NovelToon NovelToon

SURGA Yang Kuabaikan & Rindukan

Menjadi Janda

Sepasang suami istri nampak berjalan-jalan sore di sebuah alun-alun kota. Sang suami dengan sigap selalu membantu istri, dan juga beberapa kali mengelus dan mencium perut sang istri.

"Sayang, kamu sudah menemukan nama untuk putra kita?" tanya sang istri pada sang suami.

"Aku masih meragu, terlalu banyak nama yang indah, dan juga banyak ide nama yang diberikan teman-teman. Lalu, bagaimana nanti jika anak kita bukan lah seorang laki-laki, bisa saja dokter salah dalam USG, siapa yang tahu kehendak Allah? Ada teman kerja kemarin bercerita, karena di USG perempuan, jadi beli semua perlengkapan merah muda, yang lahir malah laki-laki." Sang suami menatap istrinya.

"Iya juga ya, Sayang. Akan tetapi, untuk jaga-jaga aja."

"Nanti saja kita pikir-pikir lagi Sayang. Ayo, kita istirahat dulu, kamu harus banyak-banyak minum air putih. Biar banyak dan jernih air ketubannya, dan nggak sakit pinggang, gitu 'kan kata dokter."

"Iya, Sayang." Sang istri memeluk suaminya dari samping, dan sang suami pun mengelus perut besar istrinya penuh kasih.

Selang beberapa hari setelah jalan-jalan sore itu, tengah malam jam satu dini harinya, sang istri merasakan perutnya mules, sakit melilit dan sangat sakit, terkadang rasanya seperti ingin buang air besar, tetapi kadang tidak, kadang sakit sampai tulang punggung dan pinggang. Hingga sesuatu keluar diantara kedua pahanya.

"Sayang, sepertinya kamu mau lahiran, lihat betismu basah, ketubannya sudah pecah!" Sang suami cemas dan dia langsung menggendong istrinya yang sudah jauh lebih berat dari pada biasanya.

Dia mengambil kain panjang, dan mendudukkan istrinya di belakang motor, lalu mengikatnya di pinggang. "Bertahanlah Sayang, kita akan segera ke puskesmas!"

Ya, seperti di duga, sang istri memang sudah waktunya melahirkan, pintunya sudah terbuka lima. Sang suami sampai gemetaran saat menyaksikan istrinya berjuang melahirkan sang buah hati mereka dengan penuh perjuangan.

"Owa! Owa!" Bayi merah nan baru saja keluar itu menangis dengan nyaring.

"Selamat ya, Bu. Bayinya laki-laki, berat 4 kg, dengan panjang 53 cm. Sehat." Begitulah Bidan perempuan itu berkata dan meletakkan bayi itu di dada sang istri.

Selang beberapa waktu, sang istri yang bernama Khadijah Izza dan sering dipanggil Ijah di sekitar tempat mereka tinggal telah pindah ke kamar pasien. Dia tertidur dengan nyenyak setelah tiga jam melahirkan, sedangkan suaminya tampak berberes dan dengan senang hati melihat putranya. Tadi usai dia mengadzankan putra kecilnya itu, si bayi juga diam dan kini ikutan tertidur setelah meminum susu bantu, karena ASI Khadijah belum keluar.

Hanya tertidur satu jam, kemudian Khadijah terbangun karena mendengar suara bayinya menangis, begitu pula dengan suaminya yang barusan dari toilet terburu-buru keluar.

"Sayang, kamu terbangun?" tanya suaminya saat baru keluar karena melihat Khadijah berusaha duduk pelan, berniat berdiri mengambil putranya yang menangis.

Sang suami cekatan menggendong bayi itu, walaupun tampak kaku dan cemas pada bayi merah itu. Dia memberikan pada istrinya dan segera membuatkan susu sesuai petunjuk dalam kemasan susu. Lalu, memberikan susu pada sang bayi.

