NovelToon NovelToon

Aku Yang Kau Nikahi Tapi Dia Yang Kau Cintai

Bab 1 – Pernikahan yang Konyol

“Aku masih nggak percaya kalau akhirnya aku menikah denganmu, Wid,” gumam Arman lirih sambil menarik napas panjang. Jas pengantinnya masih melekat di badan, wajahnya kusut padahal baru saja resmi jadi pengantin pria.

Widya yang sedang sibuk melepas hiasan rambutnya menoleh sekilas. “Ya, aku juga nggak percaya, sih. Semua ini gara-gara perjanjian absurd kakek kita.” Widya mendengus kecil, lalu tersenyum miring. “Tapi ya sudahlah, nasi udah jadi bubur. Atau dalam kasus kita… cincin udah terlanjur di jari.” ucap Widya.

Arman mendekat, menatap Widya dengan tatapan serius. “Kita perlu bikin kesepakatan. Pernikahan ini hanya formalitas. Di depan keluarga, kita bersandiwara. Di belakang mereka… kita bukan siapa-siapa.”

Widya menaikkan alis. “Oke, terus aku bebas melakukan apa saja tanpa harus izin kamu kan, Mas?”

“Ya. Aku sudah punya Priya. Dia kekasihku. Kamu bebas juga kalau mau punya seseorang. Aku nggak peduli.” nada Arman tegas, nyaris dingin.

Widya tersenyum lebar, bukannya tersinggung. “Deal!” ucap Widya mantap, bahkan mengulurkan tangan untuk bersalaman.

Arman sempat terdiam melihat uluran tangan istrinya. Dengan enggan, ia menyambut. Namun detik berikutnya, Widya malah menepuk tangannya pelan dan terkekeh. “Santai, Mas Arman. Aku juga ogah ribet. Aku nggak punya niat ganggu hidup pribadi kamu. Lagian, aku juga punya daftar panjang lelaki idaman. Dan, sorry, kamu nggak masuk daftar.”

Arman terdiam. Entah kenapa, ucapan itu menusuk ego-nya.

“Bagus,” jawab Arman singkat, pura-pura acuh.

Widya lalu berdiri, meraih piyama lucu bergambar kelinci yang sudah disiapkannya. “Oke, Pak Suami Formalitas. Mulai malam ini kita sekamar, tapi jangan salah paham. Kasur ini luas, dan aku cuma butuh separuh.”

Arman menatap seprei putih dengan lipatan rapi, lalu melirik ke arah piyama kelinci itu. “Astaga… kakekku pasti nggak kebayang kalau cucu laki-lakinya yang gagah ini akhirnya tidur satu ranjang dengan cewek yang doyan piyama kelinci.”

Widya mendengus, lalu masuk ke kamar mandi sambil menutup pintu. “Lebih baik piyama kelinci daripada jas pengantin yang bikin sumpek. Lagian, siapa tahu suatu hari kamu jatuh cinta sama kelinci.”

Arman hanya bisa menatap pintu kamar mandi yang sudah tertutup rapat. Bibirnya terangkat tipis, meski buru-buru ia hapus sebelum Widya kembali.

Malam pertama mereka bukan malam penuh cinta… tapi malam dimulainya sebuah sandiwara konyol.

—---

Pagi pertama setelah pesta pernikahan. Rumah yang disiapkan sang kakek buat Arman mendadak penuh suara ayam jago, ditambah suara…

“Widya! Kamu pakai sampo apa sih? Wanginya nyengat banget sampai ke ruang tamu!” seru Arman sambil menahan hidung. Ia baru turun tangga dengan piyama garis-garis, rambut masih acak-acakan.

Widya, yang sedang duduk di sofa sambil mengeringkan rambut dengan handuk, langsung melotot. “Heh, Mas Arman! Jangan salahin sampoku. Hidung kamu aja yang sensitif. Lagian, kamu tuh ya, dari dulu tiap aku keramas, kamu juga komplain.”

Arman mendengus. “Makanya dari dulu aku heran, kenapa kamu betah banget keramas pakai shampo yang baunya tercium sampai radius seratus meter sih? Kayak nggak ada merek lain aja.”

Dulu tiap kali Widya basah rambut, lalu menjemur pakaian, Arman yang kebetulan sedang berada di teras atau di depan pintu dapur, pasti kecium aromanya. Masa dari dulu sampai sekarang nggak ganti-ganti merek, setia bener sama satu merek.

Widya menyeringai, sengaja mendekat. “Kenapa? Takut jatuh cinta sama wanginya?”

