NovelToon NovelToon

Pendekar Penguasa Sepuluh Ribu Semesta

Anak Asing di Lembah Antara Tiga Gunung

“Hajar! Terus hajar dia!”

“Dasar bajingan tak berbapak!”

Suara seruan itu menggema di jalan tanah sebuah desa yang diapit oleh tiga gunung. Tanah yang lembap selepas hujan, dipenuhi jejak kaki kecil yang berlari riuh.

Tubuh-tubuh mungil, anak-anak berumur sepuluh hingga lima belas tahun, bergerak liar. Tangan-tangan kecil itu menghantam, kaki-kaki mungil menendang, semuanya tertuju pada seorang pemuda yang terbaring di tanah.

Dari kejauhan, pemandangan itu seperti sekawanan anjing kecil yang ramai-ramai menyerang seekor harimau yang tertidur.

Namun, pemuda yang mereka pukuli bukanlah maling, bukan pula orang jahat. Usianya tak jauh berbeda dengan mereka, hanya saja tubuhnya lebih tegap, wajahnya lebih tenang, dan sorot matanya terlalu dalam bagi anak seusianya.

Yang aneh, setiap pukulan, setiap tendangan, tak meninggalkan bekas. Tak ada darah, tak ada lebam. Pemuda itu hanya meringkuk sebentar, lalu meregangkan tubuhnya seolah sedang berbaring menikmati pijatan kasar.

Kedua matanya terpejam, napasnya teratur. Seakan-akan yang menimpa dirinya bukanlah hujan pukulan, melainkan tiupan angin sore yang menenangkan.

“Hei! Berhenti! Apa yang kalian lakukan!”

Sebuah suara tua, serak namun berwibawa, membuyarkan keributan. Bocah-bocah itu sontak menoleh, wajah mereka pucat begitu melihat Mak Ijah bergegas menghampiri.

Wanita tua itu, meski punggungnya bungkuk, langkahnya masih cepat. Rambutnya beruban, matanya cekung, namun tatapannya tajam. Bocah-bocah itu bubar lari bagaikan anak ayam dikejar elang. Tinggallah debu yang berterbangan, melayang bersama napas terengah mereka yang kabur.

Mak Ijah menunduk, melihat tubuh pemuda itu. Kini ia sudah bangkit, berdiri santai sambil merenggangkan sendi, seakan baru bangun dari tidur siang.

“Dasar anak-anak nakal! Berani-beraninya merundung orang yang tak melawan. Tunggu saja, akan ku adukan pada orang tua mereka!” Mak Ijah mengomel, wajahnya berkerut penuh amarah.

Namun pemuda itu hanya terkekeh. “Mak, jangan marah-marah. Gigi Mak Ijah sudah banyak yang copot. Kalau terus mengomel... Aku takut gigi yang tersisa nanti juga ikut rontok.”

“Bocah edan!” Mak Ijah mendengus. “Kau kira aku marah karena apa? Kalau terus membiarkan diri dipukuli, suatu saat mereka akan melukaimu sungguhan. Apa kau ingin mati sia-sia?”

“Aih, Mak…” Pemuda itu mengangkat bahu. Senyum tipis tersungging di wajahnya. “Sekuat apa pun mereka memukul, tubuhku tak akan terluka. Anggap saja mereka memberi pijatan gratis untuk menghilangkan pegal setelah kerja di ladang.”

Mak Ijah tercekat. Ia sudah lama tahu, anak ini berbeda. Tubuhnya aneh, tak pernah lecet meski dihantam berkali-kali. Kadang ia bahkan lebih cemas pada misteri yang menyelimuti bocah itu ketimbang pukulan yang diterimanya.

Setelah diam sesaat, Mak Ijah menghela napas. “Habis mandi, datanglah ke ladangku. Encok ku kambuh lagi, bantu aku mencabuti gulma.”

Sorot mata pemuda itu berbinar, senyumnya tulus. Ia mengangguk, lalu melangkah pulang.

Nama pemuda itu adalah Anul.

