Langkah-langkah riuh memenuhi halaman kampus yang dipenuhi spanduk besar bertuliskan “Selamat Datang Mahasiswa Baru”. Azalea menarik napas panjang, matanya menelusuri lautan wajah asing yang penuh semangat dan rasa ingin tahu. Di tengah keramaian itu, dia merasa kecil, tapi juga hatinya berdebar, seolah hari ini akan menjadi titik balik hidupnya.
"Azalea!" Suara riang memecah lamunannya. Mohan melambai dari kejauhan, senyuman indah yang diperlihatkannya membuat hati Azale menghangat dan berdetak lebih cepat.
"Masih nggak berubah lo ya, telat terus," tegur Azalea, ketika Mohan sudah mendekat.
"Cuma telat lima menit aja kok Za," Belanya sambil mencubit pipi Azalea gemas. Mohan tidak tau, ada hati yang tidak bisa dikondisikan oleh Aza saat ini karena perlakuan kecil darinya.
"Judulnya tetep sama Mohan, lo telat!" ucap Azalea dengan suara ketusnya.
Sebelum Mohan sempat membalas, Suara tenang dan dingin ikut menelusup diantara mereka.
"Ribut terus, nggak berubah!"
Azalea menoleh, didapatinya Jenara berdiri dengan tangan di dalam saku. Tatapannya lurus dan datar, berbeda dengan Mohan yang selalu selengean dan tebar pesona kepada setiap kaum wanita dimanapun tempatnya. Jenara lebih banyak diam, namun ada sesuatu dibalik tatapan matanya.
Bahkan seorang Azalea pun tidak bisa membaca apa yang sedang ia pikirkan.
"Mendingan ribut, daripada diem mulu kaya lo!" celetuk Mohan sambil menepuk pundak sahabatnya itu.
Jenara hanya mendengus pelan. Matanya sempat melirik Azalea sesaat, tatapan singkat itu membuat Azalea tanpa sadar menundukkan kepalanya.
Acara orientasi dimulai. Aula besar dipenuhi suara sorakan panitia yang penuh semangat. Di depan, rektor memberi sambutan, tapi bagi Azalea, kata-kata itu mengalun bagai gema jauh. Fokusnya lebih banyak pada dua sosok di sampingnya.
"Are you okay, Azalea?" Tanya Jenara yang sejak tadi memperhatikannya.
"Ya, gue oke kok! kenapa lo nanya gitu?" jawab Azalea sambil menatap Jenara.
"Cuma mau mastiin aja, soalnya dari tadi Lo ngelirik gue sama Mohan bergantian." ucapnya datar sambil menatap Azalea.
"Wah ketauan lo Za," timpal Mohan "Ngapain lo ngelirik kita, jangan bilang lo suka sama kita berdua ya?" tebak Mohan, membuat wajah Azalea panik.
"Enak aja lo kalo ngomong, nggak kok." Azalea berkata sambil memukul perut Mohan pelan untuk menyembunyikan kepanikannya itu.
"Terus ngapain lo ngeliatin kita Azalea?" kali ini Mohan yang bertanya.
"Gue ... Gue cuma takut aja, kalo tiba-tiba kalian berdua dibawa sama alien ke planet mars." celetuk Aza dengan absurdnya.
"Hahahaha .... Aza!!! sumpah ya kata-kata lo selalu unik," seru Mohan disela-sela tawanya.
"Tapi Za, seandainya nih. Kita beneran di ambil alien yang kata lo dari planet mars itu. lo bakalan nangis gak?" Tanya Mohan, meladeni kata-kata absurd Aza.
"Nggak sih," jawabnya cepat.
"Kok bisa? Kata lo, elo sayang sama kita." Mohan berbicara sambil mengernyitkan dahi.