Arman nyaris tersedak udara. “Mimpi! Aku lebih pilih kena asap knalpot daripada kecanduan bau sampo kamu.”

“Baguslah,” Widya menepuk bahunya santai. “Soalnya kamu sudah kecanduan lihat aku dari dulu, kan? Tiap aku lewat depan rumah kamu, mata kamu ngikutin terus.”

Arman terdiam sejenak. Itu benar, sih. Waktu remaja, ia memang sering tidak sengaja memperhatikan Widya, apalagi kalau gadis kecil tetangganya itu ribut main badminton di halaman. Tapi jelas Arman tidak mau ngaku.

“Ngaco.” Arman melangkah ke dapur.

Beberapa menit kemudian, suara gaduh terdengar. Widya menyusul, menemukan Arman sedang berdiri bengong di depan kulkas terbuka.

“Kamu cari apa?” tanya Widya.

“Telur,” jawab Arman singkat.

Widya membuka lemari dapur, mengangkat kotak telur dengan santai. “Ini, kalau cari pakai mata, jangan pakai…..” Widya tidak meneruskan kalimatnya, ia hanya langsung berbalik meninggalkan dapur.

Bab 2 – Sandiwara di Meja Makan

Malam itu, rumah baru Arman dan Widya sudah dipenuhi aroma masakan dari katering yang dipesan ibunya Arman. Ruang makan terlihat hangat, lampu gantung menyinari meja panjang penuh lauk.

Kakek Arman duduk di kursi paling ujung, menatap pasangan pengantin baru itu dengan sorot mata penuh harapan. “Nah, akhirnya keluarga kita bisa bersatu juga. Perjanjian lama tidak sia-sia.”

Arman tersenyum kaku, lalu meraih tangan Widya yang duduk di sebelahnya. “Iya, Kek. Aku… bersyukur banget punya istri seperti Widya.” Suaranya dibuat selembut mungkin, padahal di bawah meja tangannya gemetar menahan malu.

Widya langsung menimpali dengan gaya manis ala sinetron. “Mas Arman itu suami yang pengertian, Kek. Baru sehari, tapi rasanya nyaman banget.” Ia melirik Arman sekilas, matanya bersinar nakal: ‘Ayo, mainkan peranmu, Mas.’

Arman membalas lirikan Widya dengan gigi terkatup rapat: ‘Nanti kita hitung-hitung utang aktingmu.’

Sementara itu, ibu Arman berdecak kagum. “Alhamdulillah. Mama lega lihat kalian cocok. Tuh kan, Papa….” ibunya Arman melirik suaminya, “Kata Papa nggak mungkin mereka cocok. Nyatanya, liat sendiri sekarang.”

Kakek Arman menepuk meja. “Bagus! Itu artinya cucu-cucu Kakek menepati janji leluhur. Rumah tangga kalian harus rukun. Tidak ada kata pisah, paham?”

Arman dan Widya serempak mengangguk. “Siap, Kek.”

Namun di balik meja, kaki Widya iseng menginjak sepatu Arman. Ia pura-pura tersenyum manis sambil menambahkan, “Iya, Kek. Aku nggak akan biarkan Mas Arman jauh dariku, seharipun.”

Arman hampir tersedak. “Betul, Kek… betul,” jawabnya cepat, meneguk air.

Kakek tersenyum puas, tak sadar bahwa di bawah meja, suami-istri pura-pura itu sedang saling adu gengsi.

Pintu rumah akhirnya tertutup rapat. Mobil keluarga Arman meninggalkan halaman, suara mesin makin jauh hingga benar-benar hilang. Rumah itu mendadak hening, hanya terdengar suara jam dinding yang berdetak malas.

Arman bersandar di pintu, menghela napas panjang. “Astaga… teater semalam suntuk.” Ia melonggarkan kerah kemejanya, lalu menoleh ke arah meja makan yang masih penuh piring kotor.

Widya sudah lebih dulu duduk di sofa, menyilangkan kaki sambil memainkan ponsel. Wajah manis yang tadi ia pamerkan lenyap total, berganti ekspresi santai seolah tidak terjadi apa-apa.

“Eh, Mas Arman,” Widya bersuara datar tanpa mengangkat wajah, “Kamu jago juga ternyata. Dari senyum palsu sampai akting mesra, nyaris dapat nominasi FTV.”