"Sayang, setelah aku berpikir sejak tadi, bagaimana jika nama putra kita, Muhammad Tanan?" Sang suami berkata dan mengelus pelan pipi bayinya dengan telunjuknya.

"Artinya apa sayang?"

"Tanan artinya membawa kebahagiaan. Ditambah dengan nama yang mulia Rasulullah, semoga kelak putra kita memiliki sifat yang baik hati, jujur, dan membawa kebahagiaan pada semua orang," kata sang suami tersenyum.

"Iya, nama yang indah Sayang. Dilihat dari wajahnya, dia cocok membawa nama Tanan," sahut sang istri.

Dari sekian banyak nama yang di usulkan beberapa orang, akhirnya sepasang istri itu memilih nama Muhammad Tanan.

Dua tahun kemudian.

"Tanan! Hati-hati Sayang, jangan lari-lari, nanti jatuh!" seru Khadijah pada putra kecilnya.

Para tetangga juga merasa gemes melihat tingkah laku Tanan yang aktiv, wajahnya juga sangat tampan dengan kulit eksotis hitam manisnya, senyuman Tanan yang membuat semua orang terpesona, pipinya memiliki lesung pipi kecil nan manis.

Keluarga kecil itu sangat bahagia, bagaimana tidak, mereka sudah menikah lima tahun, baru bisa hamil setelah ikut bermacam-macam program hamil. Sang suami yang baik dan pekerja keras, bisa membuat mereka menabung, dan mereka baru saja membeli rumah satu tahun yang lalu. Perumahan di sekitar mereka tinggal, nyaman dan aman.

Khadijah penuh syukur karena hidup ini begitu bahagia, suaminya setia, baik, ramah, pekerja keras, dan penuh kasih sayang. Di tambah rezekinya diberi luas oleh Allah, dia akhirnya memiliki keturunan dan bahkan rumah yang di idam-idamkan juga akhirnya mampu di beli.

"Assalamu'alaikum," sapa seorang wanita yang terlihat kurus, bajunya bahkan sangat kedodoran, polos, dan sedikit jelek.

"Wa'alaikumsalam," jawab Khadijah dengan teman-temannya yang sedang menjaga anak masing-masing.

"Permisi ibu-ibu, numpang tanya, dimana ya kos-kosan yang harganya murah di sekitar sini?" tanyanya.

Mereka semua saling berpikir. Kemudian, menunjukkan rumah kos-kosan yang tak jauh dari sana. "Semoga cocok ya Bu, coba saja dulu tanya sama Bu Desi di ujung jalan, rumahnya warna kuning telur, bertingkat tiga, ada kok bacaannya besar di sana tertulis menerima kos begitu," jelas Khadijah dan teman-temannya.

"Terimakasih kalau begitu ibu-ibu, saya akan ke sana dulu. Assalamu'alaikum," pamitnya.

"Wa'alaikumsalam." Mereka semua menyahuti salam wanita kurus itu.

Tanan dan teman-teman sebayanya asyik bermain, dan ibu-ibu mereka memperhatikan mereka, hingga warna jingga di langit sudah muncul, dan itu sudah waktunya masuk ke dalam rumah. Mereka pun masuk ke rumah masing-masing.

Namun, hidup bahagia Khadijah tak berlangsung lama dan selama hidupnya, karena setelah magrib, dia mendengar berita yang mengejutkan. Sang suami kecelakaan, mobil Avanza hitam milik atasannya hancur bersama motor Supra yang dikendarai juga oleh seorang pria.

Dua pengendara itu meninggal dunia, polisi memberitahu Khadijah dan istri pengendara sepeda motor itu. Mereka berdua bertemu di lorong kamar mayat.

"Apa suami kamu yang tertabrak?" tanya Khadijah pada wanita itu.

Wanita yang tadi sore dia lihat dan bertanya dimana kos-kosan paling murah, kini mereka berdua bertemu kembali, tetapi dengan cara menyedihkan, kedua suami mereka meninggal dunia.

