Headline News
Pengusaha R meninggal dunia dalam kebakaran vila milik pribadinya. Jasad pengusaha R ditemukan bersama dengan jasad wanita yang diduga adalah D, wanita yang dikabarkan memiliki hubungan khusus dengannya. Belum diketahui penyebab kebakaran yang terjadi sekitar pukul dua dini hari tadi. Sampai saat ini pihak kepolisian masih menyelidiki musibah yang menewaskan dua orang tersebut.
Sekian berita hari ini.
Gita mendengar berita itu dari balik pintu rumah milik Sarah, sahabatnya.
Dua tahun ini dia bekerja membantu ibunya Sarah yang memiliki usaha katering. Tugasnya sangat mudah hanya membantu mencuci bahan makanan, memotong sayur, mengupas bawang dan mencuci bekas peralatan memasak serta membantu dalam pengemasan jika pesanan membludak.
Tapi semua dia kerjakan karena rasa terima kasihnya atas bantuan yang diberikan oleh Tante Lia, ibunya Sarah.
Gita tak mau menerima cuma-cuma bantuan tante Lia yang membiayai kebutuhan sekolahnya juga Galih adiknya.
Gita menerima semua bantuan dengan syarat menukar tenaganya untuk membantu tante Lia.
Sekali lagi Gita menarik nafas panjang, menahan rasa panas dimatanya karena air mata yang sejak tadi dibendungnya.
"Kamu kuat Gita, ingat Gilang dan Gian." ucap Gita pada dirinya sendiri
Tok.. tok...tok...
"Assalamualaikum..." Gita mengetuk rumah itu sambil mengucapkan salam seperti biasanya.
"Waalaikumsalam..." suar merdu Tante Lia terdengar membalas salamnya.
"Eeh... Gita??? Loh kok kamu ke sini?" tante Lia tak bisa menyembunyikan ekspresi terkejutnya saat melihat Gita.
"Ma_masuk... masuk dulu..." tante Lia mengajak Gita masuk dengan suara lembutnya.
Wanita itu menggandeng tangan Gita dan mengajaknya masuk ke dalam ruang tengah, tempat biasanya mereka duduk santai sambil menonton televisi.
"Kabar terbaru hari ini... Telah terjadi kebakaran yang mene_..." Gita menoleh ke arah televisi yang tiba-tiba mati.
Tante Lia terlihat panik dan segera mematikan televisinya. Gita tau Tante Lia menjaga perasaannya tentang pemberitaan itu.
"Nggak usah didengerin yang kayak begitu....Kamu udah makan???" tanya Tante Lia yang masih baik hati seperti biasanya.
"Udah tante, tadi makan sama Gilang dan Gian.... Sarah mana, tan?" tanya Gita
"Lagi dirumah neneknya, liburan gini dia mana mau di rumah. Pasti cari alasan buat ngehindarin kerjaan buat bantuin tante." kata Tante Lia yang mengeluhkan tingkat anak tunggalnya itu.
Sarah memang malas jika disuruh membantu ibunya di dapur. Gadis itu lebih memilih mengepel lantai rumah hingga licin dan mengkilap dibanding suruh mengiris bawang dan teman-temannya.
Gita tersenyum kecut, seandainya nasibnya seberuntung Sarah. Walaupun sudah tak memiliki ayah, tapi ibunya Sarah selalu menjadi sosok pengganti ayah yang bertanggung jawab pada putrinya.
Tak seperti dirinya.... Dan kini dia tak tau lagi dengan nasibnya nanti.
"Tan..."
"Ya... Kenapa, Ta?"
"Gita minta bantuan tante lagi, boleh?" tanya Gita takut-takut
Tante Lia mengerutkan keningnya, menatap Gita dengan sesama. Ada yang aneh dengan gadis itu. Selama ini Gita tak pernah meminta apapun padanya.
"Bisa antarin aku ke rumah sakit?" tanya Gita akhirnya.
"Ka_kamu..."
"Gita tau, tan." Gita memotong ucapan Tante Lia.