Arman mendengus, berjalan ke arah dapur untuk mengambil segelas air. “Dan kamu kebangetan. Sampai ngerayu kakek segala, bilang aku pengertian. Kamu pikir aku nggak mau muntah dengerin itu?”

Widya menoleh, terkekeh. “Lho, bukannya benar? Kamu kan pengertian… pengertian sama diri sendiri.”

Arman hampir tersedak air minumnya. Ia menatap Widya tajam. “Kalau kamu nggak jadi menantu idaman di mata kakek, tadi pasti sudah aku seret keluar ruang makan.”

Widya menaruh ponsel, bangkit, dan berjalan mendekat sambil melipat tangan di dada. “Ya ampun, galak banget. Tadi pas di depan keluarga, tanganku kamu genggam erat-erat lho. Jangan bilang kamu baper?”

Arman langsung membuang muka, pipinya memanas meski ia cepat-cepat menutupi. “Itu hanya sandiwara. Jangan GR.”

Widya tersenyum nakal. “Tenang, aku tahu. Lagian aku juga jijik kalau beneran baper sama Mas Arman. Bayangin aja, serumah sama cowok yang hobinya ngatur-ngatur.”

Arman menepuk dahinya keras-keras. “Ya Tuhan, kenapa aku harus menikah sama perempuan bawel ini?”

Widya langsung menukas cepat. “Karena kakek kamu cerewet kayak kamu juga.”

Mereka saling beradu pandang beberapa detik, udara di antara mereka panas tapi entah kenapa juga menggelitik.

Arman akhirnya berjalan ke meja makan, mulai merapikan piring-piring kotor. “Udah ah, jangan banyak omong. Daripada kita berantem, mending kamu bantu bersihin meja.”

Widya menatapnya, lalu nyengir lebar. “Ohh… jadi kamu mau aku berperan jadi istri beneran? Masak, cuci piring, bersihin meja. Waduh, kesepakatan kita dilanggar, nih.”

Arman mendengus, mengangkat alis. “Kesepakatan kita cuma pura-pura mesra di depan keluarga. Urusan rumah tangga tetep harus jalan. Kalo kamu nggak mau, yaudah, tidur aja. Aku yang beresin.”

Widya terdiam sejenak, terkejut dengan nada serius itu. Tapi bukannya luluh, ia malah tergelak. “Wih, gentleman juga ternyata. Oke deh, aku bantu. Tapi dengan satu syarat.”

“Apa lagi?” Arman menatap penuh curiga.

Widya mengangkat jari telunjuk, wajahnya penuh kemenangan. “Kamu yang cuci piring, aku yang ngelap meja. Kalau sebaliknya, bisa-bisa semua piring pecah karena aku nggak sabaran.”

Arman memutar bola mata, tapi akhirnya mengangguk. “Deal.”

Beberapa menit kemudian, dapur dipenuhi suara air mengalir dan dentingan piring. Widya sibuk mengelap meja sambil sesekali melirik Arman yang canggung mencuci.

“Mas,” panggil Widya dengan nada menggoda, “lihat deh. Adegan ini cocok banget buat iklan sabun cuci piring. Suami ganteng, istri cantik, kerja sama bersihin rumah. Sayang, kita cuma pura-pura.”

Arman menoleh sebentar, wajahnya setengah kesal setengah malu. “Kamu tuh ya… kalau nggak bisa diem, mending nyanyi aja.”

Widya langsung bersenandung asal, lagu sumbang yang bikin telinga sakit. Arman menutup wajah dengan kedua tangan, tertawa tanpa bisa ditahan.

Malam itu, untuk pertama kalinya sejak mereka resmi menikah, rumah itu terasa… tidak sekaku tadi. Masih penuh sindiran, masih pura-pura, tapi ada celah kecil yang diam-diam membuka jalan.

Celah yang mungkin suatu saat berubah jadi sesuatu yang nyata.

---

Bab 3 – Perang Dingin di Atas Kasur

Kamar itu hening, hanya lampu tidur berbentuk bulan sabit yang menyala redup. Di atas kasur ukuran king, sudah ada bantal guling yang ditata memanjang di tengah, jadi pembatas antara Arman dan Widya.

Arman berbaring miring, menatap plafon kamar. “Besok aku beli kasur lipat. Aku tidur di bawah aja. Aman, nggak ada drama.” ucap Arman.

Widya yang sibuk memainkan ponsel hanya mendengus. “Terserah. Kamu pikir aku peduli?”

Arman melirik, wajahnya kesal. “Ya jelas aku yang peduli. Aku bukan tipe cowok yang bisa tidur nyenyak dengan istri pura-pura di sebelah.”