Suami mereka di kuburkan di kuburan umum. Sesak, sedih, itulah yang dirasakan dua janda tersebut.

Khadijah membawa wanita itu ke rumahnya, karena diketahui wanita itu sedang hamil tiga bulan, kehidupan mereka susah, suaminya bekerja serabutan, apapun asalkan dapat uang yang halal.

"Maaf, saya merepotkan Kakak." Awalnya wanita itu menolak, namun akhirnya ikut tinggal di rumah besar Khadijah, karena dia benar-benar tidak punya uang, apalagi dia tengah hamil muda sekarang.

"Tidak apa-apa, hamil muda ini rentan sekali, kamu jangan terlalu banyak pikiran, jangan sampai setress. Oh iya, nama kamu siapa?" tanya Khadijah.

"Namaku Hindun Ameera, sering di panggil Mira Kak," jawab wanita itu.

"Aku Khadijah, kamu bisa memanggilku Ijah, Mira," kata Khadijah. "Sekarang, ayo makan dulu, kamu pasti belum makan kan?" ajak Khadijah.

Mereka pun makan dan beristirahat dengan baik, walaupun hati mereka berdua sama-sama sedih karena kehilangan pria yang mereka cinta, tetapi pemilik-Nya lebih mencintai, mereka hanya bisa ikhlas dan berdo'a.

"Semoga hari esok lebih baik."

Kehidupan Khadijah Setelah Janda

Wanita yang dikenal dengan nama Mira itu pun tinggal di rumah Ijah, sampai perutnya besar, kira-kira delapan bulan usia kandungannya.

Selama ini Ijah mendapatkan uang dari usaha kecil-kecilan suaminya sebelum meninggal, suaminya membeli kios kecil dua buah, dulu satu dia sewakan, satu lagi di pakai untuk jualan, dikarenakan selama ini Ijah sering di rumah dan tidak tahu menahu, sehingga usaha itu berhenti, dan kedua kios itu di sewakan.

Dalam kurun waktu itu, kedua janda hanya bisa berhemat, Mira dan Ijah sama-sama tidak bekerja. Hingga suatu hari, Mira berkenalan dengan seorang pria yang sudah berumur 37 tahun dan sangat ingin menikah.

"Kau yakin Mira, jangan-jangan dia adalah penipu, zaman sekarang banyak modus penipuan, takutnya mereka penjual organ, kan marak yang bunuh teman kencannya gitu!" Ijah alias Khadijah berkomentar.

"Iya sih, tetapi aku percaya dia baik Kak. Soalnya, dia udah kebelet banget nikah dan berani bawa ibunya datang kemari." Mira bercerita.

"Kalau kamu yakin, mau gimana lagi. Aku hanya berharap kebaikan dan kebahagiaan untuk kamu saja." Khadijah tersenyum.

"Oh ya, mm, maaf ... sebenarnya kenapa dia belum nikah-nikah? Dia nggak punya gangguan mental kan? Sampai gak laku? Masa ada pria berumur 37 tahun belum menikah!" Khadijah berpikir dan menatap Mira.

Mira tersenyum. "Sebenarnya, dulu dia nikah muda dengan kekasihnya, waktu itu umur mereka berdua 21 tahun katanya, kemudian sampai berumur 30 tahun, mereka nggak punya anak, terus setelah diperiksa, si cowok ini anunya kurang baik," bisik Mira.

"Hah? itunya lemes?" Mata Khadijah membulat.

"Bukan, itunya katanya normal, tapi gak membuahi gitu, mungkin encer atau gimana lah. Jadi, katanya, setelah aku melahirkan dan masa Iddah, dia mau melamar aku, karena aku ada anak dan janda karena suami meninggal," terang Mira. "intinya aku ada anak, pasti nggak akan ninggalin dia, dia butuh pendamping."

"Oh, begitu!" Ijah mengangguk.

Dan akhirnya, seperti yang di katakan oleh Mira. Pria itu sangat tampan dan berkelas, dia datang melamar Mira bersama ibunya.

"Begini Kak, jika kami menikah nanti, saya akan membawa Mira ke rumah saya dan tinggal bertiga bersama ibu saya, saya anak satu-satunya, ibu saya sudah tua, ayah saya sudah meninggal," kata pria itu.

"Oh, iya tidak apa-apa. Aku hanya berharap, jangan membuat Mira bersedih, dan tolong sayangi dia dan anaknya," jawab Khadijah.

Ya, Mira yatim piatu, dan rupanya lagi, mereka menikah lari, bisa dibilang pihak keluarga mantan suaminya dulu tak suka dia, jadi tak ada orang yang perlu tahu, dan hanya Khadijah lah sebagai keluarganya sekarang.

Mereka melamar Mira saat hamil besar dan bermufakat dengan rencana pernikahan, setelah melahirkan dan melewati masa Iddah, Mira langsung dinikahi dan wanita itu di bawa ke luar kota.

"Mira, baik-baik di sana ya. Jangan lupa beri kabar ya," kata Khadijah.

"Iya Kak." Mereka berdua saling peluk. Mira mencium Tanan dan Ijah menciumi anak Mira yang masih bayi merah.

Khadijah dan Tanan melambaikan tangan pada Mira yang telah pergi.

"Ma, Tante Mira datang lagi kan nanti?" tanya Tanan dengan cadelnya, anak itu sekarang hampir berumur tiga tahun. Dia sudah mulai akrab dengan Mira, semenjak Mira tinggal di sini.

Kini, tinggallah Ijah dan Tanan berdua. Menatap dengan sedih kepergian Mira dan bayi mungilnya.

***20 Tahun kemudian***.

"Uhuk! Uhuk! Tanan, bangun Nak, sudah jam sebelas, ayo bangun Nak!" Khadijah membangunkan putra satu-satunya yang dia besarkan penuh kasih sayang dan cinta. Selama 20 tahun ini, dia tidak pernah menikah, dia terlalu cinta pada suaminya, hingga sukar hatinya terbuka kembali, dia membesarkan Tanan dengan susah payah, melakukan pekerjaan apapun demi Tanan.

"Ck! Gue ngantuk Bu, nggak usah bangunin! Kalo gue mau bangun, ya bangun sendiri! Bawel banget jadi orang, sana ah!" Tanan mengibaskan tangan Ijah yang menyentuh bahunya lembut.

Hingga wanita yang sudah tidak muda itu lagi terdorong ke belakang dua langkah.

"Ya sudah, kalau begitu, ibu letakkan nasinya di tudung saji ya, ibu mau ke rumah Ibu Ratna, mau bantu dia kupas kulit bawang." Ijah kembali mendekat dan membelai rambut Tanan.

"Ah, jangan sentuh! Gue mau tidur, ganggu aja! Ck!" Tanan kembali berdecak lidah.

Ijah hanya mengurut dada, lalu mundur dari kamar putranya. Rumah besar yang dibelikan suaminya sudah terjual, tak ada lagi harta benda yang berharga, semua perhiasan terjual. Kini, mereka hanya tinggal di pinggir kota Jakarta, dekat pemukiman kumuh nan miskin.

Dengan langkah yang tak sekuat dulu, Ijah berjalan cukup jauh untuk menuju rumah Bu Ratna, juragan bawang. Mungkin hampir satu jam lebih Ijah berjalan, barulah dia sampai ke sana.

"*Assalamu'alaikum*," salam Ijah saat baru sampai.

"*Wa'alaikumsalam*. Iya, Bu Ijah, silahkan masuk dan bergabung dengan yang lainnya," jawab Ratna. Wanita ini ramah jika sedang mood, tapi saat tertimpa masalah dia galaknya minta ampun dan suka cemberut pada semua orang.

Sehingga semua orang tahu jika dia sedang ada masalah.

Ijah bergabung dengan tiga orang ibu-ibu lainnya, mereka bertiga juga tak kalah susah dari Ijah, suami Ratna memang sengaja memberikan pekerjaan kepada mereka, melihat usia mereka yang sudah tidak muda lagi dan ini bisa membantu perekonomian mereka.

Suami Ratna yang bernama Gunawan itu terkenal sangat baik dan dermawan.

"*Assalamu'alaikum*," sapa Ijah.

"*Wa'alaikumsalam*," sahut mereka.

"Ayo, mari!" ajak yang lainnya pada Ijah.

Mereka mempunyai goni atau karung masing-masing, setiap satu karung penuh mereka akan mendapatkan upah yang lumayan, setidaknya dapat untuk biaya makan dan bisa lebih untuk di tabung.

"Eh, kalian dengar tidak, ada beberapa anak yang tertangkap sedang memakai narkoba di dekat rumah Pak Anto, dan lebih parahnya anak Pak Anto Si Ivan kan polisi ya, dia malah yang jadi pengedar, dasar!" Salah satu ibu-ibu itu mulai bicara.

"*Astaghfirullah*. Eh, beneran Juminten? Kalau kau asal ngomong jatuhnya fitnah loh!" Sariana berkomentar.

"Fitnah apanya, pangkat dia udah di copot. Malu-maluin aja!" Juminten berkata.

"Kasihan polisi jadinya, satu polisi yang berbuat, polisi lain yang kena getahnya di masyarakat, apalagi sekarang banyak kasus polisi yang tidak sesuai dengan pekerjaannya yang memberi keamanan pada masyarakat, malah banyak bikin rusuh!" Tiba-tiba saja Ratna ikut bergabung gibah.

"Iya Bu. Kasihan kita sama polisi yang baik," jawab Sariana.

"Terus gimana kabarnya anak yang tertangkap itu, ada diantara mereka yang kerjaannya ngedar juga? Atau cuma pemakai narkoba biasa?" tanya Ratna yang juga ikut penasaran.

"Yang mirisnya, ada tiga orang anak di bawah umur, masih kelas lima dan enam sekolah dasar."

"*Astaghfirullah'alazim*!" Mereka semua berucap.

"Satu diantara tujuh orang anak itu pemakai aktiv dan pengedar. Dan dua anak sekolah dasar itu belum pemakai aktiv dan butuh rehabilitasi. Yang lainnya juga di rehabilitasi, namun dua orang juga dimasukkan ke penjara, begitu yang aku dengar!" lanjut Juminten.

Sementara Ijah hanya diam dan berdo'a dalam hatinya, agar putra satu-satunya terjaga, dan segera berubah ke jalan yang baik.

Tanan & Teman-temannya.

"Ssshhhh ... puff .... " Pria muda yang tengah menghiisap rokok dan menghembuskan asap nya keluar mulut membentuk huruf O.

"Ajep tenan!" Salah satu temannya asyik memasukkan tembakau ke sebuah kertas, kertas khusus untuk mereka merokok.

Di dalam sebuah ruangan yang pengap, remang malam itu, mereka ada empat orang di dalamnya.

"Hemat Anjiing! Gue cuma beli limpul! Kalian alasan nggak ada duit mulu, gue aja nyolong duit nyokap gue!" Pria yang tadi sukar di bangunkan ibunya, sekarang sudah berpesta pora dengan teman-teman, memakai obat-obatan terlarang. Ya, dia adalah Tanan.

"Lu beli sama siapa Nan?" tanya temannya.

"Sama Mas Adi. Si Alex kan baru ketahuan, di penjara sekarang. Kita harus hati-hati kalau mau beli, banyak Intel sekarang, pura-pura jadi penjual atau pembeli," sahut Tanan.

"Benar. Si Alex tertangkap kan gara-gara Bang Rahmat, teman yang di bawa Bang Rahmat rupanya Intel. Kurang ajar sekali itu Bang Rahmat, jijik gue, Anjiir!" balas teman Tanan.

Sementara teman yang ada di pojok, dia tidak bicara, dia menggigil dan menghisap sesuatu seperti dot bayi yang berukuran lebih kecil. Bahannya berbentuk tepung putih yang sedikit kasar mendekati kasarnya penyedap rasa ibu saat memasak. Ya, tepung putih itu di sebut sabu-sabu.

"Gila, si Riko udah teler tuh!" Teman yang berada di samping Tanan terkekeh melihat temannya yang sedang menikmati obat terlarang itu.

"Kalian mau coba juga enggak? Semua masalah kalian pasti selesai, dunia begitu indah, sumpah, ahahaha!" Yang di pojok tadi tertawa.

Teman Tanan yang baru saja selesai menggulung tembakau yang potongannya jauh lebih kasar dan sedikit hijau dari tembakau biasa itu mulai membakar rokok buatannya. Ya, tembakau ganja.

Asap-asap mulai menggumpal di ruangan itu, tak lama, mereka tertawa tanpa jelas. Gila? Bukan, mereka tidak gila, hanya saja berada di dalam tingkat halusinasi tinggi, dunia mereka terasa indah, mereka merasa percaya diri, mereka tersenyum, terus mengoceh, bercerita banyak hal, menceritakan angan dan mimpi sambil tertawa. Itulah sosok keindahan menurut mereka yang sudah di bawah pengaruh obat-obatan itu.

Bola mata mereka memerah dan mereka asik tertawa riang. Seolah tak ada beban. Padahal, masalah itu tetaplah ada di dunia nyata ini.

"Nan, seharusnya tadi kita beli tuak 20 ribu aja, bisa puas minum!" Temannya berkata.

"Gue udah bosan minum tuak, yang lain lah, yang berbobot!" racau Tanan.

"Masalahnya kalau beli yang lain dapat sedikit, kita nggak bisa bagi-bagi, Anjiim!" Dia menepuk pundak Tanan.

Tanan adalah pemuda yang paling tampan, gagah, tinggi dan besar dari tiga teman lainnya. "Makanya kalian usaha juga dong, jangan gue mulu!" ketus Tanan.

"Usaha gimna? Susah kawan, lu mah enak, ibu lu lemah lembut dan baik, lah nyokap bokap kita nggak kayak gitu!" sahut temannya.

"Basi, alasan kalian semua gitu aja!"

Khadijah pulang dengan badan yang sangat lelah. Dia lembur agar mendapatkan uang lebih banyak dari sebelumnya, sehingga dia pulang jam delapan malam dan sampai di rumah jam sembilan malam lebih. Saat sampai di rumah, lampu rumahnya masih padam.

"Tanan pergi ya dan belum pulang?" gumam Khadijah di depan pintu. Kemudian dia mulai membuka gembok pintu rumah.

"*Assalamu'alaikum*," kata Khadijah saat memasuki rumahnya sendiri yang tengah kosong. Wanita paruh baya itu meraba-raba untuk mencari saklar lampu. Dan akhirnya, dia menemukan saklar lampu juga.

"*Alhamdulillah*." Khadijah bersyukur. Rumah masih bersih dan rapi. Dia tersenyum saat menghidupkan lampu, karena biasanya dia hanya akan menemukan rumah berantakan.

Khadijah masuk ke dalam kamar, mengambil handuk yang tergantung di sebalik pintu, dan langsung mandi di kamar mandi yang berada di dekat dapur. Setelah mandi, saat mengambil baju, Kjadijah terdiam.

"*Astaghfirullah'alazim* .... " Air matanya mengalir. Baju yang dia rapikan kini berantakan, uang yang dia sembunyikan lima puluh ribu untuk beli makanan besok juga sudah hilang.

"Ya Allah. Ampunilah hamba yang berdosa ini karena telah gagal mendidik anak hamba .... " Dia mengambil baju daster dan memakainya, kemudian merapikan pakaian kembali.

Setelah rapi di lemari, Khadijah juga merapikan kamarnya, kemudian merapikan kamar putranya yang berantakan. Dia melihat ke dinding, jam sudah menunjukkan jam 12 malam, tetapi putranya juga tak pulang. Seperti biasa, Tanan sering pulang dini hari.

Khadijah berwudhu, untuk menenangkan hatinya, menjernihkan pikiran yang kalut, dan perasaan yang bercampur aduk. Setelah berwudhu dia mengaji dan salat untuk mengadukan nasibnya, memohon ampun dan berdo'a agar anaknya berubah kepada jalan kebaikan.

Dalam sujudnya, dia tak berharap anaknya akan menjadi alim ulama, tetapi cukup bertaqwa kepada Allah saja. Menghentikan semua perilaku tercelanya, menjadi pribadi yang baik.

*Tit! Tit! Tit*! Detak jam terus berbunyi, sekarang sudah jam dua dini hari. Wanita itu sudah berdo'a dan berbaring di ranjang. Upah sehari tadi mengupas bawah seratus ribu rupiah, itu uang yang sangat besar baginya. Dia bisa membelanjakan untuk keperluan penting, ditabung dan bersedekah, karena uang lima puluh ribu itu bisa membeli bahan masakan untuk dua hari makan. Sayangnya, uang itu pun juga sudah tidak ada.

Kini, Khadijah berpikir, dimana dia akan menyimpan uang seratus ribu ini? Dia penting untuk menyimpan uang, bagaimana jika nanti sakit?

"Ya Allah, buka kan lah pintu hati anak hamba .... " Begitulah do'a sebelum tidur yang masih di gumam Khadijah, sebelum dirinya terlelap.

"*Allahuakbar*! *Allahuakbar*!" Terdengar azan subuh berkumandang keras dari masjid yang lumayan berjarak dari rumah Khadijah.

Khadijah terbangun. Pertama kali yang dia lihat adalah kamar putranya, tak ada siapa-siapa di dalam kamar itu. Hanya ada ruangan kosong.

"Ya Allah, dia belum pulang. Tanan, kamu dimana Nak, kamu baik-baik saja 'kan? Ya Allah, tolong jaga dan lindungi putra hamba, Ya Allah .... " Do'a Khadijah di waktu subuh itu, kemudian dia langsung berwudhu dan salat subuh.

Selesai salat, dia memasak seadanya, masih ada sisa sayuran buncis, kentang, dan terong, ikan asin kemarin, sehingga Khadijah menggoreng kentang, terong, dan ikan asin, lalu sayur buncis.

Setelah itu masak, dia kembali ke kamar, memeriksa pakaian kotor putranya, mandi dan mencuci. Sekarang sudah jam enam pagi, semua pekerjaan sudah selesai, namun putranya belum juga pulang. Khadijah semakin cemas. Biasanya Tanan paling lama pulang setelah orang-orang dari masjid keluar.

Khadijah bahkan sudah menyiram tanaman sayuran dan bunga bunga yang dia tanam di pot-pot di depan rumah, mencabut rumput, bahkan menjahit baju yang sobek. Sudah jam delapan pagi, Tanan juga belum pulang.

"Ya Allah, apakah putraku baik-baik saja? Aku harus mendatangi rumah temannya!" gumamnya.

Akhirnya, Khadijah pun mengganti baju dan memasang *tikuluk* untuk menutupi kepalanya, dia berangkat ke rumah teman Tanan, berharap putranya ada di sana dan tidak terjadi apa-apa.

Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!

Download Novel PDF
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!