...0o0__0o0...
...Rumah besar bergaya minimalis itu tampak sepi malam itu. Hanya cahaya temaram lampu ruang kerja yang masih menyala. Di balik pintu, seorang perempuan duduk mematung dengan wajah pucat....
...Dr. Nesya Azzahra — dokter kandungan ternama sekaligus ahli agama di sebuah majelis wanita — sedang menatap hasil pemeriksaan laboratorium di tangannya. Lagi-lagi, satu kata yang paling di takutinya tertera jelas: Negatif....
...Air matanya jatuh tanpa izin....
...“Ya Allah…” bisiknya lirih. “Mengapa Engkau belum juga titipkan anak dalam rahimku ?”...
...Pintu ruang kerja berderit terbuka. Seorang pria berwibawa masuk dengan langkah tenang. Jubah panjang khas ulama melekat di tubuhnya, meski sehari-hari ia juga di kenal sebagai dokter bedah yang di segani....
...Dr. Langit Alfaruq, suaminya....
...Ia menatap Nesya dengan sorot mata teduh namun penuh tanya. “Sayang, kamu belum tidur ?” tanyanya lembut, mendekat....
...Nesya buru-buru menyeka air matanya. “Tidak Abi. Aku sedang… memikirkan pasien.”...
...Langit duduk di hadapan istrinya, tangannya menggenggam jemari Nesya. “Aku tahu ada yang kau sembunyikan. Bukankah sejak pernikahan kita 5 tahun lalu, tak ada rahasia di antara kita ?”...
...Sekilas Nesya ingin membuka semuanya. Tentang tekanan ibunya, sindiran ipar, dan rasa terhina karena tak mampu memberi keturunan. Namun ia menahan lidahnya....
...Ego sebagai istri pertama, sebagai wanita yang di hormati banyak orang, tak mengizinkan-nya tampak lemah di depan suaminya....
...“Aku baik-baik saja,” katanya kaku....
...Langit memandangi-nya lama, lalu menghela napas. “Baiklah. Tapi jangan sakiti dirimu dengan pikiran yang tak perlu. Kita harus percaya, semua ada waktunya.”...
...Nesya hanya mengangguk, meski di dalam dada hatinya berteriak: Aku tak bisa menunggu lebih lama. Aku harus melakukan sesuatu sebelum orang lain merenggut kebahagiaan kita....
...Dan malam itu, sebuah tekad gila mulai tumbuh. Tekad untuk mencarikan istri kedua bagi suaminya sendiri....
...0o0__0o0...
...Hari itu, langit Jakarta kelabu. Hujan baru saja reda, meninggalkan aroma tanah basah yang menusuk hidung....
...Di ruang praktiknya, Dr. Nesya Azzahra duduk dengan gelisah. Senyum ramah tetap ia tampilkan di depan pasien, tapi begitu sendirian, wajahnya kembali murung. Kata-kata ibunya beberapa malam lalu masih terngiang:...
...> “Kalau kamu tidak bisa memberi cucu, bagaimana keluarga Langit bisa melanjutkan keturunan ? Jangan sampai iparmu menertawakan mu.”...
...Kalimat sang ibu kala itu menusuk, menggerogoti harga dirinya sebagai perempuan....
...Sore itu, Nesya tanpa sengaja melihat seorang gadis muda yang menunggu di ruang tunggu rumah sakit. Tubuhnya tampak lelah, wajahnya pucat, namun matanya tegas. Ia menggenggam erat map medis sambil bolak-balik menekan layar ponsel....
...“Maaf, Mbak… ayah saya butuh operasi segera. Tapi saya belum punya cukup uang…” suara lirih itu terdengar saat Jingga berbicara dengan petugas administrasi....
...Nesya berhenti melangkah. Ada sesuatu dalam nada suara gadis itu yang membuatnya menoleh....
...Jingga Prameswari....
...Nama yang baru pertama kali ia dengar hari itu, tapi entah mengapa, seolah Allah sengaja menaruh gadis itu di hadapannya....
...Nesya mendekat, pura-pura ramah. “Kamu butuh bantuan ?” tanyanya halus....
...Jingga menoleh, menatap wanita anggun bersetelan dokter. Ada harapan dan juga kewaspadaan di matanya....
...“Kalau dokter tahu cara-nya… tolonglah. Ayah saya harus segera di operasi. Saya rela bekerja apa saja untuk bisa membayar biaya operasi nya.”...
...Senyum tipis terukir di bibir Nesya, tapi sorot matanya menyimpan rencana. Inilah jalannya....
...“Aku bisa membantu mu,” katanya pelan. “Tapi tentu saja, tidak gratis.”...
...Jingga menelan ludah. “Apa maksud dokter ?”...
...Nesya mendekat, suaranya semakin dingin. “Jadilah istri kedua suamiku selama satu tahun saja. Sampai kau melahirkan anaknya. Setelah itu, kau bebas. Anggap saja ini pekerjaan dengan bayaran yang sangat besar.”...