Widya menutup ponsel, menoleh dengan tatapan sinis. “Kalau gitu gampang. Kita pisah kamar aja. Kamu tidur di kamar tamu, aku tetap disini.”

Arman langsung duduk, menatap Widya dengan mata melotot. “Kamu pikir gampang? Kalau tiba-tiba keluarga datang tengah malam, atau kakek ngecek? Mereka bakal curiga. Gimana kalau mereka lihat kita tidur di kamar terpisah? Habis kita.”

Widya ikut duduk, menyilangkan tangan di depan dada. “Ya udah, biar aja mereka tahu kenyataan pahitnya. Pernikahan ini kan cuma sandiwara. Kenapa harus repot-repot?”

Arman mengusap wajah, nada suaranya mulai meninggi. “Widya, denger. Aku nggak mau bikin kakekku kecewa. Dia udah percaya banget sama perjanjian konyol ini. Kalau sampai ketahuan kita nggak bener, bisa panjang urusannya. Lagian bukannya tadi pas makan malam, sandiwara kita udah manis?”

Widya terdiam.

“Kamu takut bikin kakek kecewa, tapi nggak takut bikin kekasihmu, si Priya itu, sakit hati ya? Pasti dari kemarin, dia nangis bombay.”

Arman terdiam sepersekian detik, lalu mendengus. “Itu urusanku. Jangan bawa-bawa Priya.”

Widya mendengus lebih keras. “Loh, kamu yang mulai ngomong soal drama keluarga. Aku kan cuma balikin omongan kamu.”

Mereka berdua sama-sama terdiam. Hanya suara deru pendingin udara dan jam dinding yang berdetak.

Beberapa menit kemudian, Arman rebahan lagi, menarik selimut setengah dada. “Intinya gini. Kita tetap satu kamar, demi keluarga. Tapi aku bakal tidur di bawah pakai kasur lipat. Titik.”

Widya ikut rebahan, membelakangi Arman. “Silakan. Selama kamu nggak bikin ribut, aku aman.”

Tapi bukannya tidur, mereka malah terus saling sindir.

“Ngorok nggak kamu? Jangan kayak tadi malam.” tanya Widya tiba-tiba.

“Enggak. Kamu aja yang salah denger, dan yang pasti, kamu yang ngiler,” balas Arman cepat.

Widya mendecak. “Halah, sok suci. Dari kecil kamu kalau tidur suka nendang tembok. Ibu kamu kan sering bongkar aibmu ke mamaku.”

“Sekarang aku udah gede. Nggak kayak kamu yang masih lasak kayak bocah.”

“Bocah-bocah, tapi udah kamu nikahi juga.” balas Widya.

Arman diam, lalu menutup mata, setelahnya menarik napas dalam. “Astaga, gimana aku bisa tidur kalau sebelahku ada radio rusak yang nggak bisa diem?”

Widya menoleh, tersenyum sinis. “Kalau nggak tahan, keluar aja. Kamar tamu masih kosong.”

“Udah kubilang, nggak bisa!” Arman membuka mata lagi, menatap punggung Widya. “Kalau kakek datang, habis kita.”

Perdebatan itu berlangsung lama, suara mereka makin lama makin pelan, lebih mirip bisik-bisik keras kepala. Waktu berjalan, jarum jam sudah melewati tengah malam, tapi keduanya tetap ngotot dengan argumen masing-masing.

Sampai akhirnya, rasa lelah mengalahkan. Arman diam, Widya juga diam. Mereka sama-sama tertidur, masih dalam posisi saling membelakangi, dengan bantal guling sebagai pagar.

Namun beberapa jam kemudian, yang ditakutkan Arman terbukti. Widya yang tidur lasak mulai bergerak. Kakinya menendang-nendang tanpa arah.

“Brak!”

Arman terjatuh dari kasur, menghantam lantai keramik yang dingin dan keras.

“Aduh!” seru Arman, setengah sadar.

Widya membuka mata setengah, wajahnya polos tak berdosa. “Apa sih ribut-ribut? Malem-malem jatuh sendiri…” lalu ia balik badan lagi, setelahnya mendengkur halus.

Arman terduduk di lantai, menatap tubuh Widya yang tidur pulas. Ia mendesah panjang, antara kesal dan pasrah.

“Baru malam kedua serumah, aku udah digusur ke lantai. Besok kasur lipat harus jadi.” tekad Arman.

---

Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!

Download Novel PDF
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!