"Kalo nggak ada kalian berdua, hidup gue bakalan tenang," seru Azalea, "Karena gue bakalan jauh dari cowok yang nilai bad boy-nya lebih tinggi dari pada nilai ujian gue, juga dari cowok yang dinginnya kaya bongkahan es yang ada di kutub utara dan mempunyai mulut setajam silet ini." ujarnya lagi sambil melirik sinis ke arah kedua sahabatnya.
"Waw Azalea! Ternyata dibalik kata sayang lo, ada sebersit kekesalan yang nyata buat kita ya," Mohan menanggapinya sambil mencangkup wajah Azalea dengan kedua tangannya. Mata mereka saling menatap, Mohan dengan tatapan gemas sebagai sahabat sedangkan Azalea menatapnya dengan rasa yang lain.
Jenara yang berdiri di sisi lain, nampak bisa melihat tatapan Azalea. Tatapan itu sudah sering ia lihat, disaat-saat terakhir menjelang kelulusan di SMA,-nya dulu. Hanya saja, Mohan tidak pernah menyadarinya. Jenara lalu menghela napas. “Kalian berdua bisa diem nggak? Acara baru mulai.”
“ Relax bro, " seru Mohan, "bisa nggak hidup lo jangan serius Mulu," protes Mohan
Azalea mengangguk cepat. “Setuju! Hidup itu harus absurd, Je! Kalau normal, nanti nggak seru.”
Jenara menoleh singkat, tatapannya datar. “Absurd itu bukan prestasi, Azalea.”
Azalea langsung cemberut, lalu berbisik ke Mohan dengan nada konspirasi, “Kenapa sih temen kita yang satu ini lahir dengan mode dingin permanen? Kalau manusia normal tuh punya setting-an mood.”
“Udah, biarin. Mungkin software-nya rusak dari pabrik.” Mohan menambahkan dengan nada serius, seolah-olah benar-benar menganalisis.
Mereka berdua cekikikan, sementara Jenara pura-pura tak mendengar, meski ujung bibirnya nyaris tertarik naik.
Selesai acara sambutan, mahasiswa baru diarahkan menuju fakultas masing-masing. Tiga sahabat itu berjalan beriringan, tetap dengan pola lama yang tak pernah berubah. Mohan dengan celetukan receh, Azalea dengan komentar absurd, dan Jenara dengan sikap dingin yang kadang bikin kesal, kadang bikin penasaran.
“Eh, Mo,” Azalea tiba-tiba nyeletuk sambil menunjuk papan fakultas, “kalau gue nyasar ke Fakultas Kedokteran, kira-kira boleh nggak ya?"
"Ngapain lo mau nyasar kesitu? Mau nemenin Jenara?"
"Bukan, gue pengen nyobain stetoskop buat dengerin hati seseorang.” celetuknya tanpa sadar.
“Hah?! Isi hati seseorang?" Teriak Mohan, membuat beberapa orang disekitar melihat ke arahnya.
"Mohan suara lo kenceng banget sih?" kesalnya
"Sejak kapan lo udah mulai main hati? Siapa orangnya?" tanya Mohan serius. "Je, Lo liat nih. Azalea si cewek Absurd, pengen dengerin hati seseorang pake stetoskop katanya." suaranya begitu keras, membuat Aza kesal dibuatnya.
"Mohan apaan sih! kalo suara lo kenceng gitu, sama aja lo kaya ngasih pengumuman ke yang lain." sungut Azalea sedangkan Mohan masih dengan tawanya.
Jenara menghentikan langkahnya sebentar, menatap Azalea lurus dengan ekspresi datar. “Hati siapa yang pengen lo denger?” ucapnya dalam. Azalea kaget dengan interaksi itu, dia sempat terdiam sebentar—lalu menatap balik Jenara.
"Nggak ada Je, tadi cuma asbun doang kok."
"Asbun ya? Tapi kayanya dari hati banget," ucapnya sambil menoel hidung sahabatnya itu. Azalea kaget, karena tidak biasanya Jenara melakukan physical touch pada dirinya.
