudian mendekati Magnus, "Ya Mulia, mengapa Anda tidak mempercayai nya?"
"Aku bukan tidak percaya, tapi dia itu penjilat ulung. Kamu tidak merasa dia mungkin sedang membuat adu domba disini. Aku tidak ingin terjebak dalam ilusi yang dia buat," ucap Magnus.
Magnus kembali mengerjakan berkasnya dan kini Thomas hanya bisa diam setelah mendengar penjelasan Magnus yang menurut nya ada benarnya.
Rosalind memang suka menjilat dan menjelekkan Vivienne di depan Kaisar, mungkin memang benar permaisuri mereka terlihat jahat. Namun, seharusnya dia menjaga nama baik majikannya. Itu yang dipikirkan oleh Thomas saat ini.
*
*
Vivienne terlihat berjalan-jalan mengelilingi istana, ini pertama kali dia melihat lantai marmer yang berkilau dari batu alami, dan ubin yang memenuhi dinding istana itu, kapur putih yang juga menghiasi tembok istana.
Begitupun dengan patung-patung dan guci yang menghiasi beberapa tempat di istana itu membuat takjub.
"Ah… ternyata seperti ini masuk isekai," gumam Vivienne yang terdengar sedikit oleh Anna.
Anna ingin mendengar dengan jelas, kemudian mendekatkan telinga di bahu Vivienne, "Apa itu isekai, Ya Mulia?"
"Aku juga tidak tau, tapi aku pernah membaca itu di suatu tempat... ya suatu tempat," jawab Vivienne meringis.
"Ya, dulu aku suka membaca novel transmigrasi soal nya." gumam Vivienne dalam hati.
Anna nampak menganggukkan kepalanya, dia tidak mengetahui buku yang maksud Vivienne dan jawaban dari perkataan Vivienne. Namun, sebagai pelayan yang baik harus menurut dengan perkataan majikannya.
Vivienne kemudian mengarah ke taman yang sangat indah di penuhi dengan bunga-bunga, Vivienne mengucap dalam hati, "Pasti banyak tukang kebun yang merawat bunga itu, aku pernah membaca nya di buku, "
Di banding itu, Vivienne lebih tertarik dengan suasana sejuk yang mengelilingi istana. Tidak seperti jaman modern, meskipun semua serba canggih. Namun, udara nya panas, dan sering tidak cocok dengan diri nya punya penyakit pernafasan.
"Ya Mulia, Anda ingin kemana?" tanya Anna melihat Vivienne melangkahkan kakinya kearah taman.
"Aku mau ke taman," ucap Vivienne.
Vivienne tiba-tiba berhenti, pikiran nya berputar. Membayangkan sesuatu yang selalu ingin dia coba selama ini. Minum teh, ala-ala putri kerajaan dan bangsawan.
"Bisa kah, kamu siapkan meja, teh dan makanan, di taman ini?" tanya Vivienne.
"Tentu saja, Ya Mulia, saya akan segera siap kan, " jawab Anna, terlihat membungkuk kan dirinya kemudian mundur dengan perlahan.
Vivienne menarik nafas kasar, mencoba mencium aroma bunga-bunga yang bermekaran disana. Sembari menunggu Anna kembali dengan persiapan nya, dia menyusuri jalanan di taman itu.
Hingga sampailah Vivienne di sebuah pohon besar yang berada di tengah taman itu, Vivienne menarik gaun sedikit ketika melihat kaki kecil yang terjulur, membuat Vivienne penasaran.
Vivienne mendekati kaki itu dengan perlahan dengan matanya terus tertuju pada kaki itu, semakin mendekat kearah kaki terdengar pula suara isakkan anak kecil, membuat Vivienne makin penasaran.
"Siapa disana?" tanya Vivienne.
Beberapa langkah kemudian akhirnya dia sampai di hadapan anak kecil yang bersembunyi itu.
Terlihat anak itu sangat ketakutan ketika menatapnya dan ingin segera melarikan diri dari hadapan Vivienne. Tapi, dengan cepat Vivienne menarik tangan anak itu, sampai dia tidak bisa berkutik.