...Jingga terperanjat. Darahnya berdesir panas. “Apa… dokter tidak salah bicara ?”...
...“Tidak.” Nesya menatapnya lurus, tanpa rasa bersalah. “Aku serius. Kau akan menolong ayahmu… dan sekaligus menolong ku.”...
...Hening menjerat keduanya....
...Hati Jingga bergejolak—antara marah, hina, dan putus asa. Namun di kepalanya, wajah ayahnya yang sekarat terus membayang....
...Dan di saat itulah, takdir mulai mempertemukan tiga hati dalam satu ikatan paling rumit: sebuah pernikahan tanpa cinta....
...0o0__0o0...
...Jingga Prameswari duduk di tepi ranjang rumah sakit, menatap wajah ayahnya yang tertidur dengan selang infus menancap di tangan. Napas pria itu berat, dadanya naik-turun tak beraturan....
...“Bertahanlah, Yah…” bisiknya, suaranya bergetar....
...Sejak ibunya meninggal tiga tahun lalu, hanya ayah satu-satunya keluarga yang ia punya. Kehidupan mereka berubah drastis. Dari rumah sederhana yang hangat, kini hanya tersisa kamar kontrakan sempit dengan atap bocor....
...Jingga bekerja serabutan. Siang menjadi kasir minimarket, malam menjahit pesanan kecil-kecilan. Namun berapapun ia berusaha, tetap tak mampu menutupi biaya operasi yang menggunung....
...> Kalau saja aku lahir di keluarga kaya… aku tidak perlu menadahkan tangan begini....
...Meski begitu, Jingga bukan tipe gadis lemah. Banyak yang mencoba meremehkan atau menindasnya, tapi ia selalu melawan. Wajahnya mungkin lembut, tapi sorot matanya selalu berani....
...Hari itu, setelah mendengar tawaran Nesya, hatinya masih belum tenang. Kata-kata dokter itu terus menggema:...
...“Jadilah istri kedua suamiku selama satu tahun…”...
...Tangannya mengepal. Gila! Bagaimana mungkin aku menjual diri demi menyelamatkan ayahku ?...
...Tapi setiap kali keraguan datang, suara mesin monitor detak jantung ayahnya selalu mengingatkan: waktu mereka semakin sedikit....
...0o0__0o0...
...Malamnya, di kamar kontrakan, Jingga berdoa....
...“Ya Allah… kalau memang ini jalan yang harus ku tempuh demi Ayah, beri aku kekuatan. Aku janji tidak akan menyerah meski harus jadi ‘istri kontrak’ yang hina di mata orang lain.”...
...Air matanya jatuh, tapi wajahnya tetap tegas. Jingga tahu, jalan yang ia pilih bukanlah jalan biasa. Tapi ia juga tahu, dirinya tidak akan mudah di injak-injak. Bahkan oleh seorang wanita setinggi langit sekalipun…...
...Dan esok hari, Jingga melangkah dengan keputusan bulat: menerima tawaran itu....
...0o0__0o0...
...Ruang kerja Dr. Nesya terasa dingin sore itu. Aroma antiseptik bercampur wangi melati dari diffuser membuat suasana semakin menekan....
...Jingga duduk kaku di kursi seberang meja. Tangannya mengepal di pangkuan, matanya lurus menatap wanita anggun di hadapannya....
...“Aku terima tawaran dokter,” ucapnya mantap, meski hatinya terasa bergetar....
...“Demi Ayahku.”...
...Nesya tersenyum tipis, lega sekaligus puas. “Bagus. Kau membuat keputusan yang bijak. Anggap saja ini kontrak. Hanya Setahun. Setelah kau melahirkan anak Langit, kau bebas. Semua biaya ayah mu, aku yang tanggung.”...
...Jingga menahan amarah. Ingin rasanya meludahkan kata-kata pedas, tapi ia ingat: keselamatan ayahnya ada di ujung kesepakatan ini....
...Ceklek..!...
...Pintu tiba-tiba terbuka....
...Dr. Langit Alfaruq masuk, wajahnya datar. Ia baru selesai dari ruang operasi. Pandangan matanya segera beralih dari istrinya ke gadis asing yang duduk di sana....
...Gadis itu terlihat sangat muda dan sangat cantik, Sekilas tatap Langit bertubrukan dan ia memiliki mata coklat terang yang begitu mempesona....
...“Ada apa ini ?” suaranya tenang, tapi berwibawa....
...Nesya bangkit, berjalan mendekati suaminya. Dengan tenang ia berkata, “Langit… ini Jingga. Mulai hari ini, dia akan menjadi istri kedua dalam rumah tangga kita.”...
...Langit terdiam. Seolah kalimat itu terlalu asing untuk di proses....
...“Istri kedua…?” ulangnya pelan, nadanya getir....
...“Ya.” Nesya menatapnya lurus. “Aku sudah menyiapkan semuanya. Kau akan menikahinya. Sementara dia akan memberi mu anak yang tidak bisa ku berikan.”...