Walaupun di rumahnya tak ada televisi, tapi orang-orang sekitar rumah sudah membicarakan kejadian itu sejak pagi. Bahkan ada yang langsung datang ke rumahnya untuk mencari informasi darinya.
"Ayah sama Kak Gea juga nggak tau kemana. Mereka belum pulang dari tadi malam. Aku mau ke rumah sakit buat memastikan."
Miris....
Begitulah hidupnya, Gita punya orang tua dan kakak yang sudah lulus SMA tapi entah kenapa rasanya dia hanya hidup bertiga saja dengan dua adiknya.
"Ya_ya udah... Kalau gitu Tante siap-siap dulu ya." kata Tante Lia.
Sebelum dia beranjak ke kamarnya, wanita itu memeluk tubuh Gita.
"Apapun yang terjadi kamu harus sabar dan kuat. Ingat ada tante dan Sarah yang selalu bersama kamu." kata tante Lia sambil mengelus rambut panjang milik Gita yang diikat menggunakan karet gelang.
"Ya Tante. Aku harus tetap kuat walaupun aku capek. Ada Gilang dan Gian yang butuh aku." kata Gita sambil menghapus air matanya yang kini mengalir di pipinya.
Gita lalu membalas pelukan Tante Lia. Menghirup dalam-dalam aroma lembut yang berasal dari pewangi pakaian yang melekat di pakaian wanita empat puluh tahun itu.
"Oke... Tunggu bentar ya, tante ganti baju dulu." ucap Tante Lia ketika melihat Gita yang sudah mulai tenang.
Gita mengangguk dan tersenyum pada wanita itu. Dalam hatinya mendadak serakah dan iri pada Sarah, seandainya saja Tante Lia yang menjadi ibunya mungkin dia akan sangat bahagia. Tentu saja dia akan memanfaatkan waktu liburan untuk menemani Tante Lia.
***
Gita menyusuri lorong di sudut rumah sakit ini. Ujung lorong itu adalah tempat paling belakang di rumah sakit ini.
Kamar Jenazah
Gita merasakan tubuhnya mendadak dingin. Langkahnya pun terasa berat untuk mengikuti petugas yang mengantarnya dan Tante Lia.
"Ta... Kamu nggak usah masuk kalau nggak mau."
Gita menggeleng pelan.
Dia harus masuk dan memastikan sendiri jenazah ibunya yang terbakar tadi malam.
"Silahkan... Kami memang menunggu pihak keluarga untuk datang dan mengurus jenazahnya. Karena jenazah tuan Rizal sudah diambil oleh pihak keluarganya." kata petugas yang terlihat biasa saja masuk ke dalam ruangan yang cukup ditakuti oleh seluruh orang.
Begitu juga Gita, dia tak takut dengan ruangan ini. Tapi dia takut dengan kenyataan yang akan dia hadapi kelak.
"Nah, ini...." katanya sambil menunjukkan sosok yang terbujur kaku dengan wajah dan tubuh terbakar dan sudah gosong.
Gita sangat yakin jika itu ibunya, terlihat di tangan kirinya masih terpasang gelang emas pemberian 'lelaki itu'.
Tante Lia menggenggam tangan Gita, menguatkan gadis remaja seusia putrinya. Gadis malang itu bahkan tak menangis di depan jasad sang ibu. Sepertinya air mata Gita sudah habis setelah dia menangis di rumahnya tadi.
"Jenazah sudah di otopsi. Dari bukti dan saksi jenazah ini adalah nyonya Diana, wanita yang merupakan kekasih gelap tuan Rizal." kata petugas itu yang terlihat tak menyukai ibunya.
Ya wajarlah... Siapa yang akan suka pada ibunya. Wanita bersuami tapi berselingkuh dan menjadi wanita simpanan lelaki lain.
Parahnya lagi lelaki itu juga sudah memiliki keluarga. Rizal Saputra, pengusaha terkenal di kotanya. Memiliki kekayaan yang mampu membeli lebih dari separuh kota,
Lelaki itu... Entah sudah berapa lama mereka berhubungan, Gita tak tau pastinya.