"Lepaskan aku! lepaskan!" teriak anak itu memukul-mukul tangan Vivienne.
Vivienne menjadi bingung dengan alasan anak itu begitu takut dengan nya. Namun, terbesit di pikiran nya, tempat yang dia pijaki sekarang masih istana kerajaan, itu artinya anak kecil di hadapan nya merupakan salah satu pengeran, yang adalah anaknya sekarang.
"Apakah nama mu Asher?" tanya Vivienne dengan lembut.
"Iya, nama ku Asher, jangan hukum aku,"
"Owh, kamu terlihat lucu," kata Vivienne mencoba mengelus surai Asher.
Tetapi, detik berikutnya Asher menepis tangan Vivienne ketika wanita itu melepaskan tangan Asher. Anak itu kemudian berlari meninggalkan Vivienne.
Mata Vivienne terus tertuju pada Asher yang begitu lari begitu cepat dengan raut wajah yang ketakutan. Vivienne jadi ingin tau alasan Asher begitu ketakutan. Karena anak sekecil Asher tidak mungkin takut kalau bukan ada penyebabnya.
"Seperti nya, aku harus cari tau, " gumam Vivienne.
"Iya, Ya Mulia," sahut Anna tiba-tiba mengagetkan Vivienne, membuat nya sontak menoleh kearah pelayannya.
"Kamu ini mengagetkan ku saja," gerutu Vivienne.
"Maaf, Ya Mulia, tapi semua yang Ya Mulia perintahkan sudah siapkan," jawab Anna menundukkan pandangannya.
"Itu tidak penting lagi, sekarang aku ingin tahu jadwal harian Asher, " kata Vivienne, matanya masih tertuju pada dimana perginya Asher.
"Ya Mulia Pengeran Ke-tiga, Ya Mulia?"
"Iya, cepat jawab, " desak Vivienne.
"Pengeran Ke-tiga, bisanya belajar bersama madam Elena, kemudian belajar bela diri ser Roric, Ya Mulia," jelas Anna.
"Itu saja?"
"Iya, itu saja yang saya tau, Ya Mulia,"
"Dan sekarang dimana Asher?" tanya Vivienne lagi.
"Di ruang belajar, Ya Mulia, bersama Madam Elena,"
"Oke, sekarang kita kesana." titah Vivienne.
Anna menganggukkan kepalanya kemudian mengarahkan Vivienne menuju kearah ruang kelas yang di maksud kan oleh Anna.
Ruang kelas berada di sayap kanan dari istana utama, nampak begitu hening serta taman hijau yang membuat udara disana terasa segar. Vivienne yang melihat pemandangan itu nampak mengangguk beberapa kali, karena memang tempat ini sangat cocok untuk belajar.
Sebagai seorang introvert seperti nya, tempat itu bagus untuk bersantai, Vivienne nampak ingin memiliki salah satu ruangan disana.
"Ini tempatnya, Ya Mulia," tunjuk Anna.
Vivienne melihat ruangan itu dari berbagai arah, terlihat jendela besar yang pasti cahaya akan masuk dari segela sudut serta pintu yang cukup besar.
Tapi, yang menarik perhatiannya mengapa semua jendela di tutup dengan rapat mengunakan tirai seolah orang luar tidak boleh melihat kedalam. Vivienne makin penasaran.
"Ya Mulia, ada apa anda kesini?" tanya seorang pengawal yang berjaga.
"Apakah salah aku ingin melihat putra ku belajar?" Vivienne bertanya balik.
"Buka pintu ini sekarang untuk ku, cepat!" titah Vivienne.
Pengawal itu menciut dan membukakan pintu ruangan itu dengan perlahan, hingga Vivienne melihat hal tidak terduga di dalamnya.
"Tunggu tahan," ucap Vivienne menghentikan tindakkan pengawal, dan pengawal itu terlihat mengikuti titahnya.
Vivienne terkejut melihat keadaan di dalam ruangan itu.