...Jingga menunduk. Hatinya terasa seperti di pukul. Anak… hanya itu yang di lihat dari ku....
...Langit memejamkan mata, lalu menatap Nesya tajam. “Astaghfirullah, Nesya. Apa yang kau katakan ini ?”...
...Nesya menahan genggaman-nya di lengan Langit. “Aku melakukan ini demi kita. Demi keluarga kita. Demi harga diri ku sebagai istri mu.”...
...Suasana tegang....
...Langit kemudian menoleh pada Jingga. Tatapan matanya menusuk, dalam dan penuh perhitungan....
...“Apa kau tahu konsekuensi dari semua ini ?” tanyanya dingin....
...Jingga mengangkat wajahnya. Meski tubuhnya gemetar, suaranya tetap tegas....
...“Aku tahu. Demi kesembuhan ayah ku, sudah tugas seorang anak mengusahakan apapun, meskipun harus mengorbankan hidupku sendiri.”...
...Tatapan Langit membeku. Sebuah perlawanan yang tak ia sangka keluar dari mulut gadis kecil seperti Jingga....
...Dan untuk pertama kalinya, Nesya merasa ada sesuatu yang berbeda—seperti api kecil yang mulai menyala di antara dua orang di depannya....
...Api yang suatu hari bisa membakar seluruh rumah tangganya....
...0o0__0o0...
...Hari itu, aula kecil di kompleks masjid besar di penuhi cahaya lampu gantung yang hangat. Namun suasana hati orang-orang di dalamnya jauh dari kata hangat....
...Di barisan depan, Dr. Langit Alfaruq duduk bersila dengan wajah kaku. Sorot matanya kosong, seolah tak benar-benar berada di sana. Sementara di samping-nya, beberapa saksi dan penghulu telah siap....
...Jingga Prameswari duduk di ruang terpisah, di temani dua orang saksi wanita yang di sediakan Nesya. Gaun putih sederhana melekat di tubuhnya, jauh dari kemewahan pesta pernikahan yang biasanya di idamkan setiap gadis....
...Di balik kain kerudung tipis, matanya basah....
...Jingga meng-genggam erat map kecil berisi bukti transfer biaya operasi ayahnya—hasil kesepakatan yang menghancurkan martabatnya, namun menyelamatkan nyawa orang yang paling ia cintai....
...“Bismillahirrahmanirrahim…” suara penghulu menggema....
...Ijab kabul berjalan cepat....
...Langit mengucapkannya dengan suara mantap meski dingin. "Saya terima nikahnya Jingga Prameswari dengan mas kawin tersebut, tunai."...
...Kalimat itu seolah merobek hati Nesya yang duduk anggun di barisan samping. Ia tersenyum, pura-pura tegar. Tapi di dalam dadanya, ada bara api yang mulai berkobar....
... 0o0__0o0...
...Malam itu, di kamar rumah besar milik keluarga Langit, suasana terasa kaku....
...Jingga duduk di ujung ranjang, menunduk, jari-jarinya gelisah memainkan ujung kerudung. Jantung-nya berdegup kencang. Ia tahu inilah malam pertama—malam yang di takuti sekaligus memalukan....
...Langit masuk, meletakkan jasnya di kursi, lalu berdiri lama menatap ke luar jendela. Hening membentang di antara mereka....
...Akhirnya ia membuka suara. “Aku tidak akan menyentuh mu.”...
...Jingga menoleh, kaget. “Apa… maksudnya ?”...
...Langit berbalik, menatap lurus ke arah istrinya yang baru sah beberapa jam lalu....
...“Pernikahan ini bukan keinginan ku. Aku hanya melakukannya demi menenangkan Nesya. Jadi jangan berharap aku akan menyentuh mu tanpa cinta."...
...Kata-kata itu terasa seperti belati menusuk dada Jingga. Namun ia menegakkan dagunya, menolak menunjukkan kelemahan....
...“Kalau begitu Jagan menyentuh ku,” balasnya berani. “Kalau kau hanya menganggap ku rahim untuk anakmu, jangan harap aku menyerahkan tubuhku.”...
...Langit terdiam, tak menyangka gadis kecil itu bisa menantang-nya dengan kalimat setegas itu. Mata mereka bertemu, saling melempar api....
...“Jangan mencoba bermain api dengan ku,” ucap Langit dingin....
...Jingga justru tersenyum tipis, getir. “Aku bukan main api. Aku hanya menjaga harga diriku. Jika suatu saat aku jatuh cinta pada mu, barulah kau boleh menyentuh ku.”...
...Langit menghela napas panjang. Ia berjalan ke lemari, mengambil selimut, lalu membentangkan-nya di sofa....
...“Tidurlah. Malam ini aku tidur di sofa sini. Dan kau bisa tidur di atas ranjang.”...
...Jingga menatap punggung pria itu lama, dadanya sesak. Pernikahan yang baru di mulai terasa seperti penjara. Tapi dalam hati kecilnya, ada bisikan:...