Yang dia tau jika hal itu sudah lama karena hasil tindakan buruk mereka saja sudah berusia enam tahun.
"Kalau kalian mau membawa jenazah, silahkan menyelesaikan prosedur administrasinya." kata petugas itu
Tante Lia yang tak begitu senang dengan sikap kasar petugas itu pun segera mengajak Gita untuk segera menyelesaikan semua prosedur kepulangan jenazah Diana, ibunya Gita.
Dengan bantuan tante Lia yang cukup memiliki koneksi, jenazah Diana pun bisa pulang dan diurus untuk segera dimakamkan.
Malam itu juga, Diana dimakamkan di TPU yang letaknya cukup jauh dari tempat tinggalnya. Karena warga setempat yang menolak jika Diana dimakamkan di TPU daerah mereka.
Diana dianggap aib dan mencemarkan tempat mereka. Bahkan hanya beberapa orang saja yang mau mengurus dan mengantar jenazah Diana ke pemakaman.
Tante Lia lagi-lagi membantu Gita.
Sementara gadis itu tak merasakan perasaan apapun. Tak ada rasa kehilangan seperti layaknya anak yang kehilangan ibunya.
Saat menatap gundukan tanah yang basah itu, Gita merasa semuanya biasa saja.
"Kak Gita... Gimana nasib kita kalau nggak ada ibu?" tanya Gilang adiknya yang kini duduk di bangku kelas tujuh.
Gilang saudaranya yang paling mengerti tentang keadaan Gita.
Usianya kini sudah menginjak tiga belas tahun. Dia sudah membantu Gita mengurusi adiknya Gian yang terlahir tak sempurna sejak si bungsu itu lahir.
Sementara tiga orang lainnya pura-pura tak menyadari keadaan Gian dan mengabaikan anak itu. Bahkan wanita yang melahirkan anak itu saja mengacuhkan dan menganggap Gian adalah anak pembawa sial yang tak berguna untuknya.
Gian memang berbeda, bukan hanya fisiknya saja. Gita menyadari hal itu setelah melihat Gian yang semakin besar semakin mirip dengan seseorang yang membiayai kehidupan mereka.
Kini tak ada lagi yang menyokong kebutuhan hidup mereka. Ibu dan kekasih kayanya itu sudah mati.
Ayahnya..... lelaki itu hanya tau minum dan judi. Bahkan istrinya berselingkuh di depan matanya saja dia hanya diam dan tak berbuat apa-apa.
Kak Gea... Dia pasti tak mau terbebani dengan kebutuhan adik-adiknya. Gadis itu lebih senang menghabiskan waktunya dengan pacarnya yang sering berganti-ganti.
"Hahaha..." Gita tertawa dengan pedih.
Gilang menatap kakaknya yang terlihat aneh. Dia khawatir jika kakaknya ini kesurupan.
"Ka_kak... Kak Gita?? kakak kenapa?" tanyanya dengan nada khawatir dan juga takut
"Nggak... Nggak apa-apa. Mendingan sekarang kamu tidur. Istirahat lah udah malam." kata Gita meminta Gilang untuk masuk ke dalam kamarnya.
Waktu baru menunjukkan pukul setengah sepuluh malam. Belum terlalu malam sebenarnya, tapi di rumah ini begitu sunyi.
Tak ada suara apapun kecuali suara Gean yang sesekali merengek.
Adik bungsunya itu mengalami lumpuh layu memperparah keadaannya yang down syndrom sejak lahir.
Ada yang bilang Gean adalah kutukan karena perbuatan buruk orang tua biologisnya. Tapi Gita tak pernah menganggap adiknya sebuah kutukan. Gean sepertinya, terlahir suci dan tak tau apa-apa. Bahkan jika bisa memilih, baik Gita, Gilang ataupun Gean tak ad yang mau terlahir dalam keluarga ini.
Gita bangun dari kursi kayu usang yang dia duduki sejak satu jam yang lalu. Dia memang menunggu ayah atau kakaknya pulang.
Gita sama seperti Gilang, ingin bertanya pada mereka bagaimana kedepannya mereka akan menjalani hidup.