Sejak bayi, ia sudah menjadi teka-teki. Tak seorang pun tahu dari mana ia berasal. Ada yang berkata ia hanyut dari hulu sungai lalu ditemukan warga. Ada pula yang berbisik ia anak haram yang dibuang di depan pintu orang lain. Bahkan, cerita paling konyol menyebut ia jatuh dari langit dan menimpa Mak Ijah hingga giginya rontok separuh.

Namun semua itu hanyalah gosip. Tak ada satu pun yang tahu kebenarannya.

Meski begitu, generasi tua di desa sangat menyayanginya. Bagi mereka, Anul adalah berkah. Sejak umur enam tahun ia sudah rajin membantu siapa pun—membajak ladang, menggembala ternak, menimba air. Tak pernah meminta upah, tak pernah mengeluh.

Di usia tiga belas tahun, otot-ototnya terbentuk, gerakannya cekatan, wajahnya bersih dengan senyum yang selalu hangat.

Namun justru itulah yang membuat sebagian anak desa membencinya. Mereka iri, sebab orang tua mereka kerap memuji Anul dan membanding-bandingkan.

“Lihatlah Anul, meski yatim piatu dia rajin bekerja. Kapan kau mau belajar sepertinya?”

Ucapan itu menusuk hati para bocah malas. Hingga akhirnya mereka melampiaskan dengki dengan memukuli sumber rasa malu itu—Anul.

Namun, meski dihajar berulang kali, Anul tak pernah melawan. Bukan karena ia lemah, melainkan karena ia tak tega. Baginya, para orang tua di desa adalah keluarga, maka anak-anak mereka pun seperti saudara. Bagaimana mungkin ia tega melukai mereka?

Yang lebih aneh lagi, selama bertahun-tahun tubuh Anul tak pernah benar-benar terluka. Seolah-olah dirinya terbuat dari baja yang dibungkus daging manusia. Bahkan ia sendiri mulai menyadari—ada sesuatu dalam dirinya yang bukan milik orang biasa.

Sore itu, selepas mandi di sungai, Anul duduk di atas batu besar di tepi air. Aliran sungai memantulkan cahaya jingga, sementara dedaunan bambu berdesir oleh angin pegunungan.

Ia menatap telapak tangannya. Kulitnya mulus, tak ada bekas pukulan. Padahal tadi pagi ia dihajar belasan anak. Hatinya bergemuruh.

“Kenapa aku berbeda…?” gumamnya.

Ingatan samar muncul: wajah kabur seorang wanita yang menangis, suara keras bagaikan guntur, lalu keheningan panjang. Namun ingatan itu hanya sekelebat, selalu hilang sebelum jelas.

“Jika benar aku bukan anak desa ini… siapa sebenarnya orang tuaku?”

Pertanyaan itu berputar dalam kepalanya, tapi segera ia tepis. Senyumnya kembali terukir. “Ah, tidak penting. Yang penting aku punya keluarga di sini. Semua orang tua di desa sudah cukup bagiku.”

Ia bangkit, mengangkat kendi air, lalu berjalan menuju ladang Mak Ijah.

Di ladang, Mak Ijah sudah menunggu sambil duduk di pematang. Tangannya memegangi pinggang, wajahnya meringis.

“Ah, encok tua ini makin menjadi-jadi,” keluhnya.

Anul segera turun tangan. Dengan cekatan ia mencabut gulma, membersihkan tanah, bahkan membawakan air minum untuk Mak Ijah.

Melihat itu, Mak Ijah tersenyum getir. “Andai anakku dulu sebaik engkau, mungkin aku tak akan hidup sendirian begini.”

Anul menoleh, matanya lembut. “Mak, jangan bicara begitu. Bukankah aku sudah seperti anak Mak sendiri?”

Wanita tua itu terdiam, lalu meneteskan air mata. Ia tak menjawab, hanya mengelus kepala Anul. Dalam hatinya, ia tahu bocah ini bukanlah sembarang anak. Ada sesuatu yang kelak akan mengguncang dunia persilatan, tersembunyi dalam tubuh Anul yang tampak biasa.

Malam menjelang. Desa kecil itu sunyi, hanya suara jangkrik dan desau angin gunung yang sesekali terdengar. Di bawah cahaya bulan, Anul berbaring di atap rumah kecilnya. Matanya menatap bintang-bintang yang bertabur di langit.