...Aku tidak akan kalah. Jika harus melalui neraka ini demi Ayah, aku akan bertahan. Dan aku tidak akan membiarkan siapa pun—bahkan seorang pasangan dokter seangkuh mereka—menghancurkan diriku....
... 0o0__0o0...
...Di kamar lain, Nesya menatap langit-langit dengan mata merah. Meski ia sendiri yang merencanakan pernikahan itu, bayangan Langit duduk berdua dengan perempuan lain membuat dadanya terbakar....
...“Langit hanya milik ku…” gumamnya, lirih tapi penuh bara. “Tidak ada perempuan manapun yang bisa merebutnya dariku. Bahkan perempuan rendahan itu sekalipun.”...
...Dan malam pertama itu pun berlalu tanpa cinta—hanya menyisakan jurang kebekuan yang suatu hari akan runtuh oleh api cinta terlarang....
...0o0__0o0...
...“Kamu yakin mau tidur di sofa ?” tanya Jingga memastikan....
...“Ya, aku tidur di sofa saja,” jawab Langit singkat....
...Jingga menatapnya sejenak, lalu berkata pelan, “Kalau begitu, tidurlah di kamar istri pertama mu, agar kakak bisa tidur nyaman.”...
...Langit langsung menoleh, menatap istri mudanya itu dengan tatapan tegas. “Tidak, kamu istriku. Meskipun tidak ada cinta di antara kita, aku harus tetap bisa berlaku adil.”...
...“Kalau begitu tidurlah di ranjang ini. Aku tidak mau berdosa membiarkan suamiku tidur di sofa kecil, sementara ranjang di kamar ini begitu lebar.”...
...Setelah mengatakan itu, Jingga melangkah ke kamar mandi. Ia membawa baju tidur panjang beserta kerudung....
...Langit tersentak. Entah bagaimana ia bisa menolak ucapan gadis itu. Hatinya kacau, pikirannya berantakan. Pernikahan mendadak ini seakan kembali membuka luka dari kesalahan istri pertamanya....
...“Ya Allah… berikanlah jalan terbaik untuk rumah tangga hamba-Mu ini,” doa Langit dalam hati....
...Pelan, ia bangkit dari sofa dan berpindah ke ranjang. Duduk bersandar di kepala ranjang, matanya kosong, meski tubuhnya lelah, rasa kantuk sama sekali tak datang....
...Tak lama kemudian Jingga keluar dari kamar mandi. Tubuhnya di balut baju tidur panjang, kerudung masih menutup rapi kepalanya....
...Langit mengerutkan dahi. “Kenapa kamu tidak melepaskan kerudung mu ?” tanyanya heran....
...“Kenapa ? Kak Langit keberatan ?” jawab Jingga polos. “Bukankah kita sudah sepakat untuk tidur tanpa malam pertama, sebelum ada rasa cinta ?”...
...Langit terdiam, tak menemukan kata....
...“Aku hanya ingin menghargai keputusan Kakak,” sambung Jingga lembut. “Karena itu… aku tetap menutup auratku. Sampai Kakak benar-benar siap mencintai ku sebagai istri kedua.”...
...Pandangan Langit menajam, dingin, tapi hatinya berdebat hebat. Di satu sisi ia ingin menjaga jarak, di sisi lain, kata-kata gadis itu perlahan mengguncang hatinya....
...Keheningan menyelimuti kamar itu. Lampu redup temaram, hanya suara detik jam yang terdengar jelas....
...Jingga sudah merebahkan tubuhnya di sisi ranjang, punggungnya menghadap Langit. Napasnya teratur, tapi jelas sekali ia belum tertidur. Jemarinya diam-diam meremas selimut, seakan menahan gelisah....
...Langit masih bersandar, menatap langit-langit kamar. Hatinya seperti diaduk. Ia melirik ke arah Jingga. Gadis itu tampak begitu tenang, padahal pasti hatinya juga sedang berperang....
...“Jingga…” suara Langit lirih, nyaris seperti bisikan....
...“Iya, Kak ?” jawab Jingga pelan, tanpa menoleh....
...“Kalau… kalau suatu hari aku benar-benar jatuh cinta padamu… apa kamu siap menerimanya ?”...
...Jingga terdiam sesaat, lalu menarik napas panjang. “Cinta itu bukan hal yang bisa dipaksa, Kak. Kalau memang datang, aku akan menerima-nya dengan syukur. Kalau pun tidak… aku akan tetap berusaha menjadi istri yang taat.”...
...Jawaban itu menusuk hati Langit. Ada keikhlasan yang begitu murni....
...“Tidurlah, Kak,” ucap Jingga lagi, suaranya lembut. “Kita butuh banyak kekuatan untuk hari-hari ke depan.”...
...Langit menutup matanya. Namun, sebelum benar-benar terlelap, ia berbisik dalam hati, “Ya Allah, lindungi gadis ini. Jangan biarkan aku menyakitinya lagi… seperti yang saat ini terjadi.”...