Mau mengelak pun, memang kenyataannya selama ini mereka hidup dari uang pemberian Rizal. Uang yang didapat dari hasil zina ibunya dan lelaki itu.
Gita mungkin akan memutuskan untuk tak melanjutkan lagi sekolahnya, tapi tidak dengan Gilang... Dan juga Gean..
Gita tak mungkin membiarkan Gean. Apalagi semua orang di rumah ini membencinya.
Mereka membiarkan Gean tetap tinggal di sini karena tuan Rizal memberikan uang untuk kebutuhannya sebagai tanggung jawabnya sebagai ayah kandung.
Gita masuk ke dalam kamarnya yang hanya berukuran dua kali dua meter itu. Kamar yang ditempati olehnya dan dua adiknya. Sementara dua kamar lainnya ditempati oleh orang tuanya juga kakaknya.
Gea tak mau berbagi kamar dengan Gita. Dan Gita pun tak mau memaksa pada kakaknya. Apalagi terkadang sang kakak membawa pacarnya menginap di rumahnya.
Gita tak mau menjadi korban pacar-pacar mesum kakaknya yang sering memandanginya dengan tatapan lapar.
Gita berjalan menuju sudut ruangan kamar, mengambil gulungan kasur berwarna merah.
Dia membentangkan kasur itu di sebelah tempat tidur dua adiknya.
Di kasur lantai tipis itulah Gita berbaring, merebahkan tubuhnya yang sudah cukup lelah melewati hari.
Satu harian ini dia harus menggantikan ayahnya yang merupakan kepala keluarga. Usianya baru lima belas tahun tapi harus berperan sebagai orang dewasa dalam pemakaman ibunya.
"Orang tua macam apa yang kau berikan padaku, Tuhan?" bisiknya pelan.
Tak lama kemudian Gita pun tertidur melepaskan semua penat dan juga bebannya sejenak dalam buaian mimpi.
Semoga saja besok pagi ketika dia bangun, semuanya akan lebih baik.
****
Gita terbangun saat mendengar suara benda terjatuh dari arah kamar sebelah.
Kamar kak Gea....
Dengan sigap dia langsung berdiri dan segera bangun dari kasur yang ditidurinya.
Mungkin kakaknya sudah pulang. Matanya melirik ke arah jam dinding tua yang masih tetap kokoh berdetak.
Pukul satu malam.
Kakaknya pulang selarut ini atau tak pulang adalah hal biasa. Gita tak lagi heran. Hanya saja suara berisik itu yang membuatnya penasaran hingga dengan berani dia membuka pintu kamar sang kakak yang merupakan area terlarang baginya.
"Kak Gea?? Kakak ngapain, pake kemas koper begitu?" tanya Gita spontan saat melihat kakaknya membereskan barang-barangnya dalam sebuah koper berwarna merah.
Gita tau itu adalah koper milik almarhum ibunya yang sering dipakainya jika berpergian lama dengan kekasihnya.
"Jangan banyak tanya. Mendingan kamu juga beres-beres, cepat pergi dari rumah ini kalau mau aman." ucap Gea dengan sinis.
"Ma_maksudnya apa kak?" tanya Gita pada kakaknya yang terlihat masih sibuk memilih barang-barang yang akan dibawanya. Gita bahkan melihat beberapa barang milik ibunya, seperti gaun dan tas mahal yang sudah berada di dalam koper.
Sepertinya Gea berniat membawa benda-benda itu.
"Kamu itu dibilangin suruh jangan banyak tanya, masih nanyak. Pokonya kalau kamu sama adik-adik kesayangan kamu itu mau aman segera pergi dari rumah ini."
"Rumah ini bukan punya kita. Dan bakalan diambil sama pemiliknya." kata Gea sambil bergidik ngeri.
"Kamu nggak tau semengerikan apa Arga kalau ngamuk. Lebih baik kita keluar dan cari tempat aman." katanya lagi.
Gea memang tak menyukai Gita, tapi dia tak membenci adiknya. Dia hanya iri karena Gita terlahir dengan wajah dan bentuk tubuh yang sempura.