“Sepuluh ribu bintang, sepuluh ribu semesta…” bisiknya lirih. Entah mengapa, kata-kata itu muncul begitu saja dari hatinya. Seakan ada sesuatu yang berbisik dari langit.

Angin bertiup kencang, bulu kuduknya meremang. Untuk sesaat, ia merasa seolah seluruh alam menatapnya.

Anul mengepalkan tangan, “entah siapa aku sebenarnya, tapi aku berjanji… aku akan melindungi desa ini, melindungi semua orang yang sudah menganggap aku keluarga.”

Di kejauhan, kilatan cahaya samar terlihat menutupi puncak ketiga gunung itu. Tak seorang pun di desa menyadarinya, termasuk Anul. Itu adalah pertanda, awal dari takdir besar yang menantinya.

Biro si Jenaka

Matahari baru saja menampakan diri, embun di rerumputan masih belum mengering, dan tanah masih sedikit lembab. Anul bergegas menutup pintu pondok kecilnya, bersiap untuk pergi menuju ladangnya Pak Ghandi, sang kepala desa. Hari ini adalah waktunya untuk merawat ladang milik Pak Ghandi.

Ladang itu terletak jauh di ujung selatan desa. Untuk mencapainya, ia perlu berjalan kaki selama hampir setengah jam. Itulah kenapa ia berangkat pagi buta agar bisa beristirahat sejenak setelah sampai di sana.

Di ladang Pak Ghandi, Anul tidak langsung bekerja. Ia mengambil sejumput rumput kering yang berserakan di sana, lalu mencabut satu batang singkong liar yang tumbuh di area ladang. Setelah itu, ia mengambil air di sungai yang berada tepat di sebelah ladang.

Ia kemudian mengumpulkan ranting-ranting kering yang berserakan, satu ranting diputar di atas rerumputan kering yang sebelumnya sudah ia kumpulkan. Tak berselang lama, percikan api muncul dan asap pun mengepul dari rerumputan kering itu.

Meniup dengan mulutnya, api mulai semakin besar. Ia segera menyusun ranting kering yang dia kumpulkan, meletakan rerumputan yang terbakar itu dibawahnya.

Setelah api membakar tumpukan ranting itu, ia memotek umbi dari batang singkong liar yang tadi ia cabut. Singkong itu ia lempar ke dalam api yang membara.

Sesekali ia menatap ke arah api yang sedang membakar singkong itu, sembari mempersiapkan peralatan bertani yang tersimpan di pondok di tengah ladang.

"Anul, kau datang lebih cepat lagi! Padahal aku sudah sengaja berangkat lebih awal, tapi tetap saja kau sampai lebih dulu dariku," gerutu seseorang sambil berjalan terengah-engah ke arah Anul. Mendengar gerutuan itu Anul hanya tersenyum kecil, melanjutkan kegiatannya.

"Ah sudahlah, kau memang selalu jauh lebih baik dariku," desah orang itu sembari duduk di dekat pondok.

Orang yang baru datang itu adalah Biro, anaknya Pak Ghandi.Anak itu seumuran dengan Anul—satu-satunya teman dekat.

Walaupun banyak pemuda yang kesal dengan kehadirannya, namun tidak semua yang membencinya, Biro adalah salah satunya. Dari kecil biro selalu berteman baik dengan Anul.

Mereka berdua sering melakukan hal bersama, sehingga Biro sangat mengerti bagaimana karakter temannya itu, dan bahkan sedikit mengaguminya. Biro tahu, dari segi kekuatan fisik tidak ada yang bisa menandingi Anul.

Bahkan jika orang dewasa di desa menghajar pemuda itu, tidak akan ada lecet sedikitpun. 

Selain itu, pemuda di depannya itu tidak pernah terdengar sedikitpun mengeluh dan selalu bekerja keras.

Tentu saja, terkadang ada saat untuk bermain seperti anak muda kebanyakan.

"Nafasmu terlalu cepat, mirip seperti nafasnya Mak Ijah. Jangan-jangan sebenarnya kau seumuran dengan Mak Ijah," canda Anul melihat temannya itu terengah-engah.