...Malam itu pun berlalu tanpa kata-kata lagi, hanya doa yang diam-diam dipanjatkan oleh dua hati yang masih sama-sama ragu....
...0o0__0o0...
...Pagi itu ruang makan keluarga Alfaruq terasa hangat oleh aroma masakan. Di tengah meja panjang, beragam lauk tersaji....
...“Aba harus makan banyak sayur biar tetap sehat. Biar Jingga ambilkan, ya,” ucap Jingga lembut sambil menambahkan sayur ke piring mertuanya....
...Kiai Mukmin Mahali Alfaruq—pendiri pesantren besar dan terkenal di Jakarta—hanya tersenyum tenang. Sosok yang biasa di panggil Aba Mukmin itu dikenal berwibawa, penuh kesabaran....
...Namun sebelum sempat menyuapkan makanan, Nesya langsung menyela dengan suara dingin, “Biar aku saja yang menyajikan untuk Aba. Kamu itu orang baru di rumah ini, Jingga. Belajarlah dulu tata krama sebelum bertindak.”...
...Jingga menoleh, wajahnya tenang. “Justru karena aku harus beradaptasi, Kak, aku perlu diberi ruang untuk melakukan hal-hal kecil seperti ini. Bukankah tata krama selalu berlandaskan pada rasa saling menghargai ? Bersikap pada mertua sama saja seperti bersikap pada ayah kandungku, dan aku sudah belajar itu sejak kecil.”...
...Perkataan itu membuat wajah Nesya memerah. Tangannya mengepal erat di pangkuan, menahan geram. Sebagai istri pertama, ia merasa di permalukan....
...“Jingga, kamu berani melawan aku ?” bentaknya pelan tapi tajam. “Jangan lupa, aku istri pertama. Kamu harus menghormati ku. Aku jauh lebih tua dari mu.”...
...“Maaf, Kak Nesya,” jawab Jingga dengan suara tetap tenang. “Aku tidak bermaksud melawan. Aku hanya ingin mengatakan yang sebenarnya—bahwa kasih sayang kepada mertua tidak boleh di batasi oleh status. Aku ingin mencintai mereka sebagaimana aku mencintai orang tuaku sendiri.”...
...Langit yang sejak tadi diam, tak kuasa menahan senyum tipis. Ucapan istri mudanya begitu berani, berhasil membungkam Nesya. Namun wajahnya segera kembali datar, ia tak ingin terlihat memihak....
...“Cukup,” ujar Langit tegas. “Nesya, Jingga, kembali makan. Biar aku saja yang menghidangkan untuk Aba.”...
...Suasana meja makan kian kaku....
...“Nesya, selepas sarapan, aku ingin bicara dengan mu,” lanjut Langit, kali ini nadanya lebih dingin....
...Nesya—hanya mengangguk singkat. Malu dan geram bercampur jadi satu....
...Ummi Aisyah, istri Aba Mukmin, hanya tersenyum tipis tanpa ikut campur....
...“Abi… maafkan sikapku tadi,” ucap Nesya lirih pada Langit....
...Jingga spontan mengerutkan dahi. “Abi ?” ulangnya heran....
...“Iya, itu panggilan ku untuk suami kita,” jawab Nesya dengan nada bangga. “Apa kamu tidak memanggil begitu juga ?”...
...Jingga tersenyum kecil. “Tidak, Kak. Meskipun nanti aku di karuniai anak, aku tetap akan memanggil-nya Kak Langit.”...
...Nesya mendengus, lalu keceplosan, “Kamu akan berpisah setelah punya anak nanti.”...
...“Astaghfirullah!” seru Ummi Aisyah terkejut. “Berpisah ? Apa maksudmu, Nak ?”...
...Nesya langsung pucat. Ia menunduk dalam-dalam, menyadari kebodohan-nya baru saja membocorkan rahasia....
...Aba Mukmin meletakkan sendoknya, sorot matanya tajam. “Di keluarga Alfaruq tidak ada perceraian, apalagi dengan alasan yang tidak masuk akal.”...
...Langit menatap dingin istrinya yang pertama. Selera makannya hilang....
...“Aba tegaskan sekali lagi,” lanjut Aba Mukmin, suaranya berat, “tidak akan ada perceraian di dalam keluarga ini. Jangan coba-coba mempermainkan ikatan suci pernikahan.”...
...Dengan itu, beliau berdiri dari kursinya. Ummi Aisyah mengikuti, wajahnya datar tapi jelas kecewa....
...“Langit, temui Aba di belakang nanti,” titah Aba singkat....
...“Baik, Aba,” jawab Langit menunduk....
...“Nesya, ikut aku. Kita perlu bicara,” sambung Langit dingin....
...Setelah semua beranjak, tinggal Jingga yang duduk seorang diri di ruang makan. Ia menatap meja yang kini terasa dingin dan sunyi....
...Tarikan napas panjang lolos dari bibirnya. “Rumah besar dan mewah ternyata tidak menjamin seseorang bisa hidup tenang dan damai,” gumamnya lirih....
...0o0__0o0...