Gita terlalu cantik, bahkan lebih cantik Ari ibunya yang terkenal sebagai kembang desa di tempat asalnya.
Gita adalah kesempurnaan dari perpaduan wajah ayah ibunya. Gita ibarat sosok angsa putih yang terlahir di kubangan lumpur berbau.
"Lalu kakak mau kemana?" tanya Gita lemah.
Bahunya terlihat melorot lemas setelah mendengar perkataan Gea.
"Andre ngajak aku ke Jakarta. Katanya ada kerjaan bagus yang cocok buat aku di perusahaannya. Gajinya besar dan ada tempat tinggal untuk karyawan juga. Jangan kamu tanya aku dimana tempatnya. Aku pun belum tau. Tapi nanti kalau aku udah sukses aku bakalan ngirimin uang jajan buat kamu." kata Gea sambil menutup kopernya dan bersiap-siap untuk pergi.
"Jaga diri... Jangan percaya sama laki-laki apalagi yang bermulut manis. Mereka cuma mau menikmati tanpa bertanggung jawab. Ingat yang kamu punya sekarang cuma kehormatan saja. Jika hilang maka hidup mu tak akan berharga lagi."
Gea tersenyum kecut, terdengar munafik rasanya menasehati adiknya tapi dia sendiri tak jauh beda seperti ibunya.
"Kak... Kakak yakin pergi sama laki-laki itu?? Padahal kakak ngomong jangan percaya laki-laki." protes Gita, lebih tepatnya dia tak ingin kakaknya asal pergi begitu saja bersama lelaki yang baru dikenal dan dipacarinya beberapa minggu ini.
Gea terkekeh lalu mengambil tasnya yang berada di atas tempat tidurnya. Gea membuka tas itu dan mengambil sesuatu dan menyerahkan ke dalam genggaman tangan adiknya.
"Nih, nggak banyak. Tapi cukup buat kamu sama Gilang juga adik cacat mu itu makan beberapa bulan. Aku tau 'lelaki itu ' tak mungkin bisa diandalkan. Dia hanya bisa mabuk dan berjudi. Jadi simpan ini hati-hati, jangan sampai dia tau bisa kelaparan kalian." kata Gea sambil menekan kata lelaki itu karena memang dia tak menyukai ayahnya yang tak pernah bertanggung jawab pada mereka.
"Aku pergi dulu. Andre udah nungguin aku d depan. Hati-hatilah." kata Gea lalu memeluk adiknya sebelum pergi.
'Jangan pergi kak'
Namun suara Gita tertahan di tenggorokan. Dia terharu kakaknya memeluknya lagi setelah sekian lama.
Gita berjalan ke depan rumahnya. Dia dapat melihat kakaknya masuk ke dalam mobil hitam. Gita pernah melihat mobil itu beberapa kali. Mobil milik Andre pacar baru Gea yang katanya adalah pengusaha muda di Jakarta.
Hatinya merasa gusar namun tak mampu menahan sang kakak. Gita melihat kekasih kakaknya itu terlalu aneh. Terlalu mudah dan biasa untuk seorang pengusaha.
Gita menggenggam gulungan uang yang diberikan oleh Gea. Entah kenapa hatinya merasa teriris melihat uang yang cukup banyak itu.
Ternyata dia salah mengira kakaknya tak perduli padanya juga adik-adiknya.
Sebagai anak tertua, Gea paling pertama menyadari ketidakberesan dua orang tuanya. Gea yang dulu adalah kakak yang ceria dan penuh kasih padanya juga Gilang.
Sejak ayahnya kehilangan pekerjaan, sejak ibunya mulai berselingkuh hingga terlahir Gian, ternyata Gea menjadi jauh dan berubah.
Gea perduli pada mereka, adik-adiknya. Hanya saja ada pembatas yang membuat mereka menjauh dan saling acuh.
"Kak maaf. Maafkan Gea."
Sudah dua hari kak Gea pergi. Sejak malam itu, tak ada kabar tentang kakaknya.
Gita pun memulai keseharian lagi, membantu tante Lia.