"Anda melarikan diri kemana tadi, Ya Mulia Permaisuri akan murka pada Anda," dalih Elena.
"Agar Anda terdidik, permaisuri memerintahkan saya untuk mencambuk Anda sepuluh kali,"
Cetar... cetar...
Madam Elena memukul cambuk di tangannya kearah lantai. Sedangkan Asher terlihat ketakutan, kemudian membalik tubuh membelakangi Madam Elena, layaknya sudah terbiasa di perlakuan seperti itu oleh Madam Elena.
"Aku? Apakah aku pernah mengatakan hal seperti itu?" gumam Vivienne.
"Hamba, tidak tau, Ya Mulia," jawab Anna gugup.
Detik berikut nya, Madam Elena mencambuk kaki Asher. Vivienne tidak tahan lagi dengan pemandangan itu, kemudian mendobrak pintu dan membuat Madam Elena terkejut.
"Ya... Ya Mulia," gagap Elena.
"Apa yang kau lakukan pada putraku?!" bentak Vivienne menarik tangan Asher mendekat padanya, kemudian menyerahkannya pada Anna.
Awalnya Madam Elena nampak ketakutan, namun detik berikut nya keberanian datang karena Rosalind pernah mengatakan padanya, bahwa permaisuri bodoh dan terkesan cuek pada para pengeran.
Madam Elena yakin, Perlakuan Vivienne saat ini hanya lah sebuah pura-puraan. Madam Elena tersenyum sinis mencoba memancing reaksi sebenarnya dari Vivienne.
"Ya Mulia, bukan kah Anda sendiri yang mengatakan, jika Pengeran berbuat salah maka saya harus menghukumnya," ucap Elena menggosok tangan nya.
"Aku tidak pernah mengatakan hal seperti itu, kau hanya membuat alibi. Agar kesalahan kau di maafkan," tunjuk Vivienne penuh amarah.
"Ya Mulia, Anda tidak harus melakukan ini, saya adalah guru Ya Mulia Pengeran Ke-tiga," terang Elena dalam tenang.
"Aku bisa mengantikan mu dengan orang-orang yang lebih hebat dan profesional,"
"Ya Mulia, Anda tidak bisa menganti saya begitu saja," ucap Elena karena dia di bawah oleh Rosalind, dan yang berkuasa di istana ini bukan Vivienne, namun pelayan istana itu.
"Kenapa tidak bisa, aku adalah permaisuri, aku lebih berkuasa dari perempuan itu," sinis Vivienne.
Tidak berselang lama dari perdebatan itu, datang lah sang dalang utama, yaitu Rosalind.
"Ya Mulia, apa yang anda lakukan?"
Rosalind mungkin terlihat mempertanyakan Vivienne tentang yang terjadi di ruang kelas itu, namun bagi Vivienne pertanyaan itu seperti tudingan dan ancaman.
Vivienne menatap nyalang pada Rosalind seolah dia tidak takut dengan tuduhan yang utarakan kepala pelayan itu.
"Maksud mu aku salah? lalu apa salah ku?" sarkas Vivienne menyipitkan matanya.
"Bukan begitu Anda tidak boleh menganggu belajar pangeran," ucap Rosalind menyeringai.
"Belajar, belajar seperti apa mengunakan ini, aku rasa belajar bela diri pun tidak mengunakan ini," jawab Vivienne mencengkram tangan Madam Elena yang masih memegang cambuk.
"Ya Mulia, Anda tidak boleh berbuat kasar, " panik Rosalind, karena Madam Elena berada pihaknya, dia harus melindungi Madam Elena.
"Kasar? Dia duluan yang bertindak kasar pada pengeran, tidak tau sopan santun,"
Plakkk...
Vivienne menampar pipi Madam Elena, menujukan pada Rosalind bahwa dia tidak takut sama sekali dengan ancaman mereka. Baik itu dari Madam Elena ataupun Rosalind.
Anna terlihat memalingkan wajah Asher agar sang pengeran tidak melihat kekerasan yang terjadi di depan mereka.
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!