...“Aku sudah menuruti kemauan mu untuk menikahi wanita asing yang bahkan tidak aku cintai. Jadi bisakah kamu perbaiki sikap mu ? Kamu tidak seperti Nesya yang aku kenal dulu,” ucap Langit datar, sorot matanya menusuk....
...“Maafkan aku, Abi,” jawab Nesya menunduk, suaranya bergetar. “Bukankah Jingga juga salah ? Dia sudah berani menasihati aku.”...
...“Nesya,” Langit menarik napas panjang. “Siapa pun boleh menasihati kita, tanpa memandang usia atau status. Yang seharusnya kita dengar adalah ucapan'nya, bukan siapa orangnya.”...
...Ia menatap istrinya dengan dingin. “Dan menurutku, Jingga tidak salah. Apa yang dia katakan benar. Setiap orang tua pasti mendidik anak-anak mereka tentang adab. Justru kamu yang merendahkan dia dengan sikap mu barusan.”...
...Nesya terbelalak. Hatiku seakan di remukkan. Abi membela dia? Tatapan kecewa langsung tertuju pada suaminya....
...“Jadi… Abi sudah jatuh cinta padanya, ya ?” suara Nesya bergetar, berubah jadi geram. “Itu sebabnya Abi mulai membelanya ? Karena kalian sudah melakukan malam pertama ?” Tangannya mengepal kuat, tubuhnya bergetar oleh amarah....
..."Asal Abi tau, di balik hijab yang dia kenakan, dia hanya sosok yang bekerja di club malam. Aku yakin, Abi tidak mungkin mencintai wanita kotor seperti dia." Sentak Nesya emosi...
...Langit tetap diam sesaat, lalu menatap tajam....
...“Asal kamu tahu, Nesya,” suaranya dingin menusuk....
...“Di balik hijab yang dia kenakan, memang benar dia punya masa lalu kelam. Lantas apa sebutan yang cocok untuk mu—seorang istri yang rela meminta suaminya menikahi wanita yang katanya buruk itu, hanya demi mendapatkan anak ?”...
...Wajah Nesya seketika pucat. Kata-kata Langit menampar keras keangkuhan-nya....
...“Bahkan kamu rela berbagi suami dengan wanita yang kamu hina itu,” lanjut Langit, kali ini lebih tegas....
...Nesya terdiam. Napasnya memburu, hatinya seperti terbakar....
...“Ingat baik-baik, Nesya,” Langit mendekat, suaranya berat penuh wibawa. “Setiap pernikahan yang kita harapkan adalah sakinah, mawaddah, warahmah. Jadi jangan salahkan aku… jika pada akhirnya aku benar-benar jatuh cinta pada istri kedua ku.”...
...DEG!...
...Perasaan Nesya runtuh seketika. Kata-kata Langit bagai petir di siang bolong, menghantam seluruh egonya....
...0o0__0o0...
...0o0__0o0...
..."Berdamailah dengan wanita yang sudah menjadi madumu," kata Langit, menatap Nesya dengan mata yang tajam, seakan menembus seluruh lapisan jiwanya....
..."Abi, cukup! Aku mohon… jangan ucapkan kata-kata itu!" Nesya menjerit, wajahnya memerah. "Aku bisa saja menganggap dia sebagai adik ku, tapi tidak dengan maduku. Karena dia hanya istri sementara!"...
...Langit menggeleng, menahan diri untuk tidak membalas. Ia memilih diam dan melangkah pergi. Namun suara istrinya menghentikan langkahnya, lembut tapi menuntut:...
..."Abi, tunggu… aku tahu kemarahan mu hanyalah sesaat. Aku tahu Abi kecewa padaku, tapi… aku yakin Abi tidak akan pernah jatuh cinta pada wanita seperti Jingga. Aku memilihnya untuk melahirkan anak kita, karena aku yakin Abi tidak tergoda wanita buruk seperti dia. Setelah Jingga melahirkan, Abi bisa menceraikan-nya… dan kita bisa kembali bahagia seperti dulu."...
...Langit memejamkan mata, menarik napas panjang. Hatinya beristighfar. Lima tahun bersamanya, dan ternyata istrinya bisa berpikir sepicik itu—menganggap cinta, kesetiaan, dan moral sebagai sesuatu yang bisa ditawar....
..."Nesya… jangan melupakan masa lalumu saat ingin merendahkan orang lain," suaranya tegas, tapi terkendali. "Aku tidak ingin mengungkit masa lalumu, tapi bercermin lah sebelum menghina orang. Apa yang kau katakan tentang Jingga… keterlaluan."...
...Nesya menunduk, matanya berkaca-kaca. Di dalam hatinya, ada ribuan suara yang bertarung: rasa bersalah, marah, dan rasa iri yang perlahan menyala....
...“Aku… aku bukan wanita yang buruk. Aku hanya ingin… aku hanya ingin Abi kembali mencintaiku sepenuhnya. Apa salahnya aku merencanakan hidup kita seperti ini? Jingga hanyalah penghalang… dan aku tidak bisa membiarkan hal itu terjadi…” pikir Nesya, napasnya bergetar....