Hari ini dia harus berangkat lebih awal karena Tante Lia mendapatkan pesanan yang banyak.
Di pertengahan jalan, Gita harus melewati warung yang cukup ramai karena ibu-ibu di gang nya yang berbelanja sayuran di sana.
Gita membuang nafas dengan kasar sebelum melanjutkan langkahnya.
"Kok nggak tau malu banget ya. Udah tau rumah punya tuan Rizal masih aja tebal muka tinggal di sana." ucap seorang ibu yang terlihat memegang seikat bayam sambil melirik Gita dengan sinis.
"Eeh... tapi satu sundalnya udah kabur malam-malam. Aku sempat ngeliat dia masuk ke dalam mobil laki-laki yang sering dibawa nginep." celetuk ibu lainnya
"Ooh.. Udah nggak kerja di kafe esek-esek itu lagi. Naik tingkat jadi gundik kali, ya?"
"Mana ada naik tingkat, maksiat begitu. Pantas tempat kita sering kena banjir, mungkin teguran dari Tuhan kalau tempat kita masih ada orang kayak mereka. Menjijikan banget satu keluarga gak ada Yeng bener."
"Kayaknya kita harus demo ke pak RT buat ngusir mereka. Dulu kan ada tuan Rizal yang jadi beking nya. Sekarang mau bergantung sama siapa lagi."
"Iya... Itu anak masih kecil bakat penggodanya udah ada kayak ibu sama kakaknya. Darah bin*lnya pasti bakalan turun ke dia juga."
Gita tak heran, dia tetap melangkah melewati warung itu. Mereka memang sengaja membicarakan dia dan keluarganya dengan suara keras.
Gita mengeratkan genggamannya pada tali tas selempang yang dipakainya.
Sudah biasa, sindiran para tetangga seperti ini adalah makanannya sehari-hari. Hinaan dan cacian sering dia dapatkan, hanya saja tak pernah terang-terangan seperti ini. Biasanya mereka akan membicarakannya diam-diam dengan pandangan menghina.
Di sekolah, Gita pun juga tak luput dari hal itu. Hanya Sarah yang mau menjadi temannya. Jangankan teman sekolah bahkan ada beberapa guru yang memandangnya sinis. Semuanya itu karena orang tua dan kakaknya.
Gita menyetopkan angkot yang mengantarnya menuju rumah Tante Lia dengan cepat . Untung saja kak Gea memberikan uang untuknya, dia bisa naik angkot dan belanja kebutuhan hidup mereka bertiga.
Tadi pagi-pagi sekali dia sudah memasak dan memandikan Gian. Setidaknya liburan ini dia agak tenang karena ada Gilang yang menemani Gian.
Jika hari biasanya, dia akan menutup pintu dan menguncinya agar Gian tak keluar kamar dan menjadi sasaran amukan ayahnya.
Angkot yang ditumpangi Gita pun berhenti di depan komplek perumahan milik Tante Lia.
Gita berjalan cepat, dia tak mau kesiangan. Banyak pekerjaan yang menantinya.
Seperti biasa Gita mengetuk dan mengucapkan salam sebelum masuk ke dalam rumah tante Lia.
Wanita itu terlihat sudah berkutat di dapur. Gita melihat ada dua orang wanita berusia tiga puluh tahunan sedang mengupas kentang dan yang satunya tengah mengupas bawang merah dan putih.
"Eeeh... Udah datang rupanya. Awal banget, Ta." kata Tante Lia
"Nggaklah tan, udah siang ini. Mana pesanan hari ini banyak banget, harus dari pagi lah ngerjainnya."
"Tante bilang kan gak apa-apa. Udah ada mbak Heni sama mbak Yeni yang ikut bantu. Lalu Gilang sama Gean gimana? Pagi-pagi siapa yang urusin mereka?"
"Udah beres Tante, hari ini Gian nggak rewel. Aku juga udah masak buat mereka." kata Gita.
Tante Lia mengangguk lalu menyerahkan bungkusan besar berisi kacang panjang dan juga wortel.
"Udah tau kan mau diapain?" tanya Tante Lia.