"Jika aku seumuran Mak Ijah, berarti kau seumuran siapa?" jawab Biro menimpali candaan Anul.

"Huh? Kau tidak tahu aku baru berusia tiga belas tahun? Dasar pemalas, berarti selama ini kau tidak belajar dengan baik dalam berhitung. Aku akan mengadukannya ke Ayahmu agar kau di berikan pelajaran berhitung tambahan," balas Anul cuek.

"Dasar, aku tidak akan pernah menang berdebat denganmu. Ditambah lagi perutku lapar karena belum sarapan. Singkong yang kau bakar tampaknya sudah matang, aromanya sungguh sangat menggoda.." ujar biro sambil mengelap air liurnya yang menetes perlahan.

"Kau ini.. otakmu hanya makan saja, pantas saja kepala desa pusing mengurus mu. Sana cepat angkat singkongnya kalau kau memang lapar, tapi ingat... sisakan untukku," ujar Anul sembari terus melanjutkan kegiatannya.

Tanpa basa-basi Biro langsung menusuk singkong itu dengan ranting dan mengangkatnya dari api. Kulit singkong yang menghitam tampak retak dan memperlihatkan bagian dalamnya yang putih bersih. Anul pun segera menyudahi pekerjaannya dan duduk tepat di sebelah Biro.

Dua sekawan itu lalu menyantap singkong bakar yang sudah matang secara perlahan hingga habis tak bersisa. Kemudian memulai pekerjaan mereka merawat ladang jagung milik ayahnya Biro — Sang Kepala Desa.

***

Matahari sudah membumbung tinggi di langit, saat ini pekerjaan mengurus ladang Pak Ghandi sudah hampir selesai. Biro duduk kelelahan di pinggir pondok, keringatnya bercucuran, bajunya basah semua. Anul juga duduk disebelah temannya itu, namun terlihat jauh lebih baik.

"Aku curiga kau itu keturunan kuda, setelah bekerja seharian kau masih belum tampak lelah," ejek Biro kepada Anul.

"Aku memang keturunan kuda, kalau kau mau aku bisa menunjukan bakat keturunan kudaku yang lainnya. Mau lihat?" jawab Anul dengan senyum jahil muncul di wajahnya.

Melihat raut wajah Anul, Biro sedikit merinding dan sedikit rasa jijik muncul di wajahnya. Anul ini memang paling bisa membalikan ejekan orang lain untuk menjadi bumerang bagi mereka sendiri.

"Ah, kau kira aku homo? Bajingan," balas Biro ketus.

"Hei, bagaimana kalau kita berendam di sungai. Pekerjaan ini tinggal sedikit, nanti saja kita kerjakan," lanjut Biro.

"Huh? Aku adalah orang yang berintegritas, bagaimana mungkin aku meninggalkan pekerjaan sebelum selesai? Apalagi... Kau tahu sendiri, orang yang paling menyeramkan di desa ini adalah ayahmu!" bantah Anul.

"Alah, apanya yang menyeramkan dari ayahku? Tiap hari wajahnya akan bengkak karena tinju dan tamparan ibuku. Ayahku itu tidak sekuat rumor yang beredar. Kau jangan percaya! Lagian... Pekerjaan kita hanya tinggal memberikan pupuk, nanti sore pun bisa kita kerjakan," ucap Biro sambil membusungkan dadanya.

"Apa? Kepala Desa yang berwibawa dan terkenal ahli beladiri nomer satu di desa kita sebenarnya seorang penakut? Bahkan untuk menghadapi seorang wanita saja tidak mampu? Wah, ini berita yang sangat menarik," timpal Anul.

"Hehe, aku beritahu kepadamu. Sebenarnya ilmu beladiri ayahku itu biasa saja. Aku bahkan sering mendengar ayah minta ampun kepada ibu di malam hari. Aku rasa orang terkuat di desa ini bukanlah ayahku, melainkan ibuku," jelas Biro semakin menjadi dengan wajah penuh kebanggaan terhadap ibunya.

"Uhukk.. uhukkk.." suara batuk terdengar dari belakang.