Cowok itu terlalu dingin, bahkan disaat dulu Azalea hampir terjatuh dia hanya menarik tasnya untuk menahan gadis itu agar tidak terjatuh. Beda dengan Mohan, Mohan selalu mengekspresikan sesuatu dengan sentuhan.
"Mohan tarik gue kedunia nyata!" seru Aza tiba-tiba membuat Mohan bingung.
"Apaan sih Za, emang sekarang Lo lagi ada dimana? Dunia ghaib?" ucap Mohan
"Gue ada di dunia mimpi. Sang kutub es noel idung gue Moh, selama kita sahabatan baru sekarang dia mau nyentuh gue Moh. Biasanya kalo nggak tas gue ya lengen baju gue yang jadi pegangan dia," ucapnya lebay
"Bukannya waktu kita masih kecil, lo sering di gendong sama dia. Kalo lo jatoh," ingat Mohan
"itu waktu kita masih kecil, nggak ke itung Mohan!"
"Udah buruan cubit gue Moh, cepetan!" suruhnya pada Mohan yang langsung dilakukan oleh cowok itu.
"Aww sakit Mohan!!!" teriaknya. Mohan hanya terkekeh.
"Azalea stop lebay-nya, ayo kita masuk ke gedung kita masing-masing." Tegur Jenara
"Kenapa sih kita harus pisah Fakultas?" seru Azalea
"Aza! Cukup dramanya," Mohan berkata sambil mengelus rambut Aza pelan. Membuat gadis itu merengut.
"Lo duluan aja Moh, gue bakalan anterin ratu drama ini ke tempatnya." Jenara berkata sambil meraih tangan Azalea
"Ok, kebetulan gue harus ke gedung rektorat dulu," kata Mohan "jangan bikin chaos di kelas," Mohan memperingati Aza, lalu dia berjalan meninggalkan kedua sahabat-nya.
"Ayo cepet kita jalan," ajak Jenara
"Je!!! lo kok so sweet banget sih sekarang." Azalea berucap dengan wajah gemasnya.
"Maksud Lo?" tanya cowok itu bingung, Azalea tersenyum ke arah Jenara dan menunjukkan tangannya yang sedang di genggam erat oleh nya. Jenara langsung melepas genggamannya itu.
"Kok di lepas Je? Jarang-jarang kan gue di tuntun sama bongkahan es kutub Utara," protesnya.
"Azalea! jangan banyak drama." Jenara berkata dengan sedikit halus.
"No drama Je, gue beneran pengen digandeng sama cowo tampan berhati es ini." serunya. Tatapan lucunya, membuat cowok itu sedikit membuang muka. Entah karena salah tingkah atau karena satu hal yang lain.
Cowok itu masih dengan gaya khasnya yang dingin, tenang, tatapan lurus ke depan. Tapi saat mata mereka bertemu, sekejap ada sesuatu yang berbeda. Sebuah senyum kecil, tipis sekali, muncul di sudut bibir Jenara.
Bukan senyum lebar, bukan tawa keras. Hanya sebuah lengkungan sederhana. Tapi cukup untuk membuat Azalea terdiam sesaat, jantungnya berdetak lebih cepat tanpa alasan.
Senyum kecil itu ringan, singkat, hampir tak terlihat. Namun entah kenapa terasa jauh lebih hangat dibanding semua celetukan selengean Mohan atau kata-kata dingin yang keluar dari mulut Jenara sebelumnya.
Dan tanpa ia sadari, senyum itu justru akan melekat paling dalam di ingatannya.
Langkah-langkah mahasiswa baru beriringan memenuhi lorong panjang. Gedung-gedung kampus menjulang kokoh, tiap fakultas punya nuansa berbeda. Fakultas Kedokteran dengan aura seriusnya, Fakultas Manajemen yang penuh poster seminar dan pameran bisnis, hingga Fakultas Psikologi dengan coretan mural warna-warni di dindingnya.