Gita mengangguk lalu mengambil baskom besar dan pisau serta talenan. Dua tahun ini dia sudah banyak belajar dari Tante Lia. Tanpa diperintah lagi, Gita sudah tau yang harus dia kerjakan.
Pesanan seribu nasi kotak itu harus selesai sore ini. Kata Tante Lia itu pesanan orang penting, hanya saja wanita itu tak menyebutkan siapa yang memesannya.
Gita pun tak ingin tau, baginya diijinkan bekerja saja sudah cukup. Hari ini mereka cukup sibuk. Ternyata mbak Heni dan dan mbak Yeni adalah tetangga Tante Lia.
Mereka ditawari membantu karena Tante Lia menyadari jika akan kewalahan jika hanya mengerjakan berdua saja dengan Gita.
Tangan-tangan mereka cukup gesit, seperti sudah terbiasa. Gita senang bekerja bersama mereka, karena keduanya bersikap sangat baik padanya.
"Ayah kamu belum ada kabarnya lagi, Ta?" tanya Tante Lia disela kesibukannya mengemasi lauk dalam nasi kotak itu. Sementara mbak Heni dan mbak Yani sedang menata kotak-kotak yang sudah siap itu ke ruang tamu.
"Nggak ada, Tan."
"Tumben banget ya, biasanya ayah kamu itu tetap pulang ke rumah walaupun dalam keadaan mabuk." katanya lagi.
Gita hanya diam, tak mengatakan apapun. Dia saja bingung dengan keberadaan ayahnya. Benar kata Tante Lia, ayahnya selalu pulang ke rumah seburuk apapun keadaannya.
"Semoga saja ayah kamu baik-baik saja." katanya lagi.
Gita mengangguk lalu melanjutkan kegiatannya mengisi lauk-lauk itu.
Pukul lima sore, semuanya sudah beres. Kotak-kotak itu sudah masuk ke dalam mobil carteran yang dipesan oleh Tante Lia.
Kalau biasanya Tante Lia mengantar sendiri, tapi kali ini dia tak mampu mengantarkan pesanan itu.
Tubuhnya tak cukup letih. Khawatir justru tidak akan aman jika dia menyetir dalam keadaan seperti ini.
"Tan, aku pulang dulu ya, sudah sore." pamit Gita
"Oh iya, udah sore banget rupanya. Tunggu sebentar dulu." kata Tante Lia lalu masuk ke dalam
Tak lama dia keluar lagi sambil menenteng tas yang berisi kotak plastik warna warni. Gita tau itu adalah sisa lauk yang memang disiapkan Tante Lia untuk orang yang membantunya, termasuk mbak Heni dan mbak Yeni.
"Buat kalian makan malam. Dan ini buat ongkos naik taksi. Udah kesorean jarang ada angkot. Pakai taksi aja." katanya
"Tapi, Tan.... "
"Nggak ada nolak-nolak. Kamu menolak besok-besok nggak Tante ajak kerja lagi." katanya
Gita akhirnya menyerah dan mengambil dua lembar uang seratusan itu.
"Kebanyakan ini, Tan." kata Gita tak enak hati
"Sisanya buat jajan Gilang sama Gian." sahutnya.
"iya, Tan, terima kasih banyak. Aku pulang dulu,Tan." ucap Gita terharu bercampur malu pada wanita yang baik ini.
"Hati-hati ya pulangnya." katanya lagi saat Gita menyalami nya.
Gita mengangguk lalu berjalan meninggalkan rumah milik Tante Lia. Gita melihat ke arah langit sore yang berwarna jingga, dia pun segera mempercepat langkahnya.
Gadis itu terus berjalan menyusuri jalan hingga berhenti di trotoar tempatnya menunggu angkutan. Entah itu mau taksi atau angkot mana yang duluan.
Dia ingin cepat pulang dan segera mandi. Badannya terasa sangat lengket dan terasa bau aroma bawang.
Tanpa Gita sadari ada sepasang mata sekelam malam menatapnya dengan tajam. Bahkan jika disamakan dengan pisau, tatapan itu bisa menembus tubuh seseorang.
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!