Biro lalu menoleh dan mendapati ayahnya sang kepala desa sudah berdiri tepat dibelakangnya entah dari kapan. Wajah Biro seketika pucat pasi, mulutnya terbuka sedikit seperti hendak menjelaskan sesuatu. Belum sempat satu suara pun keluar, kaki ayahnya sudah lebih dulu menendang pantat biro dengan sangat kencang.

Anul sebenarnya sudah menyadari kehadiran kepala desa sedari tadi, karena itulah dia sengaja memancing Biro berbicara lebih banyak lagi. Anul menutup mulut dengan telapak tangan, menutupi bibirnya yang menyeringai karena melihat temannya itu tersungkur dengan posisi menungging.

"Dasar anak kurang ajar, bagaimana mungkin kau berbohong seperti itu? Aku, ayahmu, tidak pernah takut pada seorangpun di desa ini. Termasuk ibumu," ujar kepala desa dengan postur berwibawa dan nada datar.

"Maaf ayah, aku tidak akan mengulanginya," rengek biro dalam posisi masih menungging dengan pipinya menempel ke tanah.

Pemandangan itu sangat lucu, dan ini bukan pertama kalinya bagi Anul melihat kelucuan ayah dan anak ini. Terkadang Anul merasa sedih, seandainya dia punya ayah seperti Biro.

Setelah beberapa saat, biro bangun dan membersihkan debu yang menempel di pakaiannya. Sang kepala desa, Pak Ghandi, seumuran dengan Mak Ijah. Namun di usia senja itu, wajah Pak Ghandi masih terlihat berumur tiga puluhan.

Selain itu posturnya juga masih tegap seperti anak muda. Bagi orang luar desa yang baru bertemu dengannya, mungkin tidak akan percaya bahwa Pak Ghandi adalah kakek-kakek berumur enam puluh tahun lebih. Seperti sebuah artefak kuno yang masih sangat terawat. Tapi jika dilihat dari kemampuan bela dirinya, hal ini mungkin saja terjadi. Dan mungkin masih banyak yang seperti Pak Ghandi ini di luaran sana. Yah.. Siapa tahu..

"Kau ingin pergi bermain sebelum pekerjaanmu selesai? Apa kau tidak takut dengan tinju pak tua ini?" ancam Pak Ghandi kepada Biro sambil mengacungkan tinjunya.

"Tidak ayah, aku tadi hanya mengetes integritas Anul. Aku tidak serius sama sekali," bantah Biro dengan wajah pucat.

"Ini, ambil bekal kalian lalu makanlah sampai kenyang. Setelah itu lanjut bekerja," ujar Pak Ghandi sembari menyodorkan keranjang anyaman yang berisi nasi dan lauk pauk yang dibungkus daun pisang.

Setelah biro mengambil keranjang anyaman itu, Pak Ghandi langsung berbalik badan dan hendak pergi meninggalkan mereka. Baru saja beberapa langkah Pak Ghandi meninggalkan mereka, Biro mulai mendekati Anul dan berbisik, "Lelaki mana yang pergi mengantarkan bekal ke ladang? Kau tahukan seberapa kuatnya ibuku sekarang?"

Langkah Pak Ghandi terhenti sejenak, wajah Biro yang sudah mulai normal langsung kembali pucat. Anul hanya tersenyum geli melihat tingkah temannya ini. Setelah Pak Ghandi kembali melangkah, barulah Biro nampak agak lega.

Teror Beruang di Sudut Senja

Rroooaaarrr..!

Suara itu bergema, liar, memenuhi udara sore yang lembap. Disusul teriakan manusia, parau dan penuh ketakutan. Dari kejauhan, suara itu seolah mengiris hati siapa pun yang mendengarnya.

Anul, yang baru saja melewati jalan setapak menuju desa, mendadak menghentikan langkah. Alisnya berkerut. Itu bukan suara biasa. Bukan sekadar binatang liar di hutan.

Ia menajamkan pendengarannya, menutup mata, lalu mencari arah datangnya suara. Tenggara. Tanpa ragu, ia segera berlari, tubuh mudanya meliuk di antara pepohonan. Nafasnya stabil meski kakinya menghentak tanah secepat kuda.