Azalea memandang sekeliling dengan mata berbinar. “Gila, kampus ini gede banget. Kalau gue nyasar, gimana ya?. Gue kan cuma makhluk mungil yang gampang tersesat.” ucapnya pada diri sendiri.
"Semungil apapun lo, kita berdua pasti bakalan nemuin kok. Jadi lo nggak akan nyasar ke dunia lain," Suara Mohan tiba-tiba sudah menggema di telinga Azalea.
"Mohan, Jenara! Kalian nyusulin gue?" senangnya.
"Tadinya gue mau langsung ke kantin utama, cuma Jenara ngajakin makan dikantin gedung psikologi." jelas Mohan
"Kantin disini, Vibe-nya unik banget loh!" kata Azalea. "Ya meskipun makanannya nggak selengkap kantin utama, cuma kantin disini lebih tenang aja gitu!" lanjutnya lagi
"Ya udh ayo, gue penasaran sama kantin disini," Mohan berkata sambil menarik tangan Azalea untuk terus berjalan. Dibelakang, Jenara masih setia mengikuti keduanya.
Sampailah mereka di kantin Fakultas psikologi yang berada tepat di samping taman fakultas. Bentuknya sederhana lebih seperti cafetaria mini. Dengan beberapa meja kayu, kursi besi dan dekorasi mural warna-warni di dinding dengan tema psikologi seperti kutipan Carl Jung, Sigmund Freud, atau gambar otak manusia.
Ada papan menu tulis kapur di dekat kasir nuansa cozy ala coffee shop mahasiswa.
Ketiganya memilih tempat duduk yang berada disudut ruangan dekat kaca besar yang langsung menghadap ke taman gedung.
"Gimana tadi kelasnya?" Tanya Jenara serius.
"Baru perkenalan teori sama bahas komunikasi," Azalea berkata sambil cemberut
"Kenapa lo cemberut?" tanya Mohan, ketika dia sudah selesai memesan makanan untuk mereka bertiga.
"Azalea !!!" seru Jenara memanggil gadis itu lembut.
"Gue overthinking Je, Moh." jawabnya melas
"Kok bisa?" seru Mohan
"Dosen gue bilang, kalo anak psikologi itu harus bisa baca bahasa tubuh seseorang!"
"Ya emang harus dong, yg buat lo overthinking dimananya?" Jenara penasaran.
"Gimana kalo gue nggak bisa?" katanya
"Lo nggak di tuntut buat langsung bisa baca bahasa tubuh seseorang, ada pembelajarannya. Dari teori dasar, observasi, praktikum, analisis video, baru penerapan di dunia nyata." Jenara menjelaskan "jadi nggak perlu sampe overthinking, buang-buang waktu!" lanjut Jenara
"Astaga Je, otak lo bener-bener encer, ngidam apa Tante Indah waktu hamil lo!" seloroh Azalea lucu.
"Lo cukup banyak tau juga soal kelas psikologi ya." sambung Mohan
"Kedokteran dan psikologi itu ada banyak persamaannya Moh! salah satunya, sama-sama belajar tentang manusia secara holistik. Jadi, sedikit banyak gue tau." dengan santai Jenara menjelaskan kepada kedua sahabatnya itu.
"Fix ini sih, gue harus tanya sama tante Indah. Karena nanti kalo gue punya anak, gue juga pengen anak gue pinter kaya lo Je," seru Aza dengan semangat.
"Ngapain lo nanya ke tante Indah, tinggal lo nikah sama Jenara aja. Otomatis anak lo pinter kaya dia," usul Mohan asal, tanpa disadarinya kata-kata itu membuat Jenara menjadi kikuk. Sedangkan Azalea hanya tertawa mendengar usulan dari Mohan.
Waiters datang dengan nampan penuh makanan, meletakkannya satu per satu di meja mereka.
“Pesanan nasi goreng, mie goreng, kopi susu, sama es teh manis. Silakan, Kak,” ucapnya ramah sebelum berlalu.
Azalea langsung menyambar nasi goreng dengan ekspresi ceria. Mohan dan Jenara meraih mie goreng milik mereka.
