Hukum menatuhkan Vonis satu tahun penjara kepada Arya Kurniawan. Suaranya mantap, menusuk telinga semua yang hadir.
"Dalam kasus tabrak lari terhadap seorang Ibu bernama Clarissa yang sedang menyebrang jalan, mejelis menilai bukti yang ada tidak cukup membuktikan adanya niat jahat. Maka, terdakwa hanya dijatuhi hukuman penjara selama satu tahun."
Kata-kata itu bergema di antara dinding ruang sidang, menimbulkan riak ketidakpercayaan di hati seorang anak.
Tok! Tok!
Ketukan palu menutup sidang, membawa keheningan sesaat yang menekan dada setiap orang di ruangan itu. Perlahan langkah-langkah berat mulai terdengar, orang-orang beranjak meninggalkan tempat, namun suasana tegang tetap menggantung di udara.
Tiba-tiba suara serak seorang bocah memecah hening.
"Kenapa hanya satu tahun, Pak?! Ibu saya meninggal karena ulah dia yang tidak becus membawa mobil!" teriak seorang anak lelaki berusia empat belas tahun. Matanya memerah, tubuhnya bergetar, ingin sekali berlari menghampiri hakim.
Beberapa staf pengadilan sigap mencegat, menahan bocah itu agar tidak melangkah lebih jauh.
"Ini sudah keputusan hakim, tidak bisa dibantah," ucap salah satu petugas dengan nada tegas, meski wajahnya tak sanggup menyembunyikan iba.
Hakim sama sekali tidak menoleh, dengan langkah tenang, ia meninggalkan ruang sidang, membiarkan tangis bocah itu teredam di balik keramaian yang kian bubar.
Keputusan sudah jatuh, Namun rasa keadilan masih menggantung, seolah-olah palu yang di ketuk tadi belum benar-benar menutup cerita.
••••
Dari kejauhan, Pak Arya menatap sinis bocah itu sebelum akhirnya digiring oleh polisi menuju mobil tahanan. Tatapan dingin pria itu terasa menusuk, seolah mengejak kesedihan yang baru saja pecah di ruang sidang.
Xander Gabriel NightShade, bocah empat belas tahun itu, membalas dengan pandangan marah. Tangannya mengepal erat hingga kukunya memutih. "Aku akan balas perbuatanmu," ucapnya dalam hati, menyimpan dendam begitu dalam pada Arya Kurniawan– seorang pengusaha properti ternama yang telah merenggut nyawa ibunya.
Akibat mengemudi secara ugal-ugalan, Arya menabrak seorang Ibu yang tengah mencari nafkah untuk anak semata wayangnya. Namun ironisnya, hukum hanya menghukumnya selama satu tahun penjara.
Xander menoleh sekilas, menata sinis petugas itu sebelum melangkah pergi. Di matanya, api dendam terasa membara.
Di luar gedung pengadilan, suasana tampak sepi. Tidak ada satupun wartawan yang meliput kasus itu, padahal nama Arya Kurniawan bukanlah sosok asing. Sebagai pengusaha properti terkenal, wajahnya kerap menghiasi layar televisi. Namun hari ini, semua terasa janggal–seolah-olah kasus besar itu sengaja ditutup rapat.
Xander menghala napas berat, langkahnya gontai seakan beban dunia menindih bahunya. Kini ia benar-benar sendiri. Ayahnya telah pergi lebih dulu, dan kini ibunya menyusul, meninggalkannya tanpa keluarga, tanpa saudara hanya kesepian yang menemaninya.
Ia berjalan menyusuri jalan beraspal di bawah terik matahari. Panas menyengat kulit, namun itu bukan lagi masalah baginya–rasa sakit di dalam hati jauh lebih perih dari apa pun yang diberikan matahari siang.
Beberapa jam kemudian, Xander tiba di rumah sederhana. Rumah kecil itu penuh kenganan. Di depannya berdiri sebuah kios mungil yang dulu menjadi sumber penghidupan mereka. Xander berdiri terpaku, menatapnya lama. Bayangan ibunya saat melayani pembeli, menawarkan nasi bungkus dan lauk sederhana, melintas jelas di benaknya.
"Ibu... Sudah tujuh hari kepergian ibu," bisiknya lirih. Suaranya bergetar, lalu tetesan air mata jatuh membasahi pipinya.
Kenangan-kenangan itu menghantam hatinya, membuat dada Xander terasa sesak. Dalam benaknya, wajah Pak Arya muncul kembali–dengan senyuman sinis yang seolah mengejek penderitaannya. Tangannya mengepal semakin kuat, urat-urat menegang di lengannya.
"Aku akan membalasmu, Arya kurniawan..." gumamnya parau. Amarah dan luka itu tak akan akan pernah sembuh.
~Lima Tahun Berlalu~
Keringat menetes deras dari pelipis Xander, membasahi lantai kayu yang sudah dipenuhi bercak peluh. Nafasnya memburu, tapi matanya tetap tajam menatap sasaran di hadapannya.
Duar!
Tinju kanannya menghantam samsak keras, membuat rantainya bergoyang dan menimbulkan suara berderak. Tangan kirinya menyusul cepat, lalu satu kombinasi pukulan beruntun dilepaskan tanpa henti.
Setiap hantaman bukan sekedar latihan, ada amarah yang dituangkan, ada luka yang dilampiaskan. Dadanya naik turun, namun ia terus memukul, seakan rasa sakit di kepalanya lebih ringan dibandingkan rasa perih di dalam hati.
"Xander..."
Tinju Xander terhenti di udara. Nafasnya tersengal, peluh mengalir di wajah. Ia menoleh ke arah adit, staf gym yang sudah di anggap saudara.
"Ada apa?" tanyanya datar.
Adit melangkah mendekat sambil tersenyum tipis. "Santai, bro. Gue cuman mau kasih tahu, bentar lagi tempatnya mau tutup.
Xander mengangguk singkat. "Hmm... Gue paham."
Ia kembali menyalurkan tenaganya ke samsak, setiap pukulan terdengar berat dan penuh emosi.
Adit hanya menatapnya lama, seakan bisa membaca beban di balik tinjuan sahabatnya itu. Perlahan ia duduk di bangku, menyalakan televisi untuk menemani waktu sebelum akhirnya gym benar-benar di tutup.
Breaking News
Mayat seorang pria ditemukan di jalan sepi. Tubuhnya kaku, dengan bekas cekikan jelas di leher. Warga sekitar yang pertama kali melihatnya langsung melapor pada pihak berwajib. Setelah penyelidikan singkat, identitas korban terungkap. Ia adalah Antonio, supir pribadi dari seorang pengusaha ternama–Arya Kurniawan. Penemuan ini menimbulkan tanda tanya besar. Bagaimana mungkin seorang supir yang dikenal setia bisa berakhir tragis di jalan yang sunyi tanpa seorang pun saksi?
"Astaga... Bukankah itu supir pribadi Pak Arya kurniawan, pengusaha sukses itu?" gumam Adit, menatap serius ke layar berita malam yang sedang menayangkan peristiwa tragis tersebut.
Xander yang semula sibuk dengan pukulannya langsung menghentikan gerakan. Ia menoleh, pandangannya kosong menatap layar televisi. Wajahnya tetap datar, tapi sorot matanya mengisyaratkan yang sulit di tebak.
Kamera wartawan berjejer rapi di halaman rumah mewah itu. Kilatan kamera meledak bertubi-tubi, pertanyaan wartawan menghujani dengan serius. Di tengah kerumunan, Arya Kurniawan berdiri dengan wajah muram, jas hitamnya rapi, namun sorot matanya redup.
"Pak Arya, dimana bapak saat kejadian berlangsung?" tanya salah satu wartawan, mikrofon mikrofon kearahnya.
Arya menarik napas panjang, lalu menjawab dengan suara berat.
"Kemarin saya berada di luar negri. Saya baru tahu berita pagi tadi dan saya langsung pulang."
Para wartawan saling pandang, suasana makin hening. Arya melanjutkan dengan nada pelan, namun penuh tekanan.
"Sebelumnya, almarhum memang izin untuk menjenguk keluarganya. Saya sama sekali tidak menyangka, kepergiannya justru berakhir tragis seperti ini."
Wajah Arya terlihat sendu, matanya berkaca-kaca seolah menahan duka.
"Akhirnya muncul juga kau..." gumam Xander dalam hati. Kedua tangannya terkepal kuat, matanya menatap tajam ke arah layar televisi yang menampilkan sosok Arya Kurniawan–pengusaha sukses yang selama ini dia benci.
Ia turun dari ring tinju dengan langkah berat, seolah menahan amarah yang sudah membuncah di dadanya. Dengan cepat Xander meraih tasnya yang dari dalam loker, wajahnya tetap dingin tanpa ekspresi.
"Gue balik'" ucapnya singkat pada Adit.
"Hmm..." Adit hanya berdehem tanpa menoleh. Pandangannya masih terpaku pada berita, sementara di belakangnya Xander sudah melangkah pergi, meninggalkan jejak tekad yang semakin kuat untuk menuntaskan dendamnya.
•••
Di dalam rumah yang sederhana, suasana nampak begitu sunyi. Hanya cahaya redup dari sebuah lampu meja yang menemani Xander malam ini. Ia duduk tegak di depan meja kayu, di mana beberapa tumpukan buku tersusun rapi, seolah menjadi saksi bisu kegiatannya.
Jemari lelaki itu bergerak lincah di atas papan keyboard, dentingan tuts terdengar teratur di tengah kesunyian. Tatapannya tajam menembus layar laptop, seakan sedang membaca sesuatu yang hanya ia sendiri yang memahami.
Beberapa saat kemudian, sudut bibirnya perlahan terangkat, menampilkan sebuah senyum tipis penuh misteri.
"Ini saatmu..." bisiknya lirih, nyaris seperti ancaman yang ditunjukan entah untuk siapa.
Angin malam masuk melalui celah jendela, membuat tirat tipis bergoyang pelan. Malam terasa kian mencengkam, suasana ikut menyimpan rahasia yang di sembunyikan Xander.
Bragh!
Suasana mendadak tegang ketika seseorang ketika yang sedang berolahraga kaget saat pintu terbuka paksa. Dua wanita di ruangan itu panik, buru-buru menutup tubuh telanjang mereka dengan selimut tipis.
Di tengah kekacauan itu, Arya Kurniawan, pria berusia lima puluh tahun, segera mengenakan bajunya, berusaha menutupi diri. "Pengawal!" teriaknya, namun tak satu pun muncul untuk membantunya.
Sosok bertopeng dan ber-hoodie hitam itu melangkah semakin dekat, gerakannya tenang tapi penuh ancaman. Sebuah pukulan telak menghantam wajah Arya, menjatuhkannya ke lantai. "Sialan..." gerutu Arya sambil berusaha bangkit, namun pria bertopeng itu tak memberinya kesempatan sedikit pun, menakan dan terus mendesak dengan kecepatan yang sulit diantisipasi.
Arya mencoba mengumpulkan tenaga, matanya menatap penuh ketakutan pada sosok misterius yang kini tampak menguasai ruangan. Napasnya tersengal, dan rasa panik mulai menghimpit, seolah tidak ada jalan keluar.
Pria bertopeng itu tak memberi arya kesempatan sama sekali. Setiap pukulan menghantam tubuh dengan presisi, membuat pria baruh baya itu terhuyung-huyung. Wajahnya memerah, darah mulai menetes dari luka kecil dipelipisnya. "Siapa kau sebenarnya?!" teriak Arya, suaranya bergetar antara marah dan sakit.
Kedua wanita di sudut ruangan menahan napas, matanya melebar ketakutan. Mereka tidak berani bergerak, hanya menutup tubuh dengan selimut tipis, berharap serangan itu segera berhenti. Namun pria bertopeng itu tak peduli. Ia menyerang lagi, kali ini menendang perut Arya hingga Arya tersungkar ke lantai, terengah-engah.
"Iblis sepertimu pantas mati." suara pria itu terdengar berat, namun tenang, penuh ancaman. Arya mencoba menangkis, tapi tubuhnya sudah lelah dan serangan demi serangan terus menghujam. Tidak ada ruang untuk membalas, tidak ada tempat untuk lari. Hanya satu hal yang Arya sadari–pria bertopeng itu jauh lebih kuat dan lebih cepat dari yang ia perkirakan.
Pria bertopeng itu dengan cepat mencekik leher Arya, mengangkatnya tinggi-tinggi meski tubuh arya gemuk. Tubuh Arya tergantung lemas, napasnya tersengal. "Kau adalah iblis, dasar pembunuh,'' suara pria itu menggema, terdistorsi oleh alat canggih yang mengubah nada suaranya.
''S-aya bukan p-pembunuh." Arya berusaha membela diri,namun rasa sakit dari cekikan membuat suaranya tersendat. Di balik topeng, mata pria itu menatap tajam sebelum tiba-tiba melempar Arya ke lantai. Kepala Arya terbentur keras, darah mengalir deras dari luka di dahinya. "Arghhhh...." teriaknya, menahan sakit yang menjalar ke seluruh tubuh.
Pria bertopeng berjongkok di hadapannya, menatap Arya seakan menilai kebusukannya.
"Kau bisa menipu wartawan, menyuap hukum... tapi kau tak bisa lari dari semua kebusukanmu."
Kedua wanita di ruangan itu hanya bisa saling berpegangan, ketakutan membeku di wajah mereka. Salah satu menatap pistol di atas nakas, memberi kode diam-diam ke rekannya. Dengan cepat, tembakan dilepaskan. Dor! Dor! Namun pria bertopeng lebih gesit: keduanya jatuh terkapar di lantai, darah mulai mewarnai kasur putih yang kini memerah.
Arya Kurniawan terpana, matanya melebar, menatap kedua wanita yang kini terbaring tak bernyawa. Dengan napas tersengal, ia menjerit "Dasar brengsek... siapa kamu? Apa yang kamu mau? Uang? Katakan, saya akan berikan!"
Namun pria bertopeng itu tak gentar. Dengan satu tindakan keras, kepala Arya terbentur, tubuhnya terhuyung, dan kaku pria itu menekan dada Arya. "Kau pikir semua bisa dibeli dengan uang harammu itu, hah!" teriak pria bertopeng itu, menginjak lebih dalam dada Arya.
Arya, meski masih terengah berusaha bangkit. "Si... siapa kamu...? Apa maksud semua ini?" suaranya serak, gemetar ketakutan.
Pria bertopeng itu menatap Arya sekali lagi, tatapannya tajam dan dingin. "Ingat baik-baik... Jangan pernah main-main dengan mereka yang lemah. Kau sudah terlalu lama menikmati udara bebas. Saatnya kau membayar semua kebusukanmu," ucapnya pelan, namun menggetarkan, sebelum dengan cepat mencekik leher Arya.
Tubuh Arya melemas, napasnya tersengal, dan tak lama kemudian semuanya berhenti–dia sudah tak bernyawa. Pria bertopeng itu berdiri tegak, menatap mayat Arya dengan dingin, lalu tersenyum miring di balik topengnya, seakan puas dengan semua yang telah terjadi. Suasana sunyi menyelimuti ruangan, hanya suara angin yang terdengar samar dari jendela yang terbuka.
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!