Di desa, binatang buas jarang sekali bisa menembus penjagaan. Warga desa selalu bergantian menjaga perbatasan hutan. Setiap ada ancaman, biasanya segera dihabisi sebelum mencapai pemukiman. Tetapi kali ini jelas ada kelengahan. Satu celah kecil, cukup bagi seekor pemangsa haus darah menyelinap masuk.

Dan celah itu kini berubah jadi bencana.

Beberapa ratus meter kemudian, pandangan Anul menangkap pemandangan mengerikan, seekor beruang besar berdiri tegak di tengah tanah lapang, bulu cokelatnya kusut berlumuran darah.

Hewan itu tampak lebih seperti iblis hutan daripada binatang biasa. Kukunya panjang, hitam, dan berkilat tajam seperti bilah besi. Matanya merah menyala, liar, seolah hanya mengenal satu hal—membunuh.

Di hadapannya, tiga manusia berusaha bertahan. Seorang pria tua berambut putih, tubuhnya rapuh, berdiri dengan tangan gemetar melindungi seorang gadis remaja yang bersembunyi di belakangnya. Di depan mereka, seorang pria dewasa berusaha menghadang beruang itu dengan tubuhnya sendiri.

Pertarungan yang tak seimbang sudah berlangsung. Nafas pria dewasa itu terengah, keringat bercucuran bercampur dengan darah yang menetes dari dadanya.

Beruang itu meraung lagi, kemudian mengayunkan cakar kirinya. Udara terbelah, suara cakarnya mengeluarkan deru tajam seolah menembus ruang. Pria itu mencoba menghindar dengan mencondongkan tubuh ke belakang dan memutar sedikit ke kiri. Gerakannya cepat, tapi tidak cukup cepat.

Srakkk!

Kuku raksasa itu menyambar, merobek kain bajunya dan meninggalkan luka panjang di dadanya. Darah segar segera mengalir, membasahi pakaiannya.

“Arghh!” teriak pria itu, namun ia tetap berdiri, kedua kakinya mengguncang tanah untuk bertahan.

Beruang itu tidak memberi jeda. Dengan kecepatan mengejutkan, ia mengayunkan cakar kanan, kali ini mengarah langsung ke kepala. Serangan itu lebih cepat, lebih mematikan. Pria itu tak punya pilihan. Ia mengangkat tangan kanannya, mencoba menangkis.

Dumm!

Benturan keras terdengar ketika cakar beruang menghantam tangan manusia. Tulang retak seketika. Tangannya patah, tubuhnya terpental beberapa meter ke belakang, membanting tanah dengan keras.

“Ughhh—!”

Pria itu meringis kesakitan. Patah tulang membuat lengan kanannya terkulai tak wajar. Pandangannya berkunang-kunang, napasnya tersengal. Tapi ketika matanya menatap sekilas ke arah ayah dan anak yang ia lindungi, tekadnya memaksa dirinya bangkit lagi. Dengan tubuh gemetar, ia menegakkan kaki, meski langkahnya goyah.

Beruang itu maju perlahan, setiap langkahnya menghentak bumi. Getaran kecil merambat di tanah, menyalurkan rasa ngeri ke tubuh mereka yang masih sadar. Nafas panas keluar dari hidungnya, menimbulkan kabut tipis bercampur dengan bau amis darah.

Pria tua itu hanya bisa memeluk cucunya lebih erat. Gadis itu menangis terisak, wajahnya pucat, tubuhnya kaku. Dunia di depan mata mereka serasa menyempit, hanya menyisakan bayangan kematian yang mendekat.

Pria dewasa itu mencoba melawan rasa sakit, mencoba berdiri di hadapan mereka. Tapi tubuhnya sudah terlalu rusak. Kaki gemetar, tangan menggantung, darah menetes deras ke tanah. Ia seperti lilin yang tinggal menunggu padam.

Beruang itu mendekat. Taringnya terlihat jelas, besar dan tajam, mengkilap oleh liur. Suara raungannya bagai guntur, membuat dada bergemuruh. Rasa takut menekan jiwa ketiga manusia itu, membuat waktu seolah berjalan lambat.

Mereka merasa inilah akhir. Tidak ada harapan.

Namun pada detik itulah, sesuatu terjadi.