..."Satu lagi, Nesya… dulu kita orang asing. Tapi karena perjodohan orang tua, aku bisa mencintai mu. Dan aku tidak bisa menjamin hal yang sama tidak terjadi pada istri kedua ku," kata Langit, suaranya dingin seperti besi....
...Air mata mengalir deras di pipi Nesya. Kata-kata Langit menamparnya, menyadarkan-nya bahwa sikap egois dan kepicikan hatinya terlalu nyata. Namun di balik kesedihan-nya, muncul sedikit rasa kemenangan:...
...“Jika Abi bisa mencintai istri kedua, mungkin aku bisa melakukan sesuatu… sesuatu yang membuat ku tetap di posisi teratas dalam hatinya. Aku tidak akan kalah… tidak akan!”...
..."Nesya… aku sangat mencintai mu. Mungkin kau bisa menuntut ku untuk tidak mencintai wanita lain. Tapi kau tidak bisa menuntut ku menjadi suami yang tidak adil pada kedua istriku," tutup Langit, lalu pergi meninggalkan-nya....
...Nesya menatap punggung kekar suaminya, lalu terjatuh berlutut di lantai. Isak tangisnya pecah, membasahi lantai yang dingin....
...Namun di balik air mata itu, ada perhitungan yang tumbuh perlahan: ego dan kepicikan yang selama ini tersembunyi kini menguasai dirinya sepenuhnya....
...Perlahan, tanpa sadar, ia menyiapkan jalan yang bisa menghancurkan hidupnya sendiri—dan mungkin hidup orang lain juga....
...0o0__0o0...
...Ceklek…!...
...Pintu kamar terbuka pelan dari luar....
...Langit melangkah masuk, dan seketika itu juga, tubuh Jingga kaku seperti terbuat dari es. Matanya membesar, menatap sang suami dengan rasa takut yang bercampur penasaran....
...“Kenapa kamu menatapku seperti itu?” suara Langit terdengar lembut, tapi tegas, memecah keheningan yang tegang....
...“Ah… tidak, kak. Aku… aku cuma ingin minta maaf atas sikapku tadi. Aku… membuat semua orang tidak nyaman saat sarapan pagi,” suara Jingga gemetar, bibirnya hampir tak bisa membentuk kata-kata....
...Langit tersenyum tipis, hampir tak terlihat, tapi cukup untuk membuat dada Jingga berdebar. Kata-kata istrinya membuatnya kagum—kagum pada keberanian kecil yang tersembunyi di balik wajah polos itu....
...“Apa yang kamu katakan tadi benar, Dek. Tapi kalau Syanas menasehati soal kebenaran, dengarkanlah. Anggap dia seperti kakakmu sendiri,” ucap Langit bijak, tapi matanya tetap menatap Jingga dengan penuh perhatian....
...“Baiklah… aku paham, kak,” jawab Jingga, suaranya lebih mantap, meski masih tersipu....
...Rasya mengangguk singkat, lalu mengambil jam tangan di atas nakas dan memakainya dengan cekatan. Sementara Jingga sibuk memasukkan beberapa buku ke dalam tasnya....
...“Apa yang kamu lakukan?” tanya Langit, raut wajahnya menunjukkan heran yang tak bisa disembunyikan....
...“Aku… mau bersiap ke kampus,” jawab Jingga cepat, seakan ingin menutupi sedikit rasa gugupnya....
...Langit mengerutkan kening, sedikit terkejut. Nikah mendadak membuatnya tidak tahu bahwa istri kecilnya ternyata seorang mahasiswa....
...“Kamu kuliah?” tanya Langit, mencoba memastikan....
...“Iya… memangnya, kak Lang—”...
...Ucapan Jingga terhenti ketika Langit tiba-tiba menempelkan jari telunjuknya ke bibir tipisnya....
...Jingga menahan napas. Wajahnya, yang seputih susu, langsung memerah seperti buah tomat matang. Sensasi sentuhan lembut itu membuat jantungnya berdegup tak menentu....
...“Maaf…” kata Langit, suaranya pelan, lalu ia menarik tangannya perlahan dan menundukkan pandangan....
...Keduanya terdiam, salah tingkah. Ada keheningan yang penuh dengan perasaan yang tak diucapkan, seolah waktu berhenti sebentar di kamar itu....
...“Apa… yang ingin kamu katakan, kak?” suara Jingga terbata, matanya menatap Langit dengan campuran rasa malu dan penasaran....
...“Kalau boleh… panggil aku Abi saja,” suara Langit terdengar lembut, namun ada nada berharap di baliknya....
...“Hah?!” Mata Jingga membulat lebar. Tentu ia tidak mau. Itu adalah panggilan khusus istri pertama. Ia belum siap melewati batas itu....
...“Tidak… aku tidak bisa. Lagipula, usia kita terpaut jauh. Lebih cocok aku panggil kakak saja,” jawab Jingga, tegas tapi suaranya bergetar....
...Langit menahan tawa, tapi matanya berbinar menatap wajah lucu istrinya yang protes dengan penuh semangat....
...“Kalau begitu, panggil saja ‘mas’… tapi nanti dikira tukang cilok. Ah, sudahlah, memang lebih cocok kakak saja. Cocok dengan wajah gantengmu,” oceh Jingga, setengah bercanda, setengah gugup....
...“Hem… ya sudah. Asal jangan panggil nama suamimu saja. Itu tidak sopan,” balas Langit sambil menahan senyum, tapi matanya tetap menatap Jingga dengan penuh rasa hangat....
...Jingga terkekeh pelan, heran melihat sikap suaminya yang bisa lembut sekaligus dingin....
...“Ok, kak… kalau gitu, kita kayak keponakan sama paman aja ya, kalau berhadapan seperti ini?” tanya Jingga polos....
...Langit menatap tajam, hatinya berdebar. Ia tidak terima di sebut paman. "Berani sekali dia nyamain aku dengan paman-paman." Dumel-nya....
...Ia merasa masih cukup tampan di usia kepala tiga, sedangkan istrinya baru berusia 20 tahun. Namun di balik tatapannya, ada rasa hangat yang samar, seolah ingin mengatakan bahwa baginya, Jingga tetaplah istimewa....
...Jingga baru saja menata tasnya ketika matanya menatap jam di pergelangan tangan....
...“Ah… aku terlambat!” teriaknya kecil. Tubuhnya hampir panik, tangan gemetar saat mencoba merapikan buku-buku yang terserak....
...Langit, yang melihat kepanikan istrinya, segera melangkah mendekat. “Tenang… aku antar kamu ke kampus. Tidak usah terburu-buru sendiri,” ucapnya, suaranya lembut tapi tegas....
...Jingga menatapnya dengan mata terbelalak. “Eh… kak Lang… itu—tidak usah repot, aku bisa naik angkot sendiri,” jawabnya, namun nadanya terdengar ragu....
...“Tidak, aku tetap mengantar. Lagipula, aku ingin memastikan kamu sampai dengan selamat,” balas Langit tegas....
...Belum sempat mereka keluar pintu, suara Nesya terdengar dari ruang tamu....
...“Jingga, mau ke mana begitu buru-buru ?” Nesya menatap tajam. Senyum dinginnya jelas tergambar di wajahnya saat matanya menyoroti pada Jingga....
...“Ke kampus, kak,” jawab Jingga gugup, berusaha menjaga nada suaranya tetap sopan....
...“Kampus ? Ha! Jangan mengelabui aku. Jangan-jangan kamu mau pergi ke klub malam lagi, ya ? Memakai alasan kuliah, tapi niatmu lain ?” Nesya menertawakan Jingga dengan nada mengejek dan penuh penghinaan....
...“Ingat, kamu sudah terikat kontrak. Aku tidak mau rahim mu ternoda lagi, gara-gara kamu sering keluar masuk klub,” tambah Nesya, suaranya semakin dingin....
...Jingga menahan diri, tubuhnya kaku. Jantungnya berdegup kencang, malu sekaligus takut. Namun ia menatap lurus dan membalas dengan tegas, “Meskipun aku pernah kerja di klub, bukan berarti rahim ku sudah ternoda, dan bukan berarti kesucian ku juga hilang.”...
...Langit menatap Nesya, matanya menajam. “Cukup, Nesya. Jingga benar-benar pergi ke kampus. Jangan lagi menghina atau merendahkan-nya. Aku tidak ingin mendengar kata-kata seperti itu keluar dari mulutmu,” tegas Langit, nada suaranya dingin tapi tetap terkendali....
...Jingga menundukkan kepala, namun hatinya terasa lega. Meski Nesya masih menatapnya penuh sinis, ia tahu sekarang Langit berdiri di sisinya, melindungi dan membelanya....
...Nesya terkekeh sinis, namun tidak berani membantah lebih jauh, melihat tatapan tajam Langit. Ia hanya melirik Jingga sebentar, lalu berbalik masuk ke ruangan-nya....
...Jingga menghela napas panjang, tubuhnya masih gemetar. Langit menepuk lembut bahunya....
...“Sudah, jangan takut. Aku akan mengantar, dan setelah ini, kamu tidak perlu khawatir tentang siapa dirimu di masa lalu. Karena aku tidak akan pernah mem-permasalahkan itu.” ucap Langit sambil membantu Jingga menenteng tasnya....
...Saat mereka melangkah keluar, udara yang sejuk seakan menghapus sedikit ketegangan. Jingga menatap Langit dengan campuran kagum dan gugup....
...“Terima kasih, kak…,” bisiknya pelan....
...“Tidak usah dipikirkan. Tinggal duduk manis di mobil, aku yang urus semuanya,” jawab Langit sambil tersenyum. Ada sedikit rasa hangat di matanya yang membuat dada Jingga berdebar....
...0o0__0o0...
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!