"Wangi banget nasi gorengnya, kaya wangi bayi yang dikasih minyak telon sehabis mandi. Wanginya tahan lama," seru Azalea dengan kata-kata absurd-nya
"Astaga Aza! kok bisa sih, lo samain wangi nasi goreng sama minyak telon bayi." Mohan berkata sambil mengusap wajahnya kasar.
“Lah, emang iya. lo nggak suka wangi minyak telon? Kan gemes,”
"Nggak sekalian, mie goreng yang gue makan ini wanginya kaya sabun bayi!" kesal Mohan.
"Bisa jadi Moh, sini gue cium wanginya. Beneran kaya sabun bayi gak?" Azalea menarik piring Mohan, namun sebelum piring itu sampai dihadapannya, Mohan menahannya dan menariknya kembali ke tempat semula.
"Nggak usah, terserah lo mau ngomong apa. gue mau makan, lapar!"
"Hahahaha ... Mohan lo kok marah sih, kan gue cuma bercanda."
"Becanda lo terlalu Absurd Za," ujar Mohan, yang tak pernah bisa marah pada sahabat kecilnya itu.
Jenara, yang sejak tadi hanya diam. Menjulurkan tangannya mengambil gelas kopi dan menyesapnya perlahan. Tatapan singkat mengarah pada Azalea, lalu kembali dingin seperti biasa.
“Aza, lo nggak cape ngomong terus?” suara Jenara tenang tapi terkesan menyindir
Azalea nyengir polos. “Nggak, Je. Soalnya kalau gue diem, dunia ini kerasa kayak nggak ada warnanya.”
“Ya… kalau kebanyakan warna juga bikin pusing,” sahut Jenara singkat, lalu kembali menatap keluar jendela kantin.
Hening sesaat menyelimuti meja mereka, hanya suara dentingan sendok dan garpu dari meja lain yang terdengar. Hingga tiba-tiba, Jenara meletakkan gelasnya cukup keras, membuat Azalea dan Mohan menoleh.
“Za, ngerti kan?” tanyanya datar.
“Ngerti apaan?” Azalea langsung berhenti mengunyah, merasa sorot mata Jenara kali ini berbeda.
Jenara mencondongkan tubuh sedikit, tatapannya tajam. “Kalau terus kayak gini, lo bakal cepat jadi sorotan. Dan itu nggak selalu baik."
Azalea menelan ludah. Untuk pertama kalinya, celetukan absurd-nya terasa nggak lucu sama sekali.
"Udah jangan didengerin Za, lo kaya nggak tau dia aja. Kalo ngomong kan emang nyelekit," ujar Mohan berusaha mencairkan suasana yang sedikit tegang. Azalea tersenyum ke arah Mohan,
"Mendingan kita lanjut makan yuk, keburu dingin nih makanan." kata Mohan lagi.
"Apa ke Absurd-tan gue bikin kesel orang-orang ya? Bahkan lo aja pusing ngadepin gue," Aza mulai overthinking.
"Bukan gitu maksud gue Za, gue cuma nggak mau lo terluka karena sikap lo sendiri. Dunia kampus beda sama SMA. Di sini, orang gampang salah paham.” Jenara berkata dengan nada lembut.
"Oh ...," gumamnya pelan.
Mohan yang biasanya cuek, kali ini menatap Azalea lebih lama, lalu melirik Jenara. Suasana tiba-tiba terasa berat, seakan ada sesuatu yang baru saja berubah di antara mereka bertiga.
"Azalea! you okay?" tanya Mohan
"I am good, santai aja Moh! kaya yang lo bilang. Si bongkahan es kutub utara ini kalo ngomong emang nyebelin, harusnya kata-kata itu buat dia. Cuma, dia males aja intropeksi diri sendiri." ucapnya panjang lebar sambil meminum es teh manis miliknya.
Jenara hanya mendengus pelan, mengalihkan pandangannya lagi. Tapi ada satu hal yang nggak disadari Azalea, di balik dinginnya tatapan itu, sekelebat senyum kecil sempat muncul di wajah Jenara.
\*\*\*\*\*
Hari itu, langit kampus tampak cerah, seolah ikut menyambut semangat mahasiswa baru yang sibuk mondar-mandir dengan wajah riang. Azalea duduk di bangku taman, sambil memainkan sedotan minuman dingin, yang sudah setengah habis. Dari tadi ia mengamati orang-orang yang lewat dengan komentar-komentar absurd yang keluar begitu saja dari bibirnya.
“Mohan, coba lo liat deh cewe itu!" tunjuk Aza pada seorang cewe berkacamata tebal dan rambut kepang dua.
"Kenapa dengan cewe itu?" tanya Mohan sambil melihat ke arah yang ditunjuk Azalea.
"Paket lengkap nggak sih?" ucapnya sambil menyilangkan kedua tangan didepan dadanya.
"Maksud lo? gue nggak ngerti."
"Paket lengkap dan hemat di menu kantin, kacamata kaya telor mata sapi dan rambut kepang duanya mirip mie goreng kantin. Di tambah dengan es teh manis, komplit deh jadinya." kelakar Aza dengan pikiran Absurdnya.
Mohan nyaris tersedak minumannya, setelah mendengar Azalea berkelakar.
"Rambut kepang dua, lo samain kaya mie goreng?" bingung Mohan
"Yup, kalo lo buka kepangannya, pasti rambut dia kaya mie deh, kriting!" ucapnya sambil tersenyum jail.
“Aza! sumpah, kalau ada lomba komentar paling ngaco se-kampus, lo pasti juara umum!”
Azalea malah tersenyum bangga. “Ya kan? Itu bakat alami gue Moh. Dan itu keluar begitu aja dari mulut gue,"
"Ok cewe absurd, gue selalu terhibur dengan kalimat ajaib lo." Mohan berkata sambil hormat ala tentara pada Azalea.
Azalea pun membalas hormat pada Mohan dan merekapun tertawa bersama.
Sementara itu, Jenara hanya diam. Ia duduk di sisi lain bangku yang sama, mendengarkan semua ocehan Azalea tanpa ikut tertawa. Tatapannya dingin, namun matanya tak lepas dari wajah Azalea.
“Za,” suaranya terdengar datar, tapi cukup membuat Azalea menoleh.
“Apa lagi, Jenara! Mau protes karena gue terlalu lucu?”
Jenara menghela napas panjang. “Lo sadar nggak, nggak semua absurditas lo itu berakhir baik? Kadang bikin orang ketawa, tapi kadang bisa bikin orang salah paham. Dan nggak semua orang bisa nerima lo kayak gue sama Mohan.”
"Itu lagi yang lo bilang, ada masalah apa sih lo sama gue?" kesal Azalea
"Gue cuma ngingetin doang Za, gue cuma nggak mau lo ngadepin masalah cuma karena kalimat ajaib lo yang kadang berubah jadi kalimat sarkas." Jenara mendekati Azalea, lalu mengusap kepala Aza lembut. Jenara sangat menyayangi gadis itu, dia cuma nggak mau jika suatu saat dia terluka. Bahkan dibalik rasa sayang itu, ada rasa yang lain.
"Sepuluh menit lagi gue masih ada kelas, kalian pulang aja duluan." ucapnya lagi, Jenara pun meninggalkan kedua sahabatnya itu.
Azalea menatap kepergian Jenara dengan perasaan yang aneh, usapan lembut dikepala-nya seperti ada makna lain. Azalea memikirkan ucapan Jenara , apakah benar ia terlalu berlebihan? Apakah orang lain diam-diam menganggapnya aneh? Apakah… Mohan juga berpikir begitu?
“Aza?” panggil Mohan, mencoba mengembalikan suasana dengan mencolek lengannya.
"Eh iya Moh."
"Kok diem? Jenara, cuma peduli sama lo Za," ucap Mohan.
"Apa dia udah bosen ya temenan sama gue?" kata Aza pelan. "soalnya, baru sekarang dia protes mulu." lanjutnya lagi
Mohan mengernyitkan dahinya. "Kok Lo bisa mikir kaya gitu?"
"Za! udah dari dulu kali, dia terkenal nyebelin. Bahkan sikap dinginnya aja bikin orang lain takut kalo deket sama dia. Gue rasa, Jenara cuma mau ngelindungin lo. Karena disini kita beda fakultas, kita berdua nggak bisa jagain lo terus kalo ada kelas. Makanya dia takut kalo ke-absurdtan lo malah bikin lo dalam masalah," jelas Mohan
"Apa lo juga ngerasa gitu ya Moh, lo pusing gak sama ke-absurdtan gue?" tanya Aza
"Nggak!" jawab Mohan, "Karena gue suka ke-absurdtan lo." Mohan berkata sambil mengelus pipi Azalea dan tersenyum manis pada gadis itu.
Detak jantung Azalea berdebar cepat, Mata cantiknya menatap Mohan tanpa berkedip sedikitpun. Azalea tau ada perasaan yang lebih untuk sahabatnya itu. Meskipun berulang kali dirinya menekan kuat perasaan itu agar tidak makin berkembang, tapi hatinya ...? Hatinya tidak bisa untuk berkompromi. Rasa cinta itu makin kuat, bahkan sekarang rasa untuk memiliki kian menjadi-jadi.
"Azalea !!! Kenapa lo ngeliatin gue kaya gitu? jangan bilang lo suka sama gue." selidik Mohan, membuat Aza gelagapan.
"Nggak kok," panik Aza.
Tawa Mohan pun meledak karena melihat wajah panik Aza. "Sumpah! Muka lo lucu banget kalo lagi panik gitu."
"Mohan !!!" teriak Aza kesal, "lo tuh bener-bener ya, nyebelin tau." Azalea menghujani Mohan dengan cubitan kecil.
"Hahaha ..., ampun Za! cubitan lo tuh sakit banget tau." Mohan mencoba menghindari cubitan Azalea. Dia berlari ke arah danau buatan yang terletak di taman itu. Azalea terus mengejarnya tanpa ampun, hingga sesuatu terjadi.
"Mohan awas!!!" teriak Aza, namun terlambat untuk Mohan.
BRUG.... tanpa sengaja Mohan membentur seseorang yang berdiri di tepian danau. Benturan itu cukup keras, hingga membuat seorang gadis tersebut hilang keseimbangan, tubuhnya terhuyung ke arah permukaan air yang tenang tapi dalam.
Reflek, tangan Mohan mencengkram pergelangan sang gadis, sebelum gadis itu benar-benar terjatuh. Degupan jantung keduanya berpacu atara panik dan lega. Nafas gadis itu tersenggal, matanya terbelalak. Sementara tangan Mohan masih erat menggenggam seakan takut melepaskan.
Butuh beberapa detik, hingga Mohan menarik gadis itu kembali kedaratan. Gadis itu jatuh terduduk, kakinya gemetar dan rambutnya berantakan menutupi wajah pucatnya.Mohan berjongkok disamping gadis itu, sambil menenangkan nafasnya sendiri.
"Lo nggak kenapa-kenapa kan?" tanya Mohan pada gadis itu.
"Gue ... Gue aman kok, cuma kaget aja," ujarnya pelan. Gadis itu masih menunduk sambil memegang dadanya, mungkin dia sedang menenangkan degup jantungnya akibat kejadian barusan.
Di sisi lain, Azalea berjalan mendekati keduanya. Kejadian barusan sukses membuat Azalea diam beberapa detik karena panik dan takut gadis itu benar-benar tercebur.
"Moh gimna? dia baik-baik aja kan?" tanya Aza ketika sudah berada di dekat Mohan. Mendengar suara Aza, gadis itu mengangkat wajahnya dan tersenyum ke arah Aza.
"Gue nggak apa-apa kok, cuma kaget aja tadi," ucapnya lembut.
"Maafin temen gue ya, dia emang agak ceroboh." ucap Azalea sambil melotot ke arah Mohan
"Yee ... Ini semua gara-gara lo juga. Kalo lo nggak nyubit gue, gue nggak bakal lari-lari karena takut sama cubitan lo," Sungut Mohan
"Lagian suruh siapa lo lari sampe ke tepi danau, terus gunanya mata lo buat apa? lari nggak liat kanan-kiri." omel Aza,
"Hahaha ..., kamu lucu deh." ucap gadis itu pada Aza. Azalea pun ikut tertawa, dan membantu gadis itu berdiri.
"Aku Amara," Amara mengulurkan tangannya ke arah Azalea
"Gue Azalea, lo bisa panggil gue Aza atau Lea juga boleh." Azalea langsung menjabat tangan Amara
"Nah kalo cowok yg tadi bikin lo hampir celaka, dia sahabat gue, namanya Mohan." Azalea menepuk pundak Mohan keras.
"Azalea!!! Sakit tau," Mohan menekan suaranya kesal.
"Hai Mohan! aku Amara,"
"Hai gue Mohan, sekali lagi maaf ya." Mohan menjabat tangan Amara.
"Mahasiswa baru juga?" tanya Mohan, yang diangguki oleh Amara.
"Lo masuk jurusan apa?" giliran Azalea yang bertanya.
"Kedokteran," Jawab Amara
"Kedokteran? Bukannya sepuluh menit lagi Lo ada kelas ya, soalnya sahabat gue yang satu lagi bilang gitu." Azalea mengingat perkataan Jenara tadi.
"Nggak ada kok, ini aku mau pulang. Tapi tertarik sama danau buatan yang ada di Deket gedung psikologi, katanya tempatnya bagus. Makanya aku kesini." cerita Amara
"Siapa nama sahabat kamu? Siapa tau aku kenal," sambungnya lagi.
"Jenara Yudistira," beritahu Azalea.
Amara berusaha mengingat nama itu,
"Oh iya aku tau, waktu perkenalan—dia satu-satunya cowok yang mukanya datar dan dingin banget,"
"Hahahaha.... dia emang gitu, jarang senyum apalagi ketawa." Aza berkata sambil tertawa
"Kalian betah temenan sama dia?"
"Kita udah sahabatan sejak kecil, jadi udah biasa." ujar Mohan
"Moh, berarti Jenara bohongin kita dong?"
"Jangan-jangan dia udah nemu cewek lagi, terus mereka lagi berduaan di gedung sebelah." lanjut Azalea lagi.
"Pikiran lo Za, udah biarin aja. Mungkin dia lagi ada urusan yang lain." Mohan berkata sambil menyentil kening Azalea.
Azalea mengusap keningnya lalu berkata. "Mohan sakit tau, jahat banget sih lo," rengeknya
"Kalian lucu," seru Amara. "Kalian belom mau pulang kan?" Tanya Amara
"Belom kok, kita masih mau nongkrong disini." Jawab Mohan yang diangguki oleh Azalea
"Gimana kalo aku ikut nongkrong sama kalian, aku belom punya temen nih." pinta Amara
Senyum Azalea mengembang, dan dengan senangnya Azalea berkata: "Ya jelas boleh lah, kenapa nggak."
"Makasih ya Aza, akhirnya gue punya temen." seru Amara senang dan memeluk Azalea erat.
Mohan tersenyum melihat Aza yang bisa menerima orang lain dengan cepat. Biasanya Aza dan Jenara paling susah akrab dengan teman-teman SMA-nya. Tapi kali ini, seorang Amara bisa membuat Azalea luluh.
'Cantik banget nih cewek, setiap senyumannya bikin getaran halus dihati gue.' Mohan berkata di dalam hatinya.
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!