Beruang besar itu tiba-tiba terhuyung. Matanya membelalak, kemudian tubuhnya jatuh ke depan dengan suara berat. Bumi berguncang kecil saat tubuh raksasa itu menghantam tanah. Debu berhamburan, darah muncrat ke samping.

Ketiga orang itu terpaku. Mereka tidak paham apa yang terjadi. Hingga perlahan pandangan mereka menangkap sosok lain—seorang pemuda, berdiri di belakang bangkai beruang dengan tangan terkepal, wajahnya masih tenang.

Mereka ternganga. Bagaimana mungkin? Seekor beruang sebesar itu, hanya dengan satu pukulan roboh tanpa nyawa? Lebih tak masuk akal lagi, yang melakukannya hanyalah seorang bocah yang mereka kenal. Bocah yang tak pernah terlihat berlatih bela diri, bocah biasa yang harusnya tak mampu menghadapi seekor anjing liar sekalipun.

Anul hanya menyeringai, menggaruk kepalanya yang gatal.

“Hehe, maaf, Paman Hendar. Aku tak bermaksud mengganggu latihanmu. Perutku sangat lapar, jadi kupukul saja beruang ini. Dagingnya kelihatannya lezat, bukan?”

Kata-kata itu terdengar polos, tapi bagi ketiga orang itu terasa seperti pisau menusuk dada.

"Latihan? Pertarungan hidup dan mati ini dianggap latihan? Lebih parah lagi, anak ini melihat beruang ganas hanya sebagai makanan?"

Paman Hendar, pria yang tangannya patah, mendengar kata-kata itu, dan darah segar muncrat dari mulutnya. Bukan semata karena luka, tetapi karena mentalnya remuk. Puluhan tahun ia mengasah jurus bela diri, tapi hampir mati melawan beruang itu. Sementara bocah di depannya meninju sekali saja dan semuanya selesai.

Tubuhnya terhuyung, matanya kabur.

“Kamu… bocah ini…” katanya lirih, sebelum akhirnya pingsan, tubuhnya jatuh dengan posisi kaku. Kedua tangannya terlipat aneh, jari-jarinya menggenggam kosong, mulutnya berbusa, mata melotot memperlihatkan bagian putihnya. Darah terus menetes dari luka di dadanya.

“Anul, kamu tidak apa-apa?” suara lembut terdengar. Gadis remaja itu, yang sebelumnya menangis ketakutan, kini memberanikan diri melangkah bersama kakeknya mendekat.

“Tentu saja tidak,” jawab Anul ringan. “Aku kan lapar. Mana ada orang lapar yang baik-baik saja?”

Jawaban itu membuat mereka terdiam lagi. Wajah polos bocah ini benar-benar tidak masuk akal.

Tanpa banyak bicara, Anul lalu menunduk, memanggul tubuh besar beruang yang barusan ia bunuh, dan berbalik untuk pulang. Wajahnya tampak riang, seolah baru saja menemukan rezeki nomplok.

Kakek dan cucunya hanya berdiri, menatap punggungnya yang menjauh. Suasana hening, hanya suara napas berat mereka sendiri. Setelah beberapa lama, kakek itu bergumam pelan.

“Satu tinju, satu nyawa… Anak itu… Jika saja ia mau berlatih bela diri, bahkan kepala desa sekalipun takkan sebanding.”

Cucunya menatap penuh kebingungan. “Kakek… apakah Anul benar-benar sekuat itu?”

Kakek itu hanya terdiam, matanya menatap jauh ke arah kepergian Anul. Tetapi kemudian, sesuatu membuat mereka tersadar. Mereka saling berpandangan, seolah ada yang terlupa.

Dan seketika, tubuh mereka berbalik bersamaan.

“Ayah!”

“Hendar!”

Mereka berlari, menghampiri Hendar yang tak sadarkan diri, masih dengan posisi yang sebelumnya.

Pertarungan dengan beruang itu berakhir, tapi kengerian yang tertinggal tidak hilang. Justru semakin terasa. Mereka tahu, ada kekuatan lain yang jauh lebih menakutkan, bersemayam di tubuh seorang bocah bernama Anul.

Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!

Download Novel